BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam agama Islam terdapat tiga
ajaran yang sangat ditekankan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang harus diamalkan
dan dibenarkan dalam hati. Yaitu iman (akidah), Islam (syariat), dan ihsan
(akhlak). Tetapi sekarang-sekarang ini ada yang mengabaikan salah satu dari
tiga hal ini. Sehingga kehidupannya menjadi jauh dari agama.
Aqidah, syariah
dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran
islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
Aqidah sebagai system kepercayaan yg bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai
system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak
sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yg hendak dicapai agama.
islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
Aqidah sebagai system kepercayaan yg bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai
system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak
sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yg hendak dicapai agama.
Atas dasar
hubungan itu, maka seseorang yg melakukan suatu perbuatan baik,
tetapi tidak dilandasi oleh aqidah atau keimanan, maka orang itu termasuk ke
dalam kategori kafir. Seseorang yg mengaku beraqidah atau beriman, tetapi tidak
mau melaksanakan syariah, maka orang itu disebut fasik. Sedangkan orang yg
mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi dengan landasan aqidah yg tidak
lurus disebut munafik.
tetapi tidak dilandasi oleh aqidah atau keimanan, maka orang itu termasuk ke
dalam kategori kafir. Seseorang yg mengaku beraqidah atau beriman, tetapi tidak
mau melaksanakan syariah, maka orang itu disebut fasik. Sedangkan orang yg
mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi dengan landasan aqidah yg tidak
lurus disebut munafik.
Hal yang
melatar belakangi kami membuat makalah ini ialah selain sebagai tugas kami
selaku Mahasiswa juga kami ingin lebih mengetahui dan memahami tentang apa pengertian
Aqidah, Syariah, dan bagaimana hubungan antara aqidah dan syariah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan aqidah ?
2.
Bagaimana kedudukan aqidah dalam Islam ?
3. apa yang
dimaksud dengan Syariah ?
4.
Bagaimana Hubungan akidah dengan syariah ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa itu aqidah.
2.
Untuk mengetahui kedudukan aqidah dalam islam.
3.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan syariah.
4.
Untuk mengetahui bagaimana hubungan aqidah dengan syariah serta diharapkan dapat bermanfaat bagi kita semua.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Aqidah
Dalam bahasa Arab akidah berasal
dari kata al-'aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu (التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan
yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan),
dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ
بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.
بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.
menurut istilah (terminologi): 'akidah adalah iman yang
teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang
meyakininya.
Ibnu Taimiyyah menerangkan makna akidah dengan
suatu perkara yang harus dibenarkan dalam hati, yang dengannya jiwa menjadi
tenang sehingga jiwa itu menjadi yakin serta mantap tidak dipengaruhi oleh
keraguan dan juga tidak dipengaruhi oleh syakwasangka. Sedang Syekh Hasan
al-Banna menyatakan akidah sebagai sesuatu yang seharusnya hati membenarkannya
sehingga menjadi ketenangan jiwa, yang menjadikan kepercayaan bersih dari
kebimbangan dan keraguan.
Kedua pengertian
tersebut menggambarkan bahwa ciri-ciri akidah dalam Islam adalah sebagai
berikut:
1.
Akidah didasarkan pada keyakinan hati, tidak menuntut yang serba rasional,
sebab ada masalah tertentu yang tidak
rasional dalam akidah;
2.
Akidah Islam sesuai dengan fitrah manusia sehingga pelaksanaan akidah
menimbulkan ketentraman dan ketenangan;
3.
Akidah Islam diasumsikan sebagai perjanjian yang kokoh, maka dalam pelaksanaan
akidah harus penuh keyakinan tanpa disertai kebimbangan dan keraguan;
4.
Akidah dalam Islam tidak hanya diyakini, lebih lanjut perlu pengucapan kalimah
“thayyibah” dan diamalkan dengan perbuatan shaleh;
5.
Keyakinan dalam akidah Islam merupakan masalah yang supraempiris, maka dalil
yang dipergunakan dalam pencarian kebenaran tidak hanya didasarkan atas indra
dan kemampuan manusia, melainkan membutuhkan wahyu yang dibawa oleh para Rosul
Allah.
Pada perkembangan
selanjutnya, term akidah identik dengan term iman, tauhid,
ushuluddin, ilmu kalam, fiqih akbar, dan teologi jika akidah itu telah menjadi
suatu disiplin ilmu tersendiri.
Menurut Mahmud Syaltout,
akidah ialah sisi teoritis yang harus pertama kali diimani atau diyakini dengan
keyakinan yang mantap tanpa keraguan sedikitpun. Hal tersebut dibuktikan dengan
banyaknya nash-nash al-Qur’an maupun hadits mutawatiryang secara eksplisit
menjelaskan persoalan itu, disamping adanya konsensus para ulama sejak pertama
kali ajaran Islam didakwahkan oleh Rasulullah. Dan perkara itu pula yang
menjadi inti ajaran Allah kepada para Rasul sebelumnya.
B.
Kedudukan Aqidah dalam Islam
Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki
kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya,
sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu
yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu
bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan untuk
sekedar menahan atau menanggung beban atap saja, bangunan tersebut akan runtuh
dan hancur berantakan.
Maka, aqidah yang benar merupakan
landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal.
Mengingat pentingnya kedudukan
aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran
Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah saw berdakwah
dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai
aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama
kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang
merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat.
Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat,
sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan
Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat
dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang
lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa
penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.
C. Pengertian
Syari’ah
Syariat Islam adalah hukum dan
aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi
hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh
kehidupan ini.
Secara umum Sayariah
dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit.
1.
Syari'ah Dalam Arti Luas
Dalam arti luas “al-syari’ah” berarti seluruh ajaran Islam yang berupa
norma-norma ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku batin (sistem
kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah laku konkrit (legal-formal) yang
individual dan kolektif.
Dalam arti ini,
al-syariah identik dengan din, yang berarti meliputi seluruh
cabang pengetahuan keagamaan Islam, seperti kalam, tasawuf, tafsir, hadis,
fikih, usul fikih, dan seterusnya.
2.
Syari'ah Dalam Arti Sempit
Sedang dalam arti sempit al-syari’ah berarti norma-norma yang mengatur
sistem tingkah laku individual maupun tingkah laku kolektif. Berdasarkan
pengertian ini, al-syari’ah dibatasi hanya meliputi ilmu fikih dan usul
fikih.
Ibn Jaza al-Maliki, seorang ulama
dari mazhab Maliki mengelompokkan fikih menjadi dua, yakni: (1) ‘ibadah,
dan (2) mu’amalah. Adapun cakupan mu’amalah adalah: perkawinan dan
perceraian, pidana (uqubah), yang
mencakup hudud, qisas dan ta‟zir, jual beli (buyu’), bagi hasil (qirad), gadai (alrahn),
perkongsian pepohonan (al-musaqah),
perkongsian pertanian (almuzara’ah),
upah dan sewa (al-ijarah),
pemindahan utang (al-hiwalah), hak prioritas pemilik lama/tetangga
(al-shuf’ah), perwakilan dalam melakukan akad (al-wakalah), pinjam meminjam (al-‘ariyah), barang titipan (alwadi’ah), al-gasb, barang temuan (luqathah), jaminan (al-kafalah), sayembara
(al-ji’alah), perseroan (syirkah wa mudlorabah), peradilan (alqadla’), wakaf (al-waqf
atau al-habs), hibah,
penahanan dan pemeliharaan (al-hajr),
wasiat, pembagian harta pusaka (fara’id).
Terkait dengan susunan tertib
syariat, Al Qur'an dalam surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya
Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak
diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu, secara implisit dapat
dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan Rasul-Nya belum
menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya
itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat Al Qur'an dalam Surat Al Maidah (QS
5:101) yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah
dimaafkan Allah.
Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam
menjalani hidup beribadahnya kepada Allah SWT itu dapat disederhanakan dalam
dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam
kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.
Asas Syara' Yaitu perkara yang sudah
ada dan jelas ketentuannya dalam Al Qur'an atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai
Pokok Syari'at Islam dimana Al Qur'an itu asas pertama Syara' dan Al Hadits itu
asas kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia
dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW hingga akhir zaman, kecuali
dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai
suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah
keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir
dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan
sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan.
Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat
yang berlaku.
Furu' Syara' Yaitu perkara yang
tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al'quran dan Al Hadist.
Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak
mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat
menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah
kekuasaanya.
D. HUBUNGAN AQIDAH DENGAN SYARIAH
Menurut sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Umar diceritakan bahwa pernah datang
seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, yang kemudian ternyata orang itu
adalah malaikat Jibril, menanyakan tetang arti Iman (Aqidah), Islam (Syariat),
dan Ihsan (Akhlak). Dan dalam dialog antara Rasulullah SAW dengan
malaikat Jibril itu, Rasulullah SAW memberikan pengertian tentang Iman, Islam,
dan Ihsan tersebut sebagai berikut :
Iman (Aqidah) :
Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Akhirat serta engkau beriman kepada
kadar (ketentuan Tuhan) baik dan buruk.
Islam (Syariat) : Engkau menyaksikan bahwa sesungguhnya tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, engkau mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, puasa Ramadhan dan engkau pergi haji ke Baitullah jika
engkau mampu pergi ke sana.
Ihsan :
Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, tetapi jika engkau tidak
melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia selalu melihat engkau.
Ditinjau dari hadis di atas maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antar ketiganya sangat erat bagaikan
sebuah pohon. Tidak dapat dipisahkan antara akar (Aqidah), batang (Syariat),
dan daun (Akhlak).
Hubungan aqidah dengan syariat akan dijelaskan lebih
terperinci disini.
Menurut Syekh Mahmud Syaltut ketika
menjelaskan tentang kedudukan akidah dan syariah menulis: Akidah itu di dalam
posisinya menurut Islam adalah pokok yang kemudian di atasnya dibangun syariat.
Sedang syariat itu sendiri adalah hasil yang dilahirkan oleh akidah tersebut.
Dengan demikian tidaklah akan terdapat syariat di dalam Islam, melainkan karena
adanya akidah; sebagaimana syariat tidak akan berkembang, melainkan di bawah
naungan akidah. Jelaslah bahwa syariat tanpa akidah laksana gedung tanpa
fondasi.
Ada juga
yang menyatakan bahwa hubungan aqidah dengan syariat adalah hubungan di antara
budi dan perangai. Dalam undang-undang budi, suatu budi yang tinggi hendaklah
dilatihkan terus supaya menjadi perangai dan kebiasaan. Kalau seorang telah
mengakui percaya kepada Allah dan kepada Hari Kemudian, dan telah mengakui pula
percaya kepada Rasul-rasul Utusan Tuhan, niscaya dengan sendirinya kepercayaan
itu mendorongnya supaya mencari perbuatan-perbuatan yang diterima dengan rela
oleh Tuhan. Niscaya dia bersiap-siap sebab dia telah percaya bahwa kelak dia
akan berjumpa dengan Tuhan. Niscaya dia senantiasa berusaha di dalam hidup
menempuh jalan lurus. Tak obahnya dengan orang yang mengakui diri gagah berani,
dia ingin membuktikan keberaniannya ke medan perang. Seseorang yang mengakui
dirinya dermawan, berusa mencari lobang untuk menafkahkan harta bendanya kepada
orang yang patut dibantu. Seorang yang mengakui dirinya orang jujur, senantiasa
menjaga supaya perkatannya jangan bercampur bohong.
Inilah
aqidah yang kuat, aqidah yang sebenarnya. Apabila keyakinan semacam ini telah
dipegang dan dilaksanakan, maka seorang mukmin yang semacam ini telah mempunyai
prinsip yang benar dan kokoh. Ia senantiasa berkomunikasi dengan orang-orang
dengan penuh rasa tanggung-jawab dan waspada dalam segala urusan. Apabila
mereka berada di atas dasar kebenaran, maka ia dapat bekerja sama dengan
mereka. Kalau ia melihat mereka menyimpang dari jalan yang benar, maka ia
mengambil jalan sendiri.
Rasulullah bersabda:
لايكن احدكم أمعة يقول : انا مع
الناس، ان احسن الناس احسنث وان اساءوا اسأث، ولكن وظنوا انفسكم ان حسن الناس ان
ثحسنوا وان اساءوا ان ثجثنبوا اساءثهم (رواه الترذي)
Artinya : “Janganlah ada di antara
kamu menjadi orang yang tidak mempunyai pendirian, ia berkata: Saya ikut
bersama orang-orang. Kalau orang berbuat baik, saya juga berbuat baik; dan
kalau orang berbuat jahat, saya juga berbuat jahat. Akan tetapi teguhlah
pendirianmu. Apabila orang berbuat baik, hendaklah kamu juga berbuat baik dan
kalau mereka berbuat jahat, hendaklah kamu jauhi perbuatan jahat itu.” (HR.
Turmuzi)
Dari uraian di atas dapatlah
disimpulkan bahwa iman itu merupakan satu hal yang sangat fondamental dalam
Islam dan dengan sendirinya dalam kehidupan. Untuk memantapkan uraian ini, iman
laksana mesin bagi sebuah mobil yang menggerakkan segala kekuatannya untuk
berjalan. Tanpa mesin, maka mobil itu tak ubahnya seperti benda-benda mati yang
lain yang tidak bisa bergerak dan berjalan.
Kemantapan
iman dapat diperoleh dengan menanamkan kalimat tauhid La Illaha illa
al-Allah (Tiada tuhan selain Allah). Tiada yang dapat menolong, memberi
nikmat kecuali Allah; dan tiada yang dapat mendatangkan bencana, musibah
kecuali Allah. Pendket kata, kebahagiaan dan kesengsaraan hanyalah dari Allah.
Al-Maududi mengemukakan beberapa pengaruh kalimat tauhid ini dalam
kehidupan manusia :
1.
Manusia yang percaya dengan kalimat ini tidak mungkin orang yang berpandangan
sempit dan berakal pendek.
2.
Keimanan mengangkat manusia ke derajat yang paling tinggi dalam harkatnya
sebagai manusia.
3.
Bersamaan dengan rasa harga diri yang tinggi, keimanan juga mengalirkan ke
dalam diri manusia rasa kesederhanaan dan kesahajaan.
4.
Keimanan membuat manusia menjadi suci dan benar.
5.
Orang yang beriman tidak bakal putus asa atau patah hait pada keadaan yang
bagaimanapun.
6.
Orang yang beriman mempunyai kemauan keras, kesabaran yang tinggi dan percaya
teguh kepada Allah SWT.
7.
Keimanan membuat keberanian dalam diri manusia.
8.
Keimanan terhadap kalimat La Ilaha illa al-Allah dapat mengembangkan
sikap cinta damai dan keadilan menghalau rasa cemburu, iri hati dan dengki.
9.
Pengaruuh yang terpenting adalah membuat manusia menjadi taat dan patuh kepada
hukum-hukum Allah.
0 Response to "AKIDAH DAN SYARIAH"
Post a Comment