KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayahNya kepada kami, yang pada kesempatan kali ini kami dapat menuangkan tinta untuk mengukir ilmu pengetahuan yang sangat di butuhkan dan semoga dapat bermanfaat bagi penulis serta semoga pula bermanfaat bagi pembaca.
Sholawat
serta salam marilah selalu dan selalu kita hadirkan keharibaan Rasulullah
muhammad SAW sebagai uswah al-hasanah yang senantiasa di harapkan syafaatnya di
hari kiamat.
Tidak
lupa kami sampaikan banyak terima kasih kepada Bpk. Didi Junedi, MA Selaku
dosen pembimbing mata kuliah Ulumul Hadits, untuk ridho dan barokah dari beliau
sangat kami harapkan menuju jalan ilmu yang manfaat. Terimah kasih juga atas
semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan makalah ini.
Kami
sangat mengharap kritik dan saran dari pembaca sehingga makalah atau ilmu ini
bisa lebih senpurna dan bermanfaat bagi penulis, terlebih lagi bermanfaat bagi
pembaca..Amin.
Brebes, Desember 2012
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
Pada saat ini, saat di mana
peradaban dan kebudayaan menuju ke arah kemodernan yang ditandai dengan
munculnya teknologi yang serba canggih, mulai dari sains sampai pada teknologi
informatika. Agama Islam, sesungguhnya mendapatkan ujian berat. Di satu pihak,
Islam sebagai agama universal dan diklaim sebagai pengatur selurh aspek
kehidupan, dituntut untuk selalu relavan dengan kemodernan tersebut. Sementara
di pihak lain, Islam juga dituntut untuk tidak kehilangan jati dirinya sebagai
aturan Allah yang sakral.
Untuk itu muncul
pertanyaan, memadaikah pendekatan yang selama ini berkembang di kalangan ulama
atau pemikir untuk memahami Islam – terutama dalam hal al-Hadits – agar
senantiasa sejalan dan mampu memberikan penyelesaian terbaik terhadap persoalan
umat manusia yang senantiasa terus berkembang? Pertanyaan inilah yang – antara
lain – mendorong para pemikir untuk mencari “pendekatan-pendekatan baru” untuk
memahami Islam dari sumber al-Sunnah.
Maka, jika kaum muslimin
mencari kebenaran terhadap pemahaman sebuah hadis, mereka bukan hanya harus
mengkaji melalui pendekatan tekstual semata, melainkan juga semua cara-cara
yang dengannya kebenaran itu dirasakan, dipahami, dielaborasi, dijustifikasi,
diberi wajah ortodoksi, dan dihayati dalam konteks, waktu dan ruang geografis
tertentu. Untuk itu mereka memerlukan metode modern seperti pendekatan
antropologi, psikologi, sosiologi, semiotika, linguistik, ekonomi, filsafat,
dan ilmu pengetahuan yang lain.[1][1][1]
Di antara pendekatan modern
yang dapat digunakan dalam memahami hadis adalah pendekatan ilmiah dan
pendekatan filosofis. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pendekatan ini,
penulis mengangkat sebuah kajian dalam bentuk makalah yang berjudul: “Metode2
Pemahaman Hadis”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. METODE
PEMAHAMAN HADIS MODERNIS
Sebelum membicarakan lebih
jauh tentang metode pemahaman hadis modernis, ada beberapa istilah penting yang
perlu dijelaskan dalam pembahasan ini, seperti: “metode” dan “modernis”.
Kata “metode”
berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan.[2][2][2] Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan
bangsa Arab menerjemahkannya dengn tharîqat dan manhaj. Dalam
bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara teratur yang digunakan
untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang
dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[3][3][3]
Adapun kata “modernis”, dilihat
dari akar kata, merupakan bentukan dari kata “modern” ditambah akhiran “is”.
Term “modern” berasal dari bahasa Latin “moderna” yang berarti
“sekarang, baru, atau saat ini”. Atas dasar itu, manusia dikatakan modern
sejauh kekinian menjadi pola kesadarannya.[4][4][4] Sedangkan
akhiran “is” setelah kata “modern” menyatakan makna “memiliki sifat”.[5][5][5]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa modernis berarti sesuatu yang bersifat kekinian.
Jadi secara keseluruhan, dapat dipahami bahwa metode pemahaman hadis modernis
merupakan cara atau
langkah-langkah sistematis yang digunakan dalam memahami hadis
Nabi melalui sudut pandang kekinian.
Dalam sejarah Islam,
periode modern dimulai sejak pembukaan abad ke-19, yang ditandai dengan mulai
masuknya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern ke dunia Islam.
Kontak dengan dunia Barat pun selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam
seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya. Semua ini
menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai
memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru itu.[6][6][6]
Solusinya, umat Islam tidak
bisa lagi hidup ekslusif, monolitis, dan diskriminatif. Dalam pemahaman hadis
misalnya, ajaran dalam hadis yang dibangun atas dasar epistemologi era klasik
(teosentris, negara teologis, homogen, ekslusif) tentu banyak menghadapi
persoalan ketika dihadapkan pada kasus atau gagasan baru yang dibangun atas
dasar epistemologi modern. Apalagi saat pemikiran tersebut lebih didominasi
pola pikir pragmatis yang tegak di atas fondasi positivisme yang anti
metafisis. Di sini nilai-nilai ajaran hadis ditantang untuk memberikan solusi
yang logis-rasional namun tetap orisinal, sehingga Islam tidak dituding sebagai
agama yang mengajarkan kekerasan, teror dan diskriminatif.
Kebutuhan akan sebuah
metode pemahaman hadis yang bersifat modernis mutlak dilakukan dengan berbagai
metode pendekatan, di antaranya adalah metode pendekatan ilmiah dan metode
pendekatan filosofis (prinsip maslahah). Kajian tentang pendekatan ilmiah dan
filosofis ini akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.
B. MEMAHAMI
HADIS DENGAN METODE PENDEKATAN ILMIAH
Pendekatan ilmiah terdiri
dari dua variabel kata, yaitu “pendekatan” dan “ilmiah”. Kata “pendekatan”
secara bahasa berarti proses, perubahan, dan cara mendekati (dalam kaitannya
dengan perdamaian atau persahabatan). Atau usaha dalam aktivitas penelitian
untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti. Atau metode untuk
mencapai pengertian tentang penelitian.[7][7][7]
Dalam bahasa Inggris disebut approach yang juga berarti pendekatan.
Pendekatan juga berarti
suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seseorang untuk menemukan kebenaran ilmiah.[8][8][8]
Maka dapat dipahami bahwa pendekatan yang dimaksud di sini adalah cara pandang,
orang juga sering menyamakannya dengan paradigma yang terdapat dalam suatu
bidang ilmu,[9][9][9]
yang selanjutnya digunakan dalam memahami hadis.
Sedangkan kata “ilmiah”
berasal dari kata “ilmu” yang berarti kumpulan pengetahuan yang diorganisir
secara sistemik.[10][10][10]
Atau dapat pula berarti seluruh pengetahuan yang diperoleh dan disusun secara
tertib oleh manusia.[11][11][11]
Jadi secara keseluruhan, dapat dipahami bahwa pendekatan ilmiah adalah
cara pandang terhadap pemahaman hadis melalui pertimbangan-pertimbangan yang
logis dan sistematis (berdasarkan ilmu pengetahuan).[12][12][12]
Ilmu pengetahuan dapat
didefinisikan sebagai sunatullah yang terdokumentasi dengan baik, yang
ditemukan oleh manusia melalui pemikiran dan karyanya yang sistematis. Ilmu
pengetahuan akan berkembang mengikuti kemajuan, kualitas pemikiran, dan
aktivitas manusia. Pertumbuhan ilmu pengetahuan seperti proses bola salju yaitu
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia tahu lebih banyak mengenai alam
semesta ini yang selanjutnya meningkatkan kualitas pemikiran dari karyanya yang
membuat ilmu pengetahuan atau sains berkembang lebih pesat lagi.[13][13][13]
Dengan pendekatan melalui
ilmu pengetahun, dapat membentuk nalar ilmiah yang berbeda dengan nalar awam
atau khurafat (mitologis). Nalar ilmiah ini tidak mau menerima
kesimpulan tanpa menguji premis-premisnya, hanya tunduk kepada argumen dan
pembuktian yang kuat, tidak sekedar mengikuti emosi dan dugaan semata. Bentuk
itu pula kiranya dalam memahami kontekstual hadis diperlukan pendekatan seperti
ini agar tidak terjadi kekeliruan untuk memahaminya.[14][14][14]
Pendekatan ilmiah dapat
digunakan untuk mengkompromikan hadis-hadis yang terkesan bertentangan dengan
rasio, seperti yang terdapat pada hadis-hadis berikut:
1)
Hadis
tentang Lalat
سَمِعْتُ
أَبَا هُرَيْرَةَ رضى الله عنه يَقُولُ: قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: «إِذَا
وَقَعَ الذُّبَابُ فِى شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ، ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ،
فَإِنَّ فِى إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالأُخْرَى شِفَاءً». [15][15][15]
“Apabila
lalat jatuh dalam minuman salah seorang di antara kamu, maka benamkanlah,
kemudian buanglah karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada
sayapnya yang lain terdapat obat”.
Hadis ini ditolak oleh
Muhammad Taufiq Sidqiy dan Abd al-Waris al-Kabir karena menurutnya tidak sesuai
dengan pandangan rasio, karena lazimnya lalat itu pembawa kuman yang dapat
menimbulkan penyakit. Padahal hadis ini telah dinilai shahih oleh para
ulama hadis sejak dahulu sampai sekarang.
Namun sejumlah riset
belakangan ternyata menguatkan kebenaran hadis tersebut. Penjelasan Rasulullah
SAW ini, kini termasuk di antara ilmu baru yang ditemukan beberapa tahun
belakangan ini. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ketika lalat hinggap di
atas kotoran, dia memakan sebagiannya, dan sebagiannya lagi menempel pada
anggota badannya. Di dalam tubuh lalat mengandung imunitas terhadap kuman-kuman
yang dibawanya. Oleh karena itulah kuman-kuman yang dibawanya tidak
membahayakan dirinya. Imunitas tersebut menyerupai obat anti biotik yang
terkenal mampu membunuh banyak kuman. Pada saat lalat masuk ke dalam minuman
dia menyebarkan kuman-kuman yang menempel pada anggota tubuhnya. Tetapi apabila
seluruh anggota badan lalat itu diceburkan maka dia akan mengeluarkan zat
penawar (toxine) yang membunuh kuman-kuman tersebut.[16][16][16]
Berbeda dengan apa yang
telah dikemukakan oleh Yusuf Qardhawiy bahwa hadis tersebut berisi anjuran
dalam hal persoalan duniawi, khususnya dalam kondisi krisis ekonomi dalam
lingkungan tertentu yang mengalami kekurangan bahan pangan, agar tidak membuang
makanan yang telah terhinggapi lalat, bahkan hadis ini memberikan penekanan
tentang pembinaan generasi untuk hidup sederhana dan bersikap tidak boros.[17][17][17]
2)
Hadis
tentang Larangan Senggama Waktu Haid
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ
بْنُ سَلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنَا حَكِيمٌ الأَثْرَمُ عَنْ أَبِى تَمِيمَةَ
الْهُجَيْمِىِّ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
قَالَ: «مَنْ أَتَى حَائِضاً أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِناً
فَصَدَّقَهُ فَقَدْ بَرِئَ مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ».
“Kami
diberitahukan oleh Abdullah dari bapaknya dari Affan dari Hammad bin Salamah
dari Hakim al-Asram dari Abu Tamimah al-Huzaimiy dari Abu Hurairah bahwasanya
Nabi saw. bersabda: Barangsiapa yang menggauli istrinya dalam keadaan haid atau
pada dubur-nya
atau mempercayai tukang ramal, maka sungguh ia telah keluar dari agama Muhammad
yang diturunkan kepadanya (Islam)”.
Menghentikan persetubuhan
selama haid bagi setiap negara, dan bagi banyak pengikut agama, sudah menjadi
adat kesusilaan dari zaman purba sampai dewasa ini. Bagi mereka, perempuan itu
tercemar selama ia dalam kondisi haid. Dalam dunia wanita sendiripun orang
tidak dapat melepaskan anggapan bahwa adonan kue yang dibuat oleh perempuan
haid tidak mau mengembang, dan bahwa asinan atau acar yang dibuatnya dapat
menjadi busuk. Dapatkah “ketercemaran” perempuan haid itu dibuktikan oleh
penelitian ilmu pengetahuan yang akurat?
Dr. Med. Ahmad Ramali,
seorang yang telah mendapatkan gelar doktornya dalam bidang kedokteran pada
tahun 1950 di Universitas Gajah Mada mengemukakan bahwa dalam benda cair haid
itu terdapat Coccus Neisser. Zat ini bersifat virulent
(dapat membangkitkan kembali penyakit), dan karena itu ia menjadi penyebab
timbulnya penyakit. Sehingga ada kemungkinan pula bahwa dia bersama-sama dengan
sedikit benda cair dari perempuan itu masuk ke dalam urethra (aliran
kandung kemih) laki-laki, menyebabkan urethritis (radang aliran kandung
kemih) yang mendadak pada laki-laki.[18][18][18]
Pada perempuan, di samping
faktor fisik dan keadaan batin yang goncang selama haid, ada pula
keadaan-keadaan badan seperti berikut ini:
Pertama-tama,
yaitu perasaan kurang enak badan, yang dirasa oleh perempuan selama ada haid
itu. Kedua, karena congestio (darah berlebihan banyak mengalir ke
kulit atau alat badan yang lain) ke genetalia maka hasrat akan
bersenggama jadi bertambah, tetapi sebaliknya pula, karena genetalia
peka, maka perempuan itu jadi segan pada coitus. Apabila syahwat
dibangkitkan, maka oleh desakan darah, bagian-bagian dalam dari genetalia
jadi amat banyak mengandung darah, hingga pada sebagian perempuan yang ada
kerentanannya untuk itu, darah haid itu jadi luar biasa banyaknya; atau haid
itu kembali sesudah berhenti; mungkin pula karena desakan darah yang banyak itu
jadi terasa nyeri di sekitarnya, bahkan mungkin menjadi nyeri menahun kalau hal
ini acap kali berulang.
Dari pandangan di atas,
memberi pemahaman kepada kita bahwa dalam melihat sebuah hadis tidak boleh
tergesa-gesa dalam memberi kesimpulan, karena matan hadis dapat dipahami dan
didekati dari berbagai pendekatan. Dengan demikian untuk menguji kebenaran
sebuah hadis dari sisi rasionalitasnya yang merupakan unsur terpenting bagi
paradigma sains modern tidaklah mudah dilakukan, sebab selain diperlukan
penguasaan sains modern, juga dibutuhkan keahlian di bidang hadis serta
pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ajaran Islam.
C. MEMAHAMI
HADIS DENGAN METODE PENDEKATAN FILOSOFIS (PRINSIP MASLAHAH)
Pendekatan filosofis
terdiri dari dua variabel kata, yaitu: “pendekatan” dan “filosofis”. Kata
“pendekatan” sudah diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Sedangkan kata
“filosofis” berasal dari kata filosofi ditambah dengan akhiran “is”. Kata
filosofi sendiri berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri
atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik
kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan,
pengalaman praktis, inteligensi). Kata filosofi dalam bahasa Indonesia sama
dengan kata filsafat yang berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato
menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian
pencinta kebijaksanaan.
Dalam Kamus Bahasa
Indonesia, filsafat berarti “pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya”. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran
diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan
bersifat spiritual.[19][19][19]
Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan oleh Sidi
Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik,
radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau
hakikat mengenai segala sesuatu yang
ada.[20][20][20] Dan menurut Rene
Descartes, yang dikenal sebagai “Bapak Filsafat Modern”, filsafat baginya
adalah merupakan kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia
menjadi pokok penyelidikan.[21][21][21]
Filsafat sebagai salah satu bentuk metodologi
pendekatan keilmuan, sama halnya dengan cabang keilmuan yang lain.[22][22][22] Sering kali dikaburkan
dan dirancukan dengan paham atau aliran-aliran filsafat tertentu
seperti rasionalisme, eksistensialisme, pragmatisme, dan lain-lain. Ada
perbedaan antara kedua wilayah tersebut, bahwasanya wilayah pertama bersifat
keilmuan, open-ended, terbuka dan dinamis. Sedangkan wilayah kedua
bersifat ideologis, tertutup dan statis. Yang pertama bersifat inklusif
(seperti sifat pure sciences), tidak bersekat-sekat dan tidak
terkotak-kotak, sedang yang kedua bersifat ekslusif (seperti halnya applied
sciences), seolah-olah terkotak-kotak dan tersekat-sekat oleh perbedaan
tradisi, kultur, latar belakang pergumulan sosial dan bahasa.[23][23][23] Siapa pun yang bergerak
pada wilayah “applied sciences” pada dasarnya harus dibekali
persoalan-persoalan dasar yang digeluti oleh “pure sciences”, sedang
yang bergerak pada wilayah “pure sciences”, tidak harus tahu dan menjadi
expert pada setiap wilayah “applied sciences”.[24][24][24] Cara berpikir dan
pendekatan kefilsafatan yang pertama, yakni yang bersifat keilmuan, open-ended,
terbuka, dinamis dan inklusif yang tepat dan cocok untuk diapreasiasi dan
diangkat kembali ke permukaan kajian keilmuan.
Berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat
digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau
inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Oleh sebab
itu, pendekatan filosofis
adalah upaya untuk mencari inti, hakekat dan hikmah dalam memahami sesuatu di
balik formanya.[25][25][25]
Pendekatan filosofis ini, bukanlah hal baru dalam wacana Islam. Ushul Fiqh
sebagai metode memahami kitab suci dan khazanah Islam yang ditulis dalam bahasa
Arab, senyatanya, bisa disebut sebagai kajian filosofis. Sebab di dalam Ushul
Fiqh terdapat pembahasan Qiyas (analogi) yang cara kerjanya lebih luas dan
sistematik dari metode logika yang ditawarkan Aristoteles, misalnya. Di samping
itu, terdapat pula kaidah-kaidah syari`ah yang mencoba menyingkap tujuan dan
hikmah di balik segenap aturan formal. Kaidah-kaidah yang menyingkap tujuan dan
hikmah syari’ah ini disebut dengan prinsip mashlahah.[26][26][26]
Mashlahah (المصلحة) secara bahasa dapat berarti
kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata al-mashlahah
adakalanya dilawankan dengan kata al-mafsadah (المفسدة)
dan adakalanya dilawankan dengan kata al-madharrah (المضرّة),
yang mengandung arti “kerusakan”.[27][27][27] Oleh karena itu, perbincangan mengenai maslahah berkisar
pada penekanan mendapatkan kebaikan atau manfaat, dan menghilangkan mudarat
atau kerusakan.
Sedangkan maslahah secara istilah, ulama Ushûl al-Fiqh
telah memberikan defenisi yang hampir sama satu sama lain. Di antaranya seperti
yang dikatakan oleh al-Ghazâlî sebagai berikut:
لكنا
نعني بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع، ومقصود الشرع من الخلق خمسة، وهو أن يحفظ
عليهم دينهم، ونفسهم، وعقلهم، ونسلهم، ومالهم. فكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة
ودفعه مصلحة. [28][28][28]
“Maslahah adalah memelihara tujuan
syarak, yang meliputi lima perkara, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Maka semua yang mengabaikan pemeliharaan tujuan syarak
yang lima ini adalah mafsadah, dan semua yang mengandung pemeliharaan tujuan
syarak ini adalah maslahah.”
Dalam defenisi ini, terdapat dua syarat yang harus
dipenuhi dalam maslahah, yaitu:
1. Maslahah harus berada dalam ruang lingkup tujuan syarak,
tidak boleh didasarkan atas keinginan hawa nafsu.
2. Maslahah harus mengandung dua unsur penting, yaitu meraih
manfaat dan menghindarkan mudarat.
Walaupun pendekatan filosofis pada hakikatnya sama dengan
prinsip maslahah, yaitu sama-sama berorientasi pada tujuan dan kebermanfaatan,
namun tetap saja terdapat perbedaan di antara keduanya. Menurut pandangan ahli
filsafat, sebagaimana dikatakan al-Bûthî, maslahah bersifat keduniaan semata.
Pertimbangan antara baik dan buruk menurut mereka adalah berdasarkan pengalaman
dan panca indra saja. Pertimbangan tersebut berbeda dengan Islam yang
meletakkan pertimbangan kepada kebaikan dunia dan akhirat secara serentak.
Bahkan pandangan terhadap maslahah dunia bergantung kepada maslahah akhirat.[29][29][29]
Lebih jauh, pendekatan filosofis dapat memberikan
perspektif baru tentang semangat teks secara keseluruhan yang pada gilirannya
akan memberikan pemahaman tentang maksud atau tujuan (madlul/hadaf) yang
terkandung dalam sebuah hadis. Bahwa di sana disebutkan media (wasilah) sebagai
wadah bagi terwujudnya tujuan adalah hal yang wajar. Pemahaman hadis dengan
pendekatan filosofis dilakukan dengan cara menarik tujuan atau maksud sebuah
ucapan Rasul.[30][30][30]
Untuk itu maksud atau
tujuan yang diinginkan dengan media haruslah dibedakan dengan jelas. Ini
disebabkan karena tujuan atau maksud merupakan realitas yang bersifat statis
dan universal. Tetapi media senantiasa berkembang dan terus berkembang. Dari
sini, maka yang harus dijadikan pegangan adalah tujuan dan maksud yang
dikandung sebuah hadis, karena media merupakan pendukung bagi tercapainya
sebuah maksud.[31][31][31]
Dalam
pemahaman hadis Nabi, pendekatan filosofis atau prinsip maslahah,[32][32][32] telah banyak ditempuh oleh para ulama
kontemporer, seperti Yusuf Qardhawy, Muhammad al-Ghazali, dan lain-lain.
Berikut penulis kemukakan beberapa contoh hadis yang tidak dapat lagi dipahami
melalui pendekatan
linguistik semata, namun harus dipahami melalui pendekatan filosofis (prinsip
mashlahah):
1) Hadis
tentang Kepala Negara dari Suku Quraisy
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما، عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «لا
يَزَالُ هَذَا الأَمْرُ فِى قُرَيْشٍ، مَا بَقِىَ مِنْهُمُ اثْنَانِ».[33][33][33]
Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar
r.a., dari Nabi SAW, ia bersabda: “Dalam urusan (beragama, bermasyarakat, dan
bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpinnya) selama mereka masih
ada walaupun tinggal dua orang”.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ :
كُنَّا فِي بَيْتِ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَجَاءَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى وَقَفَ، فَأَخَذَ بِعِضَادَتيِ الْبَابِ، فَقَالَ: الأَئِمَّةُ
مِنْ قُرَيْشٍ... [34][34][34]
Dari Anas, ia mengatakan:
suatu ketika kami berada di rumah seorang laki-laki Anshâr, lalu Rasulullah SAW
datang, hingga ia menghentikan
langkahnya. Lalu ia membuka pintu seraya bersabda:“Pemimpin itu dari suku
Quraisy…”
Dua hadis di atas
menyatakan bahwa pemimpin itu harus berasal dari suku Quraisy. Ibnu Hajar
al-Asqalānīy berpendapat bahwa tidak ada seorang ulama pun, kecuali dari
kalangan Mu’tazilah dan Khawārij, yang membolehkan jabatan kepala
negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy. Demikian juga
apa yang telah dikemukakan oleh al-Qurthubīy, kepala negara disyaratkan harus
dari suku Quraisy. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraisy tinggal
satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala negara.[35][35][35]
Pemahaman secara tekstual
terhadap hadis-hadis di atas dan yang semakna dengannya dalam sejarah telah
menjadi pendapat umum ulama dan karenanya menjadi pegangan para penguasa dan
umat Islam selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut
dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan tentunya
benar berlaku secara universal.
Apabila kandungan hadis di
atas dipahami seperti itu, maka hal itu tidak sejalan dengan petunjuk yang
terdapat dalam al-Quran yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu sama,
yang paling mulia dan utama di sisi Allah dalan ketaqwaannya.[36][36][36]
Dengan demikian maka
diperlukanlah pemahaman secara filosofis bahwa hak kepemimpinan bukan pada
etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi,
orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat yang
dipimpinnya adalah dari kalangan Quraisy. Apabila suatu masa ada orang
bukan suku Quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin,
apalagi melebihi suku Quraisy, maka dia dapat ditetapkan sebagai pemimpin atau
kepala negara. Pemahaman kontekstual semacam ini pertama kali dipelopori oleh
Ibnu Khaldun (808 H-1506M).[37][37][37]
2)
Hadis
tentang Siwak
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى
لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ ».
“Dari Abu Hurairah Radiallahu ‘anhu berkata bahwasanya
Nabishallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : jikalau tidak memberatkan akan
umatku, niscaya akan kuperintahkan untuk bersiwak pada setiap kali hendak
melakukan shalat”.
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « السِّوَاكُ
مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ ».
“Diriwayatkan
dari ‘Âisyah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Siwak itu membersihkan mulut
dan menjadikan Allah ridha”.
Tetapi apakah yang dimaksud
dengan siwak itu sendiri? Tidak boleh menggunakan yang lain? Siwak adalah
wasilah, sehingga boleh mesyarakat menggunakan selain siwak untuk membersihkan
mulut. Kalau pun RAsulullah SAW menentukan siwak, oleh karena siwak cocok dan
mudah didapat di jazirah Arab. Dengan demikian, bolehlah wasilah buatan seperti
sikat gigi.
Sebagian ulama malah telah
menyatakan hal ini. Dalam kitab Hadiyaturraghib dalam fiqh Hanbali disebutkan:
“Siwak bisa dengan kayu arak, zaitun, dan batang kayu lain yang tidak melukai
dan membahayakan serta tidak pecah. Sedang yang membahayakan atau yang melukai
dan pecah, hukumnya makruh. Di antara yang membahayakan adalah kayu delima,
gaharu dan sejenisnya. Dna tidak cocok dengan sunnah bagi yang bersiwak bukan
dengan kayu. Syeikh Abdullah Bassem, peringkas kitab tersebut telah mengutip
kata-kata Imam Nawawi sebagai berikut: “Seseorang boleh bersiwak dengan apa
saja yang dapat menghilangkan bau mulut, seperti dengan kain atau jari-jari
tangan”. Inilah mazhab Hanafi, berdasarkan dalil yang bersifat umum tentangnya.[38][38][38]
Sejalan dengan itu, Yusuf
al-Qardawi mengatakan bahwa tujuan atau maksud dari hadis ini sebenarnya adalah
membersihkan mulut sehingga Allah menjadi ridha karena kebersihan itu.
Sedangkan siwak merupakan media untuk mencuci mulut. Disebutkan siwak oleh
Rasul, karena siwak cocok dan mudah didapat di jazirah Arab. Karena itu, siwak
dapat diganti dengan barang lain, seperti odol dan sikat gigi dan sama
kedudukannya dengan siwak.[39][39][39]
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Kajian
secara komprehensif sangat diperlukan dalam memahami dan menangkap maksud
sebuah hadits. Apalagi dengan perkembangan zaman yang semakin modern,
diperlukan metode pemahaman yang modern pula, seperti metode pendekatan ilmiah dan
pendekatan filosofis.
2.
Pendekatan
ilmiah hadis merupakan pendekatan yang berusaha menyingkap pemahaman hadis
melalui sudut pandang ilmu pengetahun (sains). Pendekatan ilmiah ini
dapat membentuk nalar ilmiah yang berbeda dengan nalar awam. Nalar ilmiah tidak
mau menerima kesimpulan tanpa menguji premis-premisnya dan tidak sekedar
mengikuti emosi dan dugaan semata. Oleh karena itu, pendekatan ilmiah merupakan
pendekatan yang terbilang baru dan sulit, karena disamping harus menguasai ilmu
hadis, seseorang yang akan melakukan penelitian hadis juga harus menguasai ilmu
sains.
3.
Pendekatan
filosofis hadis merupakan pendekatan yang mencoba menyingkap tujuan dan hikmah
di balik segenap aturan formal dalam hadis. Pendekatan ini telah lama dilakukan
oleh ulama ushul fiqh dengan prinsip “mashlahah”, yaitu prinsip yang mengedepankan manfaat dan menghindarkan
mudarat. Pada mulanya pendekatan filosofis tidak digunakan, karena bertentangan
dengan pemahaman tradisionalis-formalistik yang cenderung
memahami agama terbatas pada aturan formalistik, tanpa meragukan makna
filosofisnya. Namun seiring
perkembangan zaman, pendekatan inipun mulai diterima dan digunakan dalam
pemahaman hadis.
B. KRITIK
DAN SARAN
Demikianlah makalah ini
penulis sampaikan, semoga dapat menambah wawasan keislaman bagi pembaca,
terutama dalam bidang ilmu fiqh al-hadîts. Penulis menyadari makalah ini
belumlah sempurna, masih terdapat kekurangan di sana-sini. Oleh sebab itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, demi lebih
sempurnanya makalah ini.
[2][2][2] Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, Beberapa Asas
Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode
Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997), hal. 16.
[3][3][3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. ke-3, edisi ke-3,
hal. 740.
[4][4][4] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), cet. ke-1, hal. 2.
[5][5][5] http://id.wikibooks.org/wiki/Bahasa_Indonesia/Sufiks.
Diakses pada tanggal 21 Oktober 2013.
[10][10][10] Lebih lanjut dikatakan, bahwa defenisi tersebut dapat
dikatakan memadai hanya kalau kata-kata “pengetahuan” (knowledge) dan
sistematik (systematic) didefenisikan lagi secara benar, sebab kalau
tidak demikian, pengetahuan Teologis yang disusun secara sistematik dapat
dipandang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural science),
untuk lebih jelasnya dapat dilihat M. Atho Mudzhar. Pendekatan Study Islam;
dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), cet. ke-1,
hal. 34.
[11][11][11] H.A. Reason, The Road Modern Science, (London: G.
Bell and Science, 1959), cet. ke-3, hal. 1-2.
[12][12][12] Walaupun defenisi ini dirasa belum memuaskan, namun
setidaknya defenisi ini dapat memberikan pengertian pendekatan ilmiah secara
sederhana.
[13][13][13] Abdul Madjid bin Azis Azis al-Zindani, Mukjizat
al-Qur’an dan al-Sunnah tentang Iptek, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997),
cet. ke-1, hal. 192.
[14][14][14] Yusuf Qardawi, As-Sunnah sebagai Sumber Iptek dan
Peradaban, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1998), cet. ke-1, hal. 221.
[16][16][16] Abdul Malik Ali al-Kulaib, ‘Alâmah al-Nubuwwah, diterjemahkan
oleh Abu Fahmi dengan Judul Nubuwwah (Tanda-tanda Kenabian), (Jakarta:
Gema Insani Press, 1992), Cet. ke-1, hal. 124.
[17][17][17] Yusuf Qardhawiy, Kaifa Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah,
diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Bagaimana
Memahami Hadis Nabi SAW, (Bandung: Kharisma, 1994), cet. ke-3, hal.
23.
[18][18][18] Ahmad Ramali, Peraturan Untuk
Memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara’ Islam, (Jakarta: Balai Pustaka,
1955), cet. ke-2, hal. 206.
[20][20][20] Sidi Gazalba, Sistematika
Filsafat, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet. ke-2, hal. 15.
[21][21][21] Suparlan
Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat “Cogito Ergo Sum” Aku Berpikir Maka Aku Ada
(Rene Descartes), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), cet. ke-5, hal. 46.
[22][22][22] M. Amin Abdullah,
Antologi Studi Islam, Teori&Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press,
2000), cet. ke-1, hal. 8.
[24][24][24] M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan
Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), cet. ke-1, hal. 13.
[27][27][27] Jamâlal-Dîn Muhammad ibn Mukarram ibn Manzhûr al-Ifrîqî, Lisân
al-‘Arab, (Riyâdh: Dâr ‘Âlam al-Kutub, 1424 H/2003 M), Juz II, hal. 348.
[28][28][28] Abû Hâmid Muhammad ibn al-Ghazâlî, al-Mushthafâ min ‘Ilm al-Ushûl,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), juz 1, hal. 286-287.
[29][29][29] Muhammad Sa’îd Ramadhân al-Bûthî, Dhawâbith
al-Mashlahah fî al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah,
1982), hal. 25.
[30][30][30] Disadur dari http://maizuddin.wordpress.com/2010/03/20/pemahaman-kontekstual-atas-hadis-nabi/
pada tanggal 21 Oktober 2013.
[32][32][32] Dalam kajian ushûl al-fiqh, kajian
tentang pendekatan filosofis telah banyak ditempuh oleh ulama, antara lain Imam
al-Syâthibî melalui karyanya “al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah” atau
yang dilakukan oleh Syekh ‘alî Ahmad al-Jurjawî melalui karyanya “Hikmah
Al-Tasyri’ wa Falsafatuhu”. Di dalam buku-buku tersebut, pengarangnya
berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam,
seperti hikmah dalam perintah tentang shalat, puasa, haji, dan sebagainya.
Ajaran agama dalam mengajarkan agar shalat berjamaah, tujuannya antara lain
agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain.
Dengan mengerjakan puasa misalnya, agar seseorang dapat merasakan lapar dan
menimbulkan rasa iba
kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan, dan berbagai contoh lainnya.
Abuddin Nata, loc.cit.
[33][33][33] Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Quraisy, al-Jāmi’
al-Shahīh (Shahīh Muslim), (t. tp.: Isa al-Babi al-Halabiy wa Syurakah,
1375 H/1955 M), juz III, hal. 1452; Abu Abdullah Muhammad bin Ismail
al-Bukhariy, al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Bukhārīy), (Beirut: Dār al-Fikr,
t. th.), juz IV, hal. 234.
[34][34][34] Abu Abdullah Ahmad ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn
Hambal (Musnad Ahmad), jilid II (Beirut: Maktab al-Islāmiy, 1398 H/17978
M), hal. 129.
[35][35][35] Ali Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar al-Asqalāniy, Fath al-Bâri Syarh
Shahîh al-Bukhâriy, (t. tp: Dār al-Fikr wa Maktabah, t. th.), hal. 114-118.
[37][37][37] M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 40.
[38][38][38] A. Najiyullah, Kajian Kritik
HAdits Pemahaman Hadits, (Jakarta: Islamia Press, 1994), hal. 10.
[39][39][39] Yusuf Qardhawy, Kajian Kritis Pemahaman Hadis: antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, diterjemahkan dari buku dengan judul
asli “al-Madkhal li Dirâsah al-Sunnah al-Nabawiyyah”, (Jakarta: Islamuna Press,
1994), cet. ke-1, hal. 200.
0 Response to "CARA PEMAHAMAN HADITS"
Post a Comment