SUMBER DAYA ALAM MENURUT PANDANGAN ISLAM



Dalam pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based management) harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based  management) dengan tetap berorientasi kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).

Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola oleh negara untuk hasilnya diberikan kepada rakyat  dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadits riwayat  Imam At-Tirmidzi  dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadits tersebut, Abyad diceritakan  telah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola  sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang shahabat,

“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”.

Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan  mengalir terus menerus.  Hadist tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir.  Bahwa semula Rasullah SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Tapi  ketika kemudian Rasul mengetahui  bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir,  maka Rasul  mencabut pemberian itu,  karena dengan  kandungannya yang sangat besar itu  tambang tersebut dikategorikan  milik umum. Dan semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Yang menjadi fokus dalam hadits tersebut  tentu saja bukan  “garam”, melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasul mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, ia menarik kembali pemberian itu. An-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan:

“Adapun pemberian Nabi SAW kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi SAW mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali, karena sunnah Rasulullah SAW dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut, maka beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya”.

            Penarikan kembali pemberian Rasul kepada Abyadh  adalah   illat dari larangan   sesuatu yang menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat  banyak untuk dimiliki individu. Dalam hadits dari  Amru bin Qais lebih jelas lagi disebutkan  bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam atau “ma’danul milhi” (tambang garam). Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Rasulullah telah memberikan tambang kepada Bilal bin Harits Al Muzni dari kabilahnya, serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab Al Amwal dari Abi Ikrimah yang mengatakan: “Rasulullah saw.memberikan sebidang tanah ini kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian, berikut kandungan buminya, baik berupa gunung atau tambang,” sebenarnya tidak bertentangan dengan hadits  Abyadh ini. Hadits di atas  mengandung pengertian bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal kandungannya  terbatas, sehingga boleh diberikan.

Sebagaimana Rasulullah pertama kalinya memberikan tambang garam tersebut kepada Abyadh. Tapi kebolehan pemberian barang tambang ini   tidak boleh diartikan  secara mutlak, sebab jika diartikan demikian tentu bertentangan dengan pencabutan Rasul  setelah diketahui bahwa tambang itu kandungannya besar bagaikan air yang terus  mengalir. Jadi jelaslah bahwa kandungan tambang yang diberikan Rasulullah tersebut bersifat terbatas.

            Menurut  konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar  baik  yang nampak sehingga bisa didapat  tanpa harus susah payah  seperti  garam, batubara,  dan sebagainya; ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan usaha keras  seperti  tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya termasuk  milik umum. Baik berbentuk padat, semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak, semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.

            Sedangkan benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah untuk hanya dimiliki oleh pribadi,  benda tersebut termasuk milik umum. Meski termasuk dalam kelompok pertama, karena merupakan fasilitas umum,  benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama dari segi sifatnya, maka  benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Berbeda dengan kelompok pertama, yang memang boleh dimiliki oleh individu. Air  misalnya, mungkin saja dimiliki oleh individu, tapi  bila suatu komunitas membutuhkannya, individu tidak boleh memilikina. Berbeda dengan jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.

            Oleh karena itu, sebenarnya pembagian ini - meskipun dalilnya bisa diberlakukan illat syar’iyah, yaitu keberadaannya sebagai kepentingan umum - esensi faktanya menunjukkan bahwa benda-benda tersebut merupakan milik umum (collective property). Seperti  jalan, sungai, laut, dana, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan dan sebagainya.

            Al-‘Assal & Karim (1999: 72-73) mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni mengatakan:
“Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslimin, sebab hal itu akan merugikan mereka”.

            Maksud dari pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Maka barang siapa menemukan barang tambang atau petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.

Pemasukan Negara
           
Dengan memahami ketentuan syari’at Islam terhadap status sumber daya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni didapatnya  sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara dan dengan demikian diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan negara.
Dalam sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1990), negara mempunyai sumber-sumber pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat melalui Baitul Mal. Baitul Mal adalah kas negara  untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh negara. Mekanisme pemasukan maupun pengeluarannya semua ditentukan oleh syari’at Islam. Sektor-sektor pemasukan dan pengeluarannya Kas Baitul Mal, adalah:

1.  Sektor kepemilikan individu
            Pemasukan dari sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infaq dan shadaqah. Untuk zakat,  karena kekhususannya,  harus masuk kas khusus dan tidak boleh dicampur dengan pemasukan dari sektor yang lain. Dalam pengeluarannya, khalifah (kepala negara dalam pemerintahan Islam) harus mengkhususkan dana  zakat hanya  untuk delapan pihak, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an (At-Taubah: 60), yaitu: 1). Faqir, 2). Miskin, 3). Amil zakat, 4). Muallaf, 5) Memerdekakan budak, 6) Gharimin (terlilit hutang), 7). Jihad fi sabilillah, 8). Ibnu sabil (yang kehabisan bekal dalam perjalanannya). Sementara, infaq dan shadaqah pendistribusiannya diserahkan kepada ijtihad khalifah yang semuanya ditujukan untuk kemashlahatan ummat.

2.  Sektor kepemilikan umum
            Tercakup dalam  sektor ini adalah segala milik umum baik berupa hasil  tambang,  minyak, gas, listrik, hasil hutan dsb. Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan untuk kepentingan:
  1. Biaya eksplorasi dan eksploitasi  sumber daya alam, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan  infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas.
  2. Membagikan hasilnya secara langsung kepada masyarakat yang memang  sebagai pemilik sumberdaya alam itu berhak untuk mendapatkan hasilnya. Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan, seperti air, gas, minyak, listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang hasil penjualan.
  3. Sebagian dari kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad.

3.      Sektor kepemilikan negara
Sumber-sumber pemasukan dari sektor ini meliputi fa’i, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz, 10% dari tanah ‘usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad. Untuk pengeluarannya  diserahkan pada ijtihad khalifah untuk kepentingan negara dan kemashlahatan ummat.

0 Response to "SUMBER DAYA ALAM MENURUT PANDANGAN ISLAM"

Post a Comment