2.1. Umum
Nikah atau perkawinan ialah akad yang
menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
bukan muhrim sehingga menimbulakn hak dan kewajiban antara keduannya. Menurut
UU RI Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan melarang tidak menikah.
Larangan tidak menikah terdapat dalam Al Qur’an
surat Al Hadid ayat 27 yang artinya “Kemudian Kami iringi di belakang mereka
dengan Rosul-Rosul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa Putra Maryam ; dan
Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang
mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-ada RAHBANIYAH
padahal Kami tidak mewajibkan kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang
mengada-adanya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya
dengan pemeliiharaan yang semestinya. Maka Kami berikan pada orang-orang yang
beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang
fasik.“ Rahbaniyah adalah tidak beristri atau tidak bersuami dan mengurung diri
dalam biara. Rosulullah saw. bersabda, “Sedangkan aku shalat, aku tidur, aku
puasa, aku berbuka, aku menikahi wanita, maka barang siapa yang membenci
sunnahku bukanlah termasuk umatku.” (HR. Muslim No. 1401)
Anjuran untuk menikah terdapat dalam Al Qur’an
surat Ar Rum ayat 21 yang artinya “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.“
2.1.1. Hukum Nikah
Hukum nikah ada 4, yaitu:
1. Jaiz adalah boleh (merupakan dasar dari
hukum nikah).
2. Sunnah adalah bagi orang yang berkehendak
dan cukup belanjanya (nafkah dan lain-lain).
Sabda Nabi Muhammad saw. yang artinya
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menggantikan kependetaan itu dengan agama yang
lurus dan lapang.“
Abu Abbas berkata, “Tidak tercapai kesempurnaan
orang beribadah sebelum ia kawin terlebih dahulu.“
3. Wajib adalah bagi orang yang cukup mempunyai
nafkah dan khawatir akan terjerumus maksiat.
4. Makruh adalah bagi orang yang tidak
mampu memberi nafkah, namun sudah punya hasrat menikah yang kuat.
2.1.2. Tujuan Nikah
Tujuan menikah adalah :
1. Mengikuti Sunnah Rosul
Sabda Nabi saw. yang artinya “Ada empat macam
di antara sunnah pada Rosul yakni : berinai, memakai wangi-wangian, menggosok
gigi dan menikah.“
2. Membentuk keluarga sakinah, mawadah, dan
warohmah (bahagia lahir dan batin) yang dapat terbina apabila masing-masing
anggota keluarga melaksanakan fungsinya. Sebagaimana tersebut dalam Surat Ar
Rum ayat 21 dan dalam UU RI Nomor 1 Tahun 1974.
3. Untuk memenuhi kebutuhan biologis yang
diridhoi Allah swt.
4. Untuk memperoleh keturunan yang sah.
2.1.3. Rukun Nikah
Pengertian rukun yaitu sesuatu yang hakikat
syariat tidak terwujud kecuali dengannya. Rukun nikah ada 5, yaitu :
1. Calon Suami
2. Calon Istri
3. Sighat akad (ijab qabul)
4. Wali mempelai perempuan
Sabda Nabi saw yang artinya “Perempuan mana
saja yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahan itu batal (tidak sah).“
(HR. Empat orang ahli hadist kecuali Nasa’i).
5. Dua orang saksi
Sabda
Rosulullah saw. yang artinya “Tidak sah menikah melainkan dengan walinya dan
dua orang saksi yang adil.“
2.1.4. Akad Nikah
Ketika taaruf antara ikhwan dan akhwat sudah
semua disepakati, maka disunahkan untuk segera mengkhitbahnya, dan segera
dilangsungkan akad nikah untuk menghindari fitnah. Perlu kita ketahui bahwa
dalam akad nikah hal-hal yang disyariatkan dan wajib ada adalah :
1. Adanya suka sama suka antara kedua calon
mempelai
2. Adanya Wali
3. Adanya Saksi
4. Adanya Mahar
5. Adanya Ijab Qabul
Dan menurut sunnah, sebelum akad nikah dimulai,
terlebih dahulu diadakan khutbah yang dinamakan ”khutbatun nikah”.
Suka sama suka antara kedua calon mempelai
adalah sebuah keharusan, karena mereka berdua yang akan menjalani hidup berumah
tangga maka dibutuhkan keikhlasan diantara keduanya. Maka taaruf sebelum
pernikahan dan melihat calon sebelum pernikahan sangat dianjurkan.
Wali sebagaimana kita tahu adalah ayah dari
calon mempelai wanita yang seagama, jika tidak ada maka bisa digantikan oleh
kakak tertua yang laki-laki, atau jika memang sudah tidak ada sama sekali orang
yang bisa dijadikan wali, maka diambilah wali hakim Wali hakim adalah wali
nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang
diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah dengan syarat
sudah tidak ada lagi yang bisa mewakili atau menjadi wali bagi calon mempelai wanita.
Saksi berfungsi sebagai alat bukti apabila ada
pihak ketiga yang meragukan perkawinan tersebut. Juga mencegah pengingkaran
oleh salah satu pihak. Syarat sebagai saksi nikah adalah laki-laki, muslim,
adil, balig, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu. Saksi nikah minimal
harus dua dan hadir serta menyaksikan secara langsung akad nikah,
menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan.
Mahar merupakan pemberian seorang laki-laki
kepada perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik
istri secara penuh.
Dalam masalah mahar, wajib hukumnya seorang
lelaki memuliakan wanita dan memberikan sesuatu yang paling bagus menurut
kemampuannya, dan bagi wanita boleh meminta mahar kepada calon yang akan
menikahinya, namun lebih baik kalau mahar yang diminta itu yang mudah di dapat
dan tidak memberatkan calon suaminya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Wanita yang paling agung barakahnya, adalah yang paling ringan
maharnya” (HR. Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi dengan sanad yang shahih).
Namun jika calon suami ingin memberi lebih
kepada calon istrinya, itu tidak menjadi masalah, asal dia rela dan ikhlas
dengan pemberian tersebut, seperti yang tertulis dalam Al Qur’an.
“Berikanlah mahar kepada perempuan yang kamu
nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan …” (QS An-Nissaa :4).
Ijab adalah ungkapan pertama kali yang
diucapkan wali wanita dan Qobul adalah ungkapan penerimaan yang diucapkan oleh
calon suami. Ijab qobul boleh dilakukan dengan bahasa, ucapan dan ungkapan apa
saja yang tujuannya diketahui untuk menikah. Hasil dari akad nikah ini kemudian
dicatat oleh penghulu (KUA) untuk dicatatkan dalam berita acara pernikahan dan
masing-masing akan diberikan buku nikah suami dan istri.
2.2. Dilema Pernikahan Pada Masa Perkembangan
Teknologi
Sebagaimana hasil ilmu pengetahuan dan
teknologi, muncul permasalahan baru dalam soal perkawinan yaitu tentang sahnya
akad nikah yang ijab qabulnya dilaksanakan melalui telepon. Ada contoh kasus
yaitu ada seorang ayah yang ingin menikahkan anaknya, tetapi perjalanan seorang
ayah tersebut masih tertunda di Jakarta sedangkan akad nikah yang dilaksanakan
di Yogyakarta akan segera dilaksanakan karena rukun nikah sudah terpenuhi
kecuali wali perempuan. Ayah dari mempelai perempuan tetap bersikeras ingin
menikahkan anaknya sendiri tanpa diwakilkan. Jalan keluar yang diambil yaitu
akad nikah dilaksanakan dengan menggunakan video call atau 3G. Dari kasus
tersebut, timbul suatu keraguan apakah pernikahan tersebut sah atau tidak sehingga
perlu dilakukan akad nikah ulang.
Menentukan sah atau tidaknya suatu nikah,
tergantung pada dipenuhi atau tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya.
Secara formal, nikah lewat telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya
calon suami dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun,
jika dilihat dari segi syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada
kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi. Misalnya, identitas calon suami istri
perlu dicek ada atau tidaknya hambatan untuk kawin (baik karena adanya larangan
agama atau peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari
kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah
adalah cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang tidak
bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan
telepon. Juga para saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali
dan pengantin putra lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak
bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab
qabul yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat
berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang berbeda
waktunya sekitar 12 jam.
Oleh karena itu, nikah lewat telepon itu tidak
sah dan tidak dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain terdapat kelemahan
atau kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan
syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil
syara’ sebagai berikut :
1. Nikah itu termasuk ibadah. Oleh karena itu,
pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang
shahih, berdasarkan kaidah hukum:
الاصل فى
العبادة حرام
“Pada dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya, dalam masalah ibadah, manusia tidak
boleh membuat-buat (merekayasa aturan sendiri).
2. Nikah merupakan peristiwa yang sangat
penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi
merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta
tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam
al-Quran surat nisa’ ayat : 21.
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil
dari kamu Perjanjian yang kuat.”
3. Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi
berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar atau khida’),
dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi
atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang
demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi atau kaidah fiqih.
لا ضرر ولا
ضرارا
“Tidak boleh membuat mudarat kepada diri
sendiridan kepada orang lain.”
Dan hadis Nabi
دعما يريبك الا
مالا يريبك
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau,
(berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau.”
درء المفاسد
مقدم على جلب المصالح
“Menghindari mafsadah (resiko) harus
didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah”
Peristiwa akad nikah lewat telepon mengundang
reaksi yang cukup luas dari masyarakat. Contoh lain yaitu pada tanggal 13 Mei
1989 terjadi akad nikah jarak jauh Jakarta-Bloomington Amerika Serikat lewat
telepon, yang dilangsungkan di kediaman Prof. Dr. Baharuddin Harahap di
Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami Drs. Ario sutarto yang sedang bertugas
belajar di program Pascasarjana Indiana University Amerika Serikat, sedangkan
calon istri adalah Dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN Jakarta itu. Kedua
calon suami istri itu sudah lama berkenalan sejak sama-sama belajar dari
tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak keduanya untuk nikah juga sudah
mendapat restu dari orang tua kedua belah pihak.
Sehubungan dengan tidak bisa hadirnya calon
mempelai laki-laki dengan alasan tiadanya biaya perjalanan pulang pergi Amerika
Serikat-Jakarta dan studinya agar tidak terganggu, maka disarankan oleh pejabat
pencatat nikah (KUA) agar diusahakan adanya surat taukil (delegation of
authority) dari calon suami kepada seseorang yang bertindak mewakilinya dalam
akad nikah (ijab qobul) nantinya di Jakarta.
Setelah waktu pelaksanaan akad nikah tinggal
sehari belum juga datang surat taukil itu, padahal surat undangan untuk
walimatul urs sudah tersebar, maka Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin
putri mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara akad nikah
pada tanggal 13 Mei 1989, antara lain dengan melengkapi pesawat telepon di
rumahnya dengan alat pengeras suara (mikrofon) dan dua alat perekam, ialah
kaset, tape recorder dan video. Alat pengeras suara itu dimaksudkan agar semua
orang yang hadir di rumah Baharuddin dan juga di tempat kediaman calon suami di
Amerika Serikat itu bisa mengikuti upacara akad nikah dengan baik, artinya
semua orang yang hadir di dua tempat yang terpisah jauh itu dapat mendengarkan
dengan jelas pertanyaan dengan ijab dari pihak wali mempelai putri dan pernyataan
qobul dari pihak mempelai laki-laki, sedangkan alat perekam itu dimaksudkan
oleh Baharuddin sebagai alat bukti otentik atas berlangsungnya akad nikah pada
hari itu.
Setelah akad nikah dilangsungkan lewat telepon,
tetapi karena surat taukil dari calon suami belum juga datang pada saat akad
nikah dilangsungkan, maka kepala KUA Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak
bersedia mencatat nikahnya dan tidak mau memberikan surat nikah, karena
menganggap perkawinannya belum memenuhi syarat sahnya nikah, yakni hadirnya
mempelai laki-laki atau wakilnya.
Peristiwa nikah tersebut mengundang reaksi yang
cukup luas dari masyarakat, terutama dari kalangan ulama dan cendekiawan
muslim. Kebanyakan mereka menganggap tidak sah nikah lewat telepon itu, antara
lain Munawir Syadzali, M.A Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum MUI
pusat, dan Prof. DR. Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat membenarkan
tindakan kepala KUA tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya dan tidak
memberikan surat nikahnya. Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah itu
termasuk ibadah, mengandung nilai sacral, dan nikah lewat telepon itu bisa
menimbulkan confused (keraguan) dalam hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun
nikah dan syarat-syarat secara sempurna menurut hukum Islam.
Ada ulama yang berpendapat bahwa status nikah
lewat telepon itu syubhat, artinya belum safe, sehingga perlu tajdid nikah
(nikah ulang) sebelum dua manusia yang berlainan jenis kelaminnya itu melakukan
hubungan sek s ual sebagai suami istri yang sah. Adapula ulama yang berpendapat,
bahwa nikah lewat telepon tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat.
Tetapi kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon
itu tidak sah secara mutlak.
Proses pernikahan dalam Islam mempunyai
aturan-aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang sah harus terpenuhi rukun
dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan qabul, sedang syaratnya
adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini semuanya
harus dilakukan dengan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan
dan pengelabuhan. Oleh karena itu calon suami atau wakilnya harus hadir di
tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di tempat, dan
kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad pernikahan.
Ketika seseorang menikah lewat telpon, maka
banyak hal yang tidak bisa terpenuhi dalam akad nikah lewat telpon tadi,
diantaranya : tidak adanya dua saksi, tidak adanya wali perempuan, dan tidak
ketemunya calon pengantin ataupun wakilnya. Ini yang menyebabkan akad
pernikahan tersebut menjadi tidak sah.
Seandainya dia menghadirkan dua saksi dan wali
perempuan dalam akad ini, tetap saja akad pernikahan tidak sah karena kedua
saksi tersebut tidak menyaksikan apa-apa kecuali orang yang sedang menelpon,
begitu juga wali perempuan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Suara yang ada
ditelpon itu belum tentu suara calon suami atau istri. Ringkasnya bahwa akad
pernikahan melalui telpon berpotensi untuk salah, atau rentan terjadinya
penipuan dan manipulasi.
Dalam syariat Islam, akad nikah tidak terjadi
antara seorang calon suami dengan calon isteri. Melainkan antara ayah
kandung seorang wanita dengan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Maka
tidak ada akad nikah kalau tidak melibatkan keduanya bersama.
Sama dengan jual beli, kita diharamkan membeli
barang dari orang yang bukan
pemilik sah suatu barang. Misalnya dari penadah
atau dari pencuri. Kita hanya
boleh membeli barang dari pemiliknya. Paling
tidak, atas izin dari pemilik barang. Misalnya kita beli sebidang tanah,
jangan mau kalau orang yang mengaku sebagai pemilik tanah itu tidak bisa
menujukkan bukti-bukti kepemilikannya, misalnya SHM atau paling tidak
girik. Sebab kalau kita asal beli begitu saja, jangan-jangan tanah itu
sudah ada yang punya. Kita akan terlibat sengketa tanah tak berkesudahan
nantinya.
Begitu juga ketika menikahkan anak, kita harus
'membeli' langsung dari 'pemiliknya', yaitu ayah kandung. Bukan maksud
kami menyamakan seorang wanita dengan barang, tetapi ini sekedar ilustrasi
yang memudahkan. Kita ibaratkan seorang wanita adalah barang yang dimiliki
oleh ayah kandungnya. Maka kalau kita mau 'menikahinya', kita harus
menyelesaikan akad dan transaksi dengan sang pemilik. Bukan dengan orang
lain yang bukan pemilik.
0 Response to "NIKAH JARAK JAUH"
Post a Comment