Islam Radikal
Al Ustadz
Ja’far Umar Thalib
Radikalisme sesungguhnya banyak menjangkiti
berbagai agama dan aliran-aliran sosial, politik, budaya, dan ekonomi di dunia
ini. Tetapi dalam masa pasca perang dingin, yang menjadi fokus pergunjingan di
dunia ialah apa yang diistilahkan dengan Radikalisme Islam. Isu sentral dalam
pergunjingan ini adalah munculnya berbagai gerakan “Islam” yang menggunakan
berbagai bentuk kekerasan dalam rangka perjuangan untuk mendirikan “Negara
Islam”. Arus informasi sedang dikontrol oleh Barat dan sekutunya, yang notabene
sedang menebarkan wabah Islamo Phobia di seluruh dunia. Oleh karena itu
definisi radikalisme Islam semakin bias, sehingga meliputi pula segala bentuk
militansi beragama di kalangan Muslimin diidentikkan dengan “ekstrimis Islam”
atau dalam istilah lain adalah “Islam radikal” atau “Islam fundamentalis”.
Fenomena inilah sesungguhnya sudah banyak dipahami oleh berbagai pihak
masyarakat Muslimin. Tetapi banyak pihak pula merasa kebingungan dalam merespon
berbagai fenomena tersebut berhubung tumbuh suburnya mentalitas ketidak
berdayaan serta rendah diri berhadapan dengan superioritas Barat dan sekutunya.
RADIKALISME
POSITIF DAN NEGATIF
Secara semantik, radikalisme ialah paham atau
aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan
cara kekerasan atau drastis (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet.
th. 1995, Balai Pustaka). Dalam Ensiklopedi Indonesia (Ikhtiar Baru – Van
Hoeve, cet. 1984) diterangkan bahwa “radikalisme” adalah semua aliran politik,
yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang ekstrim, setidak-tidaknya
konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan ideologi yang mereka anut.
Dalam dua definisi ini “radikalisme” adalah upaya perubahan dengan cara
kekerasan, drastis dan ekstrim. Adapun dalam Kamus Ilmiyah Populer karya Pius A
Partanto dan M. Dahlan Al-Barry (penerbit Arkola Surabaya, cet. th. 1994)
diterangkan bahwa “radikalisme” ialah faham politik kenegaraan yang menghendaki
adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf
kemajuan. Dalam definisi terakhir ini “radikalisme” cenderung bermakna
perubahan positif.
Oleh karena itu, pandangan positif dan
negatifnya terhadap radikalisme tentunya terletak pada cara merealisasikan dan
mengekspresikannya serta dasar pandang para pengamatnya. Biasanya kaum
establishment amat alergi dengan isu radikalisme, berhubung kaum radikal amat
gigih menuntut adanya perubahan sosial politik yang berarti pula akan sangat
tajam mengoreksi kalangan statusquo. Keinginan adanya perubahan sosial –
politik masih dianggap wajar dan positif bila disalurkan melalui jalur
perubahan yang benar dan tidak mengandung resiko instabilitas politik dan
keamanan. Dalam makna ini, radikalisme adalah wacana sosial – politik yang positif.
Adapun perubahan yang cepat dan menyeluruh (revolusi), selalu diikuti oleh
kekacauan politik dan anarkhi, sehingga menghancurkan infra struktur sosial –
politik bangsa dan negara yang mengalami revolusi tersebut. Dalam makna ini,
radikalisme adalah sebagai pemahaman yang negatif dan bahkan dapat pula
dikatagorikan sebagai bahaya laten ekstrim kiri ataupun kanan.
RADIKALISME DI
KALANGAN KAUM MUSLIMIN
Radikalisme dalam makna yang positif adalah
keinginan adanya perubahan kepada yang lebih baik. Dalam istilah agama disebut
ishlah (perbaikan) atau Tajdid (pembaharuan). Adapun radikalisme dalam makna
negatif adalah sinonim dengan makna ekstrimitas, kekerasan dan revolusi. Dalam
istilah agama disebut ghuluw (melampaui batas) atau ifrath (keterlaluan). Kedua
kutub makna yang amat bertolak belakang ini berakibat munculnya dua kutub
gerakan keagamaan yang konfrontatif di Dunia Islam. Di sinilah letak kerancuan
generalisasi Radikalisme Islam dalam makna serba negatif sehingga semangat
Islamo Phobia memperoleh tempat penyalurannya. Karena tidak dapat membedakan
antara Radikalisme Islam dalam makna positif dengan Radikalisme dalam makna
negatif. Kedua semangat Radikal tersebut disamakan, karena keduanya menghendaki
perubahan total sosial – politik bangsa dan negaranya. Walaupun perbedaan
keduanya sangatlah konfrontatif dan tidak mungkin dipertemukan dari sisi mana
pun.
Radikalisme ekstrim pertama kali muncul di
zaman akhir masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan radliyallahu `anhu,
dalam bentuk gerakan yang dipimpin Abdullah bin Saba’ (seorang Yahudi dari
negeri Yaman yang masuk Islam di Al-Madinah An-Nabawiyah dan kemudian
menebarkan fitnah di kalangan kaum Muslimin tentang keutamaan Ali menduduki
jabatan Khilafah lebih dari Abu Bakar, Umar dan Utsman) bersama dua ribu
pengikutnya yang menghendaki untuk digantinya Usman bin Affan dari kedudukannya
sebagai Khalifah (kepala negara) dengan Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu.
Karena Ali lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wa sallam di banding Utsman. Kelompok Abdullah bin Saba’
berhasil membunuh Khalifah Utsman, dan negara dalam kekacauan yang amat serius,
sehingga para Shahabat Nabi mendesak Ali bin Abi Thalib untuk memangku jabatan
Khalifah untuk menghindari ancaman kehancuran negara.
Gerakan radikalisme ekstrim semakin
menjadi-jadi di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu baik
kwantitas maupun kwalitas. Gerakan ekstrim Ibnu Saba’ semakin menjadi-jadi
(yaitu dengan menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya adalah
titisan Tuhan sehingga mereka meyakini bahwa beliau dan keturunannya dari
Fathimah Az-Zahra’ mempunyai sifat-sifat ketuhananan), ditambah lagi dengan
munculnya gerakan ekstrim di negeri Haura’ ( Kufah, Iraq) yang dipelopori oleh
tokoh ultra ekstrim bernama Abdullah bin Wahhab Ar-Rasibi. Gerakan ini
dinamakan Khawarij atau Haruriyah yang mempunyai prinsip bahwa orang Islam yang
berbuat dosa dianggap murtad dari Islam. Kemudian prinsip ini berkembang pula
kepada pemahaman yang lebih ekstrim yang mengatakan bahwa semua orang Islam
yang berada di luar kelompok alirannya dianggap kafir. Maka dengan dasar
pemahaman inilah mereka dengan serta merta mengkafirkan pemerintah di
negara-negara Islam. Dan dengan dasar pemahaman seperti inilah mereka melakukan
teror terhadap fasilitas-fasilitas umum di negara-negara Islam serta menggalang
pemberontakan kepada pemerintah-pemerintah Muslimin di negara-negara Islam.
Kalau karya pertama gerakan Ibnu Saba’ adalah membunuh Khalifah Utsman bin
Affan, maka karya pertama gerakan Khawarij adalah membunuh Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Maka kedua gerakan radikal tersebut mempunyai kesamaan misi, yaitu
menginginkan perubahan yang cepat dengan membunuh dan memberontak. Dan setelah
meninggalnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib, gerakan radikal ekstrim bertambah
lagi dengan munculnya Mu’tazilah di zaman pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin
Abi Sufyan. Gerakan radikal ini mempunyai Pancasila prinsip gerakan; yaitu:
1). At-Tauhid, yang makna asalnya adalah
mengesakan Allah Ta’ala dalam segala sifat dan namaNya, tetapi bagi gerakan ini
maknanya ialah mengingkari keimanan kepada adanya sifat-sifat bagi Allah.
2). Al-‘Adel, yang makna asalnya ialah
mempercayai keadilan Allah yang maha sempurna, tetapi bagi gerakan ini maknanya
ialah mengingkari keimanan kepada adanya taqdir Allah atas segala kejadian di
dunia ini.
3). Al-wa’ad wal wa’ied, yaitu keyakinan
gerakan ini bahwa seorang Muslim yang mati dalam keadaan belum bertaubat dari
dosa-dosanya, maka dia akan masuk neraka kekal selamanya sebagaimana keadaan
orang-orang yang mati dalam keadaan kafir.
4). Al-manzilatu bainal manzilatain, yaitu
keyakinan grakan ini bahwa seorang Muslim yang berbuat dosa, maka di dunia ini
dia keluar dari kedudukannya sebagai Muslim, akan tetapi belum bisa
dikatagorikan kafir, sehingga dia di dunia ini dalam posisi di tengah-tengah di
antara posisi Muslim dan posisi kafir.
5). Al-‘amru bil ma’ruf wan nahyu `anil munkar,
yang makna asalnya ialah menyerukan manusia kepada kebaikan dan mencegah
manusia dari kemungkaran, tetapi bagi gerakan ini maknanya ialah memperjuangkan
tegaknya Syari’ah Islamiyah dalam bernegara dan berbangsa dengan cara
mengkudeta pemerintah yang sedang berkuasa. Dan mencegah kemungkaran dengan
cara memberontak kepada sumber kemungkaran yaitu penguasa yang zalim.
Gerakan radikal ekstrim Mu’tazilah ini dibangun
pertama kali oleh Washil bin Atha’ yang semula adalah murid dari Imam Al-Hasan
Al-Bashri (seorang Ulama’ dari kalangan Ahlul Hadits di masa generasi sesudah
meninggalnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam). Tetapi ketika
Washil mempelopori gerakan ekstrim tersebut, maka dia diusir dari halaqah ilmu
yang dipimpin Imam Al-Hasan Al-Bashri, dan Washil akhirnya membikin halaqah
sendiri terpisah dari halaqah gurunya.
Dari tiga aliran radikal ekstrim tersebut
kemudian lahir berbagai aliran ekstrim lainnya di dunia Islam sampai hari ini.
Tiga aliran tersebut bila diperjelas dalam kata-kata yang lugas adalah sebagai
berikut:
1). Aliran Abdullah bin Saba’ atau Ibnu Saba’
atau Saba’iyah yang kemudian dikenal dengan aliran Ar-Rafidhah atau sekarang
lebih terkenal dengan nama Syi’ah.
2). Aliran Khawarij atau Haruriyah atau
Azariqah, yang berubah-rubah namanya di setiap zaman dan tempat disesuaikan
dengan situasi dan kondisi sosial – politik yang sedang berkembang.
3). Aliran Mu’tazilah atau Washiliyah, juga
akhirnya berkembang di segala zaman dan tempat dengan berganti nama juga sesuai
dengan situasi dan kondisi sosial – politik masing-masingnya.
Demikianlah cikal bakal tumbuhnya berbagai
aliran pemahaman agama yang radikal ekstrim sehingga melahirkan berbagai fitnah
keji di kalangan kaum Muslimin khususnya dan di kalangan ummat manusia pada
umumnya.
Adapun pemahaman dan sikap radikal yang positif
dalam pandangan Islam adalah ishlah dan tajdid. Keduanya dikatakan radikal,
karena menghendaki koreksi total terhadap kondisi sosial – politik di
masyarakat muslimin yang telah banyak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam.
Melalui gerakan ishlah dan tajdid, diperjuangkanlah perubahan sosial – politik
agar sesuai dengan ajaran Islam secara kaaffah.
Gerakan ini dinamakan ishlah, karena sabda Nabi
shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam yang memberitakan adanya orang-orang
yang memperjuangkan ishlah di kalangan masyarakat Muslimin ketika terjadi
kerusakan dan penyimpangan dari tununan agamanya. Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
(hadits1)
“Islam mulai didakwahkan dalam keadaan asing di
kalangan ummat manusia, dan Islam nantinya di belakang hari akan kembali kepada
keasingannya. Maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing oleh
lingkungannya (karena menjalankan ajaran Islam yang sudah tidak dikenal lagi
oleh keumuman orang). Para shahabat bertanya: Siapakah mereka ya Rasulullah?”
Beliau menjawab: Yaitu mereka yang melakukan gerakan ishlah ketika terjadi
kerusakan perangai pada keumuman manusia.” (HR. Al-Imam Abu Bakar Al-Ajurri
dalam Al-Ghuraba’ minal Mu’minin hal. 23, dan At-Tirmidzi dalam Kitabul Iman
bab 13 dan berkata Tirmidzi: hadits ini hasan shahih gharib, dan Al-Baihaqi
dalam Az-Zuhdul Kabir no. 198 hal. 114, Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid 7 /
278 dari Jabir radliyallahu `anhu).
Dan gerakan ini dinamakan pula tajdid, karena
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah memberitakan dalam sabdanya akan
muncul orang yang selalu melakukan perjuangan tajdid ini. Sebagaimana sabda
beliau berikut ini:
(hadits2)
“Sesungguhnya Allah akan selalu membangkitkan
untuk ummat ini pada setiap seratus tahun, orang yang akan melakukan gerakan
tajdid terhadap agamanya.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya hadis ke 4291,
Al-Hakim dalam Al-Mustadraknya jilid 4 halaman 522 dan lain-lainnya).
Adapun pengertian melalukan gerakan tajdid
terhadap agamanya ialah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa
alihi sallam berikut ini:
(hadits3)
“Yang akan terus menerus membawa ilmu agama ini
pada setiap generasi (yakni setiap seratus tahun) adalah orang-orang yang
terpercaya ilmu agamanya dan perangainya pada generasi itu. Mereka yang membawa
ilmu agama dengan kriteria demikian itu melakukan gerakan-gerakan sebagai
berikut:
1). Meluruskan kembali penyimpangan kalangan
ekstrimis dalam memahami agama.
2). Membantah kedustaan para pendusta yang
ingin mengeksploitasi agama demi kepentingan pribadinya atau golongannya.
3). Meluruskan kembali penafsiran agama yang
salah yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh.”
(Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam
As-Sunanul Kubra jilid 10 halaman 209, dan Al-Ajurri dalam As-Syari’ah jilid 1
halaman 270 – 273 hadis ke 1 dan 2, juga diriwayatkan oleh para Imam yang
lainnya).
Demikianlah asal penamaan ishlah dan tajdid
bagi gerakan radikal positif dan sekaligus pengertian daripada nama-nama yang
menjadi simbul gerakan tersebut.
PRINSIP-PRINSIP
GERAKAN TAJDID DAN ISHLAH
Perlu pula di sini dijelaskan beberapa prinsip
gerakan radikal positif yang diistilahkan ishlah dan tajdid tersebut agar
semakin jelas perbedaan ideologis antara gerakan radikal ekstrim dengan gerakan
radikal positif tersebut, sehingga di harapkan dapat mengurangi kesalahpahaman
penilaian terhadap keduanya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1). Menyerukan dan mengajarkan kepada Ummat
Islam untuk memahami ajaran agamanya dengan pemahaman yang benar sesuai dengan
pemahaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi sallam dan para shahabat
beliau terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits.
2). Mengoreksi segenap pemahaman dan pengamalan
kita terhadap agama ini agar dibersihkan dari polusi syirik dan bid’ah.
3). Membangun mental ketaatan kepada penguasa
Muslim dalam segala perkara yang baik dan berlepas diri dari kejelekan yang
dilakukan oleh penguasa tersebut.
4). Mencegah adanya sikap memberontak kepada
penguasa Muslim dalam menyalurkan rasa ketidak puasan terhadap berbagai
kebobrokan penguasa Muslim.
5). Menasehati penguasa Muslim dengan nasehat
yang tidak menimbulkan pemahaman pada masyarakat bahwa nasehat tersebut sebagai
sikap memberontak kepada penguasa yang dinasehati.
6). Mencegah kemungkaran dengan syarat tidak
mengandung resiko munculnya kemungkaran yang lebih besar daripadanya.
7). Mengikhlaskan segala bentuk perjuangan
tersebut hanya untuk mencapai keridlaan Allah Ta’ala dan tidak mempunyai tujuan
sampingan atau susulan apa pun.
8). Sabar berpegang teguh dengan
prinsip-prinsip agama dan tidak bergeser sedikitpun dari padanya dalam keadaan
bagaimanapun dan dengan alasan apapun.
9). Merujuk kepada kepemimpinan Ulama’ Ahlul
Hadits dalam memutuskan perkara-perkara besar atau prinsipiel dan tunduk patuh
kepada keputusan para Ulama’ tersebut dalam keadaan suka ataupun tidak suka.
10). Menjaga persatuan dan kesatuan Ummat Islam
di atas bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menghindari perkara-perkara
yang akan menjadi sebab perpecahan Ummat Islam selama tidak menyimpang dari
keduanya.
Demikianlah beberapa prinsip pergerakan ishlah
dan tajdid sebagai gerakan radikal positif yang memperjuangkan adanya perubahan
total dengan cara yang benar dan mencocoki fitrah kemanusiaan.
GERAKAN ISLAMOPHOBIA
DAN AKIBATNYA
Faktor ekstern Ummat Islam ikut berpengaruh
besar dalam menumbuh suburkan semangat radikal ekstrim di kalangan Ummat Islam.
Di antara faktor ekstern tersebut ialah gerakan Islamo phobia yang melancarkan
aksi deIslamisasi dengan dua pola sinergis:
1). Menjauhkan Ummat Islam dari Ilmu agama
dengan menyibukkan mereka di seputar iptek. Seolah-olah belajar agama berarti
tidak belajar iptek dan belajar iptek berarti tidak belajar agama. Upaya yang
demikian ini sangat strategis dalam menciptakan kondisi mengambang di kalangan
Ummat Islam terhadap agama mereka.
2). Mengkondisikan pemerintah negara-negara
Islam untuk terus-menerus curiga dan ketakutan dari ancaman “bahaya Islam”.
Sehingga pemerintah selalu bertindak represif dalam memberangus aspirasi keagamaan
Ummat Islam.
Dua pola gerakan tersebut bagaikan pupuk
penyubur tumbuhnya gerakan-gerakan radikal ekstrim yang berlebel Islam. Karena
berbagai gerakan radikal ekstrim tersebut akan sangat laku dijual di kalangan
Ummat Islam yang mempunyai semangat agama tetapi jauh dari ilmu agama dan
gerakan tersebut akan dapat dieliminir dengan bangkitnya semangat belajar ilmu
agama. Berbagai ketidakpuasan terhadap sikap pemerintah yang terus menerus
mencurigai Ummat Islam, akan menjadi isu pemicu semangat perlawanan Ummat Islam
yang tidak dibimbing ilmu agama dengan model perlawanan yang radikal ekstrim
tersebut.
PENUTUP
Isu Radikalisme Islam sesungguhnya bukanlah
dari Ummat Islam. Akan tetapi dari salah satu bentuk gerakan Islamo Phobia yang
terus menerus dilancarkan oleh Barat dalam rangka semangat perang salib dan
imperialisme moderen. Radikalisme dalam pengertian negatif amat ditentang dalam
Islam, bahkan diistilahkan “bid’ah dhalalah” (penyimpangan yang sesat). Oleh
karena itu pemerintah negara-negara Islam hendaknya jangan terus-menerus
memerankan diri sebagai kuda tunggangan bagi berbagai kepentingan Barat yang
salibis dan zionis itu. Semangat mempelajari agama Islam dengan
sungguh-sungguh, dengan tanpa mengurangi semangat mempelajari iptek, harus
dibangkitkan di kalangan Ummat Islam untuk mengurangi tumbuhnya semangat
radikalisme ekstrim.
DAFTAR PUSTAKA:
1). Al-Ghuraba’ minal Mu’minin, Al-Imam Abu
Bakar Al-Ajurri.
2). Basha’ir Dzawis Syaraf, As-Syaikh Salim
Al-Hilali.
3). Ensiklopedi Indonesia, cet. 1984, Ikhtiar
Baru – Van Hoeve.
4). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua,
cet. th. 1995, Balai Pustaka.
5). Kamus Ilmiah Populer, Pius A Partanto dan
M. Dahlan Al-Barry, penerbit Arkola, Surabaya, th. 1994.
0 Response to "ISLAM RADIKAL"
Post a Comment