BAB I
PENDAHULUAN
Kasus pembobolan dana nasbah
Citibank senilai Rp40 miliar oleh Inong Malinda alias Melinda Dee yang menjabat
Relationship Manager Citigold di bank tersebut merupakan salah satu kasus hukum
paling banyak menyita perhatian masyarakat di tahun 2011. Selain nilai
kejahatannya yang cukup fantastis, kasus ini merembet ke masalah privat karena
gaya hidup mewah Melinda bersama suaminya Andhika Gumilang.
Tengok saja koleksi
mobil mewahnya seperti Hummer, Mercedes Benz dan Ferrari yang harganya di atas
Rp1 miliar. Latar belakang Andhika yang pernah menjadi artis juga turut menarik
perhatian seluruh media infotainment. Dan yang tak kalah menghebohkan adalah
operasi pembesaran payudara yang dilakukan Melinda dibahas media dengan meminta
tanggapan dokter bedah plastik hingga nyaris menenggelamkan substansi kasusnya.
Payudaranya juga menjadi bahan olok-olok di berbagai jejaring sosial.
Selain kasus Malinda Dee ada juga
Kasus yang hampir serupa yaitu kasus Bailout Dana Century Isu kasus ini berkembang
menjadi isu kasus yang berbau politik, hal ini disebabkan karena dalam
pengambilan kebijakan kasus Bank Century melibatkan banyak pejabat Negara,
termasuk orang nomor satu di Indonesia, tentu hal ini akan membawa banyak opini
negatif dari masyarakat, dan dampak tersebut berpengaruh terhadap stabilitas
politik di Indonesia, mengingat bahwa stabilitas politik di suatu negara akan
mempengaruhi keadaan perekonomian Negara tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KASUS BAILOUT DAN BANK CENTURY
Keputusan untuk menetapkan
Bank Century sebagai Bank Gagal yang berdampak sistemik adalah suatu kesalahan
karena BI dan KSSK tidak memiliki kriteria terukur dalam menetapkan
dampak sistemik BC, BI hanya menggukur secara kuantitatif aindikator institusi
keuangan saja, kemudian BI mneggunakan indikator psikologi pasar. Dengan
memunculkan aspek ini, penentuan terhadap 3 indikator lain berdasarkan MOU dilakukan
secara kualitatif. Sehingga status Bank Gagal berdampak sistemik dapat
disandang oleh Bank Century
Dalam pengggunaan dana FPJP dan PMS, banyak tindakan pelanggaran dan korupsi
diantaranya,. Adanya penarikan DPK oleh pihak terkait Bank Century sebesar Rp
938,654 M, adanya unsur penggelapan dana kas Valas sebesar USD 18 Juta dengan
masing-masing sebesar 2 M untuk Dewi Tantular dan Robert Tantular
Dalam buku “ Membongkar
Gurita Cikeas;dibalik Skandal Bank Century” diindikasikan bahwa presiden SBY
memiliki keterlibatan cukup erat dengan kasuus Bank Century, walaupun belum
bisa dibuktikan secara nyata, akan tetapi SBY memiliki hubungan yang dekat
dengan nama-nama orang yang terlibat dengan kasus ini.
B.
ANALISA KASUS BANK
CENTURY
Dalam indikasi kasus korupsi ini,
kami mengambil sumber dari hasil audit BPK yang diserahkan kepada DPR tanggal
20 November 2009, hasil audit ini memaparkan temuan yang sangat penting yaitu 8
penemuan. Sejak meleburnya 3 bank ke dalam Bank Century dan penggelapan dana
bank tersebut. Dalam audit ini BPK menginformasikan bahwa penyelamatan Bank
Century adalah keputusan keliru, sehingga dapat disimpulkan bahwa keputusan
menggelontorkan dana hingga triliunan rupiah terhadap bank century sangat
beresiko untuk diselewengkan.
Berikut
ini hasil audit BPK yang mengindikasikan adanya pelanggaran aturan dan beberapa
catatan korupsi :
1)
Terkait Merger 3 Bank
2)
Terkait Penyaluran fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP)
3) Terkait
pengambilan keputusan KKSK dan Penyaluran Penyertaan Modal Sementara (PMS)
4)
Penyalahgunaan dana FPJP dan PMS
1.
Terkait Merger 3 Bank
Terdapat beberapa Indikasi Pelanggaran
yang terjadi pada saat proses merger ini. BI
diduga memberikan kelonggaran
terhadap persyaratan merger yaitu dengan:
a) Aset SSB
yang semula dinyatakan macet oleh BI kemudian dianggap lancar untuk memenuhi
performa CAR.
b) Tetap mempertahankan
pemegang saham pengendali (PSP) yang tidak lulus fit and proper test.
c) Komisaris dan Direksi
Bank ditunjuk tanpa fit and proper test.
d) Audit KAP atas laporan
keuangan Bank Pikko dan Bank CIC dinyatakan disclaimer.
Temuan
BPK terkait penggabungan 3 bank ini adalah sebagai berikut:
a) Akuisi Bank Danpac dan
Bank Picco tidak sesuai dengan ketentuan BI.
b) Surat izin Akuisisi
Chinkara atas bank Picco dan Bank Danpac tetap dilakukan meskipun terdapat
indikasi praktek perbankan yang tidak sehat dan perbuatan melawan hukum yang
melibatkan Chinkara.
c) BI menghindari penutupan
Bank CIC dengan memasukan Bank tersebut di dalam Skema merger.
d) Tidak membatalkan persetujuan
akuisisi meskipun tahun 2001-2003 hasil pemeriksaan BI pada ke-3 Bank menemukan
indikasi pelanggaran yang signifikan.
e) Adanya perlakuan
Surat-surat Berharga (SSB) yang semula macet menjadi lancer dengan rekomendasi
KEP (komite evaluasi perbankan).
Terkait dengan beberapa catatan
temuan di atas, dapat dibuat daftar indikasi korupsi sebagai berikut:
2. Penyaluran
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP)
Sejak bulan Juli 2008, Bank
Century (BC) telah mengalami kesulitan likuiditas dan bergantung pada pinjaman
uang antar-bank (PUAB). Karena PUAB sulit diperoleh, hingga tanggal 27 Oktober
2008, BC telah melanggar pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) minimal 5% dari
dana pihak ketiga (DPK).
BC kemudian menyurat ke
Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM) dengan tembusan ke
Direktorat Pengawasan Bank (DPBI)
untuk mengajukan kepada BI fasilitas repo aset. Surat ini dilayangkan 2 kali,
yaitu:
Tanggal 30 Oktober 2008
sebesar Rp 1 triliun (pengajuan fasilitas repo aset).
Tanggal 3 November 2008
sebesar Rp 1 triliun (menyampaikan tambahan data aset kredit).
Posisi CAR Bank Century saat
mengajukan FPJP (posisi 30 September 2008) sebesar positif 2,35%. Pada saat
tersebut berlaku ketentuan BI (PBI) No. 10/26/PBI/2008 bahwa fasilitas FPJP
diberikan kepada bank yang memiliki CAR minimal 8%. Dengan demikian Bank
Century sebenarnya tidak memenuhi syarat menerima FPJP.
Namun pada tanggal 14 November
2008 BI mengubah PBI tentang persyaratan pemberian FPJP dari semula minimal CAR
8% menjadi CAR positif. Hal ini diduga untuk memuluskan Bank Century
menggunakan fasilitas FPJP.
Berdasarkan posisi CAR Bank Century
per-30 September (positif 2,35%) BI menyatakan Bank Century memenuhi syarat.
Padahal posisi CAR Bank Century per-31 Oktober 2008 justru negatif (-3,53%) dan
tidak memenuhi persyaratan bahkan terhadap PBI yang telah dirubah per-14
November 2008. BI kemudian menyetujui pemberian fasilitas FPJP kepada Bank
Century per-tanggal 14 November 2008 yaitu sebesar Rp 689,39 miliar, dengan
perincian sebagai berikut:
Tanggal 14 November
2008 dicairkan sebesar Rp 356,81 miliar
Tanggal 17 November
2008 dicairkan sebesar Rp 145,26 miliar
Tanggal 18 November
2008 dicairkan sebesar Rp 187,32 miliar
3. Terkait
pengambilan keputusan KSSK
Terhadap surat Gubernur BI No.
10/232/GBI/Rahasia tertanggal 20 November 2008 tentang Penetapan Bank Century
sebagai Bank Gagal dan Penetapan Tindak Lanjutnya, Departemen Keuangan dan LPS
melakukan rapat konsultasi KSSK pada tanggal 14, 17, 18, 19 dan 20 November
2008. KSSK kemudian mengadakan rapat pada tanggal 21 November 2008. Rapat
didahului dengan presentasi dari BI. Pada rapat ini banyak pihak yang tidak
setuju dengan argumentasi BI yang menyatakan Bank Century akan berdampak
sistemik.
Dalam pengambilan keputusan bahwa
Bank Century adalah Bank Gagal yang berdampak sistemik dinilai bahwa BI dan
KSSK tidak memiliki kriteria terukur dalam menetapkan dampak sistemik BC,
dalam menetapkan status ini dalam MOU disepakati bahwa status ini harus
memenuhi 4 kriteria, yaitu aspek institusi keuangan, aspek pasar keuangan,
sistem pembayaran dan sektor riil, akan tetapi BI hanya mengukur aspek
institusi keuangan saja secara kuantitatif dan hasilnya adalah peran fungsi
Bank Century relatif kecil dalam sector-sektor perekonomian, sehingga BI
menambahkan saru faktor lagi, yaitu aspek psikologi pasar. Dengan
memunculkan aspek ini, penentuan terhadap 3 indikator lain berdasarkan MOU dilakukan
secara kualitatif. Dengan berdasarkan aspek ini, BI mengambil kesimpulan; ”bahwa
akan terjadi ketidakpastian yang tinggi terutama terhadap
psikologi pasar masyarakat yang selanjutnya dapat memicu gangguan/ketidakpastian
di pasar keuangan dan system pembayaran”.
Rapat tersebut dihadiri oleh
ketua KSSK yaitu menteri keuangan, Gubernur BI selaku anggota KSSK, dan
Sekertaris KSSK, rapat tersebut memutuskan bahwa Bank Century adalah Bank Gagal
yang berdampak sistemik, dan penanganannya diserahkan pada LPS, akan tetapi
kondisi Bank Century makin memburuk selama periode November 2008, sehingga BI
mengeluarkan data baru mengenai kebutuhan dana untuk penyertaan modal sementara
(PMS) LPS untuk penyelamatan Bank Century.
Dana PMS kemudian membengkak dari
Rp 632 miliar menjadi Rp 6,76 triliun. Kemudian dana ini disalurkan dalam 4
tahap, akan tetapi dalam penyaluran dana ini dan munculnya data kebutuhan PMS
tambahan yang sangat besar, sehingga dapat disimpulkan bahwa BI dan KSSK
tidak memberikan informasi sesungguhnya mengenai resiko penurunan CAR (keadaan
BC) yang disebabkan oleh penurunan kualitas asset yang seharusnya diketahui
lebih awal oleh BI.
Legalitas
Keputusan KSSK
Terkait dengan penyaluran dana
yang diputuskan oleh KSSK yang Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No. 4
tahun 2008 Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) pada 15 Oktober 2008. Dalam
Perpu ini diatur soal Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri
dari Gubernur BI dan Menteri Keuangan.
Terkait dengan hal ini, Rapat
Paripurna DPR RI tertanggal 18 Desember 2008 telah memutuskan agar pemerintah
mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang JPSK. Artinya KSSK telah
berjalan dengan tanpa persetujuan penuh oleh DPR RI. Dengan demikian, otoritas
atau kewenangan KSSK sebenarnya belum memiliki dasar hukum yang cukup kuat
secara konstitusional, sehingga segala keputusan yang dihasilkan juga masih
dapat dipertanyakan.
Terkait dengan pengucuran dana ke
Bank Century, jika mengacu pada persetujuan DPR RI, sejumlah Rp 2,88 triliun
masih disalurkan oleh LPS tanpa dukungan pengesahan atau
persetujuan DPR atas dasar KSSK.
4. Terkait
Penyalahgunaan Dana FPJP dan PMS
Adanya
penarikan DPK oleh pihak terkait Bank Century sebesar Rp 938,654 M
Adanya
unsur penggelapan dana kas Valas sebesar USD 18 Juta dengan masing-masing
sebesar 2 M untuk Dewi Tantular dan Robert Tantular.
C. KASUS
BLBI
Berawal dari krisis ekonomi yang menerpa
negara-negara di Asia tahun 1997. Satu per satu mata uang negara-negara di Asia
merosot nilainya. Kemajuan perekonomian negara-negara di Asia yang banyak
dipuji oleh banyak pihak sebelumnya menjadi angin kosong belaka. Persis sebelum
krisis ekonomi, World Bank tahun 1997 menerbitkan laporan berjudul The Asian
Miracle yang menunjukkan kisah sukses pembangunan di Asia. Ternyata kesuksesan
pembangunan ekonomi di negara-negara Asia tersebut tidak berarti banyak karena
pada kenyataannya negara-negara tersebut tidak berdaya menghadapi spekulan mata
uang yang tinggi dan berujung pada krisis ekonomi.
Menyusul jatuhnya mata uang Baht,
Thailand, nilai rupiah ikut merosot. Untuk mengatasi pelemahan rupiah, Bank
Indonesia kemudian memperluas rentang intervensi kurs jual dan kurs beli
rupiah, dari Rp. 192 (8%), menjadi Rp. 304 (12%). Guna mengurangi tekanan
terhadap rupiah, Bank Indonesia mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan
menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6% menjadi 14%.
Akibat kondisi ini bank-bank umum
kemudian meminta bantuan BI sebagai lender of the last resort. Ini
merujuk pada kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank dalam situasi
darurat. Dana talangan yang dikucurkan oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI.
Sesehat apa pun sebuah bank, apabila uang dari masyarakat ditarik serentak
tentu tidak akan sanggup memenuhinya.
Penyimpangan BLBI dimulai ketika BI
memberikan dispensasi kepada bank-bank umum untuk mengikuti kliring meskipun
rekening gironya di BI bersaldo debet. Dispensasi diberikan kepada semua bank
tanpa melakukan pre-audit untuk mengetahui apakah bank tersebut benar-benar
membutuhkan bantuan likuiditas dan kondisinya sehat. Akibatnya, banyak bank
yang tidak mampu mengembalikan BLBI.
D.
ANALISA KASUS BLBI
1. Pelaku di dalam Kasus BLBI
Pelaku dari kasus aliran dana Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia adalah bankir-bankir itu sendiri. Mereka “nakal”, tidak mau
mengembalikan dana BLBI. Hal ini menimbulkan indikasi bahwa memang ada
penyewelengan bantuan dana itu. Berikut beberapa data mengenai hal tersebut.
Diantaranya adalah:
1.
Daftar bankir yang diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):
a. Atang Latief (Bank Indonesia Raya –
hutang 325,46 miliar);
b. James Januardy (Bank Namura
Internasional – hutang 123,04 miliar);
c. Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian –
hutang 615 miliar);
d. Lidia Mochtar (Bank Tamara – hutang
202,80 miliar);
e. Omar Putirai (Bank Tamara – hutang
190,17 miliar);
f. Marimutu Sinivasan (Bank Putera
Multikarsa – hutang 1.130,61 triliun).
2.
Daftar bankir yang diserahkan ke Kepolisian:
a. Baringin Panggabean (Bank Namura
Internusa – APU (Akta Pengakuan Utang) – 158,93 miliar);
b. Santosa Sumali (B.Metropolitan – APU –
46,55 miliar);
c. Fadel Muhammad (Bank Intan – APU – 93,28
miliar);
d. Santosa Sumali (B. Bahari – APU – 295,05
);
e. Trijono Gondokusumo (Bank PSP – APU –
3.3031,11 triliun);
f. Hengky Widjaya (Bank Tata – APU – 461,99
miliar);
g. Taony Tanjung I Gde Dermawan (Bank Aken
– APU – 680,89 miliar);
h. Tarunojoyo Nusa (Bank Umum Servitia-APU-3.336,
44 triliun);
i. David Nusa Widjaya Kaharuddin
Ongko (BUN – MRNIA (Master Refinancing and Notes Insurance Agreement) – 8.348
triliun);
j. Samadikun H. (Bank Modern – MRNIA
– 2.663 triliun).
Sumber: Koran Tempo, 18 Oktober 2004
Data di atas menunjukkan bahwa memang para bankir itu
terindikasi melakukan penyelewengan dana BLBI. Polisi dan KPK masing-masing
menyelidiki jika terdapat unsur-unsur korupsi terhadap bankir-bankir tersebut.
2. Kualifikasi Kasus BLBI
BLBI itu termasuk kejahatan korupsi, bukan kejahatan
perbankan biasa karena terdapat unsur-unsur yang mendukung hal itu. Salah
satunya adalah disuapnya Ketua Tim Jaksa Kasus BLBI, Urip Tri Gunawan oleh
Syamsul Nursalim di kediamannya. Padahal, Syamsul Nursalim merupakan obligor
dari BDNI terkait BLBI. Terlihat bahwa Syamsul menyuap Urip sebagai syarat agar
kasusnya “dilepas”. Jadi, disini unsur korupsinya yaitu penyuapan.
Kemudian, merujuk ke belakang dimana saat-saat pertama kasus
ini mencuat, dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi juga. Karena kasus
ini berawal dari tahun 1997, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang
digunakan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1971 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Unsur korupsi lainnya terpenuhi, yaitu memperkaya diri
sendiri. Hal ini menyebabkan negara merugi karena dana BLBI yang seharusnya
dikembalikan malah hilang entah kemana dan tidak dikembalikan. Seperti
tercantum dalam pasal 1 ayat (1) angka {a} yang berbunyi, “Dihukum karena
tindak pidana korupsi ialah: barangsiapa dengan melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau
perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan
tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara .”
Jelaslah, ternyata kasus aliran dana BLBI itu adalah masuk ke
dalam ranah pidana, yaitu kejahatan korupsi. Unsur-unsur tindak pidana korupsi
pun terpenuhi (meskipun tidak semuanya). Adalah memperkaya diri dan penyuapan.
3. Penghentian Kasus BLBI
Kasus ini tidak dapat dihentikan hanya dengan
membayar/mengembalikan dana BLBI oleh para obligor. Hal ini dikarenakan,
pengembalian uang negara itu tidak akan menghapuskan dipidananya pelaku tindak
pidana korupsi.
Sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa: “Pengembalian kerugian keuangan negara
atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidanya pelaku tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal Pasal 2 dan Pasal 3.”
Lebih lanjut di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tersebut, pasal 4 menyebut bahwa pengembalian kerugian keuangan negara
atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
Oleh karena itu, kasus BLBI tidak bisa selesai hanya dengan
mengembalikan dana BLBI kepada pemerintah melalu Bank Indonesia oleh
bankir-bankir bank yang bermasalah.
4. Peraturan Perundang-undangan Untuk Menjerat Pelaku
Kasus BLBI dan Proses Penyelesaiannya
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat menjerat
para pelaku di balik kasus BLBI adalah ketentuan di dalam Undang-undang No.3
Tahun 1971 (pasal 1 ayat (1) angkat {a} dan {b}) Juncto Undang-undang
No.31 Tahun 1999 (pasal 2 ayat (1), pasal 3, dan pasal 4).
Selain dijerat oleh ketiga Undang-undang korupsi di atas,
juga bisa oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penyertaan,
percobaan, maupun penyitaan (pasal 39 KUHP).
Untuk proses penyelesaiannya, bisa menggunakan Undang-undang
Darurat
Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi maupun Undang-undang No.3 Tahun 1971 Juncto Undang-undang No.31 Tahun 1999.
Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi maupun Undang-undang No.3 Tahun 1971 Juncto Undang-undang No.31 Tahun 1999.
5. Pendapat Saya
Setelah membaca kronologinya dan menganalisis kasus BLBI, semakin
jelaslah sebenarnya bagaimana murat maritnya sistem birokrasi negeri ini. Saya
sempat berpikir heran, mengapa Mendiang Presiden Soeharto dengan enaknya
menerapkan langkah-langkah yang mencengangkan untuk mengatasi krisis moneter
pada tahun 1997 – Mei 1998. Diantaranya yaitu tadi, melikuidasi 16 bank,
membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas alias dana BLBI,
sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi.
Dulu, zaman tahun 1997 – 1998, pers masih belum sebebas
sekarang. Jadi saya dan jutaan masyarakat Indonesia lainnya tentu sangat
awam atau tidak familiar dengan kebijakan-kebijakan ekonomi. Hanyalah
Pemerintah, anggota DPR dan pakar-pakar ekonomilah yang sangat mengerti masalah
ekonomi. Coba lihat pers sekarang, sangat bebas dan pro rakyat.
Tayangan-tayangan berita atau tulisan di surat kabar sangat membantu kita untuk
mengetahui dengan jelas kondisi kenegaraan kita ini, baik itu di bidang
ekonomi, hukum dan perundang-undangan serta lain sebagainya. Kadang ada juga
yang menginvestigasi beritanya itu sampai ke akar-akarnya. Walaupun saya yakin
birokrasi negeri ini tetap bobrok, tapi setidaknya pers dan media lainnya sudah
memberitakan yang terbaik untuk perubahan negeri ini.
Kembali ke topik, jadi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)
lahir karena untuk mengatasi masalah ini, yaitu menutupi talangan hutang luar
negeri yang dilakukan para bankir tersebut.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
A. KASUS BANK CENTURY
Dari
hasil audit BPK, BPK menemukan menemukan empat kelompok pelanggaran
diantaranya, proses merger dan pengawasan BC oleh BI, pemberian FPJP, penetapan
BC sebagai Bank Gagal yang berdampak sistemik dan penanganannya oleh LPS,
penggunaan dana FPJP dan PMS, juga praktik-praktik tidak sehat lainnya.
Dalam proses merger terdapat beberapa Indikasi Pelanggaran. BI diduga
memberikan kelonggaran terhadap persyaratan merger. Dan terdapat
praktik-praktik pelanggaran perbankan lainnya.
Dalam pemberian FPJP, pelanggaran tejadi dimana BI mengubah PBI mengenai
persyaratan pemberian FPJP dari semula dari semula CAR 8% menjadi CAR positif,
dengan demikian perubahan PBI tersebut patut diduga dilakukan untuk merekayasa
agar BC mendapat FPJP.
B.
KASUS BLBI
·
BLBI pada hakekatnya adalah Kredit Likuiditas Darurat, yang
merupakan salah satu piranti kebijaksanaan BI dalam melaksanakan fungsinya
sebagai bank sentral yang dimaksudkan untuk menghadapi krisis perbankan, dan
meredakan dampaknya. Akan tetapi tetapi terjadi penyimpangan dana BLBI oleh
bank penerima dana tersebut.
·
Pihak BI sebagai kreditur yang memberikan bantuan likuiditas
kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat tidak
melakukan wanprestari, karena BI telah memenuhi prosedur yang digariskan oleh
undang – undang. Sebaliknya penerima BLBI lah yang telah melakukan wanprestasi
dengan tidak memenuhi persyaratan surat direksidan belum sepenuhnya
mengembalikan pinjaman tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Yunus Aditjondro George, 2010. Membongkar Gurita
Cikeas ; Dibalik Skandal Bank Century, Galangpress, Yogyakarta.
Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi atas Kasus PT
Bank Century Tbk Oleh BPK. (Ringkasan Eksekutif), www.antikorupsi.org.com
Skema indikasi korupsi kasus Bank Century
(Berdasarkan Hasil Audit BPK – 20 November 2009), www.antikorupsi.org.com
Jajak Pendapat Kompas; Ambiguitas Publik di Century,
www.antikorupsi.org.com
Kasus Bank Century dan Politik, www.economy.okezone.com
Kemelut Politik dan Stabilitas Ekonomi, www.economy.okezone.com
0 Response to "CONTOH KASUS PEMBOBOLAN NASABAH"
Post a Comment