Secara umum, bank adalah lembaga keuangan yang
melaksanakan tiga fungsi, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan
memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian umat islam,
pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian
dari tradisi umat islam sejak zaman rasulullah. Praktik-pratik seperti menitipkan
harta, meminjamkan harta untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis,
serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman rasulullah
saw. Dengan demikian. Fungsi-fungsi utama perbankan modern, yaitu menerima
deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat islam, bahkan sejak zaman
Rasulullah.
Rasulullah yang dikenal dengan julukan Al-Amin,
dipercaya oleh masyarakat makkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat
terakhir sebelum hijrah ke Madinah, ia meminta Ali bin Abi Thalib r.a untuk
mengembalikan semua titipan itu kepada para pemiliknya. Dalam konsep ini, pihak
yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan.
Seorang sahabat Rasulullah saw, Zubair bin Awwam
r.a., memilih tidak menerima harta titipan harta. Ia lebih suka menerimanya
dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda,
yakni pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, ia mempunyai hak
untuk memanfaatkan, kedua, karena bentuknya pinjaman, ia berkewajiban untuk
mengembalikan nya secara utuh. Dalam riwayat yang lain disebutkan, ibnu Abbas
r.a. juga pernah melakukan pengiriman uang ke Kuffah dan Abdullah bin Zubair
melakukan pengiriman uang dari makkah ke adiknya Mis'ab bin Zubair r.a. yang
tinggal di Irak.
Pengunnan cek juga di kenal luas sejalan dengan
meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak
berlangsung dua kali dalam setahun. Bahkan pada masa pemerintahannya, Khalifah
Umar bin al- Khatab r.a. menggunakan cek untuk membayar kepada mereka yang
berhak. Dengan menggunakan cek ini,, mereka mengambil gandum di baitul mal yang
ketika itu diimpor dari Mesir. Disamping itu, pemberian modal untuk modal kerja
berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, muzara'ah, musaqoh, telah dikenal
sejak awal di antara kaum muhajirin dan kaum anshor.
Dan Rasulullah saw pun mejalankan praktisi itu
sebelumnya, yaitu ketika ia bertindak sebagai mudharib (pengelola investasi)
untuk Khadijah. Dan Khalifah Umar bin Khatab menginvestasikan uang anak yatim
kepada para saudagar yang berdagang di jalur perdagangan antara Madinah dan
Irak. Kemitraan bisnis berdasarkan system bagi hasil sederhana semacam ini
terus dipraktekan selam berabad-abad tanpa perlu perubahan bentuk sama sekali.
Dengan demikian, jelas bahwa terdapat
individu-individu yang telah melaksakan fungsi perbankan di zaman Rasulullah
saw, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan.
Ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang
melaksanakan fungsi pinjam meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi
pinjam-meminjam, ada yang melaksankan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang
memberikan modal kerja.
SEJARAH PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI DUNIA[1]
Sejak awal kelahirannya,
perbankan syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam
modern : neorevivalisme dan modernis. Tujuan utama dari pendirian lembaga
keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin
untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-qur'an dan
As-Sunnah.
Upaya
awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di
Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana
jama'ah haji secara nonkonvesional. Rintisan Institusional lainnya adalah
Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.
Setelah
dua rintisan awal yang cukup sederhana itu, bank Islam tumbuh dengan sangat
pesat. Sesuai dengan analisa Prof. Khursid Ahamad dan laporan Internasional
Association of Islamic Bank, hingga akhir 1999 tercatat lebih dari dua ratus
lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia, baik di negara-negara
berpenduduk muslim maupun di Eropa, Australia, mauoun Amerika.
Suaru
hal yang patut juga di catat adalah saat ini banyak nama besar dalam dunia
keuangan internasional seperti Citibank, Jardine Flemming, ANZ, Chase Chemical
Bank, Goldman Sach, dan lain-lain telah membuka cabang dan subsidiories
yang berdasarkan syariah.
- Mit Ghamr Bank
Rintisan perbankan syariah muali mewujud di
Mesir pada dekade 1960-an dan beroperasi sebagai rural-social bank
(semacam lembaga keuangan unit desa di Indonesia) di sepanjang sungai Nil
lembaga ini mendapatkan bantuan dari Raja Faisal Arab Saudi. Lembaga dengan
nama Mit Ghamr Bank binaan Prof.Dr. Ahmad Najjar tersebut hanya beroperasi di
pedaesaan Mesir dan berskala kecil, namun institusi tersebut mampu menjadi
pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan sistem finansial dan ekonomi
Islam.
- Islamic Development Bank
Pada sidang menteri luar negeri negara-negara
Organisasi Konfrensi Islam di Karachi, Pakistan, Desember 1970, Mesir
mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan Bank syariah. Proposal yang disebut
Studi Pendirian Bank Islam Internasional untuk perdagangan dan pembangunan
(Internasional Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian
federasi Bank Islam (Federation of Islamic Bank), dikaji oleh para ahli dari 18
negara Islam.
Proposal tersebut pada Intinya mengusulkan bahwa
sistem keuangan berdasarkan bunga harus diganti dengan suatu sistem kerja sama
dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima.
Sidang menyetujui rencana mendirikan Bank Islam Internasional dan Federasi Bank
Islam.
Perkembangan Bank Syariah Dibeberapa Negara
- Pakistan
Pakistan merupakan pelopor di bidang perbankan syariah. Pada awal Juli 1979, sistem
bunga di hapuskan dari opersonal tiga institusi : National Investment (Unit
Trust), House Building Finance Corporation (pembiayaan sektor perumahan), dan
Mutual Funds of the Investment Corporation of Pakistan (kerja sama
investasi). Pada tahun 1979-80, pemerintah mensosialisasikan skema pinjaman tanpa bunga
kepada petani dan nelayan.
Pada tahun 1981, seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang perusahaan Mudharabah
dan Murabahah, mulailah beroperasi tujuh ribu cabang bank komersial
nasional di seluruh Pakistan dengan menggunakan sistem bagi hasil. Pada awal tahun 1985, seluruh
sistem perbankan Pakistan dikonversi dengan sistem yang baru, yaitu perbankan
syariah.
- Mesir
Bank syariah pertama yang didirikan di Mesir adalah Faisal Islamic Bank.
Bank ini mulai beroperasi pada bulan maret 1978 dan berhasil membukukan hasil
yang mengesankan dengan total aset sekitar 2 miliar dolar AS. Selain
Islamic Bank, terdapat bank lain, yaitu Islamic International Bank of
Investment and Development yang beroperasi dengan menggunakan instrumen
keuangan Islam dan menyediakan jaringan yang luas. Bank ini beroperasi, baik
sebagai bank investasi (investment bank), bank perdagangan (merchant
bank), maupun bank komersial (commercial bank).
- Siprus
Faisal Islamic Bank of Kirbis (Siprus) mulai beroperasi pada Maret 1983 dan
mendirikan Faisal Islamic Investment Corporation yang memiliki cabang di Siprus
dan 1 cabang di Istambul. Dalam sepuluh bulan awal operasinya, bank tersebut
telah melakukan pembiayaan dengan skema murabahah senilai sekitar
sekitar TL 450 juta (TL atau Turkey Lira, mata uang Turki).
Bank ini
juga melaksanakan pembiayaan dengan skema musyarakah dan mudharabah, dengan
tingkat keuntungan yang bersaing dengan bank non syariah. Kehadiran bank Islam
di Siprus telah menggerakan masyarakat untuk menabung. Benk ini beroperasi
dengan mendatangi desa-desa, pabrik dan sekolah dengan menggunkan kantor kas
(mobil) keliling untuk mengumpulkan tabungan masyarakat. Selain
kegiatan-kegiatan di atas, mereka juga mengelolah dana-dana lain seperti al-qardhul
hasan dan zakat.
- Kuwait
Kuwait Finance House didirikan pada tahun 1977 dan sejak awal beroperasi
dengan sistem tanpa bunga. Institusi ini memiliki puluhan cabang di Kuwait dan
telah menunjukan perkembangan yang cepat. Selama dua tahun saja, yaitu 1980
hingga 1982, dana masyarakat yang terkumpul meningkat dari sekitar KD149 juta
menjadi KD474 juta. Pada akhir tahun 1985, total aset mencapai KD803 juta dan
tingkat keuntungan bersih mencapai KD17 juta (satu Dinar Kuwait ekuivalen
dengan 4 hingga 5 dólar US).
- Bahrain
Bahrain merupakan off-shore banking heaven terbesar di Timur Tengah.
Di negeri yang hanya berpenduduk tidak lebih dari 660.000 jiwa (perDesember
1999) tumbuh sekitar 220 local dan off-shore banks. Tidak kurang
dari 22 di antaranya beroperasi berdasarkan syariah. Di antara bank-bank yang
beroperasi secara syariah tersebut adalah Citi Islamic Bank of Bahrain
(anak perusahaan Citi Corp.N.A), Faysal Islamic Bank of Bahrain, dan
al-Barakah Bank.
- Uni Emirat Arab
Dubai Islamic Bank merupakan salah satu pelopor perkembangan bank syariah.
Didirikan pada tahun 1975. investasinya meliputi bidang perumahan,
proyek-proyek industri, dan aktivitas komersial. Selama beberapa tahun, para
nasabahnya telah menerima keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan bank
konvensional.
- Malaysia
Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) merupakan bank syariah pertama di Asia
Tenggara. Bank ini didirikan pada tahun 1983, dengan 30 persen modal merupakan
milik pemerintah federal. Hingga akhir 1999, BIMB telah memiliki lebih dari
tujuh puluh cabang yang tersebar hampir di setiap negara bagian dan kota-kota
Malaysia.
Sejak beberapa tahun yang lalu, BIMB telah tercatat sebagai listen-public
company dan masoritas sahamnya dikuasai oleh Lembaga Urusan dan Tabungan
Haji.
Pada tahun 1999, di samping BIMB telah hadir satu bank syariah baru dengan
nama Bank Bumi Putra Muamalah. Bank ini merupakan anak perusahaan dari Bank
Bumi Putera yang baru saja melakukan merger dengan Bank of Commerce.
Di negeri jiran ini, di samping full pledge islamic banking, pemerintah
Malaysia memperkenankan juga sistem Islamic Window yang memberikan
layanan syariah pada bank konvensional.
- Iran
- Ide pengembangan perbankan syariah di Iran sesungguhnya bermula sesaat sejak Revolusi Islam Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini pada tahun 1979, sedangkan perkembangan dalam arti rill baru dimulai sejak Januari tahun 1984.
- Berdasarkan ketentuan/undang-undang yang disetujui pemerintah pada bulan Agustus 1983. Sebelum undang-undang tersebut dikeluarkan sebenarnya telah terjadi transaksi sebesar lebih dari 100 miliar rial yang diadministrasikan sesuai dengan sistem syariah.
- Islamisasi sitem perbankan di Iran di tandai dengan nasionalisasi seluruh industri perbankan yang dikelompokan menjadi dua kelompok besar. (1) perbankan komersial, (2) lembaga pembiayaan khusus. Dengan demikian, sejak dikeluarnya undang-undang perbankan Islam (1983), seluruh sistem perbankan di Iran otomatis beerjalan sesuai syariah di bawah kontrol penuh pemerintah.
- Turki
Sebagai negara yang berideoligi sekuler, Turki termasuk negeri yang cukup
awal memiliki perbankan syariah. Pada tahun 1984, pemerintah Turki memberi izin
kepada Daar al-Maal al-Islam (DMI) untuk mendirikan bank yang beroperasi
berdasarkan perinsip bagi hasil. Menurut ketentuan Bank Sentral Turki, bank
syariah diatur dalam satu yurisdiksi khusus. Setelah DMI berdiri, pada bulan
Desember 1984 didirikan pula Faisal Finance Institutiondan mulai beroperasi
pada bulan April 1985. disamping dua lembaga tersebut, turki memiliki
ratusan-jika tidak ribuan-lembaga waqaf (vaqfi organiyasyonu) yang
memberikan fasilitas pinjaman dan bantuan kepada masyarakat.
PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA[2]
Di Indonesia, bank syariah yang pertama didirikan
pada tahun 1992 adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Walaupun perkembangannya
agak terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya, perbankan
syariah di Indonesia akan terus berkembang. Bila pada priode tahun 1992-1998
hanya ada satu unit bank syariah, maka pada tahun 2005, jumlah bank syariah di
Indonesia telah bertambah menjadi 20 unit, yaitu 3 bank umum syariah dan 17
unit usaha syariah. Sementara itu, jumlah bank perkreditan rakyat syariah
(BPRS) hingga akhir tahun 2004 bertambah menjadi 88 buah.
Berdasarkan data bank Indonesia, prospek perbankan
syariah pada tahun 2005 diperkirakan cukup baik. Indusri perbankan syariah
diprediksi masih akan berkembang dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi.
Jika pada posisi November 2004, volume usaha perbankan syariah telah mencapai
14,0 triliun rupiah, dengan tingkat pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2004
sebesar 88,6%, volume usaha perbankan syariah di akhur tahun 2005 diperkirakan
akan mencapai sekitar 24 triliun rupiah. Dengan volume tersebut, diperkirakan
industri perbankan syariah akan mencapai pangsa sebesar 1,8% dari industri
perbankan nasional dibandingkan sebesar 1,1% pada akhir tahun 2004. Pertumbuhan
volume usaha perbankan syariah tersebut ditopang oleh rencana pembukaan unit
usaha syariah yang baru dan pembukaan jaringan kantor yang lebih luas. Dana
pihak ketiga (DPK) diperkirakan akan mencapai jumlah sekirat 20 triliun rupiah
dengan jumlah pembiayaan sekitar 21 triliun rupiah di akhir tahun 2005.
Sementara itu, riset yang dilakukan oleh Karim
Business Consulting pada tahun 2005 menunjukan bahwa total aset bank syariah di
Indonesia diperkirakan akan lebih besar dari pada apa yang diproyeksikan oleh
Bank Indonesia. Dengan menggunakan KARIM Growth Model, total aset bank syariah
di Indonesia diproyeksiakan akan mencapai antara 1,92% sampai 2,31% dari
industri perbankan nasional. Model ini dikembangkan dengan pendekatan rational
expectation atau dengan memanfaatkan all relevan information available dan
mensimulasikan proyeksi pertumbuhan aset masing-masing BUS/UUS (organik) dan
proyeksi BUS/UUS baru (non-organik) yang kemudian dilahirkan agregasi
pertumbuhan.
Tabel perbandingan proyeksi aset bank syariah di Indonesia
Tahun
|
Proyeksi
aset
versi KBC
(Rp T)
Low
|
Proyeksi
aset
versi KBC
(Rp T)
High
|
Proyeksi
total
aset
bank
(Rp T)
|
Proyeksi
Porsi aset
terhadap
aset total
bank versi
KBC
(Low)
|
Proyeksi
Porsi aset
terhadap
aset total
bank versi
KBC
(Low)
|
Proyeksi
Porsi aset
terhadap
aset total
bank versi
KBC
(Low)
|
2005
|
25
|
30
|
1300
|
1.92%
|
2.31%
|
1.85%
|
2006
|
40
|
50
|
1350
|
2.96%
|
3.70%
|
2.79%
|
2007
|
75
|
80
|
1400
|
5.36%
|
5.71%
|
3.94%
|
2008
|
100
|
120
|
1500
|
6.67%
|
8%
|
5.18%
|
2009
|
150
|
180
|
1600
|
9.38%
|
11.25%
|
6.45%
|
2010
|
200
|
220
|
1700
|
11.77%
|
12.94%
|
7.67%
|
2011
|
300
|
360
|
1800
|
16.67%
|
20%
|
9.10%
|
Lahirnya
undang-undang sebagai babak baru perkembangan bank syariah d
Setelah berdirinya 2 jenis bank yang
beroperasi berdasarkan prinsip syariah yaitu Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS) dan Bank Muamalat Indonesia BMI sebagai bank umum. Lalu disusulnya
dengan disahkannya undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang
merupakan dari undang-undang yang berlaku sebelumnya yakni UU No.14 1967
tentang pokok-pokok perbankan.
Lahirnya undang-undang No.7 Tahun
1992 tersebut, yang didalamnya telah memuat landasan hukum beroperasinya bank
syariah, dan menandai dimulainya babak baru bagi perkembangan bank syariah di
Indonesia. Khusus bagi umat Islam lahirnya undang-undang perbankan tersebut
jelas mempunyai makna tersendiri, karena disamping lahirnya undang-undang
tersebut tidak terlepas dari perjuangan umat Islam yang sudah lama menginginkan
adanya bank yang beroperasi.
Dalam undang-undang tersebut
pengaturan mengenai bank syariah baru dinyatakan secara implisit dengan menggunakan
istilah "bank berdasarkan prinsip bagi hasil ". Namun terlepas dari
berbagi kekurangan dan kelemahan pengaturan mengenai bank syariah dalam
undang-undang tersebut, secara yuridis ketentuan yang terdapat dalam
undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut sudah dapat dijadikan landasan hukum
untuk mendirikan suatu bank yang beroperasi sesuai hukum Islam di Indonesia.
Selanjutnya, pada tahun 1998
disahkan undang-undang No. 10 1998 tentang perubahan atas undang-undang No. 7
Tahun 1992 tentang perbankan. undang-undang perbankan tersebut merupakan
amandemen dari undang-undang No. 7 1992.
Dalam undang-undang tersebut
terdapat beberapa perubahan yang tidak saja semakin mempertegas eksistensi dan
legitimasi bank syariah sekaligus juga memberikan peluang yang lebih besar bagi
pengembangan perbankan syariah itu sendiri di Indonesia.
Perubahan yang terdapat dalam
undang-undang tersebut dipertegas dalam pasal 1 ayat 3 dan 4 undang-undang
tersebut yang menyebutkan dengan tegas istilah "bank berdasarkan prinsip
syariah". Pasal tersebut juga telah merinci dengan jelas landasan hukum
serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank
syariah sebagaimana diuraikan dalam pasal 1 ayat 13 dan pasal 6 serta pasal 7,
sekaligus juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka
cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 6 huruf M dan pasal 13 huruf C undang-undang
tersebut
BANK ISLAM DALAM TATA HUKUM PERBANKAN INDONESIA
1. Sistem
Perbankan di Indonesia[4]
Menurut Emirzon sistem perbankan itu
adalah "suatu tatanan yang didalamnya terdapat berbagai jenis bank yang
terkait satu sama lain dan merupakan suatu kesatuan dengan mengikuti suatu
aturan tertentu". Sedangkan menurut Hermansyah sistem perbankan itu adalah
"suatu sistem yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara dan proses melaksanakan keggiatan usahanya secara
keseluruhan".
Berbicara mengenai sistem perbankan
di Indonesia tidak lain harus mengacu pada undang-undang No. 10 Tahun
1998. Mengacu pada undang-undang perbankan tersebut, salah satu aspek yang
perlu dipahami dalam sistem perbankan di Indonesia diakui adanya bank yang
beroperasi berdasarkan prinsip syariah disamping perbankan konvensional yang
dikenal dengan istilah dual banking system.
2.Bank Syariah Sebagai Bagian
Yang Integral dari Perbankan Nasional
Dalam pasal 1 ayat (3) dan (4) UU
No.10 tahun 1998 yang menyatakan bahwa:
"Bank umum adalah bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan
prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkanprinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran"
Dalam pasal 1 ayat (7) UU No.21
Tahun 2008 :
"Unit Usaha Syariah, yang
selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum
Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di
kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah."
Dari ketentuan UU No.10 tahun 1998 pasal tersebut dapat dipahami bahwa suatu
bank, yakni bank umum maupun bank perkreditan rakyat, dalam melaksanakan
kegiatan usahanya dapat dilakukan secara konvensional, juga dapat dilakukan
berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tersebut,
suatu bank baik itu bank umum maupun bank perkreditan rakyat, dalam hal
menjalankan fungsinya atau melaksanakan kegiatan usahanya ada dua pilihan,
yakni dapat dilakukan secara konvensional (sistem bunga) dan/atau berdasarkan
prinsip syariah. Hanya saja perbedaanya, bagi bank umum dalam melaksanakan
kegiatan usahanya diperkenankan memilih, yakni bisa melakukan kegiatan usaha
secara konvensional saja, atau dengan prinsip syariah saja, atau boleh juga
dengan menerapkan kedua-duanya secara berbarengan. Sedangkan bank perkreditan
rakyat hanya diperkenankan memilih salah satu dari kedua jenis kegiatan usaha
perbankan tersebut, yakni kegiatan usaha perbankan konvensional saja, atau yang
berdasarkan prinsip syariah saja. Namun dalam UU No.21 Tahun 2008 di pertegas
dengan dibuatnya UUS bagi Bank konvensional yang iingin melakukan kegiatan
usahanya dengan prinsip-prinsip syariah sebagi induk dari kantor atau unit yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Dengan diakuinya eksistensi bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah,
di samping yang beroperasi secara konvensional dalam UU perbankan tersebut,
maka dengan sendirinya dalam sistem perbankan nasional terdapat dua sistem bank
(dual banking system), yakni bank yang beroperasi secara prinsip syariah
dan bank yang beropersi secara konvensional. Dengan demikian kedudukan bank syariah tersebut tidak lain merupakan bagian
integral dari sistem perbankan nasional yang berlaku saat ini.
Adapun konsekuensi dari kedudukan bank syariah tersebut yang merupakan bagian
dari sistem perbankan nasional, dalam operationalnya bank harus tunduk pada
ketentuan peraturan perundangan di bidang perbankan syariah itu sendiri, ia
juga harus tunduk pada segala aturan umum yang menjadi landasan hukum perbankan
nasional, kecuali hal-hal yang secara khusus ditentukan lain oleh UU Perbankan
tersebut.
- Pengaturan Bank Syariah dalam Undang-Undang Perbankan
Pada tanggal 16
Juli, disahkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94. Inilah
undang-undang yang yang spesifik mengatur tentang perbankan syariah. Ini
merupakan kebijakan publik yang menjadi payung hukum yang kuat dalam
operasional pebankan syariah di Indonesia.
UU Perbankan
Syariah memberikan peluang aktivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan
beragam dibandingkan dengan bank konvensional. Terdapat usaha-usaha yang bisa
dilakukan BUS dan tidak dapat dilakukan bank konvensional. Perbankan syariah
dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh investment banking
karena jasa-jasa bank syariah merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan
oleh commercial bank, finance company, dan merchant bank.
Selain usaha
komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi sosial dalam bentuk
lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak,
sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi
pengelola zakat, dan menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya
keada lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif).
Dalam pasal 4
UU No.21 Tahun 2008 disebutkan :
(1) Bank Syariah dan UUS wajib
menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
(2) Bank Syariah dan UUS dapat
menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana
yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan
menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
(3) Bank Syariah dan UUS dapat
menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada
pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
Hal ini yang membuat bank syariah menjadi bank yang unik jika dibandingkan
dengan bank konvensional karena selain mencari keuntungan dunia (profit) bank
juga sebagai fasilitator bagi nasabah untuk melaksanakan ibadah untuk
mendapatkan keuntungan akhirat.
- Sikap Undang-Undang perbankan mengenai Perbankan Islam[5]
Sekalipun
Indonesia bukan negara Islam, yaitu negara yang berdasarkan hukum Syariah,
tetapi Indonesia adalah negara muslim, yaitu negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam. Sebagai negara muslim, kebutuhan bagi para pendudukIndonesia
yang muslim atau yang beragama Islam akan adanya suatu bank yang berusaha
dengan berlandaskan Prinsip syariah, suatu barang tentu sangat diperlukan.
Berkenaan dengan itu, Undang-undang No 7 Tahun 1992 jo Undang-undang No 10
tahun 1998 menampung kebutuhan tersebut. Sekalipun bank Islam di dalam
Undang-undang tersebut tidak disebutkan sebagai suatu jenis bank tersendiri di
samping bank umum dan bank perkreditan rakyat, tetapi suatu bank umum atau bank
perkreditan rakyat boleh melakukan usahanya tiak berdasarkan bunga, tetapi
berdasarkan prinsip Syariah.
Dalam
Undang-undang perbankan No 7 tahun 1992 belum disebutkan secara tegas tentang
keberadaan bank yang emlakukan kegiatannya berdasarkan prinsi Syariah.
Undang-undang tersebut hanya secara samar-samar memberikan indikasi mengenai
kemungkinan suatu bank memberikan fasilitas kredit dengan imbalan atau
pembagian hasil keuntungan ketika pasal 1 ayat (12) yang dimaksud dengan kedit
ialah :
Penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara pihak bank dan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam umtuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Berbeda dengan sikap Undang-undang No 7 tahun 1992 yang diubahnya,
Undang-undang No 10 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No 7 tahun 1992
tentang perbankan mengakui secara tegas tentang pembiayaan berdasarkan prinsip
Syariah yang dapat dilakukan oleh suatu bank, baik bank umum maupun bank
perkreditan rakyat. Hal itu dapat diketahui dari bunyi pasal 1 ayat (12), pasal
6 huruf n, paal 7 huruf c, pasal 29 ayat (3), dan pasal (37) ayat 1 huruf c,
dan dipertegas dalam UU No.21 Tahun 2008 Pasal 19 dan 20
Pada saat ini
bank Indonesia telah mengeluarkan surat keputusan Direksi Bank Indonesia
No.32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang bank umum Berdasarkan Syariah dan
No.32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank
Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah. Kedua surat keputusan direksi
Bank Indonesia tersebut, pedoman yang dpakai oleh BUS atau Bank Perkredian
rakat Syariah adalah peraturan pemerintah No.72 tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil (PP No.72/1992).
Peraturan pemerintah tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No7 tahun 1992 tentang perbankan. Marilah sejenak kita melihat bagaimana
PP No72 tahun 1992 tersebut mengatur bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
Dalam pasal 1 ayat (1) PP No.72 tahun 1992 disebutkan bahwa :
Bank berdasarkan prinsip bagi
hasil adalah bank umum atau bank perkreditan rakyat yang melakukan kegiatan
usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
Mengenai
tentang prinsip bagi hasil itu disebutkan dalam pasal 3 PP No.72 tahun 1992 itu sebagai berikut :
(1)
prinsip bagi hasil sebagaimana dimaksud daam pasal 1 ayat (1) adalah
prinsip bagi hasil berdasarkan Syariah yang digunakan yang digunakan oleh bank
berdasarkan prinsip
bagi hasil dalam :
a. menetapkan imbalan yang akan
diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan/pemanfaatan dana
masyarakat yang dipercayakan kepadanya,
b. menetapkan imbalan yang akan
diterima sehubung dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk
pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja,
c. menetapkan imbalan sehubungan
dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan olah bank dengan prinsip
bagi hasil.
(2) pengertian
prinsip bagi hasil dalam penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, termasuk pula kegiatan
usaha jual beli.
Pertanyaan yang
timbul ialah, apakah suatu bank umum atau suatu bank perkreditan rakyat yang
melakukan kegiatan bank yang berdasarkan bunga sekaligus juga boleh melakukan
kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip Syariah? Sebaliknya pula, apakah
suatu bank umum atau suatu bank perkreditan rakyat yang melakukan kegiatan bank
berdasarkan prinsip Syariah boleh pula melakukan kegiatan perbankan
konvensional berdasarkan bunga?
Menurut pasal 6
PP No.72 tahun 1992, hal yang dipertanyakan itu tidak mungkin dilakukan. pasal
6 PP No.72 tahun 1992 itu menentukan sebagai berikut:
1.
bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahnya semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenanakan melakukan kegiatan usaha
yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
2.
bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahnya tidak berdasarkan
prinsip bagi hasil tidak diperkenanakan melakukan kegiatan usaha yang
berdasarkan prinsip bagi hasil.
Namun dengan
berlakunya undang-undang No.10 tahun 1998, sebagaimana hal itu ternyata dari
penjelasan pasal 6 huruf (m), bank umum yamg melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah,
namun dilakukan oleh kantor cabang khusus semata-mata melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip Syariah saja.dengan kata lain, suatu cabang bank
konvensional tidak boleh melaksanakan secara berbarengan kegiatan
usahaperbankan konvensional dan kegiatan usaha perbankan berdasarkan Prinsip
Syariah.
Sedangkan bank
Umum yang melakukan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah (bank umum
syariah) tidak di benarkan sama sekali untuk melakukan kegiatan usaha secara
konvensional, sekalipun kegiatannya itu dilakukan dengan cara membuka suatu
kantor cabang yang khusus hanya melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
Dengan demikian, UU No.10 Tahun 1998 memberikan perlakuan yang berbeda antara
bank umum yang melakukan kegiatan usaha secar konvensional dan benk umum yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 6 huruf (m) tersebut.
Penertian bank
umum dan bank perkreditan rakyat sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 UU No. 10
Tahun 1998 mendukung pula penjelasan tersebut di atas. Menurut Pasal 1 ayat 3
Undang-Undang Perbankan, bank umum didefinisikan sebagai berikut :
Bank umum adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip
Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dari pengertian
mengenai bank umum sebagaimana dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa bank
umum boleh memilih untuk melakukan jenis kegiatannya, yaitu hanya melakukan
kegiatan usaha perbankan konvensional saja, atau berdasarkan Prinsip Syariah
saja atau melakukan kedua kegiatan tersebut. Namun sebagaimana telah
diterangkan dari penjelasan pasal 6 huruf (m) diatas, apabila bank umum yang
melakukan kegiatan usaha perbankan konvensional juga ingin melakukan kegiatan
usaha perbankan berdasarkan Prinsip Syariah, bank umum tersebut harus
melakukannya dengan membuka cabang khusus untuk melakukan kegiatan tersebut.
Dengan kata lain, bank umum konvensional boleh membuka double window,
yaitu conventional window dan Islamic window, namun tidak boleh
mencampuradukan keduia window itu dalam suatu kantor cabang bank yang
bersangkutan.
KESIMPULAN
Di Indonesia,
bank syariah yang pertama didirikan pada tahun 1992 adalah Bank Muamalat
Indonesia (BMI). Walaupun perkembangannya agak terlambat bila dibandingkan
dengan negara-negara Muslim lainnya, perbankan syariah di Indonesia akan terus
berkembang. Bila pada priode tahun 1992-1998 hanya ada satu unit bank syariah,
maka pada tahun 2005, jumlah bank syariah di Indonesia telah bertambah menjadi
20 unit, yaitu 3 bank umum syariah dan 17 unit usaha syariah. Sementara itu,
jumlah bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) hingga akhir tahun 2004 bertambah
menjadi 88 buah.
Berdasarkan data bank Indonesia,
prospek perbankan syariah pada tahun 2005 diperkirakan cukup baik. Indusri
perbankan syariah diprediksi masih akan berkembang dengan tingkat pertumbuhan
yang cukup tinggi. Jika pada posisi November 2004, volume usaha perbankan
syariah telah mencapai 14,0 triliun rupiah, dengan tingkat pertumbuhan yang
terjadi pada tahun 2004 sebesar 88,6%, volume usaha perbankan syariah di akhur
tahun 2005 diperkirakan akan mencapai sekitar 24 triliun rupiah. Dengan volume
tersebut, diperkirakan industri perbankan syariah akan mencapai pangsa sebesar
1,8% dari industri perbankan nasional dibandingkan sebesar 1,1% pada akhir
tahun 2004. Pertumbuhan volume usaha perbankan syariah tersebut ditopang oleh
rencana pembukaan unit usaha syariah yang baru dan pembukaan jaringan kantor
yang lebih luas. Dana pihak ketiga (DPK) diperkirakan akan mencapai jumlah
sekirat 20 triliun rupiah dengan jumlah pembiayaan sekitar 21 triliun rupiah di
akhir tahun 2005.
DAFTAR
PUSTAKA
Syafi'i Antonio, Muhammad. Bank Syariah Dari Teori
ke Praktek, Gema Insani 2001, Jakarta.
Karim, Adiwarman. Bank Islam, Rajawali Press,
2008.
Remy Sjahdeini, Sutan. Perbankan Islam dan
Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama
Grafitti. 2007.
Basir, Cik. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
di Pengadilan Agama & Mahkamah Syar'iyah. Kencana, Jakarta 2009.
Halim, abdul. Politik Hukum Islam
di Indonesia. Badan litbang dan diklat Depag RI. Jakarta, 2008.
[5]
Prof.Drr.Sutan Remy Sjahdeini, S.H, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam
Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti 2007
0 Response to "PRAKTIK PERBANKAN PADA ZAMAN NABI MUHAMMAD SAW DAN SAHABAT"
Post a Comment