BAB I
PEDAHULUAN
Latarbelakang
Kekuatan dan vitalitas suatu kelompok masyarakat sangat bergantung kepada kemampuannya memenuhi
kebutuhan-kebutuhan terhadap barang dan jasa bagi para anggotanya dan masyarakat-masyarakat
lainnya. Produksi dan distribusi barang dan jasa menuntut sumber-sumber daya
bukan saja keuangan, namun juga keahlian dan manajemen. Tidak setiap orang
dibekali sumber-sumber daya dengan suatu kombinasi optimal. Oleh karena itu,
mutlak menghimpun semua sumber daya yang tersedia untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Penghimpunan sumber-sumber daya ini harus
diorganisasikan dalam suatu cara yang saling menguntungkan atau altuaristis
dengan konsep kemitraan yang sejajar di antara masing-masing pihak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KEMITRAAN
SEBAGAI ALTERNATIF PERMODALAN USAHA
Pembangunan Ekonomi harus mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat
berdasarkan azas demokrasi, kebersamaan, dan kekeluargaan yang melekat, serta mampu memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada semua pelaku ekonomi untuk berperan sesuai dengan
bidang usaha masing-masing. Untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat, dibutuhkan sebuah bentuk kemitraan yang diartikan sebagai kerjasama
pihak yang mempunyai modal dengan pihak yang mempunyai keahlian atau peluang
usaha dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan
saling menguntungkan Esensi kemitraan jika ditinjau dari sudut pandang tujuan
perlindungan usaha adalah agar kesempatan usaha yang ada dapat dimanfaatkan
pula oleh yang tidak mempunyai modal namun punya keahlian untuk memumuk jiwa wirausaha
(enterpuener), bersama-sama dengan pengusaha yang telah diakui keberadaannya.
Pada dasarnya kemitraan secara alamiah akan
mencapai tujuannya jika kaidah saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan dapat dipertahankan dan dijadikan komitmen dasar yang kuat di
antara para pelaku kemitraan. Implementasi kemitraan yang berhasil harus
bertumpu kepada persaingan sehat dan mencegah terjadinya penyalahgunaan posisi
dominan dalam persekutuan untuk menghindari persaingan.
Alternatif kemitraan dalam pengembangan usaha
kecil dan mikro bukan dimaksudkan untuk memanjakan atau pemihakan yang
berlebihan , namun justru upaya untuk peningkatan kemandirian pengusaha kecil
dan mikro sebagai pilar dalam pembangunan ekonomi kerakyatan. Strategi
peningkatan skala usaha dan akses permodalan dengan penyaluran kredit program,
jika tidak dilakukan dengan konsep kemitraan sebagaimana mestinya, pada
akhirnya malah akan menyisakan masalah kredibilitas tersendiri.
Dalam konsep kemitraan semua pihak harus
menjadi stake holders dan berada dalam derajat subyek-subyek bukan
subyek-obyek, sehingga pola yang dijalankan harus dilandasi dengan
prinsip-prinsip partisipatif dan kolaboratif yang melibatkan seluruh stake holders
dalam kemitraan yang dijalankan.
Sebagaimana teori sosial pengembangan masyarakat yang sedang berkembang akhir-akhir
ini, maka dalam menetapkan suatu program pembangunan ekonomi harus
memperhatikan faktor-faktor yang berkembang dan sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat, adat, budaya, tradisi, moral dan keyakinan agama yang
dianut oleh masyarakat wilayah itu sendiri.
B.
BENTUK
KEMITRAAN DALAM SISTEM EKONOMI SYARIAH
Sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia pada
umumnya yang memegang adat-budaya dengan berlandaskan kepada agama Islam, maka
perlu rasanya mengkaji Sistem Ekonomi Syariah, khususnya pola kemitraan bagi
hasil sebagai alternatif pemodalan usaha.
Kekuatan dan vitalitas suatu kelompok
masyarakat sangat bergantung kepada
kemampuannya memenuhi kebutuhan-kebutuhan terhadap barang dan jasa bagi para
anggotanya dan masyarakat-masyarakat lainnya. Produksi dan distribusi barang
dan jasa menuntut sumber-sumber daya bukan saja keuangan, namun juga keahlian
dan manajemen. Tidak setiap orang dibekali sumber-sumber daya dengan suatu
kombinasi optimal. Oleh karena itu, mutlak menghimpun semua sumber daya yang
tersedia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Penghimpunan
sumber-sumber daya ini harus diorganisasikan dalam suatu cara yang saling
menguntungkan atau altuaristis dengan konsep kemitraan yang sejajar di antara
masing-masing pihak.
Dalam Sistem Ekonomi Syariah dikenal beberapa
bentuk kemitraan dalam berusaha, namun yang umum dikenal ada 2 (dua), yaitu
Mudharabah dan Musyarakah.
1.
Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha)
Mudharabah
adalah sebuah bentuk kemitraan di mana salah satu mitra, yang disebut
"shahibul-maal" atau "rabbul-maal" (penyedia dana) yang
menyediakan sejumlah modal tertentu dan bertindak sebagai mitra pasif,
sedangkan mitra yang lain disebut "mudharib" yang menyediakan
keahlian usaha dan manajemen untuk menjalankan ventura, perdagangan, industri
atau jasa dengan tujuan mendapatkan laba. Mudharib adalah orang yang diberi
amanah dan juga sebagai agen usaha. Sebagai orang yang diberi amanah, ia
dituntut untuk bertindak hati-hati dan bertanggung jawab terhadap kerugian yang
terjadi karena kelalaiannya. Sebagai agen usaha, ia diharapkan mempergunakan
dan mengelola modal sedemikian rupa untuk menghasilkan laba optimal bagi usaha yang
dijalankan tanpa melanggar nilai-nilai Syariah Islam. Perjanjian mudharabah
dapat juga dilakukan antara beberapa penyedia dana dan pelaku usaha.
Sedangkan
secara ringkas, di dalam Ensiklopedia Hukum Islam, mudharabah dapat diartikan
sebagai pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja/ pedagang untuk
diusahakan/ dikelola sedangkan keuntungan dagang itu dibagi menurut kesepakatan
bersama. Mudharabah dalam bahasa teknis keuangan dikenal dengan istilah
Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi atau Trust Financing, Trust Investment.
Secara
umum, mudharabah terbagi atas dua jenis, yaitu mudharabah muthlaqah dan
mudharabah muqayadah.
1)
Mudharabah Muthlaqah
Adalah
bentuk kerjasama antara shahibul maal (penyedia dana) dengan mudharib yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu,
dan daerah bisnis. Penyedia dana melimpahkan kekuasaan yang sebesar-besarnya
kepada mudharib untuk mengelola dananya.
2)
Mudharabah Muqayyadah
Adalah
kebalikan dari mudharabah muthlaqah, di mana mudharib dibatasi dengan batasan
jenis usaha, waktu, dan tempat usaha yang telah diperjanjikan di awal akad
kerjasama.
Pembagian laba antara penyedia dana dengan
mudharib harus berdasarkan suatu proporsi yang adil dan telah disepakati
sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian mudharabah.
Pembagian laba tidak boleh dilakukan sebelum kerugian yang ada ditutupi dan
modal awal dikembalikan kepada penyedia dana. Setiap distribusi laba sebelum
pentupan perjanjian mudharabah dipandang sebagai utang. Jika mudharabah tidak
ditentukan batas waktu atau berterusan, diperbolehkan menunjuk secara khusus
periode perhitungan yang disepakati bersama dalam pembagian laba, dengan
melihat masing-masing periode secara independen, dan jika terjadi kerugian pada
periode tertentu dapat ditutupi dengan menggunakan laba dalam periode yang akan
datang sampai persetujuan mudharabah berakhir. Karena itu, dalam hal mudharabah
yang berterusan, diperlukan untuk menyisihkan cadangan dari sebagian laba untuk
menggantikan kerugian yang mungkin timbul di suatu periode.
Semua kerugian yang terjadi dalam perjalanan
bisnis harus ditutup dengan laba sebelum ditutup oleh ekuitas penyedia dana.
Prinsip umum dalam mudharabah adalah penyedia dana hanya menanggung resiko
modal, sedangkan mudharib hanya menanggung resiko waktu dan usahanya.
Liabilitas penyedia dana dalam kontrak
mudharabah terbatas pada kontribusinya dalam menyediakan modal awal,tidak lebih
dari itu. Sang Mudharib tidak diperbolehkan melakukan bisnis mudharabah untuk
jumlah yang lebih besar dari modal yang diberikan oleh penyedia dana. Jika ia
melakukannya atas dasar kemauannya sendiri, maka mudharib berhak mendapatkan
laba itu dari usaha itu dan juga menanggung kerugian yang timbul.
Mudharabah akan berakhir setelah selesai proyek
yang dikerjakan atau batas waktu yang ditentukan telah berlalu, atau kematian
salah satu pihak, atau pengumuman dari salah satu pihak untuk mengundurkan diri
dari mudharabah dengan niat membubarkannya.
Musyarakah adalah suatu bentuk organisasi usaha
di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha,
dengan proporsi sama atau tidak sama.Keuntungan dibagi menurut perbandingan
yang sama atau tidak sama, sesuai kesepakatan, antara para mitra, dan kerugian
akan dibagikan menurut proporsi modal. Musyarakah secara bahasa berarti
mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga
tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Musyarakah dikenal juga dengan istilah
"Syirkah".
Menurut istilah fikih, syirkah adalah sesuatu
akad antara dua orang atau lebih untuk berkongsi modal dan bersekutu dalam
keuntungan.
Pada prinsipnya syirkah atau musyarakah ada dua
jenis, yaitu musyarakah kepemilikan (amlak) dan musyarakah yang tejadi karena
kontrak (uqud). Musyarakah kepemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau
kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu asset oleh dua orang atau
lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan berbagi dalam asset nyata dan
keuntungan yang dihasilkan oleh asset tersebut.
Musyarakah akad tercipta karena adanya
kesepakatan antara dua orang atau lebih bahwa tiap-tiap orang dari mereka
memberikan modal musyarakah dan sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.
Ketentuan tentang pembagian keuntungan dan petanggungjawaban kerugian
persekutuan dalam syirkah, menurut M. Nejatullah Siddiqi adalah:
1.
Kerugian adalah bagian modal yang hilang,
karena kerugian akan dibagi ke dalam bagian modal yang diinvestasikan dan akan
ditanggung oleh para pemodal;
2.
Keuntungan akan dibagi di antara para sekutu
atau mitra usaha dengan bagian yang telah ditentukan oleh mereka dengan bagian
atau prosentase tertentu, bukan dalam jumlah nominal yang pasti yang ditentukan
oleh dan bagi pihak manapun;
3.
Dalam suatu kerugian usaha yang berlangsung
terus, diperkirakan usaha akan menjadi baik kembali melalui keuntungan sampai
usaha tersebut menjadi seimbang kembali. Penentuan jumlah nilai ditentukan kembali dengan menyisihkan modal awal dan
jumlah nilai yang tersisa akan dianggap sebagai keuntungan atau kerugian;
4.
Pihak-pihak yang berhak atas pembagian
keuntungan usaha boleh meminta bagian mereka hanya jika para penanam modal awal
telah memperolehkembali investasinya, atau pemilik modal melakukan suatu
transfer yang sah sebagai hadiah kepada mereka.
Musyarakah akad adalah sebuah kemitraan
kontraktual dan dipandang sebagai suatu kemitraan yang benar karena pihak yang
bersangkutan bersedia memasuki persetujuan kontrak untuk melakukan investasi
bersama dalam berbagi keuntungan dan resiko.
Musyarakah atau syirkah akad dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu:
1)
Syirkah Al Inan
Adalah
kemitraan antara dua orang atau lebih yang masing-masing menyertakan modal ke
dalam sebuah usaha dan sekaligus menjadi pengelolanya, kemudian keuntungan
dibagi antara mereka berdasarkan kesepakatan.
2)
Syirkah Al Wujuh
Kemitraan
antara dua orang atau lebih dengan modal dari pihak di luar keduanya,
keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan modal yang diperoleh dari pihak luar
tersebut
3)
Syirkah Abdan
Kemitraan
antara dua orang atau lebih yang mengandalkan tenaga atau keahliannya saja
tanpa harta mereka untuk menerima pekerjaan, keuntungan dibagi berdasarkan
kesepakatan.
4)
Syirkah Mufawadhah
Kemitraan
antara dua orang atau lebih yang menyetor modal dan keahlian yang sama.
Masing-masing mitra saling menanggung satu dengan lainnya dalam hak dan
kewajiban, dan tidak diperbolehkan satu mitra memiliki modal dan keuntungan
lebih tinggi dari mitra yang lainnya.
Dalam praktek, bentuk kemitraan musyarakah yang
paling populer adalah Syirkah Al Inan yang mengandung implikasi saham tidak
sama di antara para mitra dan diakui oleh semua mazhab dalam agama Islam.
Musyarakah dalam teknis lembaga keuangan
dikenal sebagai kerjasama modal
usaha atau Partnership, Project Financing
Participation.
Aplikasi Musyarakah dalam praktek lembaga
keuangan adalah berupa:
1.
Pembiayaan Proyek
Lembaga
keuangan dan pengusaha secara bersama-sama menyediakan dana untuk membiayai
sebuah proyek. Setelah proyek selesai, pengusaha mengembalikan dana tersebut
bersama bagi hasil yang telah disepakati kepada lembaga keuangan.
2.
Modal Ventura
Pada lembaga
keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan
perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal
dilakukan untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu penyedia dana melakukan
divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara langsung atau bertahap.
Menurut Dr. M. Umer Chapra, musyarakah atau
syirkah dalam prakteknya terdapat dalam berbagai model, para mitra dapat
memberikan kontribusi bukan hanya modal dalam hal keuangan, namun juga tenaga,
manajemen, dan keahlian, dan kemauan baik, walaupun tidak harus sama.
Kemitraan musyarakah atau syirkah dapat adalah
suatu bentuk kombinasi dari berbagai bentuk. Persyaratan Syariah dalam membagi
proporsi modal dan keuntungan dalam bermitra usaha adalah keadilan. Keadilan
yang dimaksud bukanlah pemerataan secara mutlak, namun adalah keseimbangan
antar individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan
antara individu dengan masyarakat, antara suatu masyarakat dengan masyarakat
lainnya.
Dengan demikian keadilan dalam kemitraan usaha
mengandung implikasi bahwa saham proporsional dalam laba harus merefleksikan
kontribusi yang diberikan kepada usaha oleh modal mereka baik berupa keahlian,
waktu, kemampuan manajemen, kemauan baik, dan kontrak, serta kerugian juga
harus dirasakan bersama sesuai proporsi modal dan tuntutan-tuntutan lain yang timbul akibat usaha tersebut.
Dalam sebuah sistem perekonomian dengan
perbedaan-perbedaan kekayaan yang begitu substansial, dan pemberian pinjaman
modal yang menginginkan keuntungan tanpa terlibat resiko bisnis, adalah
irrasional untuk dapat memberikan pinjaman kepada orang miskin sama banyaknya
seperti halnya yang diberikan kepada orang-orang kaya, atau mengulurkan
pinjaman sama banyaknya karena persyaratan yang sama bagi keduanya, seperti
tingkat suku bunga yang sama atau bahkan lebih tinggi kepada pengusaha kecil
dari pada yang dikenakan kepada pengusaha besar, dan keharusan memiliki
kolateral (jaminan) dengan nilai yang lebih tinggi dari pinjaman modal dengan
mengabaikan kenyataan apakah mereka akan menghasilkan keuntungan di atas
rata-rata dari investasi modal mereka.
Hal ini adalah preseden buruk bagi masyarakat
karena akan mengakibatkan pemihakan kepada satu kelas sosial tertentu saja, dan
menimbulkan kegagalan masyarakat dalam memanfaatkan bakat wirausaha
(enterpuener)nya secara maksimal.
Penggunaan sistem kemitraan bagi hasil
berdasarkan Syariah diharapkan mampu menanggulangi permasalahan modal dan
peluang usaha yang terjadi selama ini karena akan menyuburkan kemampuan wirausaha
(enterpuener) di kalangan anggota masyarakat yang lemah dari sisi permodalan,
sehingga usaha kecil dan mikro mampu menyumbang kepada output, lapangan
pekerjaan, dan distribusi pendapatan. Dengan adanya penanggungan resiko dan
keuntungan bersama oleh lembaga keuangan akan mengurangi beban pengusaha pada
saat-saat sulit dan mengganti membayar lebih tinggi pada masa-masa untung, dan
lembaga keuangan bersedia menanggung resiko usaha tanpa mengurangi kekuatan
finansialnya, karena terbangunnya sitem pencadangan pengganti kerugian
(loss-offsetting reserves).
0 Response to "MITRA BISNIS DALAM ISLAM"
Post a Comment