PENDAHULUAN
Perdagangan adalah hal yang
tidak terelakkan pada kehidupan manusia. Perpindahan barang dan jasa selalu
terjadi, baik di dalam negeri maupun antar ummat dan antar bangsa, dengan
komoditas biasa dan sepele sampai komoditas strategis dan penting seperti
senjata dan bahan pangan. Hal ini sayangnya saat ini tidak lagi mengacu pada
pemenuhan kebutuhan mendasar manusia saja, namun lebih jauh yakni menjadi
sarana penjajahan dan ladang keuntungan bagi segelintir golongan tertentu. WTO
dan teman-temannya, sudah terbukti tidak mampu melindungi industri negara
berkembang bahkan cenderung mematikannya, menghancurkan perekonomian negara
lain, khususnya negara miskin. Kedaulatan suatu bangsa menjadi terancam ketika
komoditas starategis dan penting seperti pangan telah tergantung dengan negara
lain.
Mulai awal tahun ini, siap atau tidak, Indonesia harus
membuka pasar dalam negeri secara luas kepada negara-negara ASEAN dan Cina.
Sebaliknya, Indonesia dipandang akan mendapatkan kesempatan lebih luas untuk memasuki
pasar dalam negeri negara-negara tersebut. Pembukaan pasar ini merupakan
perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas antara negara anggota ASEAN
(Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam)
dengan Cina, yang disebut dengan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA).
Perjanjian perdagangan bebas ini sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun
2002. Lantas, apakah kebijakan pasar bebas ini akan membawa perubahan nasib
rakyat negeri ini yang masih dihimpit dengan kemiskinan. Bagaimana sebenarnya
pandangan Islam tentang hal ini ?
BAB II
PEMBAHASAN
Sistem Ekonomi Syariah dalam
Perdagangan Luar Negeri
Perdagangan luar negeri adalah
aktivitas jual-beli yang berlangsung antarbangsa dan umat, bukan antar individu
dari satu negara; baik perdagangan antardua negara maupun antarindividu yang
masing-masing berasal dari negara yang berbeda untuk membeli komoditi yang akan
ditransfer ke negaranya.
Dalam kondisi ini, negara akan mengarahkan dan campur
tangan secara langsung terhadap perdagangan tersebut. Tujuannnya adalah untuk
mencegah dikeluarkannya beberapa komoditi dan membolehkan beberapa komoditi
lain, serta campur tangan terhadap para pelaku bisnis kafir harbi dan mu’ahid.
Campur Tangan Pemerintah dalam Lalu LintasPerdagangan
Negara secara mutlak akan campur
tangan dalam perdagangan dan para pelaku bisnis warga negara asing. Adapun
terhadap rakyatnya sendiri maka dalam perdagangan luar negeri tersebut negara
cukup memberikan pengarahan terhadap mereka. Sebab, mereka termasuk dalam
kategori hubungan di dalam negeri.
Karena itu, untuk keperluan perdagangan dengan negara asing tersebut, negara
akan membuat pos-pos di tiap-tiap perbatasan negara. Pos-pos inilah yang oleh
fukaha disebut tempat-tempat pengintai (masalih ).
Tempat-tempat pengintai yang
terletak di perbatasan ini merupakan bentuk campur tangan dan pengarahan
langsung terhadap perdagangan yang keluar-masuk ke negara. Negara akan mengatur
perdagangan dan menjalankan aturan tersebut dengan menggunakan pos-pos yang
terletak di perbatasan, yaitu untuk mengatur perpindahan individu serta
kekayaan yang keluar masuk ke sana, yang melewati perbatasan tersebut, dan
negara secara langsung akan menanganinya.
Hukum Syariah dalam Perdagangan Luar Negeri
Hukum syariah adalah seruan Asy-Syari
(Allah SWT) yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Karena itu, hukum-hukum
syariah yang berkaitan dengan perdagangan luar negeri hanya berlaku untuk
orangnya. Atas dasar ini, hukum-hukum perdagangan luar negeri tidak ada
hubungannya dengan komoditi dan dari mana asal komoditi tersebut, namun hanya
menyangkut pelaku bisnisnya.
Karena itu, para pelaku bisnis
yang keluar masuk wilayah-wilayah Negara Islam, antara lain ada tiga kelompok:
(1) warga Negara Islam, baik Muslim maupun ahludz-dzimmah; (2) orang-orang
kafir mu’ahid; (3) orang-orang kafir harbi.
Aturanuntuk Transaksi Ekspor dan Impor
Orang-orang yang menjadi warga
Negara Islam tidak boleh membawa komoditi atau barang industri seperti
persenjataan, ke darul kufur, sehingga bisa membantu warga negara setempat
dalam memerangi kaum Muslim. Namun, jika barang-barang tersebut dikeluarkan
bukan untuk membantu mereka dalam melawan kaum Muslim, maka dalam kondisi
semacam ini hukumnya mubah. Karena itu, jika jenis komoditi yang dikirim kepada
mereka selain barang-barang strategis, semisal makanan, pakaian, perkakas dan
sebagainya. Hanya saja, barang-barang yang dibutuhkan oleh rakyat, yang
jumlahnya terbatas, tetap tidak diperbolehkan.
Adapun yang berkaitan dengan
perdagangan yang berkaitan dengan mengimpor komoditi ke negara Islam maka
firman Allah SWT yang menyatakan (yang artinya), “Allah menghalalkan jual-beli
(QS al-Baqarah [2]: 275),” bersifat umum, meliputi perdagangan dalam dan luar
negeri. Tidak ada nash pun yang menyatakan larangan kepada seorang Muslim atau
ahludz dzimmahuntuk mengimpor komoditi ke dalam negeri.
Landasan dalam Hal Larangan Ekspor Untuk Barang Strategis
Negara Islam mengikat perdagangan
dengan darul kufur dalam beberapa hal (berupa barang seperti makanan, perabot,
pakaian, dan lain-lain, selama barang itu bukan barang yang dibutuhkan oleh
rakyat yang jumlahnya terbatas). Sedangkan kemudian dalam hal-hal lain
perdagangan dengan darul kufur tersebut dicegah. Hal ini hanya mengikuti
politik perang.
Ini berkaitan dengan perdagangan dengan
darul kufur yang secara de jure memerangi kaum muslim. Walaupun secara de facto
darul kufur tersebut dalam keadaan berperang dengan kita, kita tidak boleh
mengekspor barang persenjataan ke darul kufur, karena bisa jadi mereka akan
jadi musuh.
“…dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah [5]: 2)
.....
Pandangan Islam Berdasarkan Pelaku Bisnis
Menurut pandangan Islam, status
pedagang internasional mengikuti kebijakan politik luar negeri Islam. Dalam
politik luar negeri Islam, negara-negara di luar Darul Islam dipandang sebagai
darul harbi. Darul harbi dibagi dua, yaitu darul harbi fi‘lan, yaitu negara
yang secara de facto sedang memerangi Islam, dan darul harbi hukman, yaitu
negara yang secara de facto tidak sedang berperang dengan Islam.
Berlandaskan pada pandangan
politik luar negeri itulah, maka status pedagang dapat dikelompokkan menjadi 4:
a. Pedagang yang berstatus sebagai warga negara.
Warga negara Islam, yaitu Muslim
maupun non-Muslim (kafir dzimmi), mempunyai hak untuk melakukan aktivitas
perdagangan di luar negeri, sebagaimana kebolehan untuk melakukan aktivitas
perdagangan di dalam negeri. Mereka bebas melakukan ekspor-impor komoditi
apapun tanpa harus ada izin negara, juga tanpa ada batasan kuota, selama
komoditi tersebut tidak membawa dharar.
b. Pedagang dari negara harbi
hukman.
Pedagang dari negara harbi hukman,
baik yang Muslim maupun yang non-Muslim, memerlukan izin khusus dari negara
jika mereka akan memasukkan komoditinya. Izin bisa untuk pedagang dan
komoditinya, dapat juga hanya untuk komoditinya saja.Jika pedagang dari negara
harbi hukman tersebut sudah berada di dalam negara, maka dia berhak untuk
berdagang di dalam negeri maupun membawa keluar komoditi apa saja selama
komoditi tersebut tidak membawa dharar.
c. Pedagang dari negara harbi
hukman yang terikat dengan perjanjian.
Pedagang kafir mu‘âhid, yaitu pedagang
yang berasal dari negara harbi hukman yang terikat perjanjian dengan Negara
Islam, diperlakukan sesuai dengan isi perjanjian yang diadakan dengan negara
tersebut, baik berupa komoditi yang mereka impor dari Negara Islam maupun
komoditi yang mereka ekspor ke Negara Islam.
d. Pedagang dari negara harbi
fi‘lan.
Pedagang dari negara harbi fi‘lan,
baik Muslim maupun non-Muslim, diharamkan secara mutlak melakukan ekspor maupun
impor. Perlakuan terhadap negara yang secara real memerangi Islam adalah embargo
secara penuh, baik untuk kepentingan ekspor maupun impor. Pelanggaran terhadap
embargo ini dianggap sebagai perbuatan dosa.
Tarif untuk ‘Bea masuk Perdagangan’
Telah dijelaskan di atas hal yang
berkaitan dengan keluar-masuknya para pelaku bisnis dan komoditinya ke dan dari
Negara Islam. Adapun yang berkaitan dengan tarif bea masuk perdagangan yang
dibebankan atas komoditi tersebut, hukum syariah yang berkaitan dengan masalah
ini berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan para pelaku bisnisnya, bukan perbedaan
komoditinya.
Jika
pelaku bisnis luar negeri adalah rakyat Negara Islam, baik Muslim maupun
ahludz-dzimmah, maka komoditi mereka secara mutlak tidak dibebani apa-apa. Baik
itu komoditi yang dimasukkan ke dalam Negara Islam, dan komoditi yang
dikeluarkan ke darul kufur. Adapun untuk ahludz-dzimmah, tidak dikenakan bea
masuk, tetapi dikenakan tarif untuk harta perdagangan mereka, yang dikenakan
tarif sebesar perjanjian mereka. Pada masa Umar ra., ahludz-dzimmah dikenakan
tarif sebesar 1/20 dari nilai perdagangan mereka. Tarif ini dikenakan karena
(kalau mereka) orang-orang Islam tentu bisa dipungut sedekah (zakat).
Adapun yang berkaitan dengan
pelaku bisnis kafir mu‘âhid, maka orang tersebut boleh dipungut harta sesuai
dengan apa yang dinyatakan di naskah perjanjian. Adapun ketentuan bagi pelaku
bisnis kafir harbi adalah bahwa kita akan memungut tarif bea masuk dari orang
tersebut sesuai dengan apa yang dipungut negaranya dari pelaku bisnis kita.
Hanya saja, tarif bea masuk dari pelaku bisnis kafir harbi yang sepadan dengan
tarif bea masuk yang mereka kenakan atas
kita itu hukumnya mubah saja, bukan wajib. Artinya negara boleh memungut lebih
rendah, atau saja boleh membebaskan komoditi orang kafir harbi. Sebab pungutan
tarif bea masuk tersebut tidak untuk mengumpulkan harta, melainkan sekedar
politik dalam bermuamalah dengan perlakuan yang sama.
BAB III
PENUTUP
Telah dijelaskan di atas hal yang
berkaitan dengan keluar-masuknya para pelaku bisnis dan komoditinya ke dan dari
Negara Islam. Adapun yang berkaitan dengan tarif bea masuk perdagangan yang
dibebankan atas komoditi tersebut, hukum syariah yang berkaitan dengan masalah
ini berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan para pelaku bisnisnya, bukan
perbedaan komoditinya.
Jika
pelaku bisnis luar negeri adalah rakyat Negara Islam, baik Muslim maupun
ahludz-dzimmah, maka komoditi mereka secara mutlak tidak dibebani apa-apa. Baik
itu komoditi yang dimasukkan ke dalam Negara Islam, dan komoditi yang
dikeluarkan ke darul kufur. Adapun untuk ahludz-dzimmah, tidak dikenakan bea
masuk, tetapi dikenakan tarif untuk harta perdagangan mereka, yang dikenakan
tarif sebesar perjanjian mereka. Pada masa Umar ra., ahludz-dzimmah dikenakan
tarif sebesar 1/20 dari nilai perdagangan mereka. Tarif ini dikenakan karena
(kalau mereka) orang-orang Islam tentu bisa dipungut sedekah (zakat).
DAFTAR PUSTAKA
Sistem Ekonomi Islam/Taqiyuddin
an-Nabhani; penerjemah, Hafidz Abd. Rahman; Penyunting, Tim HTI Press. Jakarta:
Hizbut Tahrir Indonesia, 2010.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete