A.Pengertian Motivasi
Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan.
Dalam hubungan antara motivasi dan intensitas, intensitas terkait dengan dengan seberapa giat seseorang berusaha, tetapi intensitas tinggi tidak menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi. Sebaliknya elemen yang terakhir, ketekunan, merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang dapat mempertahankan usahanya
B.Teori – teori Motivasi
Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai (value), sikap (attitude), aspirasi, dan insentif (Gage & Berliner, 1984).
Dengan pengertian istilah motivasi
seperti tersebut di atas, kita dapat mendefinisikan motivasi belajar siswa,
yaitu apa yang memberikan energi untuk belajar bagi siswa dan apa yang
memberikan arah bagi aktivitas belajar siswa.
Secara umum, teori-teori tentang
motivasi dapat dikelompokkan berdasarkan sudut pandangnya, yaitu behavioral,
cognitive, psychoanalytic, humanistic, social learning, dan social cognition.
1.Teori-teori Behavioral
Robert M. Yerkes dan J.D. Dodson, pada tahun 1908 menyampaikan Optimal Arousal Theory atau teori tentang tingkat motivasi optimal, yang menggambarkan hubungan empiris antara rangsangan (arousal) dan kinerja (performance). Teori ini menyatakan bahwa kinerja meningkat sesuai dengan rangsangan tetapi hanya sampai pada titik tertentu; ketika tingkat rangsangan menjadi terlalu tinggi, kinerja justru menurun, sehingga disimpulkan terdapat rangsangan optimal untuk suatu aktivitas tertentu (Yerkes & Dodson, 1908).
Pada tahun 1943, Clark Hull mengemukakan Drive Reduction Theory yang menyatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang muncul mungkin bermacam-macam bentuknya (Budiningsih, 2005). Masih menurut Hull, suatu kebutuhan biologis pada makhluk hidup menghasilkan suatu dorongan (drive) untuk melakukan aktivitas memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa makhluk hidup ini akan melakukan respon berupa reduksi kebutuhan (need reduction response). Menurut teori Hull, dorongan (motivators of performance) dan reinforcement bekerja bersama-sama untuk membantu makhluk hidup mendapatkan respon yang sesuai (Wortman, 2004). Lebih jauh Hull merumuskan teorinya dalam bentuk persamaan matematis antara drive (energi) dan habit (arah) sebagai penentu dari behaviour (perilaku) dalam bentuk:
Behaviour = Drive × Habit
Karena hubungan dalam persamaan tersebut berbentuk
perkalian, maka ketika drive = 0, makhluk hidup tidak akan bereaksi sama
sekali, walaupun habit yang diberikan sangat kuat dan jelas (Berliner &
Calfee, 1996).
Pada periode 1935 - 1960, Kurt Lewin mengajukan Field Theory
yang dipengaruhi oleh prinsip dasar psikologi Gestalt. Lewin menyatakan bahwa
perilaku ditentukan baik oleh person (P) maupun oleh environment (E):
Behaviour = f(P, E)
Menurut Lewin, besar gaya motivasional pada seseorang untuk
mencapai suatu tujuan yang sesuai dengan lingkungannya ditentukan oleh tiga
faktor: tension (t) atau besar kecilnya kebutuhan, valensi (G ) atau sifat
objek tujuan, dan jarak psikologis orang tersebut dari tujuan (e).
Force = f(t, G)/e
Force = f(t, G)/e
Dalam persamaan Lewin di atas, jarak psikologis berbanding
terbalik dengan besar gaya (motivasi), sehingga semakin dekat seseorang dengan
tujuannya, semakin besar gaya motivasinya. Sebagai contoh, seorang pelari yang
sudah kelelahan melakukan sprint ketika ia melihat atau mendekati garis finish.
Teori Lewin memandang motivasi sebagai tension yang menggerakkan seseorang
untuk mencapai tujuannya dari jarak psikologis yang bervariasi (Berliner &
Calfee, 1996).
2. Teori-teori Cognitive:
Pada tahun 1957 Leon Festinger mengajukan Cognitive Dissonance Theory yang menyatakan jika terdapat ketidakcocokan antara dua keyakinan, dua tindakan, atau antara keyakinan dan tindakan, maka kita akan bereaksi untuk menyelesaikan konflik dan ketidakcocokan ini. Implikasi dari hal ini adalah bahwa jika kita dapat menciptakan ketidakcocokan dalam jumlah tertentu, ini akan menyebabkan seseorang mengubah perilakunya, yang kemudian mengubah pola pikirnya, dan selanjutnya mengubah lebih jauh perilakunya (Huitt, 2001).
Teori kedua yang termasuk dalam teori-teori cognitive adalah Atribution Theory yang dikemukakan oleh Fritz Heider (1958), Harold Kelley (1967, 1971), dan Bernard Weiner (1985, 1986). Teori ini menyatakan bahwa setiap individu mencoba menjelaskan kesuksesan atau kegagalan diri sendiri atau orang lain dengan cara menawarkan attribut-atribut tertentu. Atribut ini dapat bersifat internal maupun eksternal dan terkontrol maupun yang tidak terkontrol seperti tampak pada diagram berikut.
Internal Eksternal
Tidak terkontrol Kemampuan (ability) Keberuntungan (luck)
Terkontrol Usaha (effort) Tingkat kesulitan tugas
Dalam sebuah pembelajaran, sangat penting untuk membantu
siswa mengembangkan atribut-diri usaha (internal, terkontrol). Jika siswa
memiliki atribut kemampuan (internal, tak terkontrol), maka begitu siswa
mengalami kesulitan dalam belajar, siswa akan menunjukkan perilaku belajar yang
melemah (Huitt, 2001).
Pada tahun 1964, Vroom mengajukan Expectancy Theory yang secara matematis dituliskan dalam persamaan: Motivation = Perasaan berpeluang sukses (expectancy) × Hubungan antara sukses dan reward (instrumentality) × Nilai dari tujuan (Value)
Karena dalam rumus ini yang digunakan adalah perkalian dari
tiga variabel, maka jika salah satu variabel rendah, motivasi juga akan rendah.
Oleh karena itu, ketiga variabel tersebut harus selalu ada supaya terdapat
motivasi. Dengan kata lain, jika seseorang merasa tidak percaya bahwa ia dapat
sukses pada suatu proses belajar atau ia tidak melihat hubungan antara
aktivitasnya dengan kesuksesan atau ia tidak menganggap tujuan belajar yang
dicapainya bernilai, maka kecil kemungkinan bahwa ia akan terlibat dalam
aktivitas belajar.
3. Teori-teori Psychoanalytic
Salah satu teori yang sangat terkenal dalam kelompok teori
ini adalah Psychoanalytic Theory (Psychosexual Theory) yang dikemukakan oleh
Freud (1856 - 1939) yang menyatakan bahwa semua tindakan atau perilaku
merupakan hasil dari naluri (instinct) biologis internal yang terdiri dari dua
kategori, yaitu hidup (sexual) dan mati (aggression). Erik Erikson yang
merupakan murid Freud yang menentang pendapat Freud, menyatakan dalam Theory of
Socioemotional Development (atau Psychosocial Theory) bahwa yang paling
mendorong perilaku manusia dan pengembangan pribadi adalah interaksi sosial
(Huitt, 1997).
4. Teori-teori Humanistic
Teori yang sangat berpengaruh dalam teori humanistic ini
adalah Theory of Human Motivation yang dikembangkan oleh Abraham Maslow (1954).
Maslow mengemukakan gagasan hirarki kebutuhan manusia, yang terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu deficiency needs dan growth needs. Deficiency needs meliputi
(dari urutan paling bawah) kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan
akan cinta dan rasa memiliki, dan kebutuhan akan penghargaan. Dalam deficiency
needs ini, kebutuhan yang lebih bawah harus dipenuhi lebih dulu sebelum ke
kebutuhan di level berikutnya. Growth needs meliputi kebutuhan kognitif,
kebutuhan estetik, kebutuhan aktualisasi diri, dan kebutuhan
self-transcendence. Menurut Maslow, manusia hanya dapat bergerak ke growth
needs jika dan hanya jika deficiency needs sudah terpenuhi. Hirarki kebutuhan
Maslow merupakan cara yang menarik untuk melihat hubungan antara motif manusia
dan kesempatan yang disediakan oleh lingkungan (Atkinson, 1983).
Teori Maslow mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut yang mencoba mengembangkan sebuah teori tentang motivasi yang memasukkan semua faktor yang mempengaruhi motivasi ke dalam satu model (Grand Theory of Motivation), misalnya seperti yang diusulkan oleh Leonard, Beauvais, dan Scholl (1995). Menurut model ini, terdapat 5 faktor yang merupakan sumber motivasi, yaitu 1)instrumental motivation (reward dan punishment), 2)Intrinsic Process Motivation (kegembiraan, senang, kenikmatan), 3)Goal Internalization (nilai-nilai tujuan), 4)Internal Self-Concept yang didasarkan pada motivasi, dan 5) External Self-Concept yang didasarkan pada motivasi (Leonard, et.al, 1995).
Teori Maslow mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut yang mencoba mengembangkan sebuah teori tentang motivasi yang memasukkan semua faktor yang mempengaruhi motivasi ke dalam satu model (Grand Theory of Motivation), misalnya seperti yang diusulkan oleh Leonard, Beauvais, dan Scholl (1995). Menurut model ini, terdapat 5 faktor yang merupakan sumber motivasi, yaitu 1)instrumental motivation (reward dan punishment), 2)Intrinsic Process Motivation (kegembiraan, senang, kenikmatan), 3)Goal Internalization (nilai-nilai tujuan), 4)Internal Self-Concept yang didasarkan pada motivasi, dan 5) External Self-Concept yang didasarkan pada motivasi (Leonard, et.al, 1995).
5. Teori-teori Social Learning
Social Learning Theory (1954) yang diajukan oleh Julian
Rotter menaruh perhatian pada apa yang dipilih seseorang ketika dihadapkan pada
sejumlah alternatif bagaimana akan bertindak. Untuk menjelaskan pilihan, atau
arah tindakan, Rotter mencoba menggabungkan dua pendekatan utama dalam
psikologi, yaitu pendekatan stimulus-response atau reinforcement dan pendekatan
cognitive atau field. Menurut Rotter, motivasi merupakan fungsi dari
expectation dan nilai reinforcement. Nilai reinforcement merujuk pada tingkat
preferensi terhadap reinforcement tertentu (Berliner & Calfee, 1996).
6. Teori Social Cognition
Tokoh dari Social Cognition Theory adalah Albert Bandura.
Melalui berbagai eksperimen Bandura dapat menunjukkan bahwa penerapan
konsekuensi tidak diperlukan agar pembelajaran terjadi. Pembelajaran dapat
terjadi melalui proses sederhana dengan mengamati aktivitas orang lain.
Bandura menyimpulkan penemuannya dalam pola 4 langkah yang
mengkombinasikan pandangan kognitif dan pandangan belajar operan, yaitu
1)Attention, memperhatikan dari lingkungan, 2)Retention, mengingat apa yang
pernah dilihat atau diperoleh, 3)Reproduction, melakukan sesuatu dengan cara
meniru dari apa yang dilihat, 4)Motivation, lingkungan memberikan konsekuensi
yang mengubah kemungkinan perilaku yang akan muncul lagi (reinforcement and
punishment) (Huitt, 2004).
C. Teori Curiosity Berlyne
Pada tahun 1960 Berlyne mengemukakan sebuah Teori tentang
Curiosity atau rasa ingin tahu. Menurut Berlyne, ketidakpastian muncul ketika
kita mengalami sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau kompleks. Ini
akan menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistem syaraf pusat kita. Respon
manusia ketika menghadapi suatu ketidakpastian inilah yang disebut dengan
curiosity atau rasa ingin tahu. Curiosity akan mengarahkan manusia kepada
perilaku yang berusaha mengurangi ketidakpastian (Gagne, 1985).
Dalam pembelajaran Sains, ketika guru melakukan demonstrasi suatu eksperimen yang memberikan hasil yang tidak terduga, hal ini akan menimbulkan konflik konseptual dalam diri siswa, dan ini akan memotivasi siswa untuk mengerti mengapa hasil eksperimen tersebut berbeda dengan apa yang dipikirkannya. Dengan demikian, keadaan ketidakpastian yang diciptakan oleh guru telah menimbulkan curiosity siswa, dan siswa akan termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian dalam dirinya tersebut. Dapat disimpulkan bahwa curiosity merupakan hal penting dalam meningkatkan motivasi. Sejarah juga membuktikan bahwa curiosity memiliki banyak peran dalam kehidupan para penemu (inventor), ilmuwan, artis, dan orang-orang yang kreatif.
Dalam pembelajaran Sains, ketika guru melakukan demonstrasi suatu eksperimen yang memberikan hasil yang tidak terduga, hal ini akan menimbulkan konflik konseptual dalam diri siswa, dan ini akan memotivasi siswa untuk mengerti mengapa hasil eksperimen tersebut berbeda dengan apa yang dipikirkannya. Dengan demikian, keadaan ketidakpastian yang diciptakan oleh guru telah menimbulkan curiosity siswa, dan siswa akan termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian dalam dirinya tersebut. Dapat disimpulkan bahwa curiosity merupakan hal penting dalam meningkatkan motivasi. Sejarah juga membuktikan bahwa curiosity memiliki banyak peran dalam kehidupan para penemu (inventor), ilmuwan, artis, dan orang-orang yang kreatif.
Salah satu metode pembelajaran yang melibatkan curiosity siswa adalah inquiry teaching. Dalam metode ini, siswa lebih banyak ditanya daripada diberikan jawaban. Dengan mengajukan pertanyaan, bukan hanya pernyataan-pernyataan, curiosity siswa akan meningkat karena siswa mengalami ketidakpastian terhadap jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut (Gagne, 1985).
D. Hipotesis
Berdasarkan paparan teori-teori di atas, dapat diambil suatu
hipotesis bahwa terdapat kaitan yang erat antara peningkatan motivasi belajar
siswa terhadap penerapan metode inquiry dalam pembelajaran Sains.
III. Diskusi
Seperti yang telah diteliti oleh Haury (Haury, 1993), salah
satu manfaat yang dapat diperoleh dari metode inquiry adalah munculnya sikap
keilmiahan siswa, misalnya sikap objektif, rasa ingin tahu yang tinggi, dan
berpikir kritis, Jika metode inquiry dapat mempengaruhi sikap keilmiahan siswa,
maka muncul pertanyaan apakah metode ini juga dapat mempengaruhi motivasi
belajar dalam diri siswa? Sesuai dengan teori curiosity Berlyne, rasa ingin
tahu yang dimiliki siswa akan memberikan motivasi bagi siswa tersebut untuk
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya; yang tidak lain
adalah motivasi untuk belajar. Dengan sikap keilmiahan yang baik, konsep-konsep
dalam Sains lebih mudah dipahami oleh siswa. Begitu juga, dengan motivasi
belajar yang tinggi, kegiatan pembelajaran Sains juga menjadi lebih mudah
mencapai tujuannya, yaitu pemahaman konsep-konsep Sains. Jadi, tampaknya ada
hubungan yang kuat antara motivasi belajar dengan sikap keilmiahan yang
terbentuk sebagai akibat dari penerapan metode inquiry.
Rasa ingin tahu yang tinggi dapat dikaitkan dengan teori Maslow, yang menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang salah satunya kebutuhan untuk mengetahui dan kebutuhan untuk memahami. Oleh karena itu, metode inquiry yang biasa diterapkan dalam pembelajaran Sains secara tidak langsung sebenarnya mencoba memenuhi salah satu kebutuhan manusia tersebut.
Seperti yang telah diuraikan dalam deskripsi teoretik di depan, komponen pertama dalam metode inquiry adalah question atau pertanyaan. Dalam pandangan teori-teori motivasi behavioral, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru dapat diartikan sebagai rangsangan (arousal) atau dorongan (drive). Adanya rangsangan dan dorongan ini menyebabkan siswa termotivasi untuk meresponnya melalui kegiatan ilmiah, yaitu mencari jawaban dari pertanyaan. Kegiatan ilmiah yang dilakukan, sesuai teori Hull tidak lain adalah upaya untuk mengurangi dorongan atau drive.
Yang perlu diperhatikan dalam memberikan pertanyaan kepada siswa adalah bahwa ada rangsangan optimal untuk suatu aktivitas tertentu sesuai dengan Optimal Arousal Theory. Sebab, jika rangsangan yang diberikan terlalu tinggi, maka motivasi siswa justru dapat turun kembali. Harus juga dipertimbangkan apa yang oleh Field Theory disebut sebagai jarak psikologis ke suatu tujuan; dalam memberikan pertanyaan, sebaiknya “jarak” antara pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa dengan jawaban yang diharapkan tidak terlalu jauh, supaya motivasi untuk menjawab pertanyaan tersebut besar karena jarak psikologis tersebut berbanding terbalik dengan motivasi.
Dalam pandangan teori-teori motivasi Cognitive, memberikan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dalam pembelajaran Sains dengan metode inquiry sama artinya dengan menciptakan ketidakcocokan (konflik) antara apa yang dipikirkan oleh siswa dengan apa yang seharusnya menjadi jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut. Cognitive Dissonance Theory menyiratkan bahwa jika guru dapat menciptakan konflik-konflik tersebut, maka siswa akan berusaha (termotivasi) untuk mengubah perilakunya, yang kemudian mengubah pola pikirnya.
Sementara menurut Expectation Theory, jika seseorang merasa tidak percaya bahwa ia dapat sukses pada suatu proses belajar atau ia tidak melihat hubungan antara aktivitasnya dengan kesuksesan atau ia tidak menganggap tujuan belajar yang dicapainya bernilai, maka kecil kemungkinan bahwa ia akan terlibat dan termotivasi dalam aktivitas belajar. Oleh karena itu, jika metode inquiry diharapkan dapat meningkatkan motivasi siswa, pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru kepada siswa memiliki batasan-batasan tertentu, misalnya siswa harus merasa dapat menjawab pertanyaan tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan yang disyaratkan dalam metode pembelajaran Inquiry, yang oleh Garton disebut sebagai pertanyaan essential, antara lain harus memenuhi ciri-ciri sebagai berikut (Garton, 2005).
• dapat ditanyakan berulang-ulang
• menunjukkan kepada siswa hubungan antara beberapa konsep dalam sebuah subjek
• muncul dari usaha untuk belajar lebih jauh mengenai kehidupan, berupa pertanyaan umum dan membuka pertanyaan-pertanyaan lebih jauh
• menuntun pada konsep utama subjek tertentu, untuk menjawab pertanyaan bagaimana kita mengetahuinya atau mengapa
• memberikan stimulus dan menumbuhkan minat untuk menyelidiki; melibatkan siswa dan menimbulkan curiosity
• melibatkan level berpikir yang lebih tinggi
• tidak dapat langsung dijawab
• tidak dapat dijawab hanya dengan satu kalimat
Contoh pertanyaan essential antara lain:
• “Apa yang menyebabkan sebuah zat disebut zat padat, zat cair, atau gas?”
• “Darimana datangnya ayam dan bagaimana cara kerja telur ayam sehingga bisa menjadi ayam?”
• “Mengapa bentuk bulan berubah-ubah?”
Dalam proses pembelajaran, guru dan siswa bersama-sama mengembangkan pertanyaan-pertanyaan lain, yang oleh Garton disebut pertanyaan unit, untuk menjawab pertanyaan essential. Ciri pertanyaan unit antara lain:
• menanyakan konsep-konsep apa saja yang terdapat dalam subjek pertanyaan essential
• membantu siswa menjawab pertanyaan essential secara lebih spesifik
Contoh pertanyaan unit antara lain:
• Apa saja contoh zat padat, zat cair, dan gas?
• Apakah ciri-ciri zat padat, zat cair, dan gas?
Komponen kedua dan ketiga dalam metode inquiry adalah student engangement (keterlibatan) dan cooperative interaction (interaksi kerjasama). Kedua hal ini akan dibahas bersamaan karena memiliki kedekatan. Keterlibatan siswa dan interaksi kerjasama dapat ditinjau berdasarkan teori-teori motivasi Psychoanalitic, Humanistic, dan Social Cognition.
Dalam pandangan Theory of Socioemotional Development, yang paling mendorong atau memotivasi perilaku manusia dan pengembangan pribadi adalah interaksi sosial. Dalam pembelajaran dengan metode inquiry, ketika siswa merasa dilibatkan oleh guru (lingkungan) dalam proses menjawab pertanyaan-pertanyaan dan melakukan interaksi dengan sesama siswa melalui kerja kelompok, maka perilaku dan kepribadiannya berubah ke arah yang lebih baik, yaitu ikut aktif terlibat dalam kegiatan dan mau bekerjasama. Supaya keterlibatan dan kerjasamanya dapat diterima oleh lingkungan, maka ia harus menyiapkan diri sebaik mungkin, misalnya dengan membaca banyak buku teks. Artinya, motivasi belajar siswa meningkat.
Dalam pandangan teori Maslow, manusia memiliki kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri. Kesempatan siswa untuk terlibat dan bekerjasama dalam sebuah pembelajaran dengan metode inquiry dapat dikatakan sebagai kesempatan untuk memenuhi dua kebutuhan - penghargaan dan aktualisasi diri - tersebut. Dengan demikian, metode inquiry memberikan ruang bagi siswa untuk pemenuhan kebutuhannya, sehingga siswa pun akan memiliki motivasi yang tinggi, tentu saja motivasi dalam belajar.
0 Response to "PENGERTIAN MOTIVASI"
Post a Comment