K3



A.  Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja
1.    Menurut Mangkunegara, keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan makmur.
2.    Menurut Suma’mur (1981: 2), keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
3.    Menurut Simanjuntak (1994), keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja
4.    Mathis dan Jackson, menyatakan bahwa keselamatan adalah merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap cidera yang terkait dengan pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum.
5.    Menurut Ridley, John (1983), mengartikan kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut.
6.    Jackson, menjelaskan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja menunjukkan kepada kondisi-kondisi fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja yang disediakan oleh perusahaan.
7.    Ditinjau dari sudut keilmuan, kesehatan dan keselamatan kerja adalah ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja. (Lalu Husni, 2003: 138).

Setelah melihat berbagai pengertian di atas, pada intinya dapat ditarik kesimpulan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu usaha dan upaya untuk menciptakan perindungan dan keamanan dari resiko kecelakaan dan bahaya baik fisik, mental maupun emosional terhadap pekerja, perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Jadi berbicara mengenai kesehatan dan keselamatan kerja tidak melulu membicarakan masalah keamanan fisik dari para pekerja, tetapi menyangkut berbagai unsur dan pihak.

B.    Urgensi Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan bagian yang sangat penting dalam ketenagakerjaan. Oleh karena itu, dibuatlah berbagai ketentuan yang mengatur tentang kesehatan dan keselamatan kerja. Berawal dari adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan yang dinyatakan dalam Pasal 9 bahwa “setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan dan pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan harkat, martabat, manusia, moral dan agama”. Undang-Undang tersebut kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 ini ada beberapa hal yang diatur antara lain:
a.    Ruang lingkup keselamatan kerja, adalah segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air, maupun di udara yang berada dalam wilayah hukum kekuasaan RI. (Pasal 2).
b.    Syarat-syarat keselamatan kerja adalah untuk:
·           Mencegah dan mengurangi kecelakaan
·           Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran
·           Mencegah dan mengurangi peledakan
·           Memberi pertolongan pada kecelakaan
·           Memberi alat-alat perlindungan diri pada pekerja
·           Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai
·           Memelihara kesehatan dan ketertiban
·           dll (Pasal 3 dan 4).
c.    Pengawasan Undang-Undang Keselamatan Kerja, “direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap undang-undang ini, sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya undang-undang ini dan membantu pelaksanaannya. (Pasal 5).
d.   Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia Pembinaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja untuk mengembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi yang efektif dari pengusaha atau pengurus tenaga kerja untuk melaksanakan tugas bersama dalam rangka keselamatan dan kesehatan kerja untuk melancarkan produksi. (Pasal 10).
e.    Setiap kecelakan kerja juga harus dilaporkan pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja di dinas yang terkait. (Pasal 11 ayat 1).
(Suma’mur. 1981: 29-34).
Dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 86 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 diatur pula bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a.    Keselamatan kerja
b.   Moral dan kesusilaan
c.    Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Selain diwujudkan dalam bentuk undang-undang, kesehatan dan keselamatan kerja juga diatur dalam berbagai Peraturan Menteri. Diantaranya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/MEN/1979 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja. Tujuan pelayanan kesehatan kerja adalah:
a.    Memberikan bantuan kepada tenaga kerja dalam penyesuaian diri dengan pekerjaanya.
b.    Melindungi tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan atau lingkungan kerja.
c.    Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental, dan kemapuan fisik tenaga kerja.
d.   Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi tenaga kerja yang menderita sakit.
Selanjutnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-02/MEN/1979 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja meliputi: pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan kesehatan berkala, pemeriksaan kesehatan khusus. Aturan yang lain diantaranya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagaan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03/MEN/1984 tentang Mekanisme Pengawasan Ketenagakerjaan.
Arti penting dari kesehatan dan keselamatan kerja bagi perusahaan adalah tujuan dan efisiensi perusahaan sendiri juga akan tercapai apabila semua pihak melakukan pekerjaannya masing-masing dengan tenang dan tentram, tidak khawatir akan ancaman yang mungkin menimpa mereka. Selain itu akan dapat meningkatkan produksi dan produktivitas nasional. Setiap kecelakaan kerja yang terjadi nantinya juga akan membawa kerugian bagi semua pihak. Kerugian tersebut diantaranya menurut Slamet Saksono (1988: 102) adalah hilangnya jam kerja selama terjadi kecelakaan, pengeluaran biaya perbaikan atau penggantian mesin dan alat kerja serta pengeluaran biaya pengobatan bagi korban kecelakaan kerja.
Menurut Mangkunegara tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut:
a. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik, sosial, dan psikologis.
b. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya dan seefektif mungkin.
c. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
d. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.
e. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
f. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi kerja.
g. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja

Melihat urgensi mengenai pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja, maka di setiap tempat kerja perlu adanya pihak-pihak yang melakukan kesehatan dan keselamatan kerja. Pelaksananya dapat terdiri atas pimpinan atau pengurus perusahaan secara bersama-sama dengan seluruh tenaga kerja serta petugas kesehatan dan keselamatan kerja di tempat kerja yang bersangkutan. Petugas tersebut adalah karyawan yang memang mempunyai keahlian di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, dan ditunjuk oleh pimpinan atau pengurus tempat kerja/perusahaan
Pengusaha sendiri juga memiliki kewajiban dalam melaksanakan kesehatan dan keselamatan kerja. Misalnya terhadap tenaga kerja yang baru, ia berkewajiban menjelaskan tentang kondisi dan bahaya yang dapat timbul di tempat kerja, semua alat pengaman diri yang harus dipakai saat bekerja, dan cara melakukan pekerjaannya. Sedangkan untuk pekerja yang telah dipekerjakan, pengusaha wajib memeriksa kesehatan fisik dan mental secara berkala, menyediakan secara cuma-cuma alat pelindung diri, memasang gambar-gambar tanda bahaya di tempat kerja dan melaporkan setiap kecelakaan kerja yang terjadi kepada Depnaker setempat.
Para pekerja sendiri berhak meminta kepada pimpinan perusahaan untuk dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja, menyatakan keberatan bila melakukan pekerjaan yang alat pelindung keselamatan dan kesehatan kerjanya tidak layak. Tetapi pekerja juga memiliki kewajiban untuk memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan dan menaati persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja yang berlaku. Setelah mengetahui urgensi mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, koordinasi dari pihak-pihak yang ada di tempat kerja guna mewujudkan keadaan yang aman saat bekerja akan lebih mudah terwujud.


C.   Kasus Kecelakaan Kerja dan Solusi
1.    Kecelakaan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja bertalian dengan apa yang disebut dengan kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang berhubungan dengan pelaksanaan kerja yang disebabkan karena faktor melakukan pekerjaan. (Suma’mur, 1981: 5). Kecelakaan kerja juga diartikan sebagai kecelakaan yang terjadi di tempat kerja atau suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki yang mengacaukan proses aktivitas kerja. (Lalu Husni, 2003: 142). Kecelakaan kerja ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor dalam hubungan pekerjaan yang dapat mendatangkan kecelakaan ini disebut sebagai bahaya kerja. Bahaya kerja ini bersifat potensial jika faktor-faktor tersebut belum mendatangkan bahaya. Jika kecelakaan telah terjadi, maka disebut sebagai bahaya nyata. (Suma’mur, 1981: 5).

Lalu Husni secara lebih jauh mengklasifikasikan ada empat faktor penyebab kecelakaan kerja yaitu:
a.     Faktor manusia, diantaranya kurangnya keterampilan atau pengetahuan tentang industri dan kesalahan penempatan tenaga kerja.
b.    Faktor material atau peralatannya, misalnya bahan yang seharusnya dibuat dari besi dibuat dengan bahan lain yang lebih murah sehingga menyebabkan kecelakaan kerja.
c.     Faktor sumber bahaya, meliputi:
·  Perbuatan bahaya, misalnya metode kerja yang salah, sikap kerja yang teledor serta tidak memakai alat pelindung diri.
·  Kondisi/keadaan bahaya, misalnya lingkungan kerja yang tidak aman serta pekerjaan yang membahayakan.
d.      Faktor lingkungan kerja yang tidak sehat, misalnya kurangnya cahaya, ventilasi, pergantian udara yang tidak lancar dan suasana yang sumpek.
Dari beberapa faktor tersebut, Suma’mur menyederhanakan faktor penyebab kecelakaan kerja menjadi dua yaitu:
a.        Tindak perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe human act atau human error).
b.        Keadaan lingkungan yang tidak aman. (Suma’mur, 1981: 9).
Diantara penyederhanaan tersebut, faktor manusia adalah penyebab kecelakaan kerja di Indonesia yang paling dominan. Para ahli belum dapat menemukan cara yang benar-benar jitu untuk menghilangkan tidakan karyawan yang tidak aman tersebut. Tindakan-tindakan tersebut diantaranya membuat peralatan keselamatan dan keamanan tidak beroperasi dengan cara memindahkan, mengubah setting, atau memasangi kembali, memakai peralatan yang tidak aman atau menggunakannya secara tidak aman, menggunakan prosedur yang tidak aman saat mengisi, menempatkan, mencampur, dan mengkombinasikan material, berada pada posisi tidak aman di bawah muatan yang tergantung, menaikkan lift dengan cara yang tidak benar, pikiran kacau, tidak memperhatikan tanda bahaya dan lain-lain.
Kecelakaan kerja tentunya akan membawa suatu akibat yang berupa kerugian. Kerugian yang bersifat ekonomis misalnya kerusakan mesin, biaya perawatan dan pengobatan korban, tunjangan kecelakaan, hilangnya waktu kerja, serta menurunnya mutu produksi. Sedangkan kerugian yang bersifat non ekonomis adalah penderitaan korban yang dapat berupa kematian, luka atau cidera dan cacat fisik.
Suma’mur (1981: 5) secara lebih rinci menyebut akibat dari kecelakan kerja dengan 5K yaitu:
a.     Kerusakan
b.      Kekacauan organisasi
c.       Keluhan dan kesedihan
d.      Kelainan dan cacat
e.       Kematian

2.      Contoh Kasus Kecelakaan Kerja
Empat Pekerja di Pabrik Gula Tewas, Tersiram Air Panas
Cilacap–Empat pekerja cleaning servis di pabrik gula Rafinasi PT Darma Pala Usaha Sukses, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (29/07/09), tewas setelah tersiram air panas didalam tangki. Satu pekerja lainnya selamat namun mengalami luka parah. Diduga kecelakaan ini akibat operator kran tidak tahu masih ada orang di dalam tangki. Pihak perusahaan terkesan menutup-nutupi insiden ini.
Peristiwa tragis di pabrik gula Rafinasi PT Darma Pala Usaha Sukses yang ada di komplek Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap ini terjadi sekitar pukul 10.00 WIB. Musibah bermula saat 5 pekerja tengah membersihkan bagian dalam tangki gula kristal di pabrik tersebut. Tiba-tiba kran yang berada di atas dan mengarah kedalam tangki mengeluarkan air panas yang diperkirakan mencapai 400 derajat Celsius. Akibatnya, keempat pekerja yang ada didalamnya tewas seketika dengan kondisi mengenaskan karena panasnya uap.
Para korban yang tewas semuanya warga Cilacap yakni Feri Kisbianto, Jumono, Puji Sutrisno dan Kasito. Sedangkan pekerja yang bernama Adi Purwanto berhasil menyelamatkan diri, namun mengalami luka parah.
Menurut salah seorang rekan pekerja, air panas tersebut mengucur ke dalam tangki setelah tombol kran dibuka oleh salah seorang karyawan pabrik. Diduga operator kran tidak mengetahui jika pekerjaan didalam tangki tersebut belum selesai.
Hingga saat ini belum diperoleh keterangan resmi terkait kecelakaan kerja tersebut, karena semua pimpinan di Pabrik PT Darma Pala Usaha Sukses berusaha menghindar saat ditemui wartawan. Sementara polisi juga belum mau memberikan keterangan atas musibah tersebut. (Nanang Anna Nur/Sup).

Analisis Kasus
Jika ditinjau dari faktor penyebab kecelakaan kerja, penyebab dasar kecelakaan kerja adalah human error. Dalam hal ini, kesalahan terletak pada operator kran. Menanggapi kecelakaan yang telah menewaskan empat orang tersebut, seharusnya sang operator kran bersikap lebih hati-hati serta teliti yaitu dengan benar-benar memastikan bahwa tangki gula krsital tersebut telah kosong serta aman dialirkan air ke dalamnya, maka mungkin kecelakaan kerja tersebut tidak akan terjadi. Karyawan saat memasuki tangki seharusnya juga mengenakan alat-alat pelindung diri agar terhindar dari bahaya kecelakaan kerja.
Kemudian penyebab kecelakaan yang lain adalah kurangnya pengawasan manajemen dalam bidang kesehatan, keselamatan, dan keamanan pada perusahaan tersebut. Sistem manajemen yang baik seharusnya lebih ketat pengawasannya terhadap alat ini menyadari alat ini memiliki risiko yang besar untuk menghasilkan loss atau kerugian. Beberapa tindakan manajemen yang bisa dilakukan adalah dengan meletakkan kamera-kamera di dalam alat tersebut sehingga operator kran dapat memastikan bahwa di dalam tangki benar-benar tidak ada orang. Kemudian, apabila teknologi yang lebih canggih dapat diterapkan di sana, maka pada tangki tersebut dapat dipasang sebuah alat pendeteksi di mana apabila di dalam tangki masih terdapat orang atau benda asing, maka ada sebuah lampu yang menyala yang mengindikasikan di dalam tangki tersebut terdapat orang atau benda asing.
Kemudian apabila telah terjadi kecelakaan, seharusnya dilakukan investigasi kecelakaan, inspeksi, pencatatan serta pelaporan kecelakaan kerja. Tujuan dari kegiatan ini tentu untuk meningkatkan manajemen dari kesehatan, keamanan serta keselamatan pada perusahaan tersebut, menentukan tindakan pencegahan yang tepat serta menurunkan faktor risiko pada kecelakaan tersebut. Namun, sayangnya sikap dari pihak perusahaan yang menutup-nutupi kejadian kecelakaan kerja tersebut dapat menghambat berjalannya investigasi tersebut. Perusahaan tidak akan dapat mengambil pelajaran melalui kecelakaan ini. Ini berarti kecelakaan semacam ini masih memiliki kemungkinan yang cukup besar untuk kembali terjadi, baik pada perusahaan yang sama maupun pada perusahaan sejenisnya.

3.      Solusi Mengatasi Kecelakaan Kerja
Ada beberapa solusi yang dapat digunakan untuk mencegah atau mengurangi resiko dari adanya kecelakaan kerja. Salah satunya adalah pengusaha membentuk Panitia Pembina Kesehatan dan Keselamatan Kerja untuk menyusun program keselamatan kerja. Beberapa hal yang menjadi ruang lingkup tugas panitia tersebut adalah masalah kendali tata ruang kerja, pakaian kerja, alat pelindung diri dan lingkungan kerja.
a.    Tata ruang kerja yang baik adalah tata ruang kerja yang dapat mencegah timbulnya gangguan keamanan dan keselamatan kerja bagi semua orang di dalamnya. Barang-barang dalam ruang kerja harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat dihindarkan dari gangguan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Jalan-jalan yang dipergunakan untuk lalu lalang juga harus diberi tanda, misalnya dengan garis putih atau kuning dan tidak boleh dipergunakan untuk meletakkan barang-barang yang tidak pada tempatnya.
Kaleng-kaleng yang mudah bocor atau terbakar harus ditempatkan di tempat yang tidak beresiko kebocoran. Jika perusahaan yang bersangkutan mengeluarkan sisa produksi berupa uap, maka faktor penglihatan dan sirkulasi udara di ruang kerja juga harus diperhatikan
b.    Pakaian kerja sebaiknya tidak terlalu ketat dan tidak pula terlalu longgar. Pakaian yang terlalu longgar dapat mengganggu pekerja melakukan penyesuaian diri dengan mesin atau lingkungan yang dihadapi. Pakaian yang terlalu sempit juga akan sangat membatasi aktivitas kerjanya. Sepatu dan hak yang terlalu tinggi juga akan beresiko menimbulkan kecelakaan. Memakai cincin di dekat mesin yang bermagnet juga sebaiknya dihindari.
c.    Alat pelindung diri dapat berupa kaca mata, masker, sepatu atau sarung tangan. Alat pelindung diri ini sangat penting untuk menghindari atau mengurangi resiko kecelakaan kerja. Tapi sayangnya, para pekerja terkadang enggan memakai alat pelindung diri karena terkesan merepotkan atau justru mengganggu aktivitas kerja. Dapat juga karena perusahaan memang tidak menyediakan alat pelindung diri tersebut.
d.   Lingkungan kerja meliputi faktor udara, suara, cahaya dan warna. Udara yang baik dalam suatu ruangan kerja juga akan berpengaruh pada aktivitas kerja. Kadar udara tidak boleh terlalu banyak mengandung CO2, ventilasi dan AC juga harus diperhatikan termasuk sirkulasi pegawai dan banyaknya pegawai dalam suatu ruang kerja. Untuk mesin-mesin yang menimbulkan kebisingan, tempatkan di ruangan yang dilengkapi dengan peredam suara. Pencahayaan disesuaikan dengan kebutuhan dan warna ruang kerja disesuaikan dengan macam dan sifat pekerjaan. (Slamet Saksono, 1988: 104-111).

Untuk kasus seperti yang terjadi pada pabrik gula di atas, ada beberapa alternatif pencegahan selain yang tadi telah disebutkan. Tindakan tersebut dapat berupa:
a.     Dibuatnya peraturan yang mewajibkan bagi setiap perusahaan untuk memilki standarisasi yang berkaitan dengan keselamatan karyawan, perencanaan, konstruksi, alat-alat pelindung diri, monitoring perlatan dan sebagainya.
b.    Adanya pengawas yang dapat melakukan pengawasan agar peraturan perusahaan yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja dapat dipatuhi.
c.     Dilakukan penelitian yang bersifat teknis meliputi sifat dan ciri-ciri bahan yang berbahaya, pencegahan peledakan gas atau bahan beracun lainnya. Berilah tanda-tanda peringatan beracun atau berbahaya pada alat-alat tersebut dan letakkan di tempat yang aman.
d.    Dilakukan penelitian psikologis tentang pola-pola kejiwaan yang menyebabkan terjadinya kecelakaan serta pemberian diklat tentang kesehatan dan keselamatan kerja pada karyawan.
e.     Mengikutsertakan semua pihak yang berada dalam perusahaaan ke dalam asuransi. (Sutrisno dan Kusmawan Ruswandi. 2007: 14).

D.   Implementasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
Dalam era industri seperti sekarang ini, tidak dapat kita pungkiri begitu banyak perusahaan-perusahaan besar yang berdiri di Indonesia. Mulai dari perusahaan kelas ringan sampai kelas berat ada. Sebagai perusahaan yang telah mempekerjakan orang-orang di dalamnya, perusahaan diwajibkan untuk memberi perlindungan dalam bidang kesehatan dan keselamatan kerja kepada setiap pihak di dalamnya agar tercapai peningkatan produktivitas perusahaan.
Pemerintah sendiri sebenarnya cukup menaruh perhatian terhadap permasalahan kesehatan dan keselamatan kerja ini. Berbagai macam produk perundang-undangan dan peraturan-peraturan pendukung lainnya dikeluarkan untuk melindungi hak-hak pekerja terhadap kesehatan dan keselamatan kerja mereka. Beberapa perusahaan yang ada sebagian juga telah memiliki standar keamanan dan kesehatan kerja.
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan tentang pentingnya perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja. Undang-Undang tersebut berawal dari UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. UU Nomor 1 Tahun 1970 tersebut menjelaskan pentingnya keselamatan kerja baik itu di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air, dan di udara di wilayah Republik Indonesia. Implementasinya diberlakukan di tempat kerja yang menggunakan peralatan berbahaya, bahan B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya), pekerjaan konstruksi, perawatan bangunan, pertamanan dan berbagai sektor pekerjaan lainnya yang diidentifikasi memiliki sumber bahaya. Undang-undang tersebut juga mengatur syarat-syarat keselamatan kerja dimulai dari perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produk tekhnis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.
Menurut Permenaker PER.05 / MEN / 1996 Bab I, salah satu upaya dalam mengimplementasikan kesehatan dan keselamatan kerja adalah SMK3 (Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja). SMK3 meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. SMK3 merupakan upaya integratif yang harus dilakukan tidak hanya dilakukan oleh pihak manajemen tetapi juga para pekerja yang terlibat langsung dengan pekerjaan.
Perundang-undangan yang dihasilkan tentu saja harus selalu diawasi dalam proses implementasinya. Proses pengawasan tersebut diharapkan bisa menekan angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya menghasilkan angka zero accident yang memang merupakan tujuan dilaksanakannya SMK3. Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan, namun pada pelaksaannya masih banyak kekurangan dan kelemahannya karena terbatasnya personil pengawasan, sumber daya manusia yang masih kurang memilki pengetahuan tentang kesehatan dan keselamatan kerja serta perusahaan-perusahaan yang ternyata memang belum memenuhi standar kesehatan dan keselamatan kerja.
Beberapa program yang dilaksanakan pemerintah dalam upaya mewujudkan kesehatan dan keselamatan kerja diantaranya adalah :

1.    Kebijakan, Hukum, dan Peraturan
a.    Undang-undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Indonesia mempunyai kerangka hukum K3 yang ekstensif, sebagaimana terlihat pada daftar peraturan perundang-undangan K3 yang terdapat dalam Lampiran II. Undang-undang K3 yang terutama di Indonesia adalah Undang-Undang No. 1/ 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-undang ini meliputi semua tempat kerja dan menekankan pentingnya upaya atau tindakan pencegahan primer.
Undang-Undang No. 23/ 1992 tentang Kesehatan memberikan ketentuan mengenai kesehatan kerja dalam Pasal 23 yang menyebutkan bahwa kesehatan kerja dilaksanakan supaya semua pekerja dapat bekerja dalam kondisi kesehatan yang baik tanpa membahayakan diri mereka sendiri atau masyarakat, dan supaya mereka dapat mengoptimalkan produktivitas kerja mereka sesuai dengan program perlindungan tenaga kerja.
b.   Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Di antara negara-negara Asia, Indonesia termasuk negara yang telah memberlakukan undang-undang yang paling komprehensif (lengkap) tentang sistem manajemen K3 khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang berisiko tinggi. Peraturan tersebut (Pasal 87 UU no 13 Tahun 2003) menyebutkan bahwa “setiap perusahaan yang mempekerjakan 100 karyawan atau lebih atau yang sifat proses atau bahan produksinya mengandung bahaya karena dapat menyebabkan kecelakaan kerja berupa ledakan, kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat kerja diwajibkan menerapkan dan melaksanakan sistem manajemen K3.
Audit K3 secara sistematis, yang dianjurkan Pemerintah, diperlukan untuk mengukur praktik sistem manajemen K3. Perusahaan yang mendapat sertifikat sistem manajemen K3 adalah perusahaan yang telah mematuhi sekurang-kurangnya 60 persen dari 12 elemen utama, atau 166 kriteria.
c.    Panitia Pembina K3 (P2K3)
Menurut Topobroto (Markkanen, 2004 : 15), Pembentukan Panitia Pembina K3 dimaksudkan untuk memperbaiki upaya penegakan ketentuan-ketentuan K3 dan pelaksanaannya di perusahaan-perusahaan. Semua perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 50 karyawan diwajibkan mempunyai komite K3 dan mendaftarkannya pada kantor dinas tenaga kerja setempat. Namun, pada kenyataannya masih ada banyak perusahaan dengan lebih dari 50 karyawan yang belum membentuk komite K3, dan kalau pun sudah, komite tersebut sering kali tidak berfungsi sebagaimana seharusnya.
d.   Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK)
Berdasarkan Undang-Undang No 3/ 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Pemerintah mendirikan perseroan terbatas PT JAMSOSTEK. Undang-undang tersebut mengatur jaminan yang berkaitan dengan :
(i)                 kecelakaan kerja [JKK],
(ii)               hari tua [JHT],
(iii)             kematian [JK], dan
(iv)             perawatan kesehatan [JPK].
Keikutsertaan wajib dalam Jamsostek berlaku bagi pengusaha yang mempekerjakan 10 karyawan atau lebih, atau membayar upah bulanan sebesar1 juta rupiah atau lebih. Pekerja yang mengalami kecelakaan kerja berhak atas manfaat/ jaminan yang meliputi (i) biaya transportasi, (ii) biaya pemeriksaan dan perawatan medis, dan/ atau perawatan di rumah sakit, (iii) biaya rehabilitasi, dan (iv) pembayaran tunai untuk santunan cacat atau santunan kematian.
e.    Konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan K3
Pada tahun 2003, Indonesia masih belum meratifikasi Konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan K3 kecuali Konvensi ILO No 120/ 1964 tentang Higiene (Komersial dan Perkantoran). Tetapi hingga tahun 2000, Indonesia sudah meratifikasi seluruh Konvensi Dasar ILO tentang Hak Asasi Manusia yang semuanya berjumlah delapan.
Karena Indonesia mayoritas masih merupakan negara agraris dengan sekitar 70% wilayahnya terdiri dari daerah pedesaan dan pertanian, Konvensi ILO yang terbaru, yaitu Konvensi No. 184/ 2001 tentang Pertanian dan Rekomendasinya, dianggap merupakan perangkat kebijakan yang bermanfaat. Tetapi secara luas Indonesia dipandang tidak siap untuk meratifikasi Konvensi ini karena rendahnya tingkat kesadaran K3 di antara pekerja pertanian. Tingkat pendidikan umum pekerja pertanian di Indonesia juga rendah, rata-rata hanya 3 sampai 4 tahun di sekolah dasar (Markkanen, 2004 : 16)

2.    Penegakan Hukum
Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan peraturan hukum terkait K3 kemudian membentuk lembaga-lembaga penunjang diantaranya :
a.    Direktorat Pengawasan Norma K3 di DEPNAKERTRANS
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pengawasan/ inspeksi keselamatan kerja telah didesentralisasikan dan tanggung jawab untuk pengawasan tersebut telah dialihkan ke pemerintah provinsi sejak tahun 1984. Di Direktorat Jenderal Pengawasan Ketenagakerjaan DEPNAKERTRANS, sekitar 1,400 pengawas dilibatkan dalam pengawasan ketenagakerjaan secara nasional. Sekitar 400 pengawas ketenagakerjaan memenuhi kualifikasi untuk melakukan pengawasan K3 di bawah yurisdiksi Direktorat Pengawasan Norma K3 (PNKK).
b.   Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan
Pelayanan kesehatan kerja adalah tanggung jawab Pusat Kesehatan Kerja di bawah Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Pusat ini dibagi menjadi (i) Seksi Pelayanan Kesehatan Kerja, (ii) Seksi Kesehatan dan Lingkungan Kerja, dan (iii) Unit Administrasi.
Pusat ini sudah menyusun Rencana Strategis Program Kesehatan Kerja untuk melaksanakan upaya nasional. K3 merupakan salah satu program dalam mencapai Visi Indonesia Sehat 2010, yang merupakan kebijakan Departemen Kesehatan saat ini. Visi Indonesia Sehat 2010 dibentuk untuk mendorong pembangunan kesehatan nasional, meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau untuk perorangan, keluarga, dan masyarakat .
c.    Dewan Tripartit National Keselamatan dan Kesehatan Kerja (DK3N)
Dewan K3 Nasional (DK3N) dibentuk oleh DEPNAKERTRANS pada tahun 1982 sebagai badan tripartit untuk memberikan rekomendasi dan nasihat kepada Pemerintah di tingkat nasional. Anggota Dewan ini terdiri dari semua instansi pemerintah yang terkait dengan K3, wakil-wakil pengusaha dan pekerja dan organisasi profesi. Tugasnya adalah mengumpulkan dan menganalisa data K3 di tingkat nasional dan provinsi, membantu DEPNAKERTRANS dalam membimbing dan mengawasi dewan-dewan K3 provinsi, melakukan kegiatan-kegiatan penelitian, dan menyelenggarakan program-program pelatihan dan pendidikan. Selama periode 1998-2002, DK3N telah menyelenggarakan sekurangkurangnya 27 lokakarya dan seminar mengenai berbagai subyek di sektor-sektor industri terkait. DK3N juga telah menerbitkan sejumlah buku dan majalah triwulan.
Pada hakikatnya kita memang tidak akan menemukan konsep dan realita yang berjalan bersamaan, begitu pula dengan implementasi dari K3 yang belum bisa berjalan maksimal apabila belum ada komitmen yang tegas dari berbagai pihak baik pmerintah, pengusaha dan lembaga terkait lainnya dalam melaksanakan K3.

0 Response to "K3"

Post a Comment