A. Prolog
Manusia adalah
makhluk yang paling sempurna bila dibandingkan dengan makhluk lain. Sejak
lahir, manusia telah dibekali dengan berbagai kemampuan. Kemampuan untuk
mendengarkan, melihat dan memahami berbagai fenomena alam berdasarkan
kecerdasan dengan sarana panca indera yang sempurna. Bahkan dalam kronologi
penciptaannya, sengaja Allah memilihkan dengan prosedur (cara) yang berbeda.
Secara umum,
dalam diri manusia terdapat dua dimensi yang antara keduanya saling
mendukung.Pertama, dimensi jasmaniyah (jasad) yang dalam kronologi
penciptaannya berasal dari tanah. Fenomena ini membangun sebuah argumentsi yang
kokoh bahwa secara jasmaniyah manusia berasal dari tanah dan yang memuaskannya,
semua berasal dari tanah serta ketika matipun, jasad dikembalikan ke
tanah.Kedua, dimensi ruhani (ruh) yang berasal dari Allah. Konsekuensi
logisnya, bahwa ruh berasal dari Allah dan yang bisa memuaskannya juga sesuatu
yang berasal dari Allah serta ketika manusia dinyatakan mati, maka ruh kembali
kepada Allah.
Dimensi jasad,
mengantarkan manusia memiliki fitrah (kecenderungan) membutuhkan sesuatu yang
bersifat materi. Sebaliknya, dimensi ruh mengantarkan manusia memiliki fitrah
insting keberagaman, yang cenderung bernuansa spiritualis. Antara keduanya
menjadi satu kesatuan yang utuh dalam diri manusia. Perspektif manusia seperti
ini memberikan pilihan yang bersifat probability bahwa manusia bisa terjerumus
ke dalam jurang kenistaan yang jauh dari perikemanusiaan atau bahkan mampu
memahami secara komprehensif dan mengantarkannya mendapat derajat yang tinggi
baik dihadapan Allah maupun dihadapan sesama manusia.
Manusia yang mampu memahami dirinya secara utuh, maka akan sampai pada
pengetahuan kedekatannya tentang Tuhan. Artinya, manusia yang mampu mengenal
dirinya sendiri, maka sungguh ia telah mengetahui dan mengenal Tuhannya. Pada
tataran ini, tidak ada batas dan tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi
hubungan langsung antara manusia dengan Allah. Menurut Harun Nasution “Intisari
dari mistisme, termasuk didalamnya sufisme adalah kesadaran adanya komunikasi
dan dialog antara roh manusia dengan Tuhannya dengan mengasingkan diri dan
berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk
ittihad bersatu dengan Tuhan.Manshur al-Hallaj dalam pengalaman
spiritualnya, menemukan sebuah
formulasi komunikasi ideal antara manusia
dengan Tuhannya. Formulasi ini dibangun berdasarkan persepsinya yang utuh bahwa
antara manusia dan Tuhan memiliki dua sifat yang sama, yaitual-Lahut
danal-Nasut. Apabila kedua sifat ini melebur jadi satu, maka berarti antar
manusia dengan Allah sebagai Tuhannya bisa menyatu. Momentum menyatunya
antaraal-Lahut dan al-Nusut ini dalam teori tasawufnya Mansur al-Hallaj disebut
al-Hullul.
Abu Yazid
al-Bustami dalam pengalaman spiritualnya menemukan sebuah formulasi yang
dikenal dengan istilahfana’,baqa’, dan ittihad, istilah ini lahir setelah
beliau mengungkapkan perkataan ganjilnya yang seolah-olah bertentangan dengan
kebiasaan sehari-hari pada pengalaman banyak orang
B. Konsep al-Hulul dalam teorinya Mansur
al-Hallaj
1. Sketsa Biografi dan Bangunan Pemikiran
Keagamaan Mansur al- Hallaj.
Manshur
al-Hallaj lahir di Persia (Iran) pada tahun 224 H/858 M. Nama lengkapnya adalah
Abu al-Mughist al-Husain ibn Mansur ibn Mahma al-Baidlawi al-Hallaj. Ayahnya
bekerja sebagai pemital kapas. Kakeknya yang bernama Mahma adalah seorang
Majusi. Ketika masih kecil, ayahnya pindah ke Tustar, kota kecil dikawasan
Wasith, dekat Baghdad.
Masa kecilnya
banyak dihabiskan untuk belajar ilmu keagamaan. Sejak kecil, al-Hallaj mulai
belajar membaca al-Qur’an, sehingga berhasil menjadi penghafal al-Qur’an
(hafidz). Pemahaman tasawuf pertama kali ia kenal dan pelajari dari seorang
sufi yang bernama Sahl al-Tustari. Karena pengembaraannya yang intens, maka ia
dikenal sebagai seorang sufi yang berkelana ke berbagai daerah. Berkelananya ke
berbagai daerah, mengantarkan ia dapat berkelana, bertmu, berteman dan bahkan
berguru kepada para sufi kenamaan pada masa itu.
Menginjak usia
20 tahun, al-Hallaj meninggalkan Tustar menuju kota Basra dan berguru kepada
Amr Makki. Untuk memperdalam keilmuannya, seterusnya pindah ke kota Bagdad
untuk menemui sekaligus berguru kepada tokoh sufi modern yang termasyhur, yaitu
al-Junaid al- Baghdadi. Ia digelari al-Hallaj karena penghidupannya yang dia
peroleh dari memintal wol. Dalam sumber lain dijelaskan, bahwa disebut al- Hallaj
karena dapat membaca pikiran-pikiran manusia yang rahasia, maka terkenal dengan
Hallaj al-Asror, penenun ilmu ghaib.
Selanjutnya,
al-Hallaj muda pergi ke kota Makkah. Di kota suci ini, ia menetap selama kurang
lebih satu tahun. Selama di kota suci ini ia tinggal dan bermukim di pelataran
Masjid al-Haram sambil melakukan praktek kesufiannya. Pada situasi dan kondisi
seperti inilah, ia mengalami dan merasakan sebuah pengalaman spiritual yang
tiada tara bandingannya. Dalam sebuah pengakuannya, ia telah mengalami
pengalaman mistik yang luar biasa, yang pada wacana berikutnya kemudian
terkenal dengan istilah hulul.
Pada ujung
proses merasakan dan mengalami pengalaman spiritual yang luar bisa tersebut,
al-Hallaj memutuskan untuk kembali ke kota Baghdad dan menetap di kota ini
sambil terus menyebarkan ajaran tasawufnya. Tetapi demikian, keadaan menentukan lain dan
memaksanya menjadi rakyat yang tertindas dari kekejaman penguasa saat itu. Pada
tanggal 18 Dzulkaidah 309 H / 922 M ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh
pengusa Dinasti Abbasiyah (Khalifah Al-Muktadir Billah). Motive dan latar
belakang penangkapan dan vonis hukuman mati ini adalah bermuara dari tuduhan
membawa paham hulul yang dianggap menyesatkan ummat. Sisi lain, al-Hallaj juga
dituduh mempunyai hubungan dengan Syiah Qaramitah.
2. Konsep al-Hullul Mansur al-Hallaj
Konsep yang diusung oleh Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya
sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan
segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih
dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas Islam
yang senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang
Satu, dan mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan Realitas-Nya yang melampaui
segala manifestasi dan determinasi, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam
al-Qur’an dengan nama Allah.
Ajaran tasawuf
al-Hallaj yang terkenal adalah konsep hulul. Tuhan dipahami mengambil tempat
dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia tersebut betul-betul berhasil
melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya.
Menurut al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat
ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan). Demikian juga manusia juga
memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu, antara Tuhan dan manusia
terdapat kesamaan sifat. Argumentasi pemahaman ini dibangun berdasarkan
kandungan makna dari sebuah hadits yang mengatakan bahwa : “Sesungguhnya Allah
menciptakan Adam sesuai dengan bentukNya” sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim, dan Ahamad bin Hambal atau Imam Hambali. Hadits ini memberikan
wawasan bahwa di dalam diri Adam as terdapat bentuk Tuhan yang disebutal-
lahut. Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat bentuk manusia yang disebutal-nasut.
Berdasarkan
pemahaman adanya sifat antara Tuhan dan manusia tersebut, maka integrasi atau
persatuan antara Tuhan dan manusia sangat mungkin terjadi. Proses bersatunya
antara Tuhan dn manusia dalam pemahaman ini adalah dalam bentuk hulul.
Bersatunya
antara Tuhan dan manusia harus melalui proses bersyarat, dimana manakala
manusia berkeinginan menyatu dengan Tuhannya, maka ia harus mampu melenyapkan
sifat al-nasutnya. Lenyapnya sifat al-nasut, maka secara otomatis akan
dibarengi dengan munculnya sifat al-lahut dan dalam keadaan seperti inilah
terjadi pengalaman hulul.
Untuk
melenyapkan sifat al-nasut, seorang hamba harus memperbanyak ibadah. Dengan
membersihkan diri melalui ibadah dan berhasil usahanya melenyapkan sifat ini,
maka yang tinggal dalam dirinya hanya sifat al-lahut. Pada saat itulah sifat
al-nasut Tuhan turun dan masuk ke dalam tubuh seorang Sufi, sehingga terjadilah
hulul, dan peristiwa ini terjadi hanya sesaat.
Pernyataan
al-Hallaj bahwa dirinya tetap ada, yang terjadi adalah bersatunya sifat Tuhan
di dalam dirinya, sebagaimana ungkapan syairnya :
“Maha suci zat
yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia
ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan
bagi makhluknya
dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan
dan minum”.
Dalam syair di
atas tampak Tuhan mempunyai dua sifat dasar ke- Tuhanan, yaitu “Lahut” dan
“Nasut”. Dua istilah ini oleh al-Hallaj diambil dari falsafah Kristen yang
mengatakan bahwa Nasut Allah mengandung tabiat kemanusiaan di dalamnya. Dalam
konsep hulul al-Hallaj dimana Tuhan dengan sifat ketuhanan menyatu dalam
dirinya, berbaur sifat Tuhan itu dengan sifat kemanusiaan.
Penyatuan
antara roh Tuhan dengan roh manusia dilukiskan oleh al-Hallaj di dalam syairnya
sebagai berikut :
“JiwaMu
disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur dicampur dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh
aku pula dan ketika itu dalam setiap keadaaan Engkau adalah aku”.
Bahkan didalam syairnya yang lain, al-Hallaj
melukiskan dengan sangat jelas bahwa :
“Aku adalah Dia
yang kucintai dan Dia yang kucinta adalah aku.
Kami adalah dua roh yang bersatu dalam satu
tubuh. Jika engkau lihat
aku, engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat
Dia, engkau lihat kami”.
Tatkala
peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat (kata-kata aneh) dari
lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar).
Kataal-Haq dalam istilah tasawuf, berarti Tuhan. Sebagian masyarakat saat itu
menganggap al-Hallaj telah kafir, karena ia mengaku dirinya sebagai Tuhan. Padahal
yang sebenarnya, dengan segala kearifan dan kerendahan hati spiritualnya,
al-Hallaj tidak mengaku demikian. Perspektif ini dibangun berdasarkan ungkapan syairnya
yang lain dengan mengatakan bahwa :
“Aku adalah
Rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha
Benar itu aku, aku hanya satu dari yang benar,
dibedakanlah antara kami
atau aku dan Dia Yang Maha Benar”.
Dalam
pengertian lain dapat diungkapkan bahwa syatahat yang keluar dari mulut
al-Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui lidahnya.
Dengan ungkapan
ini, semakin tidak mungkin untuk memahami bahwa maksud al-Hallaj dengan
hululnya dalam berbagai syairnya adalah dirinya al-Haq. Jadi karena sangat
cintanya kepada Allah menjadikan tidak ada pemisah antara dirinya dengan
kehendak Allah, seolah-olah dirinya dan Tuhan adalah satu. Sebagaimana
diungkapkan dalam syairnya : “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang
kucintai adalah aku”.
Seandainya apa
yang dikemukakan oleh Harun Nasution, tentang tafsiran al-Hallaj mengenai
perintah Tuhan agar sujud kepada Adam (QS. 2 : 34) adalah pendapat yang
sebenarnya yang dimaksud oleh al-Hallaj, tentu ini pandangan yang sesat. Karena
apabila masuk ke jiwa seseorang misalnya Isa, maka jadilah Tuhan semisal Isa,
ini bertentangan dengan firman Allah “Laisa kamitslihi syaiun”. Apabila dengan
masuknya Tuhan ke dalam diri manusia tidak dengan tidak mengurangi keberadaan
Tuhan, maka berarti ada dua Tuhan atau sekurang-kurangnya belahan Tuhan yang dapat
dinamakan dengan anak Tuhan sebagaimana yang disebut penganut Kristen sekarang,
tentu ini sangat bertentangan dengan Al-Qur’an Surat Al-Ikhlash.
Tetapi pendapat al-Hallaj bahwa dalam diri manusia
terdapat sifat ketuhanan itu akan masuk ke dalam diri manusia dengan jalan
fana’ yaitu dengan menghilangkan sifat kemanusiaan, hal ini dapat diterima. Sebagaimana
menurut al-Hallaj ia bukanlah Yang Maha Benar, tetapi hanyalah satu dari yang
benar. Jadi menurutnya, ia bukan Tuhan. Oleh karena itu yang lebih tepat dalam
manafsirkan atau memahami ajaran al- Hallaj adalah bahwa menurutnya, Tuhan
mengisi diri manusia-manusia tertentu dengan sifat ketuhanan, maka jadilah
manusia itu satu dari yang benar, dialah manusia yang memiliki /
dikaruniai sifat Tuhan.
C.Konsep
al-Ittihad dalam teorinya Abu Yazid al-Bustami
1. Sketsa Biografi
Nama lengkapnya
adalah Abu Yazid Taifur bin Isa Surusyan, juga dikenal dengan Bayazid. Beliau
dikenal sebagai salah seorang sufi kenamaan Persia abad ke-III dari Bistam
wilayah Qum,27 lahir pada tahun 874 M
dan wafat pada usia 73 tahun. Ayahnya seorang pemimpin di Bistam dan ibunya
seorang yang zahid, sedangkan kakeknya seorang Majusi yang memeluk Islam dan
menganut madzhab Hanafi.
Abu Yazid
mengatakan “Dua belas tahun lamanya aku menjadi penempa besi bagiku. Kulempar
diriku dalam tungku riyadhah. Kubakar dengan api mujahadah. Kuletakkan tersebut
alas penyesalan diri sehingga dapatlah kujumpai sebuah cermin diriku sendiri.
Lima tahun lamanya aku menjadi cermin diriku yang selalu kukilapkan dengan
bermacam-macam ibadah dan ketaqwaan. Setahun lamanya aku memandang cermin
diriku dengan penuh perhatian, ternyata diriku kulihat terlilit sabuk takabbur,
kecongkaan, ujub, riya’, ketergantungan kepada ketaatan dan membanggakan amal.
Kemudian aku beramal selama lima tahun sehingga sabuk itu putus dan aku merasa
memeluk Islam kembali. Kupandang para makhluk dan aku lihat mereka semua mati,
sehingga aku kembali dari janazah mereka semua. Aku sampai kepada Allah dengan
pertolongan-Nya tanpa perantara makhluk”.
2. Al-Ittihad
Keadaan ini
merupakan suatu tingkatan dalam tasawuf, dimana seorang sufi merasakan dirinya
telah bersatu dengan Tuhan, saat yang mencintai dan yang dicintai telah
menyatu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang lain dengan kata
“hai aku”.
Ittihad tidak
muncul dengan begitu saja, tetapi harus setelah menenpuh tingkatan fana’- baqa’
yang dapat ditempuh dengan menyadari keadaan dirinya sebagai individu yang
terpisah dari Tuhannya, dilanjutkan dengan memperjuangkan tersingkapnya
pembatas yang menghalangi pandangan mata hatinya, dengan mengikis sifat-sifat
tercela, yang dilakukan secara terus manarus.
Setelah Abu
Yazid mengalami ke-fana’an, dengan sirnanya segala sesuatu yang selain Allah
dari pandangannya, saat itu dia tidak lagi menyaksikan selain hakikat yang
satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya
telah terlebur dalam Dia yang disaksikannya. Dalam keadaan yang seperti ini
terjadi penyatuan dengan Yang Maha Benar. Kondisi seperti itu telah
menghilangkan batas antara sufi dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang
dicintai. Pada saat seperti ini sufi dapat melihat dan merasakan rahasia Tuhan.
Ketika sufi telah menyatu dengan Tuhan, sering terjadi pertukaran peran antara
sufi dengan Tuhan. Saat itu sufi tidak lagi berbicara atas namanya, melainkan atas
nama Tuhan, atau Tuhan berbicara melalui mulut sufi, yang keluar dari mulutnya
ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil, sebagaimana yang pernah
diungkapkan Abu Yazid; pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan ia
berkata “Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau”, aku menjawab “kekasihku
aku tidak ingin melihat mereka, tetapi jika itu kehendak-Mu, hiaslah aku dengan
keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata ‘telah
kami lihat engkau’, tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika
itu aku tidak ada disana”.
Ketika terjadi ittihad secara utuh, Abu Yazid mengatakan dalam syatahatnya :
“Tuhan berkata ; semua mereka kecuali engakau adalah makhluk-Ku”, akupun
berkata, “Aku adalah Engkau, Engaku adalah aku adalah Engkau”, maka
pemilahanpun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Dia
berkata, “Hai engkau”, aku dengan perantara-Nya menjawab, “Hai aku”. Dia
berkata, “Engkau yang satu”. Aku menjawab, “Akulah yang satu”. Dia selanjutnya
berkata, “Engkau adalah engaku”. Aku menjawab, “Aku adalah aku”. Kata aku yang diucapkan
Abu Yazid bukanlah sebagai gambaran diri Abu Yazid tetapi sebagai gambaran
Tuhan, karena saat itu Abu Yazid telah bersatu dengan Tuhan, dengan kata lain,
dalamittihad Abu Yazid berbicara dengan nama Tuhan atau lebih tepat lagi, Tuhan
berbicara melalui lidah Abu Yazid.
Dalam peristiwa
lain, Abu Yazid dikunjungi seseorang, kemudian ia bertanya : “Siapa yang engkau
cari ?”, jawabnya, jawabnya, “Abu Yazid”, Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, di
rumah ini tak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi”.
Dengan
ucapan-ucapan yang telah dikemukakan, Abu Yazid terlihat telah bersatu dengan
Tuhan. Sehingga dia tidak sadar akan diri dan lingkungannya karena yang ada
saat itu hanya Allah semata. Sebenarnya Abu Yazid tetap mengakui adanya wujud,
Tuhan dan Makhluk, hanya saja dia merasakan kebersatuan antara keduanya,
sedangkan masing-masing masih tetap dalam esensinya, Tuhan tetap Tuhan, makhluk
tetap makhluk. Ketika terjadinya ittihad, yang dimaksud bersatu adalah dalam
arti ruhani, bukan hakekat jazad.
Ittihad terjadi dengan perantara fana’-baqa’ sebagaimana telah dikemukakan,
digambarkan sebagai jiwa yang kehilangan semua hasrat, perhatian dan menjadikan
diri sebagai obyek Tuhan, dengan cinta di dalam batin, pikiran sifat-sifat
kebaikan yang menimbulkan kekaguman dalam dirinya. Sebagaimana diceritakan
bahwa Abu Yazid pernah mengatakan “Aku tidak heran terhadap cintaku
pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap
cinta-Mu padaku, karena Engkau Raya Yang Maha Kuasa”. Dia juga menyatakan, “Manusia
bertaubat dari dosa-dosa mereka, tetapi aku taubat dari ucapanku “Tidak ada
Tuhan selain Allah”, karena dalam hal ini aku memakai alat dan huruf,
sedangkan Tuhan tidak dapat dijangkau dengan alat dan huruf”.
Semakin
larutnya dalam ittihad, di suatu pagi setelah shalat shubuh, Abu Yazid pernah
melafalkan kalimat sampai orang lain menganggapnya orang gila dan menjauhinya
dengan kalimat, “Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan selain aku, maka
sembahlah aku, maha suci aku, maha suci aku, maha besar aku”.
Ungkapan-ungkapan
yang dikeluarkan oleh Abu Yazid tersebut tidak dapat dilihat secara harfiah,
tetapi harus dipandang sebagai ungkapan seorang sufi yang sedang dalam
keadaanfana’, seluruh pikiran, kehendak dan tindakannya telahbaqa’ dalam Tuhan.
Pada dasarnya semua wujud, selain wujud Tuhan adalahfana’, atau segala sesuatu
selain Tuhan, dipandang dari keberadaan dirinya, sudah tidak adafana’. Dengan demikian
satu-satunya wujud yang ada hanyalah wujud Tuhan.
Dalam
pengalaman tasawuf, keadaan fana’ para sufi berbeda antara satu dengan yang
lain. Ada yang kembali kepada keadaan normal sehingga dia tetap menganggap
dualitas antara Tuhan dan alam, tetapi ada pula yang betul-betul merasakanfana’
yang kemudian mengantarkan bersatu dengan Tuhan, sehingga tidak ada perbedaan
antara Tuhan, dengan alam, atau sebaliknya.
Walaupun Abu
Yazid di pandang sebagai tokoh terpandang dalam bidangnya, ternyata juga
mendapat kritik, sebagai contoh adalah al-Thusi, yang memaparkan bahwait tihad
sebagaimana yang di lakukan oleh Abu Yazid, yang diawali oleh keadaanfana’,
patut diwaspadai bahaya-bahaya yang akan di timbulkannya, karena menurutnya,
sifat-sifat kemanusiaan tidak mungkin sirna dari manusia. Oleh karena itu
persangkaan bahwa manusia bisa fana’, sehingga ia bersifat sebagaimana sifat
ketuhanan, adalah keliru. Akibat ketidak tahuannya, pendapat itu hanya akan mengantar
mereka kepada hulul atau pendapat orang nasrani tentang isa al-Masih.
Tetapi juga tidak kurang dari tokoh sufi lain yang
memberikan dukungan, sebagaimana di sampaikan oleh Al-Junaidi, yang menyatakan dapat
memahami ungkapan yang di keluarkan Abu Yazid. Bahkan Abd al- Qadir al-Jailani
memberikan komentar, “Terhadap apa yang di ucapkan para sufi, tidak bisa
dijatuhkan hukum, kecuali apa yang di ungkapkannya dalam keadaan sadar”karena
persoalannya tidak lebih dari psikis yang sedang dialami oleh masing-masing
pelaku sufi yang sedang melangsungkan tawajjuh dengan Allah sehingga keadaan
alam dan seisinya benar-benar tertutup dari jangkauan akal mereka.
D. Epilog
Demikianlah
dalam perspektif al-Hallaj dan al-Bustami bahwa Tuhan dan manusia dipahami
memiliki dua sifat yang sama. Suatu saat apabila manusia berhasil menghilangkan
sifat kemanusiaannya dengan membersihkannya lewat berbagai ibadah yang tulus
ikhlas hanya mencari keridlaan Allah, maka dipastikan ia akan bisa bertemu dan
menyatu dengan sifat Allah. Sebaliknya, apabila manusia tanpa mau berusaha
menghilangkan atau melenyapkan sifat kemanusiaannya, maka sulit untuk bisa
dipastikan akan bertemu dan menyatu dengan Allah.
BIBLIOGRAPY
Abd. Hadi, M., W, dalam pengantar Saleh Abdul
Sabur, Tragei al-Hallaj,
(Bandung, Pustaka, 1976)
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya,
(Jakarta, Pustaka Panjimas,
1993)
0 Response to "KONSEP AL-HULUL DAN AL-ITTIHAD DALAM DUNIA TASAWUF"
Post a Comment