I. PENDAHULUAN
Aalisis keotentikan hukum Islam
mensyaratkan bahwa teks-teks yang dijadikan landasan hendaknya merupakan teks
yang dipercayai dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang tetap.
Dalam hal ini Hadits sebagai landasan pokok setelah Al-Qur’an senantiasa harus
dijaga kemurniannya. Demikian seorang mujtahid yang akan menetapkan hukum
harus benar-benar mengetahui originalitas dari nash yang dijadikan
sandaran dan menghindari kepalsuan. Oleh karena itu menjaga keotentikan Hadits
dan terus melestarikannya agar tidak punah merupakan keniscayaan yang tidak
boleh ditinggalkan bagi kaum Muslimin.
Diketahui bahwa, sejak priode awal
sepeninggal Rasulullah otentitas sumber kedua itu berada pada ingatan dan
hafalan para sahabat. Mereka yang tersebar ke berbagai penjuru wilayah bisaa
menukil dan menyampaikannya kepada kaum Muslimin dengan riwayat bissyafahi
(mulut ke mulut). Sebelum dibukukan, sejak masa Nabi hingga akhir abad pertama
Hijriah Hadits belum ditulis secara signifikan, mereka hanya mengandalkan kuatnya
hafalan. Sedangkan yang mencatat hanyalah orang-orang tertentu saja.
Waktu terus berjalan, sementara itu
jumlah para sahabat terus berkurang, gejala kefasikan telah tersebar di
mana-mana, pemalsuan Hadits yang di nisbatkan kepada Nabi untuk kepentingan dan
membela kelompok tertentu telah bermunculan. Hal yang sedemikian itu mengundang
kekhawatiran dari para Ulama dan kaum Muslimin. Mereka terdorong untuk mencari
dan menghimpun mana yang termasuk Hadits Nabi serta mengklasifikasikannya
sesuai kadar keshahihannya dalam satu buku, demi menjaga sumber Syari’at kedua
ini dari kepunahan dan menghindari masuknya musuh-musuh Islam yang ingin
menrusak kemurnian ajaran agama dengan memalsukan Hadits.
II. HADITS SEBELUM DIBUKUKAN
A. Hadits Pada Masa Nabi
Pada masa Nabi SAW Hadits belum
ditulis sedemikian rupa sebagaimana Al-Qur’an. Hal itu dikarenakan beberapa
sebab, diantaranya ; 1) banyaknya masyarakat yang tidak mampu baca tulis (ummy)
dan minimnya peralatan tulis, 2) kuatnya hafalan serta ingatan para sahabat dan
kecemerlangan otak mereka, sehingga mereka lebih banyak berpegangan pada
hafalan daripada pada tulisan, 3) adanya larangan dari Nabi untuk menulis dari
beliau selain Al-Qur’an. Seperti Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Abi Sa’id Al-Hudri dari Nabi SAW bersabda ;
لا
تكتبوا عني ومن كتب عني غير لاقرآن فاليمحه (رواه مسلم)
“Janganlah kau tulis (apa yang kau
terima) dariku, barang siapa yang menulis dariku selain Al-Qur’an maka
hendaknya dihapus”.
(HR. Muslim)
Dengan adanya larangan membuat para
sahabat mengasah ketajaman ingatan dan membangkitkan keinginan yang kuat untuk
menghafalkan Hadits dan Sunnah. Dan menyampaikannya
kepada yang lain dengan lafadz sekiranya mungkin, jika tidak maka dengan
maknanya yakni apa yang dikehendaki dalam matan Hadits. Lebih-lebih ketika
Rasul memberikan dorongan semangat kepada mereka akan hal itu, seperti
riwayat Abu Muhammad Al-Roma Hurmuzy dalam kitabnya المحدث الفاضل بين الراوي و
الواعي
menyebutkan ;
عن
عطاء بن يسار عن بن عباس قال : سمعت علي ابن ابي طالب يقول : خرج علينا رسول الله
صلى الله عليه وسلم فقال : " اللّهم ارحم خلفائي ، قلنا يا رسول الله و من
خلفائك؟ قال الذين يروون أحاديثي و يعلمونها الناس
Dari Atho’ bin Yasar dari Ibnu Abbas RA ia berkata ;
Aku telah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata: Rasulullah SAW keluar bersama
kami, lalu beliau berdo’a : “Ya Allah limpahkanlan belas kasihmu kepada
para khulafa’ ku..” lantas aku bertanya : “Wahai Rasulullah, siapa yang menjadi
Khulafa’ engkau ?” beliau menjawab, “Mereka yang mau meriwayatkan
Hadits-Haditsku dan mengajarkannya kepada orang-orang..”
Para sahabat mendengar penjelasan
Rasulullah SAW itu, dan tidakalah seorang yang mencurahkan sekian tenaganya
untuk menghafalkan Hadits-hadist Nabi, melainkan ia pasti akan memperoleh
predikat Khilafah ini.
Namun demikian, Rasulullah
mengizinkan kepada sebahagian Sahabat untuk menulisnya. Hal ini menunjukkan
bahwa larangan tersebut di atas tidak berlaku mutlak. Dalam riwayat Bukhari
Muslim disebutkan bahwa Abu Syah Al-Yamani meminta dari Nabi untuk
dituliskan keterangan yang didengar dari beliau pada tahun fathu Makkah
kemudian Nabi SAW memerintahkan : “Tulislah oleh kalian untuk Abi Syah…”
Para Ulama salaf berbeda pendapat mengenai posisi
larangan dan pemberian izin Nabi untuk menulis Hadits dengan argument yang
berbeda-beda ;
·
di antara mereka ada yang mengatakan
bahwa izin tersebut baghi mereka yang khawatir akan melupakannya sebagaimana
Abu Syah di atas, dan larangan berlaku bagi orang yang kuat hafalannya dan
dimungkinkan aman dari kelupaan.
·
di antara mereka megatakan, bahwa
adanya larangan itu karena dikhawatirkan akan terjadi iltibas antara
Hadits dengan Al-Qur’an sehingga merepotkan mereka, dan izin berlaku atas para
Qari’ dan penulis yang yakin bisa aman dari hal tersebut.
·
Sebagian mereka mengatakan bahwa,
Hadits adanya izin tersebut menasakh Hadits-Hadits yang melarang untuk menulis
Hadits. Memang pada mulanya dilarang dikhawatirkan akan terjadi campur antara
A-Qur’an dengan Hadits dan setelah kekhawatiran itu hilang maka larangan
ditiadakan.
B. HADITS PADA MASA SAHABAT
Setelah Rasulullah SAW meninggal,
ketika masa sahabat sudah berdekatan dengan masa Tabi’in, maka banyak diantara
mereka yang menulis dari para Sahabat. Pada saat itu dianggap perlu bagi mereka
untuk menulisnya, karena alasan-alasan dari larangan sebagaimana kami kemukakan
di atas tidak lagi ada pada saat itu; Al-Qur’an seluruhnya telah di bukukan dan
dihafal oleh sekelompok besar sahabat, wahyu telah terputus dengan wafatnya
Rasulullah, demikian pula para sahabat, karena dakwah Islam yang menyerukan
untuk memberantas buta huruf, mayoritas mereka telah mampu baca tulis.
Umar bin Khathab adalah diantara
para sahabat yang menaruh perhatian besar untuk pengumpulan Hadits-Hadits
Nabi dan mengikatnya dalam kitab-kitab. Dalam pada itu para sahabat bermusaywarah,
satu bulan lamanya telah berlalu namun belum ada kesepakatan, hingga suatu hari
Umar ber-‘azam, beliau berkata: “Sungguh aku akan menulis Sunnah,
dan aku ingat akan kaum sebelum kalian mereka pada menulis kitab-kitab, mereka
menulisnya dan tidak memperhatikan Kitab Allah, dan demi Allah sekali-kali
aku tidak akan mencampur adukkan kitab Allah dengan sesuatu yang lain
untuk selamanya.” orang-orang yang mempunyai keliahain
menulis diantara mereka pun menulisnya.
Pada masa ini bacaan-bacaan dan tulisan-tulisan
lebih leluasa tersebar daripada masa sebelumnya. Diriwayatkan dari Anas bin
Malik, ketika beliau mendengarkan sebuah Hadits dari ‘Itban bin Malik RA
yang didengarnya dari Rasulullah SAW bahwa ;
من شهد أن لا إله ألا الله و أنّ محمّدا رسول الله
صادقا مِن قللبه لا يدخل النار .. (رواه مسلم)
Hadits ini menarik perhatian Anas
lantas beliau berkata pada anaknya : “tulislah Hadits ini! ” maka ia
menulisnya. Demikianlah para sahabat sangat giat dalam meriwayatkan Hadits,
mereka sibuk oleh penggalian ilmu dan tidak banyak disibukkan oleh urusan
dunia.
C. HADITS PADA MASA TABI’IN
Pada masa Tabi’in periwayatan Hadits
menjadi perhatian yang krisial, lebih lebih ketika para sahabat yang menghafal
dan membawakan Hadits-Hadits dari Rasulullah SAW tersebar di Negara-negra
Islam, terbukalah peluang untuk menggali ilmu, periwayatan dan fatwa. Ditambah
berdirinya madrasah-madrasah di Hijaz dan selain Hijaz, dari sini kaum Muslimin
banyak menimba ilmu, pada saat itulah ilmu keislaman berkembang, termasuk di
sana ilmu-ilmu Al-Qur’an. Dan periwayatan terhadap Hadits masuk dalam katagori
bagian yang besar.
Mengenai penulisan Hadits,
diriwayatkan dari Abdul Rahman bin Ziad dari bapaknya berkata ; “ aku menulis
tentang halal dan haram” dan Ibnu Syihab menulis setiap yang ia dengar, dan
ketika berhujjah kulihat ia orang yang paling Alim.
Demikian secara terus menerus muncul
Ulama terkemuka dari kalangan tabi’in, seperti diantaranya Ibnu Sirin, salah
seorang Tabi’in yang banyak meriwayatkan Hadits dari sahabat, seperti
dikatakannya ; “sesungguhnya ilmu Hadits dan riwayat ini merupakan bagian dari agama,
maka lihatlah agama kalian pada diri orang yang menyampaikan riwayat itu pada
kalian”. Artinya kalau yang menyampaikan itu orangnya fasik maka dengan
menerima riwayatnya ia akan ikut menjadi fasik pula.
Abu Zinad Abdullah bin Dakwan,
seorang Alim fiqih Madinah. Abdul Rahman bin Mahdi, ia berkata “tidaklah
seorang laki-laki menjadi Imam yang boleh dijadikan panutan (pada saat itu)
sehingga ia berpegangan pada riwayat yang benar-benar ia dengar”. Ibnu Wahab,
seorang Imam yang tidak diragukan hafalan dan keyakinannya, ia berkata “Malik –
Imam Darul Hijrah - telah mengatakan kepada ku ; ketahuilah bahwa tidaklah
diterima seorang yang menyampaikan Hadits hanya bertumpu pada apa yang ia
dengar, dan tidaklah ia pantas menjadi Imam sedangkan ia berkata dengan apa
yang ia dengar”.
Semua riwayat ini menunjukkan
bahwa betapa pentingnya penulisan Hadits dan sanad yang bisa
dipertanggungjabwabkan kebenarannya, dimana ketika musuh-musuh Islam masuk
untuk merusakkan agama ini dengan meyebarkan apa yang dikatakan Hadits, padahal
itu bukan Hadits melainkan buatan mereka sendiri.
III. MASA PEMBUKUAN HADITS
Telah menjadi kesepakatan (ijma’
fi’li) diantar Ulama akan pentingnya menulis serta membukukan Hadits dan
Sunnah Rasulullah SAW. Munculnya beberapa faktor - sebagaimana tersebut dalam
paembahasan sebelumnya – menuntut kaum muslimin untuk menunjukkan kesetiaannya
pada Sunnah Rasul. Hal itu mereka wujudkan dengan upaya mereka mempertahankan,
menjagga, dan melestarikannya dengan penuh tanggung jawab. Mereka bergerak untuk
menghafalkan serta menulisnya dengan penuh kejelian. Sebuah tugas yang mulya
yang telah dirintis oleh generasi awal hingga masa Tabi’in.
Para rawi Al-Sunnah memperhatikan
atas wajibnya menghimpun Sunnah Rasulullah dalam sebuah buku secara kolektif
dan selektif. Pemikiran itu timbul dari seluruh Negara-negara Islam dalam
waktu yang berdekatan, sehingga tidak diketahui mana yang memperoleh keutamaan
karena lebih dahulu dalam pengumpulan itu.
Umar bin Abdul Aziz RA - pada masa
pemerintahannya (99-101 H) - memandang perlu untuk membukukan Sunnah dan Hadits
Nabi dalam sebuah suhuf atau kitab-kitab sehingga tidak tercampur antara yang shahih
dengan yang zaif (palsu) dan hadist tidak akan hilang sia-sia setelah
penghafalnya wafat. Beliau menentukan langkah dengan mengirimkan surat kepada
para Gubernur di berbagai daerah Islam dan juga para Ulama terkemuka di
berbagai pejjuru daerah untuk melakukan pengumpulan dan kodifikasi terhadap
Hadits. Diantaranya kepada ; Imam Malik, hingga beliau menuliskitabnya al-
Muattha’ ; kepada Muahammad bin Hasan bin Amru bin Hazm (w.120 H) ;
dan kepada Abu Bakar bin Hazm. Umar bin Abdul Aziz juga mengirim surat
kepada Ibnu Syihab Azzuhri Al-Madany, sebagai tangan kanan beliau, seorang
Ulama besar bagi penduduk Hijaz dan Syam (w.204 H). Hal itu terjadi
pada penghujung abad pertama Hujriah.
A. Kodifikasi Abad kedua ( 100 – 200 H)
Upaya pembukuan Hadits yang
dilakukan Azzuhri dan Abu Bakar bin Hazm pada tahap awal disusul oleh para
Ulama Hadits di berbagai daerah. Termasuk mereka yang membukukan pada
tahap pertama dalam priode ini ialah ;
1. Imam Malik bin Anas di Madinah (w.
179 H)
2. Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul
Azizi Juraij di Makkah (w. 150 H)
3. Sufyan bin Tsauri di Kufah (w. 161
H)
4. Hamad bin Salamah dan Sa’id bi
Arubah di Bashrah (w. 176 H)
5. Hisyam bi Basyir di Wasith (w. 188
H)
6. Abdul Rahman Al-Auza’I di Syam (w.
156 H)
7. Ma’mar bin Rasyid di Yaman (w. 153
H)
8. Abdullah bin Mubarak di Khurasan (w.
171 H)
9. Jarir bin Abdul Hamid di Ray (w.188
H)
Pada tahap awal ini Hadits ditulis masih bercampur dengan
fatwa Sahabat dan Tabi’in. sebagaiman bisa kita lihat dalam Muwattha’ susunan
Imam Malik RA.
Pada tahap kedua Hadits Rasulullah
mulai dipisahkan dari kata-kata orang lain. Yaitu pada permulaan tahun 200 H.
Selanjutnya mereka menyusun kitab yang dikenal dengan Musnad. Hal tersebut
antara lain ;
1. Musnad Ubaidillah bin Musa Al-‘Abasy
Al-Kufi (w. 213 H).
2. Musnad Musadad bin Masrahad Al-Bashri
(w. 228 H)
3. Musnad Asad bin Musa Al-Al-Mishri (
w. 212 H)
4. Musnad Naim bin Hamad Al-Khaza’I (w.
228 H)
5. Musnad Imam Ishak bin Ibrahim
Al-Khandhali (w.238 H)
6. Musnad Imam Al-Jalil Ahmad bin
Hambal (w. 241).
7. Musnad Utsman bin Abi Syaibah (w.279
H).
8. Musnad Abu BAkar bin Abi Syaibah
(w.230 H). beliau menyusun berdasarkan bab-bab sekaligus berdasarkan sanad.
B. Kodifikasi Abad Ketiga (200 - 300 H)
Priode ini dibilang sebagai abad
yang paling subur dan cemerlang bagi pembukuan Hadits. Pada priode ini muncul
tokoh-tokoh penulis Kutub al-Sittah kitab-kitab Hadits terpenting yang
paling lengkap mencakup Sunnah Rasul. Muncul pula Imam-Imam Hadits yang mumpuni
dalam kuatnya hafalan, periwayatan, ilmu jarh wa al-ta’dil, ilmu
Tawarikh al-rawi, ilmu ‘ilal al-Hadits, ditambah lagi munculnya
pemilahan-pemilahan terhadap Hadits, dan penghimpun secara khusus terhadap
Hadits-Hadits shahih.
Diantaranya pada priode ini mereka
ada yang menyusun kitab berdasarkan bab-bab fiqih, mereka mulai dari bab
thaharah kemudian shalat, zakat, puasa, haji, muamalat hudud, dan seterusnya.
Juga ada yang menyusun secara spesifik tentang masalah hukum. Ada pula yang
mengungkapkan tentang masalah wahyu, ilmu tafsir, peperanagan, bepergian dst.
Sebagaimana yang dilakukan oleh imamBukhari.
Diantara mereka yang secara khusus
menghimpun Hadits-Hadits shahih dalam kitabnya ialah seperti pemilik al-Shahihaini
yaitu;
1. Imam Abu Abdillah Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al-Ja’fi Al-Bukhari (w. 256 H) menyusun Shahih
Al-Bukhari.
2. Imam Abu Al-Husein Muslim bin
Al-Hajjaj Al-Qusyairi (w. 261 H). menyusun Shahih Al-Muslim.
Kedua kitab itu disusun dengan penuh
kecermatan dalam periwayata dan memilahnya dengan jeli, sehingga keduanya
merupakan tonggak dan puncaknya pembukuan Hadits. Jalan kedua tokoh ini kemudian ditempuh oleh
Ulama-Ulama lain.
Diantara mereka yang tidak menetapkan dalam kitabnya
tertentu pada Hadits shahih saja, tetapi dimuat di dalamnya Hadits shahih,
hasan dan dlaif yang banyak ditulis dalam kitab-kitab yang memiliki
tingkatan sesuai kadar keilmuan dan pengetahuan yang dimiliki, mereka itu
seperti para Imam Hadits yang menyusun empat kitab Sunan, mereka adalah :
1. Imam Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’at
Al-Sijistani (w. 275 H)
2. Imam Abu Isa Muhammad bin Isa bin
Surah At-Tirmidzi (w. 279 H)
3. Imam Abu Abdi Al-Rahman Ahmad bin
Syu’aib An-Nasa’I (w. 315 H)
4. Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin
Majah bin Al-Qazwaini (w. 273 H)
Kitab-kitab mereka yakni Shahihaini
dan Sunan dalam lisan Ahli Hadits terkenal dengan al-Kutub al-Sittah (kitab
Hadits yang enam). Di kalangan kaum Muslimin Kitab-kitab tersebut memperoleh
derajat yang tinnggi karena para perawinya sangat terpercaya. Sebenarnya banyak
yang menyusun kitab-kitab Hadits, hanya saja enam orang itulah yang memperoleh
kemasyhuran yang tidak diperoleh oleh yang lain.
C. Kodifikasi Abad keempat (300 – 400 H)
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa
Abad ketiga merupakan masa yang paling cemerlang bagi pengumpulan (kodifiksi)
dan penyeleksian Hadits dan riwayat, dimana Imam-imam besar terpercaya, ahli
dalam ilmu al-Rijal dan ilmu al-‘ilal serta menguasai hal ikhwal periwayatan
lahir pada masa itu, sehingga setiap generasi yang dating kemudian merasa
tercukupi oleh mereka.
Para tokoh-tokoh Abad keempat ini
berupaya membahas tentang keadaan perawi Hadits dari Tabi’in dan orang orang
sesudah mereka, masing-masing rawi disifati dengan sifat yang ada pada diri
mereka masing-masing, seperti ; kuatnya hafalan, keadilannya, kejeliannya,
kejujurannya dan seterusnya dari yag baik atau yang tidak baik. Hal ini
dilakukan guna memilah dan menentukan derajat Hadits yang dibawakannya.
Dalam hal ini mereka berbeda-beda.
Kita jumpai di antara para perawi itu ada yang disepakati keadilannya,
kuat ingatannya, dan kedlabitannya, ada yang tidak, ada pula yang
diperselisihkan diantara mereka. Demikian dalam sanad dan rawi ada yang
derajatnya lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dari yang lain. Adapun kitab-kitab
yang disusun pada priode ini yang terkenal antarlain ialah ;
1. Al-Ma’ajim Ats-Tsalatsah ; Al-Kabir,
Al-Ausath dan As-Shaghir, karya Imam Sulaiman bin Ahmad
Ath-Thabrani (w. 360 H). Dalam Al-Kabir dimuat secara tertib para
Sahabat berdasarkan urutan hurufnya, tercaantum di dalamnya sekitar 520.000
Hadits; begitu pula dalam Al-Ausath dan As-Shaghir disusun secara
tertib riwayat dari guru-gurunya berdasarkan urutan huruf.
2. Shahih Al-Imam Al-Kabir Muhammad bin
Ishak bin Huzaimah (w. 311 H).
3. Shahih Abi Awanah Ya’kub bin Ishak
(w. 316 H)
4. Mushannaf Ath-Thahawi, seorang Ulama
fiqih dan ahli Hadits Mazhab Hanafi (w. 321 H)
5. Al-Muntaqa, Karya Qasim bin Ashbagh,
Ulama Hadis Andalusia (w. 340 H)
6. As-Shahih Al-Muntaqa, karya Ibnu
Sakan Said bin Utsman Al-Bagdadi (w. 353 H)
7. Shahih Abi Khatim Muhammad bin
Hibban Al-Basti (w.354 H)
8. Sunan Imam Abil Hasan Ad-Daruquthni
(w. 385 H)
9. Mustadrak Imam Abi Abdillah Al-Hakim
(w. 405 H).
Persoalan Sunnah berakhir pada
pertengan priode ini dan As-Sunnah telah menjadi imu yang berdiri sendiri
dengan tokoh-tokoh yang khusus membahasnya (al-Muhadditsin), meskipun merka
tidak meneruskan ke dalam fiqih dan tidak memiliki kekuatan untuk beristimbat.
Mereka melestarikan peninggalan
kitab-kitab yang sudah ada. Dan penyusunan kitab yang mereka lakukan
diantaranya ialah mengumpulkan tulisan sebagian ulama-ulama sebelumnya ke dalam
satu kitab, atau meringkas sanad-sanad dan matan, mengomentari sanad-sanad atau
matannya, mengumpulkan hadits-hadits yang berkaitan dengan hokum, atau tentang
keutamaan-keutamaan amal, dihimpun dalam kitab-kitab tersendiri.
VI. KONKLUSI
Telah menjadi kesepakatan (ijma’
fi’li) di antara para Ulama akan pentingnya menseleksi, menulis dan
membukukan Hadits serta Sunnah Rasulullah SAW. Sekiranya tidak ditulis atau
dibukukan maka dalam kurun waktu yang lama sepeninggal Rasulullah SAW akan
terjadi perselisihan besar mengenai Sunnah.
Adapun mengenai Hadits-Hadits
tentang larangan menulis selain Al-Qur’an itu belaku pada masa awal Islam (shadrul
Islam) karena hal-hal sebagai berikut ;
1. khawatirkan dicampur adukkannya
Al-Qur’an dengan Sunnah oleh mereka yang baru masuk Islam atau yang tidak bisa
membedakannya.
2. dikhawatirkan hanya berpegangan pada
tulisan serta tidak menghafalkannya.
3. dibukukannya Hadits khawatir
orang-orang awam hanya pasrah dan tidak mengkajinya lebih dalam.
4. masih minimnya bahan dan alat tulis.
dan Al-Qur’an juga belum dibukukan.
Dalam setiap fase pembukuan terdapat
karakteristik dan ciri tersendiri. Fase pertama; pertama-tama
pembukuan Hadits masih bercampur dengan kata-kata sahabat dan Tabi’in serta
fatwa-fatwa mereka. Fase Kedua; Hadits mulai dipisahkan dari
kata-kata yang lain selanjutnya disusun kitab yang dikenal dengan Musnad.
Fase ketiga; fase yang paling cemerlang dalam kodifikasi sunnah, muncul
tokoh-tokoh penulis Kutub al-Sittah yang ditinggikan derajatnya atas
yang lain karena para perawinya sangat terpercaya dan memperoleh kemasyhuran
yang tidak diperoleh oleh yang lain. Fase keempat; ditandai dengan
banyaknya Ulama yang sudah mencukupkan diri dengan kitab-kitab sebelumnya,
pengkajian tentang hal ihwal rawi dan sanad hadits mensifatinya untuk
menseleksi kualitas hadits yang dibawakannya, pada fase ini juga muncul susunan
kitab-kitab hadits.
Dari semua kitab yang ada, ada yang
disusun berdasarkan tertib sanad, ada yang berdasarkan urutan bab-bab fiqih,
ada yang berdasarkan urutan hukum-hukum fiqih, ada yang membatasi pada masalah
targhib wat Tarhib dan ada yang mencukupkan matannya saja dengan membuang
sanad.
Daftar Pustaka
·
Bek, Muhammad Hudlari, Tarikh
al-Tasyri’ al-Islami, edisi bahasa Indonesia, Semarang, Dar Al-Ihya’, 1980
·
Syuhbah, Muhammad Abu, Al-Wasith
fi ‘Ilmi al-Mushthalah al-Hadits, Kairo, Dar al-Fikr al-Araby, 1982
·
Al-Maliki, Alawi Abbas; An-Nuri,
Sulaiman Hasan, Ibanat Al-Ahkam Sarh Bulugh Al-Maram, Jilid I, Beirut,
Darul Fikri, 2004
0 Response to "SEJARAH HADIST"
Post a Comment