A.
Proses Munculnya Dinasti Abbasiyah
Perjuangan Bani
Abbas untuk keluar dari bayang- bayang Dinasti Umayyah secara intensif baru di
mulahi berkisar antara 5 tahun menjelang revolusi Abbasiyah. Pelopor utamanya
adalah Muhammad Ibn Ali al-Abbas di Hamimah. Ia telah banyak belajar dari kegagalan
Syiah di karenakan kurang terorganisis perencanaan perlawanan. Selain itu
secara politik kekuatan Syiah hanya terpusat di Kufa, yang notabene tidak bisa
bergerak secara leluasa. Dari itulah kemudian Abbas mengatur pergerakanya
secara rapi dan terencana sama seperti konsep gerakan- gerakan pada masa
sekarang. Di mana harus di mulai dari perencanaan isu politik yang matang,
kemudian bergerak secara sistematis dan taktis.
Muhammad Ibn
Ali al-Abbas mulai melakukan pergerakannya dengan langkah-langkah awal yang
sistematis, diantaranya; Pertama, membuat propaganda agama untuk
menghasut rakyat menentang kekuasaan Umayyah, serta menanamkan ide-ide tentang
hak khalifah. Kedua, membantuk faksi-faksi Hamimah, faksi Kufah, dan
faksi Khurasan. Ketiga faksi ini bersatu dalam satu tujuan menumbangkan Dinasti
Umayyah. Ketiga, ide tentang persamaan antara orang Arab dan Non Arab.
Namun di balik isu propaganda itu ada isu yang paling penting yaitu tegaknya
Syariat Islam, dimana hal tersebut tidak pernah terjadi pada masa Dinasti Bani
Umayyah.
Propaganda
Abbasiyah dilaksanakan dengan dua tahap, yakni Pertama dilaksanakan
dengan sangat rahasia tanpa melibatkan pasukan perang, mereka berdakwah atas
nama Abbasiyah sambil berdagang mengunjungi tempat-tempat yang jauh, dan dalam
kesempatan menunaikan Haji di Mekkah. Para pendakwah Abbasiyah berjumlah 150
orang di bawah para pemimpinnya yang berjumlah 12 orang, dan pucuk pimpinnanya
adalah Muhammad Ibn Ali. Kedua, menggabungkan para pengikut Abu Muslim
al-Khurasan dengan pengikut Abbasiyah.
Propaganda-propaganda
tersebut sukses membakar semangat api kebencian umat Islam kepada Dinasti Bani
Umayyah. Langkah pertama memperoleh sukses besar melalui propaganda-propaganda
yang dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasan dengan cara menyatakan bahwa
al-Abbas adalah ahli al-Ba’it, sehingga lebih berhak menjadi Khalifah
dan menyebarkan kebencian dan kemarahan terhadap Dinasti Bani Umayyah, dan
mengembangkan ide-ide persamaan antara orang-orang Arab dengan non Arab karena
objek propaganda Abu Muslim tersebut adalah wilayah Khurasan yang notabene
merupakan basis kelompok Mawali.
Propaganda
dengan cara menghasut dan menyombongkan diri (membangga-bangkan kelompoknya
sendiri) yang dilakukan oleh Bani Abbas sangat bertentangan dengan politik
Islam dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 83 dikatakan :
Artinya : “Negeri akhirat itu, kami jadikan
untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di
(muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang
bertakwa”.
Setelah
Muhammad Ibn Ali meninggal tahun 743 M, perjuangan dilanjutkan oleh saudaranya
Muhammad Ibn Ibrahim sampai tahun 749 M karena diketahui oleh Marwan Ibn
Muhammad (Khalifah Bani Umayyah), Ibrahim ditangkap dan dipenjarakan di Harran,
sebelum dieksekusi, Ibrahim telah menyerahkan kepemimpinan kepada keponakannya
Abdullah Ibn Muhammad dan memerintahkan pusat gerakan di pindahkan dari Hamimah
ke Kufah, maka pindahlah mereka diiringi pembesar-pembesar Abbasiyah yang lain
seperti Ja’far, Isa Ibn Musa, dan Abdullah Ibn Ali. Sedangkan pemimpin
propaganda dibebankan kepada Abu Salama. Pada masa inilah revolusi Abbasiyah
berlangsung.
Pimpinan Bani
Umayyah di Kufa, Yazid Ibn Umar Ibn Hubairah ditaklukan oleh Abu Salama pada
tahun 132 H dan diusir ke Wasit, selanjutnya Abdullah Ibn Ali diperintahkan
mengejar Khalifah Umayyah terakhir Marwan Ibn Muhammad bersama pasukannya
melarikan diri, dan dapat dipukul di dataran rendah Sungai Zab (Tigris),
pengejaran dilakukan ke Mausul, Harran, dan menyebrang Sungai Eufrat sampai ke
Damaskus. Kemudian Marwan melarikan diri hingga Fustat di Mesir dan akhirnya terbunuh
di Busir tahun 132 H/750 M di bawah pimpinan Salib Ibn Ali salah seorang paman
Abbas yang lain. Dengan kematian Marwan Ibn Muhammad maka berdirilah Dinasti
Abbasiyah sebagai pengganti Dinasti Umayyah.
B.
Sukses Kepemimpinan
Abdullah Ibn Muhammad alias Abu Abbas diumumkan
sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah tahun 750 M. dalam khutbah
pelantikan yang disampaikan di masjid Kufah, ia berjanji akan memerintah
sebaik-baiknya dan melaksanakan syariat Islam. Selain itu ia menyebut dirinya
dengan as-saffa (penumpah darah) yang akhirnya menjadi julukannya. Hal ini
sebenarnya akan menjadi preseden yang buruk bagi suatu kekuasaan, dimana
kekuatan tergantung kepada pembunuhan yang ia jadikan sebagai alat pembenar
bagi kebijakan politiknya. Ini tentu bertentangan dengan tugas ideal seorang
penguasa adalah :
- Memelihara iman dan prinsip-prinsip yang telah disepakati bersama dengan suara bulat oleh Ulama-ulama salaf dari umat Islam.
- Menegakkan hokum terhadap para pelanggar hokum dan memecahkan masalah secara adil terhadap orang-orang yang sedang berselisih.
- Mengatur keamanan wilayah hingga penduduk bisa hidup tenang dan aman, baik di rumah, di perjalanan maupun di waktu melaksanakan tugas sehari-hari.
- Melindungi hak-hak perorangan dari penduduk serta menegakkan hokum sesuia dengan hokum Islam hingga setiap kejahatan terhadap Allah dapat ditekan hingga titik yang amat terbatas.
- Menjaga perbatasan Negara dengan berbagai pelaralatan yang dimiliki untuk menghadapi kemungkinan serangan dari luar.
- Berjuang melawan orang-orang yang melawan Islam, hingga kebenaran Allah bersinar di seantero wilayah itu.
- Memungut pajak dan mengumpulkan zakat sesuai dengan aturan syari’ah.
- Mengatur anggaran belanja untuk gaji karyawan/pejabat. Dan pembelanjaan lain tanpa boros atau pelit.
- mengangkat pegawai secara jujur berdasarkan keahlian seseorang dalam posisinya (tidak kolusi) agar tercapai kelancaran pemerintahan dan kemakmuran.
- Mengawasi tugas-tugas seluruh personal terutama menguji para pelaksana tugas-tugas kemasyarakatan hingga mampu mengarah pemerintahan untuk melindungi bangsa dan agama.
Dinasti
Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H-656 H.
selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang ditetapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik itu, pemerintahan Abbasiyah di bagi menjadi 5 periode
:
- Periode I (132 H/750 M- 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama, Khalifah yang memerintah adalah As-Saffah 132-126 H, Ja’far al-Mansur 136-158 H, al-Mahdi 158-169 H, al-Hadi 169-170 H, Harun ar-Rasyid 170-193 H, al-Amin 193-198 H, al-Ma’mun 198-218 H, al-Mu’tasim 218-227 H, al-Watsiq 227-232 H.
- Periode II (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama, Khalifah yang memerintah adalah al-Mutawakkil 232-247 H, al-Muntashir 247-248 H, al-Musta’in 248-252 H, al-Mu’tazz 252-255 H, al-Muhtadi 255-256 H, al-Mu’tamid 256-279 H, al-Mu’tadhid 279 – 289 H, al-Muktafi 289-295 H, al-Muqtadir 295-320 H, al-Qahir 220-222 H, ar-Radhi 322-329 H, al-Muttaqi 329-333 H, al-Mustakfi 333-334 H.
- Periode III (334 H/945 M – 447 H/1055 M), disebut kekuasaan Dinasti Buwaih dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah atau masa pemerintahan Persia kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Muthi’ 334-363 H, ath-Tha’I 363 – 381 H, al-Qadir 381 – 422 H.
- Periode IV (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), disebut masa kekuasaan Dinasti Saljuk dalam pemerintahan Abbasiyah atau masa pengaruh Turki kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Qa’in 422-467 H, al-Muqtadi 467-487 H, al-Mustazhhir 487-512 H, al-Mustasyid 512-529 H, ar-Rasyid 529-530 H, al-Muqtafi 530-555 H, al-Munstanjid 555-566 H, al-Mustadhi’ 566-575 H.
- Periode V (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), disebut masa khalifah bebas dari pengaruh Dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar Baghdad sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tartar di bawah pemimpin Hulaqu Khan tahun 656 H. khalifah yang memerintah adalah an-Nashir 575-622 H, azh-Zahir 622-623 H, al-Mustanshir 623-640 H, al-Musta’shim 640-656 H.
Kebijakan
politik as-Saffah yang pertama pada masa pemerintahannya adalah membasmi
keluarga Bani Umayyah yang masih tersisah dengan cara mengerahkan segenap
pasukan yang dipimpin oleh pamannya sendiri Abdullah Ibn Ali. Hal ini dilakukan
untuk mereformasi semua sistem Dinasti Umayyah agar sesuai dengan ajaran Islam
murni (Syariat Islam). Karena dianggap korup, dekaden, otoriter dan sekuler.
Selain itu karena terlalu benci sampai-sampai mereka juga membongkar semua
kuburan Bani Umayyah dan jenazahnya di bakar. Hanya ada dua kuburan yang
selamat dari kekejaman tersebut yaitu kuburan Muawiyah Ibn Abi Sofyan karena
dianggap sebagai sahabat Nabi dan Umar Ibn Abdul Aziz yang selama masa
pemerintahannya menerapkan keadilan dengan seadil-adilnya. Disamping itu Ia
juga memberikan sebuah lahan di Hamimah untuk digunakan oleh keluarga Abbas,
sehingga bisa melancarkan propaganda dengan sebaik-baiknya pasca meninggalnya.
Dan dari revolusi itu pulah hanya satu orang yang berhasil selamat yaitu Abdurrahman
ad-Dakhil, kemudian mendirikan sebuah Amir di Andalusia. Al-Saffah hanya
memerintah selama 4 tahun, setalah meninggal pada 134 H, pemerintahan diambil
alih oleh adiknya Ja’far al-Mansur setalah dapat menyingkirkan pamannya
Abdullah Ibn Ali, yang juga berusaha menjadi khalifah.
Ketika naik
tahta langkah yang dilakukan oleh al-Mansur adalah menindak tegas pemberontak
yang dilakukan oleh golongan Syi’ah yang merasa disingkirkan pasca naiknya
as-Saffah, pemberontakan yang dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasan yang tidak
mau tunduk kepada pusat, penduduk Syiria yang masih tunduk kepada pemerintahan
Dinasti Umayyah dan orang-orang yang kecewa kepada pemerintahan baru. Masa ini
dapat dikatakan sebagai masa perjuangan dan konsolidasi untuk mengamankan
eksistensi Dinasti Abbasiyah. Berkat visi politik dan pendekatan pragmatis yang
dilakukan oleh al-Mansur, maka terjadi kestabilan pemerintah dapat terjaga.
Kemudian al-Mansur mengangkat putranya al-Mahdi dan Isa Ibn Musa untuk
menggantikan posisinya kelak ketika Ia meninggal sebagaimana perjanjian dengan
as-Saffah. Sebenarnya tradisi ini sudah ditanamkan oleh Muawiyah ketika
mengangkat anaknya Yazid. Padahal sejarah membuktikan bahwa dari tradisi ini
muncul kecemburuan sosial yang menyebabkan terjadi ketidakpuasan dan berakhir
pada pemberontakan dibeberapa daerah, terutama dari kalangan Syi’ah dan
Khawarij. Pola seperti ini juga membuktikan bahwa Dinasti Abbasiyah menerapkan
kembali sistem Monarkhi Absolut yang dulu dipraktekkan oleh kerajaan Persia,
Romawi. Setelah dapat memperkokoh kekuasaan Abbasiyah al-Mansur meninggal
karena sakit dalam suatu perjalanan Haji kelima bersama rombongan keluarga dan
pembesar Abbasiyah. Dia meninggal dalam usia 65 tahun setelah memerintah selama
21 tahun.
Pemerintah
Abbasiyah kemudian dipegang oleh putranya al-Mahdi, yang baru berusia 30 tahun.
Al-Mahdi memulai zaman pemerintahannya dengan membebaskan semua tahanan,
kecuali penjahat yang dipenjarah menurut Undang-Undang dan memberikan bantuan
cara hidup kepada orang-orang yang masih dipenjara dan yang anggota tubuhnya
cacat. Kemudian memerintahkan untuk membangun beberapa bangunan Haram dan
Masjid Nabawi dan memerintahkan untuk membangun beberapa bangunan besar beserta
kolam-kolam di sepanjang jalan menuju Mekkah sebagai tempat persinggahan para
musafir dan mebangun pos yang menghubungkan Baghdad dengan wilayah Islam
lainnya. Selain itu, al-Mahdi juga membuat posko pengaduan dan penganiayaan
serta mengembalikan harta yang dirampas ayahnya kepada pemiliknya.
Kemudian
menunpas gerakan al-Muqanna’ al-Khurasan yaitu sebuah kelompok yang ingin
menuntut balas atas kematian Abu Muslim al-Khurasan dan merampas kekuasaan
Abbasiyah. Lalu al-Mahdi mewariskan jabatan khalifah kepada anaknya al-Hadi dan
Harun ar-Rasyid, tetapi keinginannya itu terhalang oleh Isa Ibn Musa. Berkat
jabatan putra mahkota inilah Isa Ibn Musa mengalami dua kali kekejaman yaitu
pada masa al-Mansur dan al-Hadi. Setelah dipaksa, ditanggalkanlah gelar
tersebut oleh Isa Ibn Musa, maka al-Mahdi melantik anaknya al-Hadi sebagai putra
mahkota pada 160 H dan dilanjutkan melantik Harun ar-Rasyid tahun 166 H. dari
sini dapat kita pahami bahwa cara-cara kekerasan merupakan alternatif utama
yang diambil oleh Dinasti Abbasiyah dalam menyelesaikan setiap masalah yang
dihadapi terutama masalah-masalah politik. Padahal hal ini jelas bertentangan
dengan agama Islam dan prilaku Nabi Muhammad.
Setelah
al-Mahdi mangkat, kekuasaan Abbasiyah digantikan oleh al-Hadi 169-170 H,
langkah awal yang dilakukan al-Hadi adalah melantik ar-Rabi’ Ibn Yunus sebagai
menteri, tetapi beberapa waktu kemudian ar-Rabi’ Ibn Yunus digantikan oleh
Ibrahim Ibn Zakuan al-Harrani dan bagaimana melenyapkan Harun ar-Rasyid agar
mau menanggalkan gelar putra mahkota sehingga anaknya Ja’far dapat
menggantikannya kelak. Salah satu sifat penguasa adalah bagaimana kekuasaan itu
langgeng dan hanya berputar disekitar garis keturunannya. Oleh karena itu
kekuasaan itu harus dipertahankan mati-matian, jika perlu dengan menghalalkan
segala cara.
Kekuasaan
al-Hadi tidak berumur panjang hanya satu tahun, karena al-Hadi di racun oleh
ibunya Khaizuran yang lebih menginginkan Harun ar-Rasyid sebagai penguasa.
Harun ar-Rasyid 170-193 H naik tahta menggantikan al-Hadi pada usia 22 tahun.
ar-Rasyid merupakan puncak kegemilangan pemerintahan Abbasiyah. Dimana ilmu
pengetahuan berkembang luas, kekayaan melimpah, dan stabilitas pemerintahan
terkendali, ditambah lagi kebijakan pembagian kekuasaan yang adil antara putra
mahkotanya yaitu al-Ma’mun untuk wilayah Khurasan, wilayah Irak untuk al-Amien
dan semenanjung Arab untuk al-Qasim.
Dalam masalah
pemerintahan, ar-Rasyid dibantu oleh seorang Wazir yang bernama Yahya bin
Barmak, terutama setelah ibunya Khaizuran meninggal dunia pada 3 tahun
kekuasaan khalifah. Yahya bin Bermak dibantu juga oleh kerabat dan keluarganya.
Berkat dirinya, orang-orang Bermak dapat menguasai dapat menguasai pemerintahan
Abbasiyah hingga beberapa tahun.
Ar-Rasyid
meninggal ketika menumpas pemberontakan yang terjadi di Khurasan yang dipimpin
oleh Rafi’ Ibn Laith. Namun sebelumnya ar-Rasyid sudah melantik al-Amien
sebagai penggantinya di Baghdad dan Yahya Ibn Sulaiman untuk menjalankan urusan
pemerintahan.
Al-Amien melanjutkan estapet kepemimpinan
Dinasti Abbasiyah dari tahun 193-198 H. namun Ia kurang memberikan perhatian
kepada pemerintahan, karena terlalu banyak bersenda gurau dan berpoya-poya.
Ketika dating tentara al-Ma’mun dari Khurasan di bawah pimpinan Tahir Ibn
al-Husain dan Hatsamah Ibn A’yam, al-Amien tidak bisa menghalaunya dan kemudian
terbunuh.
Meninggalnya al-Amien langsung digantikan oleh
al-Ma’mun (198-218). Karena memperoleh kekuasaan dengan cara kekerasan, maka
pada awal kekuasaannya banyak pihak-pihak yang merongrong terutama pasca
kepindahannya dari Khurasan ke Baghdad. Namun semua itu dapat diatasi, bahkan
kekuasaan al-Ma’mun mengalami kejayaan seperti pada msa Harun ar-Rasyid. Pada
masa ini juga aliran Mu’tazilah dijadikan sebagai madzhab nasional. Al-Ma’mun
wafat sewaktu berperang di Tursur pada usia 48 tahun. Namun sebelumnya ia sudah
melantik saudaranya al-Mu’tashim sebagai putra mahkota yang akan
menggantikannya.
Pasca meninggalnya al-Ma’mun kekuasaan
Abbasiyah mulai mengalami kemunduran ditambah lagi kuatnya dominasi orang-orang
Turki dan Persia, sehingga setiap saat siap merongrong kewibawaan Baghdad.
Puncaknya pada masa pemerintahan al-Mutawakkil, dimana Ia mengangkat panglima
besar Ashar yang berkebangsaan Turki dan mulailah berdiri Dinasti-Dinasti kecil
merdeka di sekitar Baghdad.
C.
Kemajuan Dinasti Abbasiyah
Kemajuan peradaban Abbasiyah sebagai disebabkan
oleh stabilitas politik dan kemajuan ekonomi kerajaan yang pusat kekuasaannya
terletak di Baghdad. Adapun kemajuan peradaban Islam yang dibuat oleh Dinasti
Abbasiyah adalah :
- Bidang Politik dan Pemerintahan
Kemajuan
politik dan pemerintahan yang dilakukan oleh Dinasti
- Memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Kemudian menjadikan Baghdad sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dijadikan “kota pintu terbuka” sehingga segala macam bangsa yang menganut berbagai keyakinan diizinkan bermukin di dalamnya. Dengan demikian jadilah Baghdad sebagai kota international yang sangat sibuk dan ramai.
- Membentuk Wizarat untuk membantu khalifah dalam menjalankan pemerintahan Negara. Yaitu Wizaratul Tanfiz sebagai pembantuk khalifah dan bekerja atas nama khalifah dan Wizaratul Rafwidl sebagai orang yang diberi kuasa untuk memimpin pemerintah, sedangkan khalifah sendiri hanya sebagai lambing.
- Membentuk Diwanul Kitaabah (Sekretaris Negara) yang tugasnya menjalankan tata usaha Negara.
- Membentuk Nidhamul Idary al-Markazy yaitu sentralisasi wilayah dengan cara wilayah jajahan dibagi dalam beberapa propinsi yang dinamakan Imaarat, dengan gubernurnya yang bergelar Amir atau Hakim. Kepala daerah hanya diberikan hak otonomi terbatas; yang mendapat otonomi penuh adalah “al-Qura” atau desa dengan kepala desa yang bergelar Syaikh al-Qariyah. Hal ini jelas untuk mebatasi kewenangan kepala daerah agar tidak menyusun pasukan untuk melawan Baghdad.
- Membentuk Amirul Umara yaitu panglima besar angkatan perang Islam untuk menggantikan posisi khalifah dalam keadaan darurat.
- Memperluas fungsi Baitul Maal, dengan cara membentuk tiga dewan; Diwanul Khazaanah untuk mengurusi keuangan Negara, Diwanul al-Azra’u untuk mengurusi kekayaan Negara dan Diwan Khazaainus Sila, untuk mengurus perlengkapan angkatan perang.
- Menetapkan tanda kebesaran seperti al-Burdah yaitu pakaian kebesaran yang berasal dari Rasul, al-Khatim yaitu cincin stempel dan al-Qadlib semacam pedang, dan kehormatan. Al-Khuthbah, pembacaan doa bagi khalifah dalam khutbah Jum’at, as-Sikkah, pencantuman nama khalifah atas mata uang dan Ath-Thiraz, lambing khalifah yang harus dipakai oleh tentara dan pegawai pemerintah untuk khalifah.
- Membentuk organisasi kehakiman, Qiwan Qadlil Qudha (Mahkamah Agung), dan al-Sutrah al-Qadlaiyah (jabatan kejaksaan), Qudhah al-Aqaalim (hakim propinsi yang mengetuai Pengadilan Tinggi), serta Qudlah al-Amsaar (hakim kota yang mengetuai Pengadilan Negeri).
- Bidang Ekonomi
Pada masa awal pemerintahan Abbasiyah,
pertumbuhan ekonomi cukup stabil, devisa Negara penuh melimpah. Khalifah
al-Mansur adalah tokoh ekonom Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar
yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan Negara (Baitul Maal).
Di sektor pertanian, pemerintah membangun sistem
irigasi dan kanal di sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir sampai teluk
Persia, sehingga tidak ada lagi daerah pertanian yang tidak terjangkau irigasi.
Kemudian kota Baghdad di sampaing sebagai kota politik agama, dan kebudayaan,
juga merupakan kota perdagangan terbesar di dunia, sedangkan Damaskus merupakan
kota kedua. Sungai Tigris dan Eufrat menjadi kota transit perdagangan antar
wilayah-wilayah Timur seperti Persia, India, China, dan nusantara dan wilayah
Barat seperti Eropa dan Afrika Utara sebelum ditemukan jalan laut menuju Timur
melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Selain itu, barang-barang kebutuhan
pokok dan mewah dari wilayah Timur diperdagangkan dengan barang-barang hasil
dari wilayah bagian Barat. Di kerajaan ini juga, sudah terdapat berbagai macam
industri seperti kain Linen di Mesir, Sutra di Suriah dan Irak, Kertas di
Samarkand, serta hasil-hasil pertanian seperti Gandum dari Mesri dan Kurma dari
Irak.
- Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan
Pada masa Dinasti Abbasiyah pengembangan
keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam Ma’had. Lambaga ini dikenal
ada dua tingkatan. Pertama, Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu
lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan,
menghitung, menulis, anak-anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama serta
tempat penngajian dari ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok (Khalaqah),
tempat berdiskusi dan Munazarah dalam berbagai ilmu pengetahuan dan juga
dilengkapi dengan ruangan perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam
disiplin ilmu. Disamping itu, di masjid-masjid ini dilengkapi juga dnegan
berbagai macam fasilitas pendidikan penunjang lainnya. Kedua, bagi
pelajar yang ingin mendalami ilmunya, bisa pergi keluar daerah atau ke masjid-masjid
atau bahkan ke rumah-rumah gurunya. Karena semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan, baik mengenai agama maupun umum maka semakin banyak khalaqah-khalaqah
(lingkaran pengajaran), yang tidak mungkin tertampung di dalam ruang masjid.
Maka pada perkembangan selanjutnya mulai di buka madrasah-madrasah yang di
pelopori oleh Nizhamul Muluk.2 Lembaga inilah yang kemudian yang
berkembang pada masa Dinasti Abbasyiah. Madrasah ini dapat di temukan di
Baghdad, Balkar, Isfahan, Basrah, Musail dan kota lainya mulai dari tingkat
rendah, menengah, serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.
- Gerakan Penerjemah
Peleopor gerakan penerjemah pada awal
pemerintahan Dinasti Abbasyiah adalah khalifah al-Mansur yang juga membangun kota
Baghdad. Dia mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk Islam seperti
Nuwbhat, Ibrahim al-Fazari dan Ali Ibnu Isa untuk menerjemahkan karya-karya
berbahasa Persia dalam bidang Astronomi yang sangat berguna bagi kafilah dengan
baik dari darat maupun laut. Buku tentang ketatanegaraan dan politik serta
moral seperti kalila wa Dimma Sindhind dalam bahasa Persia diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab. Selain itu, Manuskrip berbahasa Yunani seperti logika
karya Aristoteles, Al-Magest karya Ptolemy, Arithmetic karya
Nicomachus dan Gerase, Geometri karya Euclid. Manuskrip lain yang
berbahasa Yunani Klasik, Yunani Bizantium dan Bahasa Pahlavi (Persia
Pertengahan), bahasa Neo-Persia dan bahasa Syiria juga di terjemahkan.
Penerjemahan secara langsung dari bahasa Yunani
ke dalam bahasa Arab dipelopori oleh Hunayn Ibn Isyaq (w. 873 H) seorang
penganut Nasrani dari Syiria. Dia memeperkenalkan metode penerjemahan baru
yaitu menerjemahkan kalimat, bukan kata per kata. Metode ini lebih dapat
memahami isi naskah karena sturktur kalimat dalam bahasa Yunani berbeda dengan
sturktur kalimat dalam bahasa Arab.
Pada masa al-Ma’mun karena keinginan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan demikian pesat, dia membentuk tim penerjemah
yang diketuai langsung oleh Hunayn Ibn Isyaq sendiri, dibantu Ishaq anaknya dan
Hubaish keponakannya serta ilmuwan lain seperti Qusta Ibn Luqa, Jocabite
seorang Kristen, Abu Bisr Matta Ibn Yunus seorang Kristen Nestorian, Ibn A’di,
Yahya Ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-naskah
Yunani terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan seperti
kedokteran. Keberhasilan penerjemahan juga didukung oleh fleksibilitas bahasa
Arab dalam menyerab bahasa Asing dan kekayaan kosakata bahasa Arab.
- Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakan
perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan.
Istitusi ini adalah kelanjutan dari Jandishapur Academy yang ada
pada masa Sasania Persia. Namun, berbeda dari istitusi pada masa Sasania yang
hanya menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja, pada masa Abbasiyah
intitusi ini diperluas kegunaannya. Pada masa Harun ar-Rasyid intitusi ini
bernama Khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai
perpustakaan dan pusat penelitian.
Sejak tahun 815 M, al-Ma’mun mengembangkan
lembaga ini dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah. Pada masa ini juga, Bait
al-Hikmah dipergunakan secara lebih modern yaitu sebagai tempat penyimpanan
buku-buku kuno yang di dapat dari Persia, Byzantium, bahkan Ethiopia dan India.
Selain itu Bait al-Hikmah berfungsi sebagai kegiatan studi dan riset
astronomi untuk meneliti perbintangan dan matematika. Di institusi ini
al-Ma’mun mempekerjakan Muhammad Ibn Hawarizmi yang ahli bidang al-Jabar dan
Astronomi dan orang-orang Persia bahkan Direktur perpusatakaan adalah seorang nasionalis
Persia dan ahli Pahlewi Sahl Ibn Harun.
- Bidang Keagamaan
Pada masa Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir
mulai berkembang, terutama dua metode penafsiran, yaitu Tafsir bil
al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi. Tokoh tafsir terkenal seperti Ibn
Jarir at-Tabary, Ibn Athiyah, Abu Bakar Asam (Mu’tazilah), Abu Muslim Muhammad
Ibn Bahr Isfahany (Mu’tazilah), dll.
Dalam bidang Hadits, mulai dikenal ilmu
pengklasifikasian Hadits secara sistematis dan kronologis seperti, Shahih,
Dhaif, dan Madhu’. Bahkan juga sudah diketemukan kritik Sanad,
dan Matan, sehingga terlihat Jarrah dan Takdil Rawi yang
meriwayatkan Hadits tersebut. Ahli Hadits terkenal di zaman ini adalah; Imam
Bukhari (w 256 H), Imam Muslim (w 261 H), Ibn Majah (w 273 H), Abu Daud (w 275
H), at-Tirmidzi, An-Nasa’I (303 H), dll.
Dalam bidang
Fiqh, mucul kitab Majmu’ al-Fiqh karya Zaid Ibn Ali (w 740) yang berisi
tentang Fiqh Syi’ah Zaidiyah. Kemudian lahir Fuqaha seperti Imam Hanafi (w 767
), seorang hakim agung dan pendiri Madzhab Hanafi, Malik Ibn Anas (w 795 M),
Muhammad Ibn Idris as-Syafe’i (820 M), Imam Ahmad Ibn Hambal ( w 855 M).
Dalam bidang filsafat dan Ilmu kalam, lahir
para filosof Islam terkemuka seperti Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi, Abu Nasr
Muhammad al-Farabi, Ibn Barjah, Ibn Tufail, dan Imam Ghazali. Dan ilmu Kalam,
Mu’tazilah pernah menjadi Madzhab utama pada masa Harun ar-Radyid dan
al-Ma’mun. diantara ahli ilmu Kalam adalah Washil Ibn Atha’, Abu Huzail
al-Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, dan Iman Ghazali.
Ilmu Lughah juga berkembang dengan pesat
karena bahasa Arab semakin dewasa dan memerlukan suatu ilmu bahsa yang
menyeluruh. Ilmu bahasa yang dimaksud adalah Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan,
Badi, Arudh, dan Insya. Ulama Lughah yang terkenal adalah Sibawaih
(w 183 H), Mu’az al-Harra (w 187 H), Ali Ibn Hamzah al-Kisai (w 208 H), dll.
Ilmu Tasawuf berkembang pesat terutama pada
masa Abbasiyah II dan seterusnya. Diantara tokoh tasawuf yang terkenal adalah
al-Qusayiri (w 456 H), Syahabuddin (w. 632 H), Imam al-Ghazali (w. 502 H), dan
lain-lain.
- Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Adapun kemajuan yang dicapai umat Islam pada
masa Dinasti Abbasiyah dalam bidang ilmu Pengetahuan, sains dan teknologi
adalah a). Astronomi, Muhammad Ibn Ibrahim al-Farazi (w. 777 M), ia adalah
astronom muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengukur
ketinggian bintang. Disamping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya,
seperti Ali Ibn Isa al-Asturlabi, al-Farghani, al-Battani, al-Khayyam dan
al-Tusi. b). Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali
Ibn Rabban al-Tabari pengarang buku Firdaus al-Hikmah tahun 850 M, tokoh
lainnya adalah ak-razi, al-Farabi, dan Ibn Sina. c). Ilmu Kimia, bapak kimia
Islam adalah Jabir Ibn Hayyan (w. 815 M), al-Razi, dan al-Tuqrai yang hidp pada
abad ke 12 M. d). Sejarah dan Geografi, pada masa ini sejarawan ternama abad ke
3 H adalah Ahmad Ibn al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad Ja’far Ibn Jarir al-Tabari.
Kemudian ahli Bumi yang termasyur adalah Ibn Khurdazabah (w. 913 H).23
D.
Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Ada dua faktor yang menyebabkan runtuhnya
Dinasti Abbasiyah, yaitu faktor Internal (dari dalam sendiri), dan
faktor Eksternal (dari luar). Faktor internal diantaranya. Pertama,
perebutan kekuasaan antar keluarga merupakan pemicu awal yang akhirnya
berimplikasi panjang terhadap kehidupan khalifah selanjutnya, terutama suksesi
setelah Harun ar-Rasyid. Perebutan antara al-Amien dan al-Ma’mun yang memicu
perang sipil besar yang pada akhirnya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah dan
control terhadap provinsi-provinsi di bawah kekuasaan Abbasiyah. Selanjutnya
dari perebutan tersebut melahirkan orang-orang yang tidak kompeten, ditambah
lagi terjadi pemisahan antrara agama dan politik. Akibatnya terjadi
penyalahgunaan kekuasaan dengan cara hidup dalam kemewahan dan pesta pora di
Istana karena agama tidak lagi menjadi pengawas. Seperti al-Mutawakkil memiliki
4000 orang selir semuanya pernah tidur seranjang dengan dia. Khalifah al-Mutazz
(Khalifah ke-13) menggunakan pelana emas dan baju berhiaskan emas.
Kemudian menurut Abu A’la al-Maududi ketika
konsep khalifah digantikan dengan sistem kerajaan maka tiada ada lagi keahlian
kepemimpinan yang mencakup segalanya baik dalam politik maupun agama. Sehingga
keberhasilan raja-raja tidak mendapatkan penghargaan dan kewibawaan moral di
hati rakyat, walaupun mereka mampu menaklukan rakyat dengan kekuasaan dan
kekuatan, dan mengeksploitasi mereka demi tujuan politisnya.Disinilah secara
filosofis kelemahan mendasar dari sistem kerajaan. Selain itu secara Sosiologis
system Kerajaan akan menciptakan paradigma berfikir peodalistik anti kritik,
sehingga mudah sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan di dalamnya. Kedua,
perpecahan di bidang akidah dan di bidang madzhab, yang masing-masing kelompok
saling mengklaim paling benar, sehingga memunculkan sikap fanatisme berlebihan.
Bahkan khalifah al-Ma’mun melancarakan gerakan pembasmian kepada orang-orang
yang tidak mau tunduk kepada madzhab Mu’tazilah. Hal tersebut kemudian diikuti
kembali oleh al-Mutawakkil yang membasmi terhadap golongan Mu’tazilah karena
tidak mau tunduk kepada Ahlu Hadits.Terakhir, penguasaan Baitul Maal
yang berlebihan akibatnya muncul justifikasi bahwa Baitul Maal adalah
milik penguasa, bukan milik umat. Sehingga tidak seorang pun berhak meminta
pertanggungjawaban mengenai dari mana uang itu berasal dan lari kemana uang itu
kemudian. Hal ini memancing reaksi negative dari masyarakat, dan memunculkan
rasa ketidakpuasan yang berujung kepada pemberontakan.
Masalah ini
sebenarnya sudah diperingatkan oleh Rasulullah Saw lewat sabdanya :
“Semakin dekat seseorang pada kursi kekuasaan,
semakin jauhlah dia dari Tuhan; semakin banyak jumlah pengikut yang
dimilikinya, semakin jahatlah ia; semakin banyak kekayaan yang dipunyainya,
semakin ketat pulalah perhitungannya.
Namun sangat
disayangkan para penguasa Dinasti Abbasiyah semuanya terbuai dan lupa bahkan
kepada Allah sendiri, hingga keruntuhan mereka.
Kemudian faktor eksternal yang menyebabkan
runtuhnya Dinasti Abbasiyah adalah; Pertama, pemberontakan terus menerus
yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Syi’ah, Murjiah, Ahlusunnah, dan bekas
pendukung Dinasti Umayyah yang berpusat di Syiria menyebabkan penguasa
Abbasiyah harus selalu membeli perwira pasukan dari Turki dan Persia.
Konsekuensinya meningkat terus ketergantungan pada tentara bayaran dan ini pada
gilirannya menguras kas Negara secara financial. Kedua,
memberikan kebaikan berlebihan kepada orang-orang Persia, dan Turki, berakibat
mereka dapat menciptakan kerajaan sendiri seperti Thahiriyah di Khurasan, Shatariyah
di Fars, Samaniyah di Ttansxania, Sajiyyah di Azerbaijan, Buwaihah di Baghdad
semuanya dari bangsa Persia. Sedangkan kerajaan yang didirikan oleh orang-orang
Turki adalah Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan, Ghaznawiyah di
Afghanistan.dan dilanjutkan muculnya Dinasti-Dinasti merdeka Umayyah di
Andalusia, Fathimiyah di Afrika Utara, Idrisiyah di Maroko, Rustamiyah,
Aghlabiyah, Ziriyyah, Hammadiyah di Jazirah dan Syiria, al-Murabitun,
al-Muwahidun di Afrika Utara,Marwaniyah di Diyarbakar, dll. Ketiga,
serangan bangsa Mongol yang dipimpin oleh Hulaqu Khan. Baghdad di bumihanguskan
dan diratakan dengan tanah. Khalifah al-Musta’sim dan keluarganya di bunuh,
buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah di bakar dan dibuang ke sungai
Tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut menjadi hitam kelam karena
lunturan tinta dari buku-buku itu.
Analisa
Dari proposisi di atas dapat kita analisa bahwa
suksesnya revolusi Abbasiyah tidak terlepas dari peran serta kelompok-kelompok
yang sudah menyempal terlebih dahulu dari Dinasti Umayyah, karena merasa selalu
terdzalimi terhadap pola-pola kepemimpinan yang ditonjolkan oleh
khalifah-khalifah Umayyah. Rasa ketidakpuasan ini secara psikologi menciptakan
“sidrom traumatik” terutama bagi kelompok Syi’ah dn Khawarij yang sejak
lengsernya Ali Ibn Abi Thalib selalu di buru dan diasingkan. Maka tidak
mengherankan jika pada awal-awal pemerintahannya Abu Abbas as-Saffa menciptakan
sebuah kebijakan politik “pembumihangusan” etnis Umayyah dari muka bumi.
Disamping untuk balas dendam atas kebiadaban Dinasti Umayyah juga rasa terima
kasih atas bantuan dari kelompok-kelompok oposisi tersebut, sehingga diharapkan
mereka terpuaskan dan akan loyal dalam mendukung kekuasaan Dinasti Abbasiyah di
masa mendatang. Dan hal yang tidak bisa dilepaskan mudahnya mendapatkan
dukungan dari kelompok-kelompok tersebut adalah janji penegakan syariat Islam
dan terciptanya kehidupan tanpa ketakutan dan kekerasan yang tidak pernah
mereka dapatkan pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Pasca As-Saffa dan naiknya Ja’far al-Mansur
rupanya menjadi awal bangkitnya kembali “solidaritas keluarga”, ini terlihat
dari penyingkiran kelompok oposisi yang notabene sekutu utama dalam penumbangan
Dinasti Umayyah dan pergantian kekuasaan diserahkan kepada Putra Mahkota agar
kekuasaan hanya berputar pada keluarga Bani Abbasiyah. Kebijakan ini jelas
mencerminkan sifat haus kekuasaan dan lunturnya nilai-nilai demokrasi akibatnya
hilang prinsip persamaan, kebersamaan, dan mendahulukan kepentingan umum di
atas kepentingan pribadi seperti yang pernah dipraktekan oleh Rasulullah.
Padahal semua itu adalah tugas utama seorang khalifah.
Sifat seperti ini bukan merupakan “barang baru”
dalam dunia Islam. Khalifah Utsman Ibn Affan adalah “The Best Teacher” yang
telah mengajarkan bagaimana kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang.
Dalam pada itu, pengaruh kerajaan Persia yang monarkhi absolute juga mendukung
terciptanya iklim seperti itu, ini terlihat dari pindahnya Ibu kota dari
Damaskus ke Baghdad, lalu dilanjutkan dengan mencontoh secara besar-besaran
model-model kekuasaan dan administrasi Negara Persia.
Namun bagaimana pun jeleknya Dinasti Abbasiyah
secara politik, mereka telah berhasil menorehkan tinta emas dalam peradaban
Islam, terutama keberhasilan mereka dalam memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan cara menerjemahkan secara besar-besaran kitab-kitab klasik
peninggalan Yunani, Persia, India, China ke dalam dunia Islam. Sehingga wajar
banyak ilmuwan berpendapat bahwa masa ini adalah masa kejayaan Islam yang paling
gemilang atau dalam bahasa Ashar Ali zaman Islam Mahayana.dan kejayaan seperti
ini sulit kita jumpai di Negara-negara yang mengatasnamakan Islam. Disamping
itu Dinasti ini menunjukkan sifat keislamannya yang lebih menonjol daripada
sifat kearabannya. Dua orang di antara khalifah-khalifahnya yang menjadi
penunjang utama dalam menggulingkan dinasti Bani Umayyah dan menegakkan dinasti
Bani Abbasiyah adalah orang-orang Persia. Oleh karena itu tidaklah aneh kalau
kepada-kepala dinasti ini berusaha memelihara keseimbangan yang seadil-adilnya
antara unsur Arab dan unsur Persia di dalamnya. Tentu berbeda dengan Dinasti
Bani Umayyah yang lebih kuat unsur Arabnya sehingga mengkotak-kotakkan
masyarakatnya dalam Arab dan non Arab. Perpecahan baru terjadi pasca meninggalnya
Harun ar-Rasyid, ketika kedua putranya berperang berebut kekuasaan. Yang satu
hendak memperkokoh kedudukan orang-orang Arab. Sedangkan yang lainnya bertekad
hendak memperkokoh kedudukan orang-orang keturunan Persia.
Runtuhnya sebuah Dinasti-Dinasti Islam pasti
berawal dari pola hidup yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ini menandakan
bahwa Dinasti Abbasiyah tidak pernah mau belajar dari sejarah kehancuran Bani
Umayyah. Disamping itu, mempercayakan keamanan berlebihan kepada suatu
kelompok, jelas akan berakibat pada lunturnya nilai persatuan di antara
masyarakat itu sendiri.
Pada masa sekarang kebijakan seperti ini
diikuti oleh kerajaan Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab yang mempercayakan
keamanannya kepada pasukan Amerika dan balasannya Amerika berhak
mengeksploitasi minyak dan mendirikan pangkalan militer di Negara-negara
tersebut. Padahal ini adalah bagian dari penjajahan sistemik dan pembodohan
sturktural yang nantinya akan melemahkan sendi-sendi pemerintahan dan
nasionalisme kebangsaan masyarakatnya.
0 Response to "DINASTI ABBASIYAH"
Post a Comment