KEBUDAYAAN SUKU BUGIS
Suku Bugis
adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-Melayu, atau Melayu muda.
Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya
Yunan.
Penyebaran Suku
Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang-orang bugis
umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka
merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal
lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di
masa lalu.
1.
Sejarah
Perkembangan Suku Bugis
Orang Bugis
zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi
titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia
bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi
(Pelras, The Bugis, 2006).
Umumnya
orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak
perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan
etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis”
berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan
"ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina,
tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten
Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan
dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To
Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah
dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading
sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La
Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang
Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo
dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi
masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di
Sulawesi seperti Buton.
2.
Adat Istiadat
Salah satu
daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah Kabupaten Sidenreng Rappang.
Kabupaten Sidenreng Rappang disingkat dengan nama Sidrap adalah salah satu
kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini
terletak di Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19
km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah
ini adalah suku Bugis yang ta’at beribadah dan memegang teguh tradisi saling
menghormati dan tolong menolong. Dimana-mana dapat dengan mudah ditemui
bangunan masjid yang besar dan permanen. Namun terdapat daerah dimana masih ada
kepercayaan berhala yang biasa disebut ‘Tau Lautang’ yang berarti ‘Orang
Selatan’.
3.
Adat
Pernikahan
Dalam sistem perkawinan adat Bugis terdapat
perkawinan ideal:
a. Assialang Maola Ialah perkawinan antara saudara
sepupu derajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun ibu.
b. Assialanna Memang Ialah perkawinan antara
saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu.
c. Ripaddeppe’
Abelae Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak
ayah maupun ibu atau masih mempunyai hubungan keluarga.
Adapun perkawinan – perkawinan yang dilarang
dan dianggap sumbang (salimara’):
a. perkawinan antara anak dengan ibu / ayah
b. perkawinan antara saudara sekandung
c. perkawinan
antara menantu dan mertua
d. perkawinan antara paman / bibi dengan kemenakan
e. perkawinan
antara kakek / nenek dengan cucu
Tahap – tahap dalam perkawinan secara adat :
1. Lettu (
lamaran)
Ialah kunjungan
keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan
untuk menyampaikan keinginannya untu melamar calon mempelai
perempuan.
2. Mappettuada.
(kesepakatan pernikahan)
Ialah kunjungan
dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan waktu
pernikahan,jenis sunrang atau mas kawin,balanja atau belanja perkawinan
penyelanggaran pesta dan sebagainya
3. Madduppa
(Mengundang)
Ialah kegiatan
yang dilakukan setelah tercapainya kesepakayan antar kedua bilah pihak
untuk memberi tahu kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan
dilaksanakan.
4. Mappaccing
(Pembersihan)
Ialah ritual
yang dilakukan masyarakat bugis (Biasanya hanya dilakukan oleh
kaum bangsawan), Ritrual ini dilakukan pada malam sebelum akad nikah di
mulai, dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang
dihormati untuk melaksanakan ritual ini, cara pelaksanaan nya dengan menggunakan
daun pacci (daun pacar),kemudian para undangan di persilahkan untuk
memberi berkah dan doa restu kepada calon mempelai, konon bertujuan untuk
membersihkan dosa calon mempelai, dilanjutkan dengan sungkeman kepada
kedua orang tua calon mempelai.
Pasangan Pengantin
Hari pernikahan
dimulai dengan mappaendre balanja , ialah prosesi dari mempelai laki-laki
disertai rombongan dari kaum kerabat, pria-wanita, tua-muda, dengan membawa
macam-macam makanan, pakaian wanita, dan mas-kawin ke rumah mempelai wanita.
Sampai di rumah mempelai wanita langsung diadakan upacara
pernikahan,dilanjutkan dengan akad nikah. Pada pesta itu biasa para tamu
memberikan kado tau paksolo’. setelah akad nikah dan pesta pernikahan di rumah
mempelai wanita selesai dilalanjutkan dengan acara “mapparola” yaitu mengantar
mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki.
mappaenre botting :
Beberapa hari setelah pernikahan para pengantin
baru mendatangi keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai wanita untuk
bersilaturahmi dengan memberikan sesuatu yang biasanya sarung sebagai simbol
perkenalan terhadap keluarga baru. Setelah itu, baru kedua mempelai menempati
rumah mereka sendiri yang disebut nalaoanni alena.
4.
Kepercayaan
Orang-orang ini
dalam seharinya menyembah berhala di dalam gua atau gunung atau pohon keramat.
Akan tetapi, di KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka, agama yang tercantum adalah
agama Hindu. Mereka mengaku shalat 5 waktu, berpuasa, dan berzakat. Walaupun
pada kenyataannya mereka masih menganut animisme di daerah mereka. Saat ini,
penganut kepercayaan ini banyak berdomisili di daerah Amparita, salah satu
kecamatan di Kabupaten Sidrap.
5.
Hukum Adat
Di Sidrap
pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa
Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang (Addatuang = semacam pemerintahan
distrik di masa lalu) yang bernama Nenek Mallomo’. Dia bukan berasal dari
kalangan keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan
pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai
saat ini masih diabadikan di Sidenreng yaitu: Naiya Ade’e De’nakkeambo, de’to
nakkeana. (Terjemahan : sesungguhnya ADAT itu tidak mengenal Bapak dan tidak
mengenal Anak). Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo’ Suku Bugis adalah
suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat
menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau
martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang
membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah
luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh
anggota keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya
melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis
kebanyakan.
Walaupun tidak
seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhiketika dipanggil oleh
Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nenek Mallomo yang mencuri
peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara’ La Toa, Nenek Mallomo’
disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo,
Puang Rimaggalatung, Kajao Laliddo, dan sebagainya. Keberhasilan panen padi di
Sidenreng karena ketegasan Nenek Mallomo’ dalam menjalankan hukum, hal ini
terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam menentukan masa tanam melalui
musyawarah yang disebut TUDANG SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul
atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh
para Pallontara’ (ahli mengenai buku Lontara’) dan tokoh-tokoh masyarakat adat.
Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati
kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu’mang sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun
sudah menerapkannya.
6.
Mata
Pencaharian
Karena
masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka
kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata
pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu
masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang
pendidikan.
Adat Panen
Mulai dari
turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada upacara appalili
sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare atau appabenni ase sebelum bibit
padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit padi di
possi balla, sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk
menjaga agar tak satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai
dengan massureq, membaca meong palo karallae, salah satu epos Lagaligo tentang
padi.
Dan ketika
panen tiba digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi
dengan kelong pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan
Mapadendang. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko, yang
berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko dan
Mappadendang konon memang berawal dari aktifitas ini.
Bagi komunitas
Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup petani
pedesaan sehari-hari. Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk
manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia memperoleh
sesuatu untuk dimakan, yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang
Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang
sangat dihormati.
7.
Bahasa Suku
Bugis
Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik
Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten
Maros, sebahagian Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten
Pinrang, sebahagian kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten
Luwu, Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng,Kabupaten Wajo, Kabupaten
Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. Masyarakat
Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya,
suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum
Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai
tulisan huruf Bugis yang dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak
abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.
Aksara Bugis
8.
Kesenian
Alat musik:
a. kecapi
Salah satu alat musik petik tradisional
Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar.
Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga
bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai,diambil karena
penemuannya dari tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada acara
penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang
tahun.
b. Sinrili
Alat musik yang
mernyerupai biaola cuman kalau biola di mainkan dengan membaringkan di
pundak sedang singrili di mainkan dalam keedaan pemain duduk dan alat
diletakkan tegak di depan pemainnya.
c.
Gendang
Musik perkusi
yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar seperti rebana.
d. Suling
Suling
bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
o Suling panjang (suling lampe), memiliki 5
lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
o Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan
dengan piola (biola) kecapi dan dimainkan bersama penyanyi
o Suling dupa
samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah Kecamatan
Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau acara
penjemputan tamu.
Seni Tari
Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau
biasa disebut tari meminta hujan.
Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan
bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara,
sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan
Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan
perempuan-perempuan yang sedang menenun benang menjadi kain. Melambangkan
kesabaran dan ketekunan perempuan-perempuan Bugis.
Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini
dilakukan oleh calabai (waria), namun jenis tarian ini sulit sekali
ditemukan bahkan dikategorikan telah punah.
Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo,
tari Passassa ,tari Pa’galung, dan tari Pabbatte(biasanya di gelar padasaat
Pesta Panen).
e. Makanan Khas
Sulawesi Selatan
Coto Makassar
Konro
Sop Saudara
Pisang Epe’
Pisang Ijo
Palu Bassah
Pala Butung
Nasu Palekko (Bebek)
f.
Permainan
Beberapa
permainan khas yang sering dijumpai di masyarakat Bugis ( Pinrang): Mallogo,
Mappadendang, Ma’gasing, Mattoajang (ayunan), getong-getong, Marraga,
Mappasajang (layang-layang), Malonggak
g.
Senjata Suku
Bugis
0 Response to "SUKU BUGIS"
Post a Comment