KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Taufik dan
Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan
saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena
pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada
para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Ranai, 7 Maret
2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
1
A.
Latar Belakang
1
B.
Rumusan Masalah
1
BAB II PEMBAHASAN
2
A.
Mengenal Lebih Dekat Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i
Rahimahullahu 2
a.
Silsilah dan Kelahiran Imam Syafi’i
2
b. Sewaktu Imam
Syafi’i dalam Kandungan
2
c.
Pada hari Imam Syafi’i Lahir
3
d. Perjalanan
Imam Syafi’i Dalam Menuntut Ilmu
3
e.
Guru Imam Syafi’I
4
f.
Kitab-Kitab Karangan Imam Syafi’i
5
g. Wafatnya Imam Syafi’i
5
B. Sejarah Munculnya Madzhab Syafi’i
5
C. Periode
Fiqih Imam Syafi’i
6
a.
Periode Pertama
6
b. Periode
Kedua
6
c.
Periode Ketiga
6
D. Cara-Cara
Ijtihad Imam Syafi’i
7
E. Qaul Qadim
dan Qaul Jadid
8
BAB II
PENUTUP
10
A. Kesimpulan
10
B. Saran
10
DAFTAR
PUSTAKA
11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tarikh
Tasyri’ merupakan salah satu kajian penting yang membahas sejarah legislasi
pembentukan hukum syari’at Islam, asas tasyri’ dalam al Qur'an, penetapan dan
sumber hukum pada Nabi, para sahabat dan fuqaha dalam generasi pertama.
Tumbuhnya embrio golongan politik dan pengaruhnya atas perkembangan hukum Islam
masa berikutnya. Sehingga munculah istilah-istilah fiqh dan tokoh-tokoh
mujtahid, serta pembaruan pemikiran hukum pada masa pasca kejumudan dan
reaktualisasi hukum Islam di dunia Islam.
Oleh karena itu, untuk membuka jalan
menuju destinasi serta mengetahui urgensinya, maka perlu sebuah kajian dan
pembahasan dalam memahami fiqih Islam dengan bentuk kajian ilmiah sesuai dengan
metodologi penyelidikan tentang definisi syari’at, fiqih, periodisasi
perkembangan hukum Islam, sumber-sumber hukum Islam serta madzhab-madzhab
fiqih. Namun dalam makalah ini akan lebih difokuskan terhadap
pembahasan perkembangan tarikh tasyri’ pada masa Imam Syafi’i.
B.
Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembaca dalam
memahami makalah ini, kami mencoba merumuskan bebarapa topik atau masalah
seputar perkembangan tarikh tasyri’ pada masa Imam Syafi’i, yaitu sebagai
berikut:
1.
Bagaimanakah Biografi Imam Syafi’i Rahimahullahu?
2.
Bagaimanakah Sejarah Munculnya Madzhab Syafi’i?
3.
Kapan Saja Periode Fiqih Imam Syafi’i?
4.
Bagaimana Cara Ijtihad Imam Syafi’i?
5.
Apa Saja Pendapat Imam Syafi’i Mengenai Qaul Qadim dan Qaul Jadid?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mengenal Lebih Dekat Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i
Rahimahullahu
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “sesungguhnya Allah telah mentakdirkan
pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan sunnah dan akan
menyingkirkan pendusta terhadap Nabi Muhammad SAW. Kami berpendapat pada
seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada
seratus tahun berikutnya Allah mentakdirkan Imam Syafi’i.”
a.
Silsilah dan Kelahiran Imam Syafi’i
Beliau
bernama Muhammad bin Idris. Gelar beliau abu abdillah. Orang Arab dalam
menuliskan nama biasanya mendahulukan gelar dari nama sehingga nama beliau
adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris. Nasab beliau bertemu dengan nasab
Rasulullah SAW pada diri Abdu Manaf (suku Quraisy). Nasab beliau dari
ayahandanya ialah bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi’i bin Saib bin Abdu
Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf. Sedangkan dari ibunya ialah
binti Fathimah binti Abdullah bin al Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Dari silsilah tersebut, jelaslah bahwa Imam Syafi’i masih keturunan dari Nabi
Muhammad SAW.
Beliau dilahirkan di Gaza pada tahun 150 H dan wafat di
Mesir pada tahun 204 H. Ibunya keturunan Yaman dari kabilah Azdi dan memiliki
jasa yang besar dalam mendidik beliau. Sedangkan ayahnya meninggal dunia ketika
beliau masih dalam buaian. Kemudian ibunya membawa beliau ke Makkah agar dapat
hidup bersama orang-orang Quraisy, bertemu dengan nasabnya yang tinggi.
Sejarah
telah mencatat bahwa ada dua kejadian penting sekitar kelahiran Imam Syafi’i,
yaitu:
b. Sewaktu Imam
Syafi’i dalam Kandungan
Ibunya
bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnys dan terus naik membumbung
tinggi, kemudian bintang itu pecah dan berserakan menerangi daerah-daerah
sekelilingnya. Ahli mimpi menta’birkan bahwa ia akan melahirkan seorang putera
yang ilmunya akan meliputi seluruh jagad.
c.
Pada hari Imam Syafi’i Lahir
Ada dua orang ulama’ besar yang meninggal dunia, seorang di
Baghdad yaitu Imam Abu Hanifah dan di Mekkah yaitu Imam Ibnu Juraij al Makky. Dengan
peristiwa tersebut, orang-orang yang ahli dalam ilmu firasat meramalkan bahwa
ini suatu pertanda bahwa anak yang lahir ini akan menggantikan yang meninggal
dalam kemahiran dalam urusan pengetahuan.
d. Perjalanan
Imam Syafi’i Dalam Menuntut Ilmu
Pusat ilmu
pengetahuan pada masa itu adalah di Makkah, Madinah, Irak (Kuffah), Syam dan
Mesir. Selama beliau di Makkah, beliau berkecimpung dalam menuntut ilmu
pengetahuan khususnya yang bertalian dengan agama Islam sesuai dengan kebiasaan
anak-anak kaum Muslimin ketika itu. Imam Syafi’i belajar membaca al Qur’an
kepada Ismail bin Qusthanthein dan dalam usia 9 tahun beliau telah dapat
menghafal al Qu’an 30 juz.
Imam Syafi’i juga tertarik dengan syair-syair bahasa Arab
klasik, sehingga sewaktu-waktu beliau datang ke kabilah-kabilah Badui di Padang
Pasir, kabilah Hudzail, dan lain-lain. Terkadang beliau tinggal lama di kabilah
tersebut untuk mempelajari sastra Arab, sehingga akhirnya Imam Syafi’i mahir
dalam kesusastraan Arab kuno dan beliau juga hafal syair dari Imrun al Qais,
syair Zuheir dan Syair Djarir.
Beliau di kota Makkah belajar ilmu fiqih kepada Imam Muslim
bin Khalid az Zanniy, seorang guru besar dan mufti di makkah pada masa itu. Dan dalam
usia 10 tahun beliau mampu menghafal kitab fiqih karangan Imam Maliki yaitu
kitab al Muwatha’. Karena kepandaiannya, dalam usia 15 tahun beliau diberi izin
oleh gurunya tersebut untuk mengajar di Masjidil Haram tentang hukum-hukum yang
bersangkutan dengan agama. Beliau juga belajar ilmu hadits kepada Imam
Sufyan bin Uyainah.
Setelah
beliau menghafal kitab al Muwatha’, beliau pergi ke Madinah untuk belajar
kepada Imam Malik. Sambil belajar dengan Imam Malik, beliau juga menyempatkan
diri untuk pergi ke perkampungan untuk bertemu dengan penduduk dan juga pergi
ke Makkah untuk bertemu dengan ibunya untuk meminta nasihat. Dengan belajar
ilmu pengetahuan kepada Imam Malik, beliau mendapat banyak kenalan dari
ulama’-ulama’ yang datang ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik.
Setalah 2 tahun di Madinah, Imam Syafi’i berangkat ke Irak
(Kuffah dan Baghdad), dimana beliau bermaksud untuk menemui ulama-’ulama’ ahli
fiqih dan ahli hadits yang berada di Irak.
Sampai di Kuffah beliau menemui ulama’-ulama’ sahabat
almarhum Imam Abu Hanifah, yaitu guru besar Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan
dimana Imam Syafi’i sering bertukar fikiran dan diberi pengetahuan tentang
agama oleh beliau berdua. Dalam kesempatan ini, Imam Syafi’i dapat mengetahui
cara-cara atau aliran fiqih dalam madzhab Hanafi yang agak jauh bedanya dengan
cara-cara atau aliran fiqih dalam madzhab Maliki. Imam Syafi’i
ketika itu dapat mendalami dan menganalisa cara-cara yang dipakai oleh kedua
Imam itu.
Beliau tidak lama di Irak ketika itu dan terus mengembara ke
Persi, Anadholi (Turki), dan ke Ramlah (Palestina) dimana diperjalanan beliau
banyak menjumpai ulama’ baik Tabi’in maupun Tabi’-tabi’in. Pada
kesempatan ini beliau mengetahui adat bangsa-bangsa selain bangsa Arab, hal ini
nantinya membantu beliau dalam membangun fatwanya dalam madzhab Syafi’i.
Sesudah 2
tahun mengembara, Imam Syafi’i kembali ke Madinah dan kembali kepada guru
besarnya yaitu Imam Maliki. Imam Maliki bertambah kagum dengan ilmu Imam
Syafi’i dan bahkan sudah ada pertanda dari Imam Maliki bahwa ilmu Imam Syafi’i
sudah melebihi ilmunya. Imam Maliki memberi izin kepada Imam Syafi’i untuk
memberi fatwa sendiri dalam ilmu fiqh, artinya tidak berfatwa atas dasar aliran
Imam Maliki dan juga tidak atas dasar aliran Imam Hanafi, tetapi berfatwa atas
dasar madzhab sendiri.
e.
Guru Imam Syafi’i
Imam Syafi’i
dari sejak kecil memang mempunyai sifat “pecinta ilmu”. Maka sebab itu
bagaimana pun keadaannya, beliau tidak segan menuntut ilmu pengetahuan kepada
orang-orang yang dipandangnya mempunyai keahlian tentang ilmu yang sedang
dituntutnya.
Di antara guru-guru beliau yang terkenal ketika beliau di
Makkah, yaitu Imam Muslim bin Khalid, Imam Ibrahim bin Sa’id, dan Imam Sufyan
bin Uyainah; dan ketika di Madinah, yaitu Imam Malik bin Anas. Beliau tidak
hanya berguru kepada para ulama’ di kota Makkah dan Madinah, tetapi juga
berguru kepada ulama di negeri lainnya.
Demikian banyaknya guru dari Imam Syafi’i yang tidak mungkin
disebutkan satu-persatu, bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut
nama-nama ulama’ yang pernah menjadi guru beliau, cukuplah membaca kitab
“Musnad Imam Asy Syafi’i”.
f.
Kitab-Kitab Karangan Imam Syafi’i
Imam Syafi’i
selain seorang yang ahli dalam ilmu pengetahuan, beliau adalah seorang
pengarang kitab-kitab yang sangat berguna bagi dunia Islam. Adapun kitab-kitab
karangan beliau yang paling masyhur menurut riwayat yang hingga kini masih
tercatat adalah sebagai berikut:
a)
Kitab Ar Risalah
Kitab ini
khusus berisi ilmu Ushul Fiqh. Dalam kitab ini, Imam Syafi’i mengarang dengan
jelas tentang cara-cara beristimbath, mengambil hukum-hukum dari al Qur’an dan
Sunnah dan cara-cara orang beristidlal dari Ijma’ dan Qiyas. Kitab ini
diriwayatkan oleh Imam ar Rabi’ bin Sulaiman al Murady.
b) Kitab Al Umm
Kitab ini merupakan karya terbesar Imam Syafi’i. Isi kitab
ini menunjukkan kealiman dan kepandaian beliau tentang ilmu fiqh, karena
susunan kalimatnya yang tinggi dan indah, ibaratnya halus serta tahan uji kalau
dipergunakan untuk bertukar fikiran bagi para ahli fikir yang ahli fiqih. Tepatlah
kalau kitab ini dinamakan al Umm yaitu “ibu” bagi anak-anak yang
sebenarnya.
g. Wafatnya
Imam Syafi’i
Imam Syafi’i
wafat pada tahun 204 H dalam usia 54 tahun. Rabi’in bin Sulaiman (murid Imam
Syafi’i) berkata, “Imam Syafi’i Rahimahullahu berpulang kerahmatullah
sesudah menunaikan ibadah shalat maghrib, petang Kamis malam Jumat, akhir bulan
Rajab dan kami makamkan beliau pada hari Jumat. Sorenya kami lihat hilal bulan
Sya’ban 204”.
B.
Sejarah Munculnya Madzhab Syafi’i
Abu
Abdullah Muhammad bin Idris asy Syafi’i setelah ilmunya tinggi dan fahamnya
begitu dalam dan tajam serta mendapatkan izin dari gurunya yaitu Imam Maliki
untuk memberi fatwa dalam fiqih sesuai dengan dasar madzhabnya sendiri, beliau
mulai berijtihad dalam menentukan hukum Islam terlepas dari fatwa-fatwa gurunya
baik Imam Maliki maupun Imam Hambali.
Perlu
diketahui bahwa Imam Syafi’i sebelum melawat ke Irak adalah termasuk salah
seorang ulama’ pengikut madzhab Maliki karena beliau banyak mendapatkan ilmu
pengetahuan dari Imam Maliki. Beliau mengajarkan kitab al
Muwatha’ karangan Imam Maliki kepada para ulama’ yang datang berkunjung
dari luar Madinah. Dan setelah beliau melawat ke Irak, beliau mengajarkan
kitab al Ausath karangan Imam Hanafi serta mempelajari aliran
madzhabnya.
Setelah beliau melawat ke Irak, beliau menemui
beberapa peristiwa yang baru. Kemudian beliau menyesuaikan pendapat-pendapatnya
mengenai hukum dengan beberapa peristiwa baru tersebut. Setelah sekitar 2 tahun
di Irak, beliau melawat ke Mesir dan menetap disana, lalu timbul pula
daripadanya beberapa perubahan dari pendapat-pendapatnya yang lama ketika di
Irak. Kemudiian beliau menyesuaikan pendapatnya dengan beberapa peristiwa yang
baru yang ada di Mesir.
Pada
umumnya ketika Imam Syafi’i datang ke Mesir, para penduduk di kala itu
merupakan pengikut madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Kemudian
setelah beliau mengajarkan pendapatnya yang baru di masjid Amr bin Ash, maka
mulai berkembanglah aliran madzhab beliau di Mesir.
Jadi pada mulanya berkembangnya madzhab Syafi’i ialah
di Mesir. Kemudian berkembang pula di Irak dan mendapat kemajuan di Baghdad.
C.
Periode Fiqih Imam Syafi’i
a.
Periode Pertama
Makkah
adalah periode pertama Imam Syafi’i berkiprah dalam bidang fiqih. Setelah meninggalkan
kota baghdad, dia tinggal di Makkah selama sembilan tahun. Di kota Makkah ini
dia telah mencurahkan waktunya untuk terjun di dunia ilmu pengetahuan. Di sana
ia benar-benar telah mendapatkan kematangan ilmunya dan mampu menghimpun
berbagai hadits yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Karena itu, Imam
Syafi’i sering menemukan pertentangan antara hadits yang satu dengan yang
lainnya dan dalam tataran praktis dia harus mengunggulkan satu pendapat di
antara pendapat-pendapat lainnya. Pengunggulan pendapat tersebut bisa dilihat
dari segi sanad hadits yang dijadikan sandarannya atau dari segi
ketidakberlakuan sebuah dalil (nasikh mansukh).
Di Makkah Imam Syafi’i juga mendalami dalil-dalil al-Qur’an
dan menghimpun berbagai hadits. upaya tersebut membuatnya tahu sejauh mana
kedudukan hadits di sisi al-Qur’an kitab ar-Risalah adalah buah karya
Imam Syafi’i selama periode makkah yang sengaja ia susun atas permintaan
Abdurrahman al-Mahdi.
b. Periode
Kedua
Imam Syafi’i
datang ke kota Baghdad pada tahun 195 H. Dia tinggal di sana selama kurang
lebih tiga tahun. Pada masa ini Imam Syafi’i mulai mengeksplorasi berbagai
pendapat ahli fiqih yang semasa dengannya, pendapat dari para sahabat dan
tabi’in. Di masa ini pula Imam Syafi’i mulai mengekspresikan pendapat-pendapatnya
dengan berpijak pada ushulnya. Kemudian Imam Syafi’i memilih pendapat yang
lebih mendekati ushulnya.
c.
Periode Ketiga
Imam Syafi’i
menghabiskan periode ketiga ini setelah dia pindah ke Mesir pada tahun 199 H.
Di sana dia menetap selama empat tahun, hingga wafat. Di sanalah Imam Syafi’i
mengalami kematangan-kematangannya.
Mengenai
sumber fiqihnya, Imam Syafi;i memiliki lima sumber yang kesemuanya dituturkan
dalam kitabnya al-Umm. Dia berkata “Ilmu memiliki bebeerapa
ingkatan: pertama, al-qur’an dan as-sunnah yang dianggap
valid. Kedua, ijmak dan ini berlaku apabila yang sedang digali tidak
ditemukan, baik di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Ketiga, pendapat
salah satu sahabat lain yang menentangnya. Keempat, sesuatu
yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi Saw. Kelima, Qiyas.
Ketahuilah tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan referensi, selama ada
al-qur’an dan hadits.
D.
Cara-Cara Ijtihad Imam Syafi’i
Seperti Imam
Madzhab lainnya, Imam Syafi’i menentukan thuruq al-istinbath
al-ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya adalah sebagai
berikut :
a. Dhahir-dhahir
Al-Qur’an selama belum ada dalil yang menegaskan, bahwa yang dimaksud bukan
dhahirnya.
b. Sunnatur
Rasul
As-Syafi’i
mempertahankan hadits ahad selama perawinya kepercayaan, kokoh ingatan dan
bersambung sanadnya kepada Rasul. Beliau tidak mensyaratkan selain daripada
itu. Lantaran itulah beliau dipandang Pembela Hadits. Beliau
menyamakan Sunnah yang shahih dengan Al-Qur’an.
c.
Ijma’ menurut pahamnya ialah : ” tidak diketahui ada perselisihan
pada hukum yang dimaksudkan”. Beliau berpendapat, bahwa meyakini telah
terjadi persesuaian paham segala ulama tidak mungkin.
d. Qiyas,
beliau menolak dasar istihsan dan dasar istishlah.
Metodologi ijtihad Imam Syafi’i tidak ada yang menggunakan
logika kecuali terbatas pada Qiyas saja.
e.
Istdlal.
As-Syafi’i dapat memahamkan dengan
baik fiqh ulam Hijaz dan fiqih ulama Iraq dan beliau terkenal dalam medan
munadharah sebagai seorang yang sukar dipatahkan hujjahnya.
E.
Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Ahmad Amin
(II, t.th:231) menjelaskan bahwa ulama membagi pendapat as-syafi’i menjadi dua:
qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadimadalah pendapat as-syafi’i yang
dikemukakan dan di tulis di Irak. Sedangkanqaul jadid adalah pendapat imam
as-syafi’i yang dikemukakan dan di tulis di Mesir.
Muhammad
Sya’ban Ismail mengatakan bahwa pada tahun 195 H, Imam Syafi’i tinggal di irak
pada zaman pemerintahan al-Amin. Di Irak, ia belajar kepada ulama Irak dan banyak
mengambil pendapat Ulama Irak yang termasuk ahlu ra’yi. Di antara ulama irak
yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya adalah
Ahmad Ibn Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani, dan Abu Tsaur.
Setelah
tinggal di Irak, as-Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di
sana . di Mesir, ia bertemu dengan (dan berguru kepada ) ulama Mesir yang pada
umumnya sahabat Imam Malik. Imam Malik adalah penurus fikih ulama Madinah yang
dikenal sebagai ahli hadits . karena perjalanan intelektualnya itu, imam
as-Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut qaul jadid.
Dengan demikian, qaul qadim adalah pendapat imam as-syafi’i yang bercorak
ra’yu. Sedangkan qaul jadid adalah pendapatnya yang bercorak hadits.
Sebab
terbentuknya qaul qadim dan qaul jadid adalah karena imam Syafi’i
mendengar (dan menemukan) hadits dan fiqih yang diriwayatkan ulama mesir yang
tergolong ahlu hadits.ada yang mengatakan bahwa pendapat imam Syafi’i yang
didektekan dan ditulis di Irak disebut qaul qadim.
Para ahli berkesimpulan bahwa
munculnya qaul jadid merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialami oleh
imam Syafi’i dari penemuan hadits, pandangan, dan kondisi sosial baru yang
tidak ia temui selama ia tinggal di Irak dan di Hijaz . dan diantara pendapat
qaul jadid ini dimuat di Kitab Al-Umm.
Contohnya,
dalam masalah tertib wudhu. Qaul qadim mengatakan orang yang
wudhunya tidak tertib karena lupa adalah sah. Sedangkan qaul
jadid mengatakan bahwa orang yang wudhunya tidak tertib, meskipun
karena lupa adalah tidak sah. Contoh lain dalam masalah
tayamum. Qaul qadim mengatakan bahwa seseorang dibolehkan
tayamum dengan pasir. Sedangkan qaul jadid mengatakan bahwa
seseorang tidak dibolehkan tayamum dengan pasir.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Imam Syafi’i merupakan salah satu
dari keempat imam madzhab yang termasyhur. Beliau adalah imam yang memiliki
karakteristik akhlak yang mulia dan memiliki kecerdasan yang luar biasa
sehingga banyak gelar dari para ulama lain untuknya.
Kiprah Imam Syafi’i yang cemerlang berakhir dengan
wafatnya tetapi ilmunya takkan pernah habis dimakan waktu. Cinta manusia
terhadanya, ilmu dan karya-karyanya masih tetap memenuhi bumi sampai sekarang.
Tidak satu pun dijumpai ulama besar kecuali berhutang kepada Imam Syafi’i.
B.
Saran
Demikianlah
yang dapat penulis paparkan sedikit tentang biografi Imam Asy-Syafi’i. Setelah
mengetahuinya, moga menjadikan ghirrah kepada kita
sebagai Thalabul Ilmi untuk dijadikan contoh dalam hidup kita dalam
mensejahterakan seluruh ummat Islam, terkhusus bagi kesejahteraan Negara
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin, Sejarah
dan Keagungan Madzhab Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1972).
Al-Fayyumi, Ibrahim, Muhammad, Imam
Syafi’i Pelopor fikih dan Sastra, (Jakarta: Erlangga), 2009.
Khalil, Rasyad Hasan, Tarikh
Tasyri’ (Sejarah Legislasi Hukum Islam), ( Jakarta: AMZAH,
2009).
Khalil, Munawar, Biografi
Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1955).
Mubarok, Jaih, Sejarah dan
Perkembangan Hukum Islam,(Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2000).
Ash Shiddiqiey, Muhammad Hasbi
Teungku, Pengantar Hukum Islam, (Semarang : PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997).
jazakallah, semoga bisa menambahkan http://vracarsa.blogspot.co.id/2016/05/biografi-singkat-imam-asy-safii.html
ReplyDelete