Terbentuknya kerajaan Arab Saudi
tidak terlepas dari kemunduran yang dialami oleh Daulah Utsmaniyah di Turki,
bangkitnya paham Wahabiyah di daerah Makkah, Madinah dan Basrah, serta campur
tangan penjajah dari Eropa seperti Inggris dan Prancis. Seperti
kerajaan-kerajaan lain sebelumnya, kerajaan Arab Saudi pun mengalami
pasang-surut antara masa-masa kejayaan dan kehancuran. Pada umumnya, sejarah
kerajaan Arab Saudi dibagi menjadi tiga periode: dinasti pertama pada tahun
1744-1818, dinasti kedua antara tahun 1824-1892, dan dinasti ketiga yang
dimulai pada tahun 1932 sampai sekarang.
Pada awalnya, keluarga ini hanya
sebuah keluarga yang menguasai daerah kecil sebagaimana keluarga-keluarga
lainnya di jazirah Arab. Sejarah Keluarga Sa’ud berawal pada tahun 1727, ketika
Muhammad bin Sa’ud menjadi hakim di Dir’iyah dan memutuskan untuk bersekutu
dengan Muhammad ibn Abdul Wahab pada tahun 1744. Sejak saat itu, keluarga Sa’ud
menjadi pendukung utama gerakan wahabi dan ikut menyebarkan ajaran yang
dibawanya. Gerakan Wahabi ini pada mulanya telah tersebar di daerah ‘Uyainah,
tetapi kemudian tidak mendapat dukungan dari pemerintah setempat.
Persekutuan Sa’udiyah – Wahabiyah
ini menjadi suatu kekuatan baru di dunia Arab, baik dari segi politik maupun
dari segi spritual. Ajaran Wahabi berkembang dan menjadi ideologi pemersatu
kesukuan yang bersifat keagamaan di wilayah kekuasaan Ibn Sa’ud. Dengan
semangat memurnikan kembali ajaran Islam, mereka berusaha untuk melawan
suku-suku disekitarnya sekaligus menyebarkan ajaran Wahabi. Di lain sisi,
daerah kekuasaan Ibn Sa’ud semakin meluas.
Pada masa kepemimpinan Abdul Aziz
bin Muhammad ibn Saud (1765–1803), dinasti Sa’ud berhasil merebut Riyadh yang
merupakan ibukota Nejd pada tahun 1773, kemudian meluas daerah pedalaman
Arabia. Beberapa tahin kemudian Dinasti Sa’ud berhasil menguasai Oman, Yaman,
Pedalaman Suriah, teluk Arab, hingga Karbala pada tahun 1801, di tahun
berikutnya mereka berhasil menguasai Thaif. Pendudukan ini kemudian berlanjut
pada masa pemerintahan Saud Ibn Abdul Aziz Ibn Muhammad Ibn Saud (1803–1814),
pasukannya berhasil memasuki Makkah (1803) dan Madinah (1804) dan memaksa
penguasa Hijaz pada saat itu tunduk pada pemerintahan Sa’udiyah.
Perkembangan Daulah Bani Sa’udiyah
yg begitu pesat ini, menjadikanya sebagai sebuah ancaman tersendiri bagi
kekuatan Daulah Bani Utsmaniyah di Turki. Oleh karena itu, pada tahun 1811
pemerintah Utsmaniyah mengirim Muhammad Ali Pasya untuk merebut kembali daerah
Hijaz. Usaha Muhammad Ali ini diteruskan oleh anaknya Ibrahim Pasya hingga
akhirnya dapat menguasai kota Dir’iyah tahun 1818. Setelah menguasai kota,
pemimpin dinasti Sa’ud pada saat itu, Abdullah bin Saud ditangkap dan
dieksekusi di Ibukota Utsmaniyah. Peristiwa ini menandai runtuhnya kekuatan
keluarga Sa’ud periode pertama.
Dinasti Sa’ud yang kedua dimulai sejak Turki ibn ‘Abdillah
berkuasa di Riyadh pada tahun 1824.[7] Ia berusaha mengembalikan kejayaan
Sa’udiyah, dan berhasil menguasai ‘Arid, Kharj, Hotah, Mahmal, Sudayr dan
Aflaj. Pada masa ini Turki ibn Abdillah tidak saja harus berhadapan dengan
pasukan Utsmaniyah dan pasukan Mesir, tetapi Ia juga harus meredam
pemberontakan yang dilakukan oleh Mishari yang merupakan sepupunya sendiri.
Perang saudara seperti ini terus berlanjut hingga generasi ketiga, sepeninggal
Sa’ud yang wafat pada tahun 1875. Dua saudaranya, Abdurrahman dan Abdullah
saling berebut untuk menjadi orang nomor satu di dinasti Sa’udiyah. Oleh karena
perang saudara yang berlarut-larut ini, akhirnya pada tahun 1891, dinasti
Sa’udiyah berakhir ditandai dengan terusirnya Abdurrahman ke Kuwait oleh bekas
bupatinya sendiri, Muhammad ibn Rashid.
Pada tahun 1902, Abdul Aziz yang
merupakan anak dari Abdurrahman berhasil membunuh pemimpin Bani Rashid dan
menduduki Riyadh. Peristiwa ini merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Arab
Saudi seperti yang kita ketahui sekarang ini.
B.
Lahirnya Kerajaan Arab Saudi (Al-Mamlakah Al-‘Arabiyah
As-Sa’udiyah)
Kerajaan Arab Saudi modern seperti
yang kita kenal seperti pada saat ini merupakan sebuah kerajaan bani Sa’udiyah
yang dirintis oleh Abdul Aziz As-Sa’ud atau yang lebih dikenal dengan Ibn Saud
setelah Ia menaklukan Riyadh. Ibnu Sa’ud merupakan seorang pemimpin
kharismatik, pemberani, terhormat, bahkan dikenal dengan kekejamannya pada
saat-saat tertentu. Pada awal-awal masa pemerintahannya di Riyadh, Ia
menghadapi serangan dari bani Rashid yang dibantu oleh pasukan Ottoman Turki.
Tetapi dengan bantuan Inggris dan Kuwait, pada tahun 1904 Ibnu Sa’ud berhasil
memenangkan pertempuran tersebut dan memaksa Ottoman untuk menarik pasukan
mereka.
Ibnu Sa’ud juga berhasil merengkuh
dukungan dari suku Badui dengan mendirikan sebuah organisasi yang disebut
dengan Al-Ikhwan. Melalui organisasi ini Ia mengajak para masyarakat Badui yang
memeluk paham Wahabi untuk tinggal menetap dan memberikan mereka bantuan berupa
tanah, sandang-pangan, dan lain sebagainya. Ibnu Sa’ud mulai menghilangkan
hukum-hukum adat yang berlaku dan menggantinya dengan hukum Islam, Ia mulai
berusaha menata kehidupan kaum Badui yang semula suka berpindah-pindah
tempat. Oleh karena itu, Ibnu Sa’ud
kemudian mendapat dukungan penuh dari kelompok Al-Ikhwan ini, serta dapat
memukul mundur pasukan Ottoman dari Hufuf pada tahun 1913.
Pada masa-masa menjelang perang
dunia pertama, Ibnu Sa’ud lebih memilih bekerja sama dengan Inggris. Sehingga
pada than 1915 ia mengadakan perjanjian dengan pemerintahan Inggris yang
dengannya diakuinya eksistensi dan kemerdekaan negara Saudi. Hal ini dilakukan
Inggris karena mereka menilai masa depan Ibnu Sa’ud akan jauh lebih baik dari
pada penguasa Hijaz, Husain bin Ali.
Setelah berakhirnya perang dunia
pertama, Ibnu Sa’ud kembali memperluas wilayah kekuasaannya dan mempersatukan
jazirah Arabia dibawah kerajaannya. Pada tahun 1920 Ia memulai ekspansi ke
Ha’il dan berhasil menghapus kekuasaan dinasti Rasyidiyah. Setahun kemudian Ia
memplokamirkan diri sebagai penguasa Nejd. Tahun 1922 Ibnu Sa’ud meluncurkan
serangan ke Hijaz, Ia berhasil membuat penguasa Hijaz ketakutan dan memasuki
kota Makkah tanpa perlawanan pada tahun 1924.
Pada tahun 1927 Inggris kemudian
mengadakan perjanjian dengan Ibnu Sa’ud dan mengakui kemerdekaan dari wilayah
kekuasaan Sa’udiyah pada saat itu. Tetapi ini justru menyebabkan perpecahan
antara Ikhwan dan pemerintahan Ibnu Sa’ud. Hal ini didasari oleh dibangunnya
pos penjagaan oleh Irak didekat perbatasan Saudi. Kelompok Ikhwan yang tidak
setuju dengan hal tersebut menyerang pos tersebut, serangan ini menyebabkan
terjadinya konflik dengan Inggris. Di lain pihak, Ibnu Sa’ud menginginkan
penyelesaian masalah tersebut secara diplomatis, yang mana sangat bertentangan
dengan keinginan kaum Al-Ikhwan. Hal ini mengakibatkan pemberontakan kelompok
Al-Ikhwan terhadap pemerintahan Ibnu Sa’ud. Pada Januari 1930, Ibnu Sa’ud
berhasil meredam pemberontakan ini dan mengubah pola pengajaran diwilayah
kekuasaan kerajaan Sa’udiyah.
Setelah pemberontakan Al-Ikhwan,
pemberontakan-pemberontakan kembali terjadi untuk meruntuhkan rezim Ibnu Sa’ud.
Untuk menjaga stabilitas di wilayah kekuasaannya, Ibnu Sa’ud kemudian menumpas
semua kelompok pemberontak dan melarang segala bentuk gerakan politik yang
sebelumnya diperbolehkan.[13] Pada tahun 1932 Ia berhasil memplokamirkan
penggabungan Hijaz dan Najd, hingga puncaknya Ibnu Sa’ud memplokamirkan
berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada tanggal 23 September 1932.
C.
Perkembangan Islam pada Masa Dinasti Sa’ud
Pada hakikatnya, Islam telah
tersebar di jazirah Arab sejak diangkatnya Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul.
Jazirah Arab meupakan tempat Islam mulai tumbuh dan berkembang sejak beliau
Hijrah dari Makkah ke Madinah, serta diteruskan oleh para Khulafa’ur Rasyidin.
Pusat pemerintahan Islam terbesar kemudian berpindah ke Damaskus pada masa
Daulah Bani Umayyah, ke Baghdad pada masa Daulah Abbasiyah, bahkan beralih ke
Turki pada masa Daulah Utsmaniyah. Jazirah Arab kemudian kembali bergeliat pada
masa-masa kehancuran Utsmaniyah hingga menjadi sebuah kerajaan besar dibawah
pimpinan Ibnu Sa’ud.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kejayaan
Dinasti Sa’ud sangan dibantu dengan gerakan paham Wahabiyah yang dibawa oleh
Muhammad Ibnu Abdul Wahab. Bahkan dapat dikatakan Kerajaan Sa’udiyah tidak
dapat berkembang pesat apabila tidak diiringi dengan misi untuk menyebarkan
paham ini. Seperti yang telah dijelaskan diatas, paham ini menjadi ideologi
pemersatu bangsa Arab dan mendorong semangat untuk memperluas wilayah cakupun
penganutnya sekaligus wilayah kekuasaan Dinasti Sa’udi.
Salah satu faktor berkembangnya
paham Wahabi di Jazirah Arab ini karena ketertinggalan mereka dalam masalah
Agama. Hal ini disadari oleh para ulama-ulama yang belajar di Damaskus kemudian
kembali ke Nejd, mereka menilai para masyarakat muslim di Jazirah Arab sangat
tertinggal diantaranya dengan banyaknya jumlah kaum muslimin yang buta huruf
dan berkehidupan mengembara seperti pada masa Jahiliyah. Oleh karena itu,
Muhammad Ibnu Abdul Wahab kemudian berusaha untuk mengajarkan ilmu pengetahuan
baru dan membawa beberapa perubahan-perubahan yang masih sangat awam bagi
masyarakat Arab.
Hal ini mendapat dukungan penuh dari
Muhammad bin Sa’ud dan bersama mereka berusaha membangun peradaban dan dinasti
baru di Jazirah Arab. Mereka kemudian mulai berusaha mengembalikan nilai-nilai
suci Islam dengan menghancurkan berhala-berhala yang mulai berkembang,
menghancurkan bangunan-bangunan yang disucikan diatas kuburan, dan salah satu
perubahan yang dapat dirasakan sampai sekarang adalah menyatukan pelaksanaan
shalat di Hijaz. Telah menjadi tradisi, shalat jama’ah dilakukan empat kali
dalam setiap shalat berdasarkan empat madzhab yang berkembang saat itu, hal ini
kemudian dihapuskan oleh Sa’ud.
Di samping itu, ternyata perluasan
wilayah oleh dinasti Sa’ud juga memperoleh dukungan dari ajaran Wahabi tentang
Jihad. Muhammad Ibnu Abdul Wahab menilai jihad perlu dilakukan untuk tiga hal;
pertama ketika bertemu dengan pasukan kafir, kedua ketika pasukan kafir
mendekati wilayah kaum muslimin, dan ketiga ketika jihad dirasa oleh Imam
ataupun pemimpin perlu dilakukan. Hal ini tentu sangat mendukung dinasti Sa’ud
untuk memperluas wilayah kekuasaannya, disamping itu pula membantu Wahab untuk
memperluas paham dan ajaran yang dibawanya.
Setelah kemunduran yang dialami oleh
dinasti Sa’ud yang pertama, penyebaran ajaran Wahabi seakan ikut terhenti. Hal
ini didasari karena wilayah jazirah Arab kembali dikuasai oleh Daulah
Utsmaniyah, dan dengan bantuan Irak mereka berusaha untuk membendung gerakan
Wahabi. Kerja sama ini pun tidak lepas dari kepentingan politik Turki dan Irak
untuk melawan ekspansi Rusia.
Pada masa awal pembentukan Kerajaan
Arab Saudi Modern, Ibnu Sa’ud pun berusaha merangkul para ulama dan pengikut
Wahabi. Telah dijelaskan diatas bahwa Ibnu Sa’ud membangun sebuah organisasi
Al-Ikhwan dan memberi suntikan bantuan untuk membiayai kehidupan mereka. Kebijakan
ini berhasil menarik simpati dan dukungan kaum Wahabi pada Ibnu sa’ud. Ia
kemudian mulai memerangi gerakan anti-Wahabi dan menggantikan ulama-ulama lokal
dengan para syekh Wahabi. Sebaliknya
Wahabi mengeluarkan fatwa-fatwa yang menguntungkan Ibnu Sa’ud, diantarnya fatwa
mati terhadap Ibnu Umar karena menentang pemerintah dan ingin meruntuhkan
pemimpin yang sah.
Dapat kita simpulkan bahwa paham
Wahabi yang diajarkan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab merupakan salah satu faktor
pendorong kemajuan Dinasti Sa’ud. Sebaliknya, dinasti Sa’ud merupakan salah
satu pelopor penyebaran ajaran Wahabi di jazirah Arab. Dua kekuatan ini bersatu
dan saling melengkapi satu sama lain sehingga membentuk suatu kekuatan besar di
Asia Timur Tengah.
D.
Keadaan Sosial Bangsa Arab pada Masa Berdirinya Dinasti
Sa’ud
Dalam sejarah Islam dan dalam
stuktur esensialnya, orang-orang Arab menempati posisi khusus. Nabi Muhammad
saw adalah orang Arab, dakwah pertamanya kepada orang Arab, Islam pun maju dan
berkembang berkat bangsa Arab. Bahasa Arab menjadi merupakan bahasa ibadah,
teologi, dan hukum. Di mata Islam tidak mengenal perbedaan antara bangsa Arab
dan bangsa lainnya, tetapi pada kenyataannya rasa perbedaan etnis tetap
bertahan baik dalam budaya, sastra, maupun perebutan kekuasaan. Bangsa Arab
dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme yang tinggi terhadap darah keturunan
mereka.
Pada perkembangan selanjutnya, pusat
umat Islam berpindah dari jazirah Arab. Pada masa dinasti Umayah, Muawiyah bin
Abi Sofyan memindahkan pusat dinastinya ke Damaskus Syiria. Pada masa dinasti
‘Abbasiyah, Abdullah As-Saffah memindahkan pusat peradaban Islam ke kota
Baghdad, Iran, Dinasti besar Islam selanjutnya, dinasti Utsmaniyah berada di
daerah Turki. Perpindahan kekuasaan dan pusat kebudayaan ini semakin menjauh
dari jazirah Arab yang merupakan pusat dakwah Islam pertama oleh Rasulullah
saw.
Kekuasaan memang terus berpindah
kepada kelompok-kelompok ‘Ashabiyah, baik itu Persia maupun Turki. Namun hal
ini tidak serta-merta menghapus kekuatan bangsa Arab, bahasa Arab tetap
mempertahankan posisi khususnya sebagai bahasa kebudayaan dan bahasa agama.
Dengan demikian melalui sarana-sarana tersebut orang-orang Arab masih memainkan
suatu peran dalam kehidupan publik komunitas Islam.
Ketika dinasti Utsmaniyah mulai
mengalami kemunduran, terjadi pergeseran keseimbangan kekuasaan di dalam umat
antara bangsa Turki dan bangsa Arab. Orang-orang Arab dianggap dapat
menyelematkan Islam dari keruntuhan. Hal
ini didasari oleh posisi sentral semenanjung Arab di kalangan umat
muslim, disamping itu karena posisi bahasa Arab dalam pemikiran Islam, bangsa
Arab pada waktu itu juga dianggap relatif bebas dari korupsi modern dan
orang-orang Badui bersih dari keruntuhan moral dan kepasifan despotisme.
Pada akhir abad ke-19, perasaan
nasionalisme dikalangan umat muslim mulai berbentuk sekuler. Majalah Bustani
Al-Jinan membuat seruan khusus terhadap perasaan lokal seraya menyerukan
kesatuan di dalam wathan Utsmaniyah, tetapi hal ini diiringi dengan seruan
kesatuan nasionalisme (bilad) Suriah. Keadaan pada masa ini harapan mengenai
kesatuan Utsmaniy sangat tinggi, tetapi kobaran perasaan nasionalis masih
terfokus pada unit teritorial yang lebih kecil, terbagi-bagi baik secara
geografis maupun keturunan.
Pengelompokan-pengelompokan akibat
perasaan nasionalis (Bilad/Bustan) ini terus berkembang hingga menimbulkan
pemberontakan kepada dinasti Utsmaniyah. Sejumlah besar umat muslim
menginginkan suatu negara Arab merdeka dibawah seorang raja Arab, tetapi
sebagian umat muslim yang merupakan pengikut partai Desentralisasi menginginkan
untuk mendirikan negara Suriah merdeka. Gerakan-gerakan ini memperoleh dukungan
dari negara-negara eropa, baik Inggris
maupun Prancis.
Memasuki abad ke-20, raja Faishal
berusaha keras untuk mempertahankan dukungan Inggris dengan bersikap akomodatif
terhadap Prancis dan orang-orang Yahudi. Pada tahun 1920 Ia mendeklarasikan
diri sebagai raja Suriah dan sebagai wakil dari orang-orang Muslim, Kristen,
maupun Yahudi. Keputusan-keputusan ini tidak disetujui oleh Inggris dan
Prancis.hal ini memicu ketegangan diantara kedua belah pihak yang berakibat
didudukinya Suriah oleh Prancis. Pendudukan ini berdampak pada masa depan
negara-negara di kawasan jazirah Arab. Suriah dan Irak ditempatkan dibawah
mandat Inggris dan Prancis, sementara Hijaz menerima kemerdekaannya. Hal inilah
yang semakin menguatkan keberadaan dinasti Sa’ud di kawasan jazirah Arab.
E.
Geografi
Peta Arab Saudi
Negara : Arab Saudi
Ibu kota : Riyadh
Luas
wilayah : 2.240.000 km2
Bentuk pemerintahan : Kerajaan
Jumlah
penduduk : 25.100.430 jiwa
Lagu
kebangsaan : "As-Salam,
Al-Malaky, As-Saudi"
Bahasa : Arab
Agama : Islam
Mata uang : Real
a. Bentuk Pemerintahan Negara Arab
Saudi
Bentuk pemerintahan Negara Arab
yaitu kerajaan berkostitusi dengan kepala Negara raja dan kepalal pemerintahan
perdana menteri. Negara Arab Saudi beribu kota Riyadh. Raja memegang fungsi
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Raja juga mempunyai hak istimewa untuk
membentuk dan membubarkan dewan menteri. Calon anggota dewan menteri harus
bersumpah setia kepada raja sebelum diangkat. Kendati dewan menteri sebenarnya
bertanggung jawab atas masalah pemerintahan, Badan ini juga menjadi badan
legislatif.
b. Letak, Batas, Dan Luas Arab Saudi
Letak Astronomis
Secara astronomis Negara Arab Saudi
Terletak diantar 15o LU – 32o LU dan antara 34o BT – 57o BT
Letak Geografis
Negara Arab Saudi berada di kawasan
Asia Barat, tepatnya di Semenanjung Arab.
Batas-batas Negara
a. Sebelah timur : berbatasan dengan Teluk Persia dan
Uni Emirat Arab.
b. Sebelah Barat : berbatasan dengan Laut Merahdan
Teluk Aqaba.
c.Sebelah utara : berbatasan dengan Yordania,Irak,
dan Kuwait.
d. Sebelah selatan : berbatasan dengan Oman dan Yaman.
Luas : Luas negara Kenya adalah 2.240.000 km2.
Dibandingkan
dengan luas negara Indonesia yang luasnya 1.906.240 km2. Berarti
luas negara Arab lebih luas dibandingkan dengan luas negara Indonesia.
0 Response to "KERAJAAN ARAB SAUDI"
Post a Comment