A. PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK HUKUM
ISLAM
Pengertian hukum
islam juga dimaksudkan didalamnya
pengertian syari’at. Dalam kaitan ini ada pendapat yang mengatakan bahwa hukum
islam atau fikih adalah sekelompok dengan syari’at, yaitu ilmu yang berkaitan
dengan amal perbuatan manusia yang diambil dari nash al-Qur’an dan al-Sunnah.
Bila ada nash dari al-Qur’an atau al-Sunnah yang berhubungan dengan amal
perbuatan tersebut, atau yang diambil dari sumber-sumber lain,bila tidak ada
nash dari al-Qur’an atau al-Sunnah, maka dibentuklah suatu ilmu yang disebut
dengan ilmu Fikih. Jadi yang disebut ilmu Fikih ialah sekelompok hukum tentang
amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Berdasarkan batasan
tersebut diatas sebenarnya dapat dibedakan antara syari’ah dan hukum islam atau
fikih. Perbedaan tersebut terlihat pada dasar atau dalil yang digunakan.
Syari’at bersifat permanen, kekal dan abadi sedangkan fikih atau hukum islam
bersifat temporer dan dapat berubah.
Zaki Yamani membagi
syari’at islam dalam dua pengertian yaitu dalam arti luas dan arti sempit.
Pengertian syari’at islam dalam arti luas adalah semua hukum yang telah disusun
dengan teratur oleh para ahli fikih dalam pendapat-pendapat fikihnya mengenai
persoalan di masa mereka, atau yang mereka perkirakan akan terjadi kemudian,
dengan mengambil dalil-dalil yang langsung dari al-Qur’an dan al-Hadist, atau
sumber pengambilan hukum seperti ijma’ dan qiyas. Syari’at dalam arti luas ini
memberikan peluang untuk berbeda pendapat, untuk mengikutinya atau tidak
mengikutinya. Sedangkan Pengertian dalam arti sempit, syari’at islam itu
terbatas pada hukum-hukum yang berdalil pasti dan tegas, yang tertera dalam
al-Qur’an, hadis yang sahih, atau yang ditetapkan oleh ijma’.
Kini syari’at islam
telah berusia cukup tua, yaitu dari sejak kelahiran agama islam itu sendiri
pada lima belas abad yang lalu sampai sekarang. Sejauh manakah syari’at islam
itu tetap aktual dan mampu meresponi perkembangan zaman, telah dijawab lewat
berbagai penelitian yang dilakukan para ahli yang contoh-contohnya dapat
dilihat dalam uraian dibawah ini.
B. MODEL-MODEL PENELITIAN FIKIH (HUKUM ISLAM)
Pada uraian berikut ini akan kami
sajikan beberapa model penelitian yang dilakukan oleh Harun Nasution, Noel J.
Coulson dan Muhammad Atha Muzhar.
1.
Model Harun Nasution
Sebagai
guru besar dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam, Harun Nasution juga
mempunyai perhatian terhadap Hukum Islam. Penelitiannya dalam bidang Hukum
Islam ini ia tuangkan secara ringkas dalam bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Melalui penelitiannya
secara ringkas namun mendalam terhadap berbagai literatur tentang hukum islam
dengan menggunakan pendekatan sejarah, Harun Nasution telah berhasil
mendeskripsikan struktur Hukum Islam secara komprehensif, yaitu mulai dari
kajian terdapat ayat-ayat hukum yang ada dalam al-Qur’an, latar belakang dan
sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam dari sejak zaman nabi sampai
dengan sekarang, lengkap dengan beberapa mazhab yang ada di dalamnya berikut
sumber hukum yang digunakannya serta latar belakang timbulnya perbedaan
pendapat. Melalui pendekatan kesejarahan Harun Nasution membagi perkembangan
hukum islam ke dalam 4 periode, yaitu periode Nabi, periode sahabat Nabi,
periode ijtihad serta kemajuan dan periode taklid serta kemunduran.
a. Pada periode Nabi
Bahwa segala persoalan dikembalikan
kepada Nabi untuk menyelesaikannya, maka Nabi lah yang menjadi satu-satunya
sumber hukum. Secara langsung pembuat hukum adalah Nabi, tetapi secara tidak langsung Tuhan lah pembuat
hukum. Karena hukum yang dikeluarkan Nabi bersumber pada wahyu dari Tuhan.
Sumber hukum yang ditinggalkan Nabi untuk zaman-zaman sesudahnya ialah
al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
b. Pada periode Sahabat Nabi
Pada periode ini, daerah yang
dikuasai islam bertambah luas dan termasuk dalamnya daerah di luar Semenanjung
Arabia yang telah mempunyai kebudayaan tinggi dan susunan masyarakat Arabia
ketika itu, maka sering dijumpai berbagai persoalan hukum. Untuk itu para sahabat
disamping berpegang kepada al-Qur’an dan al-Sunnah juga kepada sunnah para
sahabat.
c. Pada periode ijtihad serta kemajuan
Pada periode ijtihad yang disamakan
oleh Harun Nasution dengan periode kemajuan islam I ( 700-1000 M ), masalah
hukum yang dihadapi semakin beragam, sebagai akibat dari semakin bertambahnya
daerah islam dengan berbagai macam bangsa masuk islam dengan membawa berbagai
macam adat istiadat, tradisi,dan sistem kemasyarakatan. Dalam kaitan ini
muncullah ahli-ahli hukum mujtahid yang disebut imam atau faqih ( fuqaha) dalam
islam, dan pemuka-pemuka hukum ini mempunyai murid.
d. Periode taklid serta kemunduran
Setelah periode ijtihad dan
perkembangan hukum pada periode ijtihad, datanglah periode taklid dan penutupan
pintu ijtihad. Di abad ke empat Hijrah (abad kesebelas Masehi) bersamaan dengan
mulainya masa kemunduran dalam sejarah kebudayaan islam, berhentilah
perkembangan hukum islam.
Dari
uraian diatas tersebut terlihat model penelitian fikih atau hukum islam yang
digunakan Harun Nasution adalah penelitian eksploratif, deskriptif, dengan
menggunakan pendekatan kesejarahan. Melalui penelitian ini, pembaca akan
mengenal secara awal untuk memasuki kajian hukum islam lebih lanjut.
2.
Model Noel J. Coulson
Noel J. Coulson menyajikan hasil penelitiannya di bidang
hukum islam dalam karyanya berjudul Hukum
Islam Dalam Perspektif Sejarah. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis
yang menggunakan pendekatan sejarah. Hasil penelitian ini dituangkan dalam tiga
bagian, yaitu :
- Bagian pertama, menjelaskan tentang terbentuknya
hukum syari’at, yang didalamnya dibahas tentang legalisasi al-Qur’an, praktek
hukum di abad pertama islam, akar yurisprudensi sebagai mazhab pertama, imam
al-syafi’i.
- Bagian kedua, menjelaskan tentang pemikiran dan praktek hukum islam di
abad pertengahan.
- Bagian ketiga, menjelaskan tentang hukum islam di
masa modern.
Pada
bagian pendahuluan Coulson menyatakan bahwa masalah yang dasar saat ini ialah adanya pertentangan antara
ketentuan-ketentuan hukum tradisional yang dinyatakan secara kaku di satu
pihak, dan tuntutan-tuntutan masyarakat modern di lahin pihak. Apabila
perjalanan hukum diarahkan agar bisa membentuk dirinya sebagai penjabaran
perintah Tuhan, agar tetap menjadi hukum islam, maka tak bisa dibenarkan suatu
reformasi yang dimaksudkan guna memenuhi kebutuhan masyarakat.
Ketika
berbicara tentang legalisasi al-Qur’an, Coulson mengatakan bahwa prinsip Tuhan
adalah satu-satunya pembentuk hukum dan bahwa semua perintah-Nya harus
dijadikan kendali utama atau segenap aspek kehidupan sudahlah mapan. Hanya saja
perintah-perintah itu tidak tersusun secara bulat dalam bentuk bab yang lengkap
buat manusia. Selanjutnya ketika mengemukakan hukum di abad pertama islam,
Coulson mengatakan bahwa di bidang hukum muncul keseragaman di satu pihak, dan
perbedaan di pihak lain. Menurut Coulson ada dua alasan prinsip di balik
keberagaman atau perbedaan ini. Pertama,
adalah lazim bahwa masing-masing qadi cenderung menerapkan aturan setempat yang
tentu berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lainnya. Kedua, wewenang hakim untuk memutus perkara sesuai dengan
pendapatnya sendiri untuk maksud apapun, tidak dibatasi.
Berdasar
pada hasil penelitian tersebut, nampak bahwa dengan menggunakan pendekatan
historis, Coulson lebih berhasil menggambarkan perjalanan hukum islam dari
sejak berdirinya hingga sekarang secara utuh. Melalui penelitiannya itu,
Coulson telah berhasil menempatkan hukum islam sebagai perangkat norma dari
perilaku teratur dan merupakan suatu lembaga sosial. Di dalam prosesnya, hukum
sebagai lembaga sosial memenuhi kebutuhan pokok manusia akan kedamaian dalam
masyarakat. Warga masyarakat tak akan mungkin hidup teratur tanpa hukum, oleh
karena norma-norma lainnya tak akan mungkin memenuhi kebutuhan manusia akan
keteraturan dan ketentraman secara tuntas. Dalam hukum islam sebagaimana
diketahui misalnya memperhatikan sekali masalah keluarga, karena dari
keluarga-keluarga yang baik, makmur dan bahagialah tersusun masyarakat yang
baik,makmur dan bahagia. Oleh karena itu
keteguhan ikatan kekeluargaan perlu dipelihara, dan disinilah terletak salah
satu sebabnya ayat-ayat ahkam mementingkan soal hidup kekeluargaan. Dengan
melihat fungsi hukum demikian, maka pengamatan terhadap perubahan sosial harus
dijadikan pertimbangan amat penting dalam rangka reformulasi hukum islam.
3.
Model Mohammad Atho Mudzhar
Dalam rangka penyelesaian program
doktornya di Universitas California, Amerika Serikat, tahun 1990, Mohammad Atho
Mudzhar menulis disertasi yang isinya berupa penelitian terhadap produk fatwa
Majelis Ulama Indonesia tahun 1975-1988. Penelitian disertasinya itu berjudul Fatwas of the counsil of Indonesia Ulama A
Study of Islamic Legal Thought In
Indonesia 1975-1988.
Tujuan dari penelitian yang
dilakukannya adalah untuk mengetahui materi fatwa yang dikemukakan Majelis
Ulama Indonesia serta latar belakang sosial politik yang melatarbelakangi
timbulnya fatwa tersebut. Penelitian ini bertolak dari suatu asumsi bahwa
produk fatwa yang dikeluarkan MUI selalu dipengaruhi oleh setting sosio
kultural dan sosio politik, serta fungsi dan status yang harus dimainkan oleh
lembaga tersebut. Produk-produk fatwa Majelis Ulama yang ditelitinya adalah
terjadi di sekitar tahun 1975 sampai dengan 1988 pada saat mana Menteri Agama
dijabat masing-masing oleh A. Mukti Ali (1972-1978), Alamsyah Ratu
Perwiranegara (1978-1983), dan Munawir Sjadzali (1983-1988). Sementara itu
Ketua Majelis Ulama Indonesia dijabat oleh K.H Hasan Basri.
Hasil penelitian tersebut dituangkan
dalam 4 bab, yaitu antara lain :
1. Bab pertama, mengemukakan tentang latar
belakang dan karakteristik Islam di Indonesia serta pengaruhnya terhadap corak
hukum islam.
2. Bab kedua, disertasi tersebut mengemukakan
tentang Majelis Ulama Indonesia dari segi latar belakang didirikannya, sosio
politik yang mengitarinya, hubungan Majelis Ulama dengan pemerintah dan
organisasi islam serta organisasi non islam lainnya dan berbagai fatwa yang
dikeluarkannya.
3. Bab ketiga, penelitian dalam disertasi
tersebut mengemukakan tentang isi produk fatwa yang dikeluarkan MUI serta
metode yang digunakannya. Fatwa-fatwa tersebut antara lain meliputi bidang
ibadah ritual, masalah keluarga dan perkawinan, kebudayaan, makanan, perayaan
hari-hari besar agama Nasrani, masalah kedokteran, keluarga berencana, dan
aliran minoritas dalam islam.
4. Bab keempat, adalah berisi
kesimpulan-kesimpulan dari studi tersebut, dimana yang dinyatakan bahwa fatwa
MUI dalam kenyataannya tidak selalu konsisten mengikuti pola metodologi dalam
penetapan fatwa sebagaimana dijumpai dalam ilmu fikih.
Dengan
memperhatikan uraian tersebut, terlihat bahwa bidang penelitian Hukum Islam
yang dilakukan Atho Mudzhar termasuk penelitian uji teori atau uji asumsi
(hipotesa) yang dibangun dari berbagai teori yang terdapat dalam ilmu sosiologi
hukum. Dengan demikian, hukum islam baik langsung maupun tidak langsung masuk
ke dalam kategori ilmu sosial. Hal ini sama sekali tidak mengganggu kesucian
dan kesakralan al-Qur’an yang menjadi sumber hukum islam tersebut, sebab yang
dipersoalkan disini bukan mempertanyakan relevan dan tidaknya al-Qur’an
tersebut, tetapi yang dipersoalkan adalah apakah hasil pemahaman terhadap
ayat-ayat al-Qur’an, khususnya mengenai ayat-ayat ahkam tersebut masih sejalan
dengan tuntutan zaman atau tidak. Keharusan menyesuaikan hasil pemahaman
ayat-ayat al-qur’an yang berkenaan dengan hukum tersebut dengan perkembangan
zaman perlu dilakukan. Karena dengan cara inilah makna kehadiran al-Qur’an
secara fungsional dapat dirasakan oleh masyarakat.
0 Response to "MODEL PENELITIAN FIQH"
Post a Comment