PERDAGANGAN INTERNASIONAL



BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya, aktivitas ekspor-impor merupakan aktivitas yang dibolehkan menurut Islam. Sebab ekspor-impor merupakan bagian dari kegiatan perdagangan. Perdagangan antar-negara dapat dilakukan secara bilateral maupun multilateral. Hal ini karena antar-negara dapat saling memenuhi kebutuhan satu sama lain.
Sebagai makhluk social, manusia membutuhkan orang lain dan lingkungan sosialnya untuk bersosialisasi dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini karena ada kalanya manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan membutuhkan bantuan orang lain. Seperti juga dalam kehidupan bernegara. Maka, untuk memenuhi kebutuhannya, Negara harus mendatangkan barang dan/atau jasa yang dibutuhkan dari negara lain. Jadi, perdagangan antar-negara merupakan keniscayaan. Terlebih, belakangan ini berkembang perdagangan bebas antar-negara.
Contoh: perdagangan bebas ASEAN dan China (AFCTA) diberlakukan mulai Januari 2013. Juga sedang disiapkan perdagangan bebas dengan Australia dan New Zealand (NZAA-FTA), India, Pakistan, Uni-Eropa dan Asia Pasifik (AFTA).
Perdagangan bebas adalah liberalisasi. Kebijakan ini menimbulkan pro-kontra. Pemerintah dan pendukung perdagangan bebas beranggapan liberalisasi akan membuat perekonomian semakin efisien. Nilai transaksi perdagangan juga akan meningkat pesat. Sementara pihak yang kontra, seperti pengusaha dan buruh, menolaknya. Alasannya, perdagangan bebas akan menggilas pasar produk-produk lokal, sehingga penyerapan tenaga kerja berkurang yang mendatangkan pengangguran.





BAB II
PEMBAHASAN
Perdagangan bebas merupakan turunan dari sistem ekonomi kapitalisme. Salah satu doktrin kapitalisme adalah kebebasan memiliki dan bertransaksi ekonomi. Perdagangan bebas dipandang sebagai metode mendistribusikan barang dan jasa yang efisien. Perdagangan bebas mengeliminasi berbagai hambatan tarif. Harga barang semakin murah dan mudah didistribusikan ke negara lain. Tapi kompetisi tak terelakkan. Barang yang diproduksi dan dipasarkan secara efisien akan eksis, sementara yang tidak efisien akan tersingkir secara alamiah.
Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Negara-negara miskin dan berkembang justru makin merana dalam perdagangan bebas. Serbuan produk impor dari negara maju, yang biaya produksi dan pemasarannya disubdisi besar-besaran oleh negara, menggilas perekonomian Negara miskin dan berkembang sehingga menjadi negara konsumtif.
Padahal jamak diketahui, mulanya negara-negara industri seperti Inggris dan AS sangat memproteksi industri mereka dengan tarif tinggi. Setelah kuat, mereka menuntut perdagangan bebas. Tujuannya agar para kapitalis meraup untung lebih besar, karena pasar produk mereka makin luas. Di sisi lain, berbagai ekspor komoditas negara-negara berkembang ke negara-negara industri, jika mengancam industri dalam negeri mereka, dihambat dengan berbagai regulasi.
Terlepas dari motif-motif “jahat” di balik liberalisasi ekonomi dan perdagangan antar-negara, kegiatan ekspor-impor tidak dapat dielakkan. Karena, sebagaimana disampaikan sebelumnya, sebuah negara bisa jadi tidak dapat memenuhi kebutuhan barang yang dibutuhkan dari dalam negeri, dan harus mendatangkan dari negara lain. Oleh karena itu, hal penting yang perlu dicermati adalah apakah mekanisme perdagangan tersebut dibenarkan menurut syariah atau tidak?
Pasar Bebas dalam Perspektif Islam
Jadi, ekspor-impor adalah kegiatan yang penting bagi negara. Namun sebagai masyarakat dan negara yang beragama, ada beberapa hal yang harus dipedomani. Sebagai agama dan ideologi, Islam memiliki sejumlah regulasi mengenai kegiatan ekspor dan impor. Namun terkait perdagangan luar negeri, Islam memiliki acuan yang sangat kontras mengenai perdagangan bebas.
Pertama, aktivitas perdagangan adalah mubah. Hanya saja, karena perdagangan luar negeri melibatkan negara dan juga warga negara asing, negara Islam, dalam hal ini khalifah, bertanggung jawab untuk mengontrol, mengendalikan dan mengaturnya, sesuai ketentuan syariah. Membiarkannya bebas tanpa kontrol dan intervensi negara, sama dengan membatasi kewenangan negara mengatur rakyatnya. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Imam itu adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.”
Kedua, seluruh barang halal pada dasarnya dapat diperniagakan ke negara lain. Meski demikian, ekspor komoditas tertentu dapat dilarang oleh khalifah, jika menurut ijtihad-nya dapat memberikan dharar bagi negara Islam. Misal ekspor senjata atau bahan-bahan yang bisa memperkuat persenjataan negara luar seperti uranium. Sebab, komoditas itu dapat memperkuat negara luar untuk melawan negara Islam. Khalifah juga boleh melarang ekspor komoditas tertentu yang jumlahnya terbatas dan sangat dibutuhkan di dalam negeri, untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Dalam kaidah ushul dinyatakan, “Setiap bagian dari perkara yang mubah, jika ia membahayakan atau mengantarkan pada bahaya, bagian tersebut menjadi haram; sementara bagian lain dari perkara tersebut tetap halal.”
Ketiga, hukum perdagangan luar negeri dalam Islam disandarkan pada kewarganegaraan pedagang (pemilik barang), bukan pada asal barang. Jika pemilik barang adalah warga negara Islam, baik Muslim maupun kafir dzimmi, barang impor tidak boleh dikenai cukai.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memungut cukai.” Namun jika barang yang masuk ke wilayah negara Islam itu milik warga negara asing, barang tersebut dikenakan cukai sebesar nilai yang dikenakan negara asing tersebut terhadap warga negara Islam. Atau sebesar kesepakatan perjanjian antara negara Islam dan negara asing tersebut.
Namun, demi kemaslahatan Islam, umat dan dakwah Islam, khalifah diberi wewenangan mengatur besarnya tarif. Ketika, misalnya, pasokan komoditas yang dibutuhkan penduduk negara Islam langka, sehingga menyebabkan inflasi, tarifnya dapat diturunkan.
Dari Abdullah bin Umar ia berkata, “Umar mengenakan setengah ‘usyur (5%) untuk minyak zaitun dan gandum agar barang tersebut lebih banyak dibawa ke Madinah. Sementara untuk quthniyyah (biji-bijian seperti kacang) beliau mengambil sepersepuluh (10%).” (HR. Abu Ubaid).”
Keempat, pedagang dari negara kafir mu’ahid (negara kafir yang memiliki perjanjian damai dengan negara Islam), ketika memasuki wilayah negara Islam, akan diperlakukan sesuai isi perjanjian yang disepakati di antara kedua belah pihak. Tetapi pedagang dari negara kafir harbi (negara kafir yang memerangi negara Islam, seperti AS, Inggris, India, Cina, Israel, ketika memasuki wilayah negara Islam harus memiliki izin (paspor) khusus.
Kelima, membolehkan perdagangan bebas dengan alasan sejalan dengan Islam, karena adanya larangan Islam terhadap penarikan cukai (al-maks) atas barang import milik warga negara Islam, tidak dapat dibenarkan. Hal ini karena perdagangan bebas asasnya kapitalisme. Sementara Islam mengharamkan berbagai hadharah yang tidak bersumber pada aqidah Islam, meski bisa jadi ada kemiripan.
Keenam, pada kenyataannya perdagangan bebas telah menjadi salah satu strategi negara-negara kapitalis untuk mendominasi negara lain. Sementara dalam Islam, haram hukumnya membiarkan negara-negara kafir menguasai kaum muslim. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan Allah tidak membolehkan orang-orang kafir menguasai kaum Muslim.” (QS: an-Nisaa’: 141)
Walhasil, penolakan terhadap perdagangan bebas bukan hanya karena kebijakan tersebut mengancam perekonomian suatu Negara. Namun yang lebih mendasar adalah karena bertentangan dengan Islam. Penguasa yang ngotot menerapkan diancam siksa neraka di akhirat. Ancaman yang amat menakutkan.
Ekspor dan Impor
Kegiatan menjual barang dan/atau jasa ke negara lain disebut ekspor. Sedangkan kegiatan membeli barang dan/atau jasa dari negara lain disebut impor. Ekspor menghasilkan devisa bagi negara. Devisa adalah uang asing yang masuk ke negara kita, dan dapat untuk membayar impor barang dan/atau jasa. Kegiatan impor untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Produk impor merupakan barang-barang yang tidak dapat dihasilkan di dalam negeri, atau dapat diproduksi tetapi jumlahnya tidak mencukupi.
Di Indonesia, produk ekspor dan impor dibedakan menjadi dua. Yakni minyak dan gas, dan non-migas. Non-migas antara lain produk perkebunan, pertanian,peternakan, perikanan dan hasil pertambangan yang bukan berupa migas. Produk ekspor Indonesia meliputi produk pertanian, hasil-hasil hutan, perikanan, pertambangan, industri. Juga berbentuk jasa. Indonesia mengimpor barang-barang konsumsi, bahan baku dan bahan penolong serta bahan modal.
Barang-barang konsumsi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti makanan, minuman, susu, mentega, beras, dan daging. Bahan baku dan bahan penolong diperlukan untuk kegiatan industry, baik sebagai bahan baku maupun bahan pendukung, seperti kertas, bahan-bahan kimia, obat-obatan dan kendaraan bermotor. Selain itu, juga impor barang modal.
Barang modal untuk modal usaha seperti mesin, suku cadang, komputer, pesawat terbang, dan alat-alat berat. Produk impor Indonesia yang berupa hasil pertanian antara lain, beras, terigu, kacang kedelai dan buah-buahan. produk impor Indonesia yang berupa hasil peternakan antara lain daging dan susu. Produk impor Indonesia yang berupa hasil pertambangan antara lan minyak bumi dan gas. Produk impor Indonesia yang berupa barng industri antara lain barang-barang elektronik, bahan kimia, kendaraan. dalam bidang jasa indonesia mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri.
Pertukaran barang dan jasa antara satu negara dan negara lain dilakukan dalam bentuk kerjasama. Antara lain:
1. Kerjasama bilateral, yakni kerjasama dua negara dalam pertukaran barang dan jasa.
2. Kerjasama regional, yakni kerjasama dua negara atau lebih dalam satu kawasan atau wilayah tertentu, dan
3. Kerjasama multilateral, yakni kerjasama dua negara yang dilakukan dari seluruh dunia.
Manfaat kegiatan ekspor dan impor bagi negara dan masyarakat adalah:
1. Dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
2. Pendapatan negara akan bertambah karena adanya devisa.
3. Meningkatkan perekonomian rakyat, dan
4. Mendorong berkembangnya kegiatan industri.
Perspektif Islam
Mekanisme ekspor-impor adalah transaksi jual-beli antar-negara. Oleh karena itu, dalam perspektif Islam, yang perlu diperhatikan dan dipenuhi adalah rukun dan syarat sahnya jual-beli. Selain itu, instrumen ekspor-impornya juga perlu diperhatikan. Salah satunya Letter of Credit (L/C). Jadi, L/C ekspor syariah perlu diterbitkan oleh bank syariah.
L/C ekspor syariah, menurut Fatwa DSN-MUI No. 35/DSN-MUI/IX/2002 adalah surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh bank untuk memfasilitasi perdagangan ekspor dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai prinsip syariah. L/C ekspor-impor dalam pelaksanaannya dapat menggunakan akad-akad wakalah bil ujrah, qardh, mudharabah, musyarakah dan al-bai’.
Apabila menggunakan akad wakalah bil ujrah, ketentuan yang harus diikuti adalah:
1. Bank mengurus dokumen-dokumen ekspor;
2. Bank menagih (collection) ke bank penerbit L/C (issuing bank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah; dan
3. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam persentase.
Bila menggunakan akad wakalah bil ujrah dan qardh, ketentuan yang harus diikuti adalah:
1. Bank mengurus dokumen-dokumen ekspor;
2. Bank menagih ke bank penerbit L/C;
3. Bank memberi dana talangan (qardh) kepada nasabah eksportir sebesar harga barang ekspor;
4. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk persentase;
5. Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuai kesepakatan dalam akad, dan
6. Antara akad wakalah bil ujrah dan akad qardh tidak dibolehkan ada keterkaitan (ta’alluq).
Jika memakai akad wakalah bil ujrah dan mudharabah, ketentuan yang harus dipenuhi adalah:
1. Bank memberi eksportir seluruh dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan importir;
2. Bank mengurus dokumen-dokumen ekspor;
3. Bank menagih ke bank penerbit L/C;
4. Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan saat dokumen diterima (at sight), atau saat jatuh tempo (usance);
5. Pembayaran dari bank penerbit L/C dapat digunakan untuk:
Pembayaran ujrah;
Pengembalian dana mudharabah;
Pembayaran bagi hasil, dan
Besarnya ujrah harus disepakati di awal, dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam persentase.
Bilamana berakad musyarakah, ketentuan yang dipedomani adalah:
1. Bank memberi eksportir sebagian dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir;
2. Bank mengurus dokumen-dokumen ekspor;
3. Bank menagih ke bank penerbit L/C;
4. Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan saat dokumen diterima, atau saat jatuh tempo;
5. Pembayaran dari bank penerbit L/C dapat digunakan untuk:
Pengembalian dana musyarakah;
Pembayaran bagi hasil.
Manakala transaksinya memakai akad al-bai’ (jual-beli) dan wakalah, ketentuannya adalah:
1. Bank membeli barang dari eksportir;
2. Bank menjual barang kepada importir yang diwakili eksportir;
3. Bank membayar kepada eksportir setelah pengiriman barang kepada importir;
4. Pembayaran oleh bank penerbit L/C) dapat dilakukan saat dokumen diterima, atau saat jatuh tempo.
Jadi, dapat dikatakan, pada dasarnya aktivitas ekspor-impor merupakan aktivitas yang dibolehkan menurut Islam. Sebab ekspor-impor merupakan bagian dari kegiatan perdagangan. Perdagangan antar-negara dapat dilakukan secara bilateral maupun multilateral. Hal ini karena antar-negara dapat saling memenuhi kebutuhan satu sama lain.
Soal transaksi perdagangan antar-negara, hal penting yang perlu diperhatikan adalah rukun dan syarat sahnya perdagangan. Secara teknis, mekanisme perdagangan melalui ekspor-impor dapat dirujukkan pada ketentuan-ketentuan baku yang telah ditetapkan menurut syara’. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.





BAB III
PENUTUP

Mekanisme ekspor-impor adalah transaksi jual-beli antar-negara. Oleh karena itu, dalam perspektif Islam, yang perlu diperhatikan dan dipenuhi adalah rukun dan syarat sahnya jual-beli. Selain itu, instrumen ekspor-impornya juga perlu diperhatikan. Salah satunya Letter of Credit (L/C). Jadi, L/C ekspor syariah perlu diterbitkan oleh bank syariah.
L/C ekspor syariah, menurut Fatwa DSN-MUI No. 35/DSN-MUI/IX/2002 adalah surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh bank untuk memfasilitasi perdagangan ekspor dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai prinsip syariah. L/C ekspor-impor dalam pelaksanaannya dapat menggunakan akad-akad wakalah bil ujrah, qardh, mudharabah, musyarakah dan al-bai’.













DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah : Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada), 1996
Junaedi, Pasar Modal Dalam Pandangan Hukum Islam, (Jakarta : Kalam Mulia), 1990
As-Sabatin, Yusuf Ahmad Mahmud, Al-Buyu’ Al-Qadimah wa al-Mu’ashirah wa Al-Burshat al-Mahalliyyah wa Ad-Duwaliyyah, (Beirut : Darul Bayariq), 2002.
Al-Jawi ,KH. M. Shiddiq, Jual Beli Saham Dalam Pandangan Islam, http://www. The house of Khilafah1924_org, 09 Maret 2008
- Siahaan, Hinsa Pardomuan & Manurung, Adler Haymans, Aktiva Derivatif : Pasar Uang, Pasar Modal, Pasar Komoditi, dan Indeks (Jakarta : Elex Media Komputindo), 2006








0 Response to "PERDAGANGAN INTERNASIONAL"

Post a Comment