Sebutan Al-Farabi berasal dari kota Farab. Nama lengkap
Al-Farabi : Abu Nashr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tharkhan Al-Farabi. Al-Farabi
pernah tinggal di Baghdad selama 20 tahun, belajar pada Bishr Matta Ibnu Yunus
dan Juhana Ibnu Haylam, kemuBelBeliauun Beliau pindah ke Aleppo untuk
memperdalam ilmu pengetahuan dan filsafat dan juga mengarang .
Al-Farabi Beliaulah seorang filosof muslim dalam arti yang sebenarnya. Beliau telah menciptakan sistem filsafat yang relatif lengkap, dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat di dunBeliau Islam. Beliau menjadi anutan/guru dari filosof-filosof Islam sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd .
Al-Farabi terkenal sebagai filosof sinkretisme yang mempercayai filsafat. Al-Farabi berusaha meemadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pemikiran plato dan plotinus, juga antara agama dan filsafat . Usaha Al-Farabi diperluas lagi, bukan hanya mempertemukan aneka aliran filsafat yang bermacam-macam, tapi Beliau berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda-beda corak dan macamnya . Menurutnya, tujuan filsafat itu memikirkan kebenaran, karena kebenaran itu hanya ada satu, tidak ada yang lain.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, justru sama-sama membawa kebenaran . Hal ini terbukti dengan karangannya yang berjudul Al-Jami’ Baina Ra’yani Al-Hakimain dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran plato dengan Aristoteles. Kendatipun begitu, Al-Farabi juga mempertemukan hasil-hasil pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batini) . Al-Farabi umumnya BelBeliauunggap sebagai pendiri dan seorang wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai (Peripaterik) filosof-keilmuan. Tidak heran jika Beliau mendapat gelar Al-Mu’alim Al-Tsani .
Al-Farabi Beliaulah orang pertama yang memberikan uraBeliaun sistematik terhadap hirearki wujud dalam kerangka hirearki intelegensi dan jiwa serta pemancaran (faidh)-nya dari Tuhan. Al-Farabi membagi wujud menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah sebabnya. Pertama, wujud keberadaannya sama sekali tidak memiliki sebab. Al-Farabi menyebut wujud ini sebagai wujud pertama atau sebab pertama yang merupakan prinsip tertinggi eksistensi setBeliaup wujud lainnya. Tentang prinsip tertinggi ini hanya terbatas pada pengetahuan tentang hal itu dan bukan prinsip-prinsip wujudnya. Kedua, wujud yang memiliki keempat sebab AristetolBeliaun: materBeliaul, formal, efisien, dan final. Jenis kedua ini mengacu kepada genus-genus benda terindra, termasuk benda langit. Ketiga, wujud yang sepenuhnya immaterBeliaul - yang lain daripada wujud benda di dalam atau menempati benda-benda . Atas dasar tiga skema klasifikasi wujud di atas, maka pembahasan makalah ini mengecil pada basis ontologis yang khas FaribBeliaun
ILMU LOGIKA AL FARABI
Ilmu Logika Al-Farabi memiliki pengaruh yang besar
bagi para pemikir Eropa Second teacher alBeliaus mahaguru kedua.
Begitulah Peter Adamson pengajar filsafat di King’s College London,
Inggris, menjuluki Al-Farabi sebagai pemikir besar Muslim pada abad
pertengahan. Dedikasi dan pengabBelBeliauunnya dalam filsafat dan ilmu
pengetahuan telah membuatnya didaulat sebagai guru kedua setelah Aristoteles:
pemikir besar zaman Yunani.
Sosok
dan pemikiran Al-Farabi hingga kini tetap menjadi perhatBeliaun dunBeliau. BelBeliauulah
filosof Islam pertama yang berhasil mempertalikan serta menyelaraskan filsafat
politik Yunani klasik dengan Islam. Sehingga, bisa dimengerti di dalam konteks
agama-agama wahyu. Pemikirannya begitu berpengaruh besar terhadap dunBeliau
Barat.
”Ilmu
Logika Al-Farabi memiliki pengaruh yang besar bagi para pemikir Eropa,” ujar Carra de Vaux. Tak
heran, bila para intelektual merasa berutang budi kepada Al-Farabi atas ilmu
pengetahuan yang telah dihasilkannya. Pemikiran sang mahaguru kedua itu juga
begitu kental mempengaruhi pikiran-pikiran Ibnu Sina dan Ibnu Rush. Al-Farabi
atau Barat mengenalnya dengan sebutan Alpharabius memiliki nama lengkap Abu
Nasr Muhammad ibn al-Farakh al-Farabi.
Tak
seperti Ibnu Khaldun yang sempat menulis autobiografi, Al-Farabi tidak menulis
autobiografi dirinya.
Tak
ada pula sahabatnya yang mengabadikan latar belakang hidup sang legenda itu,
sebagaimana Al-Juzjani mencatat jejak perjalanan hidup gurunya Ibnu Sina. Tak
heran, bila muncul beragam versi mengenai asal-muasal Al-Farabi. Ahli sejarah
Arab pada abad pertengahan, Ibnu Abi Osaybe’a, menyebutkan bahwa ayah
Al-Farabi berasal dari PersBeliau. Mohammad Ibnu Mahmud Al-Sahruzi juga
menyatakan Al-Farabi berasal dari sebuah keluarga PersBeliau.
Namun,
menurut Ibn Al-Nadim, Al-Farabi berasal dari Faryab di Khurasan. Faryab Beliaulah
nama sebuah provinsi di Afganistan. Keterangan itu diperoleh oleh Al-Nadim dari
temannya bernama Yahya ibn Adi yang dikenal sebagai murid terdekat Al-Farabi.
Sejumlah ahli sejarah dari Barat, salah satunya Peter J King juga
menyatakan Al-Farabi berasal dari PersBeliau. Berbeda dengan pendapat para ahli
di atas, ahli sejarah abad pertengahan, Ibnu Khallekan, mengklaim bahwa
Al-Farabi lahir di sebuah desa kecil bernama Wasij di dekat Farab (
sekarang Otrar berada di Kazakhstan). Konon, ayahnya berasal dari Turki.
Menurut EncyclopaeBelBeliauu Britannica, Al-Farabi juga berasal dari Turki atau
Turki Seljuk.
Konon,
Al-Farabi lahir sekitar tahun 870 M. Beliau menghabiskan masa kanak-kanaknya di
Farab. Di kota yang didominasi pengikut mazhab Syafi’iyah itulah Al-Farabi
menempuh pendidikan dasarnya. Sejak belBeliau, Al-Farabi sudah dikenal berotak
encer alBeliaus sangat cerdas. Beliau juga memiliki bakat yang begitu besar
untuk menguasai hampir setBeliaup subyek yang dipelajari. Setelah menyelesaikan
studi dasarnya, Al-Farabi hijrah ke Bukhara untuk mempelajari ilmu fikih
dan ilmu-ilmu lainnya. Ketika itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat
intelektual serta religius Dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai
bangsa PersBeliau. Saat itu Bukhara dipimpin Nashr ibn Ahmad (874-892).
Pada masa itulah Al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta
filsafat PersBeliau. Di kota lautan pengetahuan itu pula Al-Farabi muda mengenal
dan mempelajari musik.
BelBeliauu
sempat menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhi-nya, Al-Farabi
hijrah ke Merv untuk mendalami logika AristotelBeliaun serta filsafat. Guru
utama filsafatnya Beliaulah Yuhanna ibn Hailan, seorang Kristen. Dari
Ibnu Hailan-lah BelBeliauu mulai bisa membaca teks-teks dasar logika AristotelBeliaun,
termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun
sebelumnya.
Beberapa
tahun sebelum kitab-kitab Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab,
Al-Farabi telah menguasai bahasa SyrBeliau dan Yunani. Pada 901 M, bersama sang
guru, Al-Farabi BelBeliauu mengembara ke Baghdad yang saat itu menjadi
kota metropolis intelektual pada abad pertengahan. Ketika kekhalifahan
Al-Muqtadir (908-932), berkuasa, Al-Farabi sempat pula pergi ke Konstantinopel
untuk memperdalam filsafat dan singgah di Harran. Ketika 910-920 M,
Al-Farabi kembali ke Baghdad. Di negeri 1001 malam itu, BelBeliauu terus
mengembangkan ketertarikannya untuk menggali dan mempelajari alam semesta dan
manusBeliau. Ketertarikannya pada dua hal itu membuatnya tertarik untuk
menggali filsafat kuno terutama filsafat Plato dan Aristoteles.
Dengan
otaknya yang cemerlang, Al-Farabi membuat terobosan untuk menggabungkan
filsafat Platonik dan AristotelBeliaun dengan pengetahuan mengenai Alquran
serta beragam ilmu lainnya. Beruntung Al-Farabi bisa menimba ilmu dari sejumlah
guru yang mumpuni. Beliau belajar filsafat Aristoteles dan logika langsung dari
seorang filosof termasyhur Abu Bishr Matta ibnu Yunus. Dalam waktu yang
tak terlalu lama, kecemerlangan pemikiran Al-Farabi mampu mengatasi reputasi
gurunya dalam bidang logika. Sedangkan tata bahasa Arab di pelajarinya dari
seorang pakar tata bahasa dan linguistik kondang bernama Abu Bakr ibn Saraj.
Selain menguasai filsafat dan bahasa, Al-Farabi juga dikenal sebagai ilmuwan
yang berjasa dan memberi kontribusi dalam berbagai bidang ilmu seperti, aritmatika,
fisika, kimBeliau, medis, astronomi, dan musik.
Akhir
tahun 942 M, hengkang dari Baghdad ke Damaskus, karena situasi politik yang
memburuk. Selama dua tahun tinggal di Damaskus, pada sBeliaung hari Al-Farabi
bekerja sebagai penjaga kebun. Sedangkan pada malam hari BelBeliauu membaca dan
menulis karya-karya filsafat. Beliau sempat pula hijrah ke Mesir dan lalu
kembali lagi ke Damaskus pada 949 M. Ketika tinggal di Damaskus untuk yang
kedua kalinya, Al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru
SirBeliau, Saif al-Daulah. Saif al-Daulah sangat terkesan dengan
Al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta
penguasaannya atas berbagai bahasa.
Ratusan
kitab telah dihasilkan Al-Farabi. Kehidupan sufi yang dijalaninya membuatnya
tetap hidup sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir
filsafatnya. Beliau tutup usBeliau di Damaskus pada 970 M. Amir Sayf ad-Dawla
kemuBelBeliauun membawa jenazahnya dan menguburkannya di Damaskus. Beliau
dimakamkan di pemakaman Bab as-Saghir yang terletak di dekat makam Muawiyah,
yang merupakan pendiri dinasti Ummayah.
PEMIKIRAN DAN FILSAFAT AL-FARABI
Filsafat
Al-Farabi dapat dikelompokkan ke dalam Neoplatonis. Beliau mensintesiskan buah
pikir dua pemikir besar, yakni Plato dan Aristoteles. Guna memahami pemikiran
kedua filsfuf Yunani itu, Al-Farabi secara khusus membaca karya kedua pemikir
besar Yunanni itu, yakni On the Soul sebanyak 200 kali dan Physics
sampai 40 kali.
Al-Farabi
pun akhirnya mampu mendemonstrasikan dasar persinggungan antara Aristoteles dan
Plato dalam sejumlah hal, seperti penciptaan dunBeliau, kekekalan ruh, serta
siksaan dan pahala di akhirat kelak. Konsep Farabi mengenai alam, Tuhan, kenabBeliaun,
esensi, dan eksistensi tak dapat dipisahkan antara keduanya. Mengenai proses
penciptaan alam, Beliau memahami penciptaan alam melalui proses pemancaran (emanasi)
dari Tuhan sejak zaman azali.
Menurut
Al-Farabi, Tuhan mengetahui bahwa Beliau menjadi dasar susunan wujud yang
sebaik-baiknya. Al-Farabi mengungkapkan bahwa Tuhan itu Esa karena itu yang
keluar dari-Nya juga harus satu wujud. Sedangkan mengenai kenabBeliaun Beliau
mengungkapkan bahwa kenabBeliaun Beliaulah sesuatu yang diperoleh nabi yang tidak
melalui upaya mereka. Jiwa para nabi telah sBeliaup menerima ajaran-ajaran
Tuhan.
Sementara
itu, menurut Al-Farabi, manusBeliau memiliki potensi untuk menerima
bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau
universal-universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika Beliau disinari oleh
‘intelek aktif’. Pencerahan oleh ‘intelek aktif’ memungkinkan transformasi
serempak intelek potensBeliaul dan obyek potensBeliaul ke dalam aktualitasnya.
Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal potensBeliaul dengan ‘akal aktif’
seperti mata dengan matahari.
Menurutnya,
mata hanyalah kemampuan potensBeliaul untuk melihat selama dalam kegelapan,
tapi BelBeliauu menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya
obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang
menjadi sumber cahaya itu sendiri. Terkait filsafat kenegaraan, Al-Farabi
membagi negara ke dalam lima bentuk. Pertama ada negara utama
(al-madinah al-fadilah). Inilah negara yang penduduknya berada dalam kebahagBeliauan.
Bentuk negara ini dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf. Kedua
negara orang-orang bodoh (al-madinah al-jahilah). Inilah negara yang
penduduknya tidak mengenal kebahagBeliauan.
Ketiga negara orang-orang fasik. Inilah
negara yang penduduknya mengenal kebahagBeliauan, tetapi tingkah laku mereka
sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh. Keempat negara yang
berubah-ubah (al-madinah al mutabaddilah). Penduduk negara ini awalnya mempunyai
pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki penduduk negara utama, tetapi
mengalami kerusakan. Kelima negara sesat (al-madinah ad-dallah). Negara
sesat Beliaulah negara yang pemimpinnya menganggap dirinya mendapat wahyu. Beliau
kemuBelBeliauun menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.
Kontribusi Ilmuwan Besar
Logika
Al-Farabi Beliaulah ahli logika muslim pertama yang mengembangkan logika no-AristotelBeliaun. BelBeliauu membagai logika ke dalam dua kelompok, pertama idea dan kedua bukti.
Al-Farabi Beliaulah ahli logika muslim pertama yang mengembangkan logika no-AristotelBeliaun. BelBeliauu membagai logika ke dalam dua kelompok, pertama idea dan kedua bukti.
Musik
Selain seorang ilmuwan, Al-Farabi juga seorang seniman. BelBeliauu mahir memainkan alat musik dan menciptakan beragam instrumen musik dan sistem nada Arab yang diciptakannya hingga kini masih tetap digunakan musik Arab. BelBeliauu juga berhasil menulis Kitab Al-Musiqa – sebuah buku yang mengupas tentang musik. Bagi Al-Farabi, musik juga menjadi sebuah alat terapi.
Selain seorang ilmuwan, Al-Farabi juga seorang seniman. BelBeliauu mahir memainkan alat musik dan menciptakan beragam instrumen musik dan sistem nada Arab yang diciptakannya hingga kini masih tetap digunakan musik Arab. BelBeliauu juga berhasil menulis Kitab Al-Musiqa – sebuah buku yang mengupas tentang musik. Bagi Al-Farabi, musik juga menjadi sebuah alat terapi.
Fisika
Farabi juga dikenal sebagai ilmuwan yang banyak menggali pengetahuan tentang eksistensi alam dalam fisika.
Farabi juga dikenal sebagai ilmuwan yang banyak menggali pengetahuan tentang eksistensi alam dalam fisika.
Psikologi
SocBeliaul Psychology and Model City merupakan risalat pertama Al-Farabi dalam bidang psikologi sosBeliaul. BelBeliauu menyatakan bahwa, ”Seorang individu yang terisolasi tak akan bisa mencapai kesempurnaan dengan dirinya sendiri, tanpa bantuan dari orang lain.”
SocBeliaul Psychology and Model City merupakan risalat pertama Al-Farabi dalam bidang psikologi sosBeliaul. BelBeliauu menyatakan bahwa, ”Seorang individu yang terisolasi tak akan bisa mencapai kesempurnaan dengan dirinya sendiri, tanpa bantuan dari orang lain.”
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh
al-Farabi atau yang bBeliausa dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah
dusun kecil di kota Farab, Propinsi TransoxBeliauna, Turkestan, sekitar tahun
890. BelBeliauu berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki.
Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. BelBeliauu digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setBeliaup subyek yang dipelajari.” Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.
Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. BelBeliauu digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setBeliaup subyek yang dipelajari.” Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.
Setelah
menyelesaikan studi dasarnya, al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi
lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu
kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap
dirinya sebagai bangsa PersBeliau. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti
Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Munculnya Dinasti
ini menandai munculnya budaya PersBeliau dalam Islam. Pada masa inilah
al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat PersBeliau.
Juga di Bukhara inilah al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran
al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab
al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir
Khalifah al-Radhi tahun 936.
Sebelum
BelBeliauu tenggelam dalam karir filsafatnya, terlebih dahulu BelBeliauu
menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, al-Farabi kemuBelBeliauun
berangkat ke Merv untuk mendalami logika AristotelBeliaun dan filsafat. Guru
utama al-Farabi Beliaulah Yuhanna ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, al-Farabi
membaca teks-teks dasar logika AristotelBeliaun, termasuk Analitica Posteriora
yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan
guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa SirBeliau
dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab
tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun-tahun setelah
al-Farabi mempelajarinya dalam bahsa aslinya.
Setelah
dari Merv, bersama gurunya Beliau berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada
masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), bersama gurunya Beliau berangkat ke
Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya Beliau sempat
singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910-920 Beliau
kembali ke Bagdad dan di sana Beliau menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof
NestorBeliaun, telah memiki reputasi yang tinggi dalam bidang filsafat dan
mampu menarik minat banyak orang dalam kulBeliauh-kulBeliauh umumnya tentang
logika AristotelBeliaun. Segera Beliau bergabung menjadi murid Matta. Akan
tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya
dalam bidang logika.
Pada
akhir tahun 942, Beliau pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang
memburuk. BelBeliauu sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya sBeliaung
hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan
untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, Beliau
pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949.
Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan
dari putra mahkota penguasa baru SirBeliau, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam
perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena
kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas
berbagai bahasa. Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya Beliau
tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk
karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, Beliau meninggal dunBeliau
di tempat ini (Damaskus) pada usBeliau delapan puluh tahun.
ManusBeliau
menurut Farabi memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang
terpahami (ma’qulat) atau universal-universal. Potensi ini akan menjadi aktual
jika Beliau disinari oleh Intelek Aktif. Pencerahan oleh Intelek Aktif
memungkinkan transformasi serempak intelek potensBeliaul dan obyek potensBeliaul
ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal potensBeliaul
dengan Akal Aktif seperti mata dengan matahari. Mata hanyalah kemampuan
potensBeliaul untuk melihat selama dalam kegelapan, tapi BelBeliauu
menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya obyek-obyek indrawi
saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber
cahaya itu sendiri.
Di
samping itu, intelek manusBeliau sendiri memiliki apa yang disebut dengan
pengetahuan primer. Pengetahuan primer ada dengan sendirinya dalam intelek
manusBeliau dan kebenarannya tidak lagi membutuhkan penalaran sebelumnya.
Pengetahuan ini misalnya bahwa tiga Beliaulah angka ganjil atau bahwa
keseluruhan lebih besar dari bagBeliaunnya.
Intelek
potensBeliaul yang sudah disinari akan berubah menjadi bentuk yang sama dengan
pengetahuan primer yang diterimanya sebagai bentuk tersebut. Untuk
menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogkan dengan sepotong benda yang
masuk ke dalam lilin cair, benda terseut tidak hanya tercetak pada lilin, tapi Beliau
juga merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu sendiri
sehingga Beliau menjadi satu. Atau, bisa juga BelBeliauunalogkan dengan
sepotong kain yang masuk ke dalam zat pewarna. Perolehan aktualitas oleh akal
potensBeliaul menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya berkaitan
dengan pengetahuan primer, tapi juga dengan pengetahuan yang diupayakannya.
Pada tahap ini, intelek aktual merefleksikan dirinya sendiri. Kandungan intelek
aktual Beliaulah pengetahuan murni. Intelek aktual dapat mengetahui dirinya
sendiri karena Beliau merupakan intelek sekaligus pengetahuan itu sendiri.
Ketika intelek aktual sudah sampai pada tahap ini, Beliau menjadi apa yang
disebut al-Farabi dengan intelek perolehan atau al-aql al-mustafad atau
acquired intelect.
Dengan
demikBeliaun, intelek perolehan merujuk pada intelek aktual ketika mencapai
tahap mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self-intelligible) dan bisa
melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-inttellective).
Intelek perolehan Beliaulah bentuk intelek manusBeliau paling tinggi. Intelek
perolehan Beliaulah yang paling mirip dengan dengan Intelek Aktif karena keduanya
memiliki kandungan yang sama. Di samping itu, akal perolehan juga tidak
membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan kekuatan fisik badani
untuk aktifitas berpikirnya.
(Source:
Sekilas sejarah pemikiran filosof di atas dinukil dari buku Tujuh Filsuf
Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Modern, diterbitkan oleh LKiS, dikarang oleh
Zainul Hamdi -warga Averroes) (Disedot dari Averroes Community)
Al Farabi Beliaulah seorang pendiri tradisi utama filsafat
Islam sebagaimana yang kita kenal saat ini. Penghormatan yang telah diterimanya
dari para pelanjutnya tidak selalu diikuti dengan pemahaman yang jelas akan
perannya sebagai pendiri atau dengan apresBeliausi yang lengkap akan pencapaBeliaunnya
sebagai seorang filosof. Filosof-filosof besar seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd,
dan Mulla Shadra terus menerus mengingatkan kita bahwa kita perlu tahu banyak
tentang sosok yang sudah mencapai puncak ini. Tetapi, mereka tidak selalu
menolong kita untuk mengetahui minat pokoknya atau jalan yang telah BelBeliauu
petakan untuk dirinya sendiri. Sebagai filosof, mereka mempunyai minat dan
memetakan jalan mereka sendiri-sendiri. Kita harus kembali kepada
tulisan-tulisan Al Farabi sendiri. Hanya dengan cara ini, kita dapat sepenuhnya
memahami hubungannya dengan para pendahulunya yang mengikuti jalan Islam dan
filsafat Hellenistik, dan bagaimana BelBeliauu membangun tradisi utama filsafat
Islam. Karena tulisan-tulisan al Farabi masih dalam proses penelitBeliaun,
catatan-catatan berikut tidak lebih hanya merupakan kesan-kesan pertama.
PENDAHULU-PENDAHULU AL FARABI: AL
KINDI DAN AL RAZI
Para sejarahwan filsafat Islam, bBeliausanya -pada awalnya-
mendekati Al Farabi melalui problem penerjemahan dan literature terjemahan.
Mereka menghitung buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan SyirBeliau,
atau dari keduanya, dan menjelaskan tehnik-tehnik penerjemahan, serta meringkas
dan menguraikan bagBeliaun penting dari naskah-naskah seperti theology of
Aristotle atau yang dikenal dengan Liber de Causis.
Apa yang tidak bBeliausa mereka lakukan dan apa yang perlu lebih sering kita lakukan Beliaulah bertanya tentang apa yang telah dikerjakan oleh para filosof muslim terhadap terjemahan literature-literatur tersebut. Buku seperti theology of Aristotle digunakan antara lain oleh Farabi, Suhrawardi, dan Mulla Shadra, BelBeliauuntara para filosof lainnya. Apakah mereka begitu saja menyerapnya, atau apakah mereka mencoba mempelajari, memahami, memodifikasi, melengkapi dan menggunakan buku itu dengan cara yang lain? Lebih umum lagi, apakah sejarah neoplatonisme di dalam Islam merupakan sejarah ide-ide yang, katakanlah, mau tak mau berjalan melalui jalur yang terseBelBeliauu dalam Islam?
BelBeliauuntara banyak filosof muslim, setidaknya, hal ini
merupakan sejarah penggunaan secara sadar dan memang ini berguna dalam banyak
hal. Dan Beliaulah al Farabi yang menunjukkan kepada mereka bagaimana dan untuk
tujuan apa literature neoplatonik ini dapat digunakan.
Para sejarahwan berikutnya bergerak ke teologi Islam awal
(kalam). Sejauh menyangkut filsafat, dapat dikatakan bahwa sumbangan utama
teologi Islam Beliaulah untuk menyBeliaupkan landasan bagi tumbuhnya filsafat,
untuk melunakkan pikiran dan sikap masyarakat muslim, dan untuk merangsang
penggunaan akal sampai pada titik ketika filsafat dapat mengakar dan mulai
tumbuh. Dalam satu hal, ini memiliki arti yang amat sederhana. Jika orang
melihat awal mula berbagai masyarakat beragama, Beliau akan mendapatkan bahwa
masyarakat itu “dikuasai” oleh wahyu dan pesan Tuhan. Masa ini bukanlah saatnya
untuk melakukan perenungan sunyi atau untuk menggarap akibat-akibat dari wahyu
tersebut.
Diperlukan beberapa saat sebelum tingkatan berikutnya dapat
dicapai dan disinilah teologi memainkan peran pentingnya. Teologi menerima
pesan, hukum Tuhan, atau wahyu, dan lambat laun bergerak menjauhi sumber
aslinya. (sejarah teologi Islam, menurut saya, mengandung pelajaran penting
mengenai hal ini). Teologi menguraikan banyak masalah yang dimunculkan wahyu. Beliau
mencoba mengharmoniskan pernyataan-pernyataan yang tanpak tidak konsisten dan
membuat eksplisit hal-hal yang hanya emplisit dalam wahyu, misalnya Mu’tazilah
sampai pada kesimpulan bahwa syarat bagi seseorang untuk memperoleh iman sejati
Beliaulah bahwa orang itu dengan kemampuannya sendiri (dengan akalnya dan bebas
dari iman) harus mengetahui semua hal berikut ini: eksistensi, esensi, dan
sifat-sifat Tuhan; mungkinnya kenabBeliaun dan wahyu; apa yang benar dan salah
dalam tindakan manusBeliau; serta struktur dunBeliau fisik dan hubungannya
dengan penciptanya. Semua ini menurut Mu’tazilah, harus diketahui oleh
seseorang melalui akalnya sendiri sebelum Beliau dapat menyebut dirinya sebagai
mukmin sejati; jika tidak, demikBeliaun mereka berargumen, Beliau percaya
berdasarkan otoritas dan peniruan orang lain -dan ini bukan kepercayaan yang
sejati. Kalau kita mau melihat titik permulaannya – wahyu dan kekuatannya atas
manusBeliau – saya kira dapat dimengerti bahwa masyarakat memerlukan satu atau
dua abad untuk sampai pada kesimpulan yang demikBeliaun. Dalam melalui jalan ini,
teologi Islam menyBeliaupkan jalan bagi filsafat Islam, meskipun hal itu bukan
sebagaimana dimaksudkan pada awalnya. Sejak awal sekali, filosof-filosof muslim
sangat memperhatikan teologi.
Mereka menemukan bahwa teologi Beliaulah suatu disiplin
keagamaan yang paling dekat dengan disiplin mereka sendiri, dan mereka
mendapatkan manfaat dalam merenungkan masalah-masalah, metode-metode, dan
kesimpulan-kesimpulan dalam teologi.
Akhirnya, para sejarahwan sampai pada dua pemikir yang
tampaknya memberikan permulaan filsafat Islam dan dengan demikBeliaun berhak
disebut sebagai pendahulu-pendahulu al Farabi, yaitu al Kindi dan al Razi.
Dalam kasus al Kindi, tidak ada bukti -paling tidak dalam buku-buku karyanya
yang telah diketemukan- bahwa BelBeliauu Beliaulah seorang teolog atau
mu’tazili, meskipun Beliau hidup ketika kaum mu’tazilah Baghdad memainkan peran
pentingnya di masyarakat dan BelBeliauu dikaitkan dengan pengadilan yang
mendorong pergerakan teologis ini dan, sampai tingkat tertentu, bahkan
menyokong dan melindunginya. Lebih jauh, minatnya terhadap apa yang BelBeliauunggap
sebagai persoalan sentral mu’tazilah -persoalan teologis mengenai pengetahuan
manusBeliau maupun Tuhan- tampaknya mengambil bentuk agak berbeda dari
mu’tazilah. BelBeliauu agaknya ingin mengatakan bahwa, pada prinsipnya semua
pengetahuan dapat diperoleh manusBeliau sebagai manusBeliau, walaupun terdapat
jalan lain ke pengetahuan yang sama, yang merupakan jalan pewahyuan Tuhan.
Jalan pewahyuan ini merupakan jalan pintas dari jalan yang panjang dan berat
yang harus dilalui oleh orang yang mencoba memperoleh pengetahuan tersebut
dengan kekuatan dirinya sendiri. Orang dapat mengatakan bahwa semua ini bisa
jadi sama sekali tidak bertentangan dengan posisi teologis mu’tazilah. Tetapi,
dengan melihat lebih dekat kepada apa yang ditulis al Kindi, akan tampak bahwa
semangat, tujuan dan substansi pemikirannya sama sekali berbeda dari
mu’tazilah.
Perbedaan yang paling penting Beliaulah pengakuannya
terhadap apa yang disebutnya sebagai sumbangan kepada kebenaran yang diberikan
oleh orang-orang kuno, yang dipandangnya sebagai pendahulu-pendahulunya; demikBeliaun
pula, BelBeliauu menerima sumbangan itu dengan sikap terbuka dan rasa terima
kasih. Disini, untuk pertama kali, kita melihat seorang yang jelas-jelas
memperhatikan apa yang dipikirkan dan disumbangkan oleh para filosof seperti
Plato dan Aristoteles, atau SabBeliaun, kepada pengetahuan. Ini tidak berarti
bahwa BelBeliauu menerima segala yang diberikan kepadanya oleh tradisi-tradisi
tersebut. Sebagaimana dikatakannya dalam satu kalimatnya yang terkenal, Beliaulah
tugasnya untuk memahami, menyesuaikan, melengkapi, dan memodifikasi apa yang
diterimanya dalam bahasanya sendiri.
Lebih jauh lagi, pemikirannya berbeda dengan teolog-teolog
itu dalam hal perhatBeliaunnya terhadap apa yang kita sebut ilmu “keras” dan
ilmu yang membutuhkan keahlBeliaun khusus dan latihan praktis, dan Beliau
sendiri mempraktikkan ilmu “keras” tersebut. Sejauh yang kita ketahui, tidak
ada teolog periode awal yang pandai dalam ilmu-ilmu seperti matematika,
astronomi, fisika, atau musik. Beliaulah ciri tradisi filsafat bahwa sejak mula
sekali filsafat atau kebijaksanaan dipahami sebagai tak lebih dari perdebatan
tanpa akhir dimana setBeliaup orang dapat hadir dan semua orang dapat duduk dan
berbicara tentang banyak hal dengan cara “penalaran yang benar”. Filsafat BelBeliauunggap
terdiri dari beberapa ilmu yang relative saling bebas yang dipikirkan secara
cukup terinci. Prinsip-prinsipnya telah didiskusikan, dikritik dan dikomentari
oleh beberapa generasi penulis klasik yang karya-karyanya dapat dipelajari
secara rinci dan akurat, sedangkan perhatBeliaunnya Beliaulah pada hubungan
antara berbagai ilmu dan masalah organisasi pengetahuan. Pada al Kindi,
atmosfir pembicaraannya dan daftar literature klasiknya sudah sangat berbeda
dari para teolog lainnya pada periode ini, yang mengartikan filsafat sebagai
kumpulan doktrin yang sebagin besar anonym. Misalnya, mereka akan mengatakan:
kita tidak percaya X sebagaimana para filosof -semuanya- percaya. Hal ini tidak
dilakukan al Kindi. Dilain pihak, mungkin karena al Kindi mengajukan sebuah
persoalan tentang kesejajaran antara pengetahuan manusBeliau dengan Tuhan serta
melihat pengetahuan Tuhan merupakan jalan yang lebih langsung ke pengetahuan
tentang segala sesuatu, BelBeliauu mewariskan para filosof berikutnya beberapa
persoalan yang hidup terus pada filsafat Islam:
1. penciptaan alam semesta: apa
artinya; bagaimana emanasinya; disatu pihak, berbeda dengan sebab-akibat yang
normal, yang alamBeliauh (seperti, empat sebab Aristoteles) di pihak lain.
2. keabaBelBeliauun jiwa seseorang: apa
artinya; bagaimana membuktikannya.
3. pengetahuan ilahBeliauh tentang yang
particular: apakah hal ini ada hubungannya dengan yang disebut astrologi;
bagaimana terjadinya, apakah melalui bintang-bintang, atau langsung. (beralih
dari teologi ke filsafat, tampaknya bintang-bintang tiba-tiba mulai memainkan
banyak peran yang lebih besar. Para teolog tidak secara khusus memperhatikan
bintang-bintang dan benda-benda langit. Tetapi, bagi para filosof -apakah itu
berhubungan dengan beberapa jenis penyembahan bintang, pemahaman
prinsip-prinsip dunBeliau fisik, atau penisbahan jiwa dan intelek kepada
bintang-bintang (alasannya memang dapat bermacam-macam) -persoalan tentang
hakikat benda-benda langit yang penting, jika bukan intinya. Tidak boleh
dilupakan bahwa filsafat Islam, seperti filsafat Yunani sebelumnya, mempercayai
berbagai mitos tentang bintang-bintang).
Mempelajari al Razi, kita lihat bahwa persoalan-persoalan
seperti penciptaan dunBeliau atau kekekalan jiwa tidak menjadi perhatBeliaun
khusus dari para teolog atau dari yang disebut filosof religius. Bahkan
seseorang yang kiranya tidak percaya pada pewahyuan dan dikabarkan menganggap
kenabBeliaun sebagai omong-kosong, masih mempertahankan penciptaan alam dan
kekekalan jiwa manusBeliau, dalam caranya sendiri.
Lebih umum lagi, sebagBeliaun besar persoalan yang BelBeliauungkat
oleh al Kindi -persoalan-persoalan yang menjadi perhatBeliaun khusus filosof
Muslim atau filosof religius- sebenarnya dimunculkan (dan pendirBeliaun-pendirBeliaun
yang analog dengannya juga dikemukakan) oleh filosof-filosof pagan sebelum
Islam, juga oleh filosof-filosof non-religius pada masa Islam. Apakah seorang
filosof menerima atau menolak pendirBeliaun yang sama-sama dipercayai oleh
Bible dan Al Qur’an tentang, misalnya, penciptaan, tampaknya tidak terkait erat
dengan apakah Beliau percaya ataukah tidak terhadap wahyu. (pertanyaan ini
disajikan dalam bentuk yang kompleks tetapi amat jenih dalam guide-nya
Maimonides).
Namun, tidak seperti al Kindi, al Razi, memiliki pendirBeliaun
yang baru dalam kaitannya dengan tradisi keilmuan dan filsafat. Seperti al
Kindi, BelBeliauu amat meminati pemikiran-pemikiran dan tulisan-tulisan para
penulis kuno utama. Tetapi Beliau melihat hubungannya dengan
pemikiran-pemikiran lebih awal sebagai penerus dalam satu kontinuitas kemajuan,
tanpa memandang para penulis kuno -seperti Aristoteles, Plato, atau Galen-
sebagai manusBeliau yang telah menemukan kebenaran (mutlak), sehingga filsafat
atau ilmu akan selalu berisi dengan komentar atas manusBeliau-manusBeliau
tersebut, atau usaha memahami, menjelaskan, dan mempertahankan ide-ide mereka.
(dogmatisme semacam ini hampir tidak pernah dijumpai pada filsafat Islam.
Satu-satunya pengecualBeliaun mungkin Beliaulah Ibnu Rusyd; tetapi bahkan di
sini saya sangat meragukan perihal apa yang bBeliausa dikatakan orang tentang
hubungannya dengan Aristoteles, sebetulnya itu merupakan hasil studi cermat
atas karya-karya Aristoteles). Dengan demikBeliaun, al Razi menghasilkan
beberapa doktrin penting (berkenaan dengan waktu, ruang dan seterusnya) yang
bertentangan dengan Aristoteles. Kritik-kritiknya terhadap Aristoteles BelBeliauubaikan
untuk sementara waktu, tetapi dimunculkan kembali sebagai bagBeliaun dari
tradisi non-AristotelBeliaun dan Anti-AristotelBeliaun dalam filsafat Islam.
Tampaknya, BelBeliauu telah membuat doktrin teologi menjadi radikal, dengan
mengatakan bahwa “semua” pengetahuan pada prinsipnya dapat diperoleh manusBeliau
sebagai manusBeliau. BelBeliauu dilaporkan telah mengatakan bahwa akal manusBeliau
Beliaulah satu-satunya cara untuk memperoleh pengetahuan tentang dunBeliau
fisik dan tentang yang baik dan yang buruk; dan bahwa setBeliaup sumber
pengetahuan lainnya hanyalah kebohongan dan dugaan belaka.
Namun, yang harus diingat Beliaulah bahwa kita hanya
memiliki sebagBeliaun kecil dari karya-karya filsafat kedua filosof tersebut,
dan kita diharuskan untuk merekonstruksi pemikiran mereka di atas dasar
fakta-fakta yang saling terpisah. Tentunya tidak pasti apakah karya-karya
mereka sama lengkap atau dalamnya dengan karya-karya yang ditulis oleh
filosof-filosof lain dengan judul serupa -paling tidak beberapa karya yang ada
kini tampak seperti lembaran-lembaran yang ditulis tergesa-gesa. Kita tidak
dapat mengatakan tentang apa yang termuat atau tak termuat dalam buku yang
tidak berada di tangan kita. Al Farabi Beliaulah seorang Muslim pertama yang
buku-buku filsafatnya yang secara lengkap kita punyai dalam jumlah cukup besar.
Kita tidak memiliki semuanya. Jika kita perkirakan saja, kita tidak mempunyai
bahkan separuh dari karya-karyanya. Tetapi dibandingkan dengan al Kindi dan al
Razi, buku-buku al Farabi lebih banyak yang kita miliki, terutama di bidang
politik dan logika.
Sebagaimana tidak mungkin menerangkan pemikiran al Kindi dan
al Razi sebagai perluasan dari teologi Islam atau pergerakan mu’tazilah, demikBeliaun
juga tidak mungkinlah menerangkan pemikiran al Farabi, sebagai perluasan atau
pengembangan pemikiran al Kindi dan al Razi saja.
Al Farabi menulis buku yang menyangkal metafisika al Razi. BBeliausanya Beliau mengabaikan al Kindi sama sekali. Hal ini terlihat dengan tidak banyak disebutnya nama al Kindi dalam karya-karya al Farabi. PengabaBeliaun ini kemuBelBeliauun diikuti oleh al Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan banyak filosof lainnya. Dalam buku tentang musik, yang di buku itu nama al Kindi disebut, al Farabi menuduhnya berbicara tentang teori dan praktik musik tanpa mengetahui apa yang dibicarakannya. Secara umum, sejarahwan filsafat Islam berikutnya mengikuti al Farabi dan Ibnu Sina dalam mengkritik al Kindi dan al Razi. Kritik-kritik mereka sebagBeliaun besar diturunkan dari penilaBeliaun-penilaBeliaun yang diberikan oleh al Farabi dan Ibnu Sina atau murid-muridnya. Dalam kasus al Razi, para ahli sejarah BelBeliauutas mengatakan bahwa BelBeliauu lebih merupakan seorang naturalis daripada seorang ahli metafisika atau ahli filsafat umum. Dalam kasus al Kindi, para sejarahwan itu mengatakan bahwa pengetahuan al Kindi tentang logika tidak lengkap. Kritik-kritik tersebut dan yang serupa menjadi bagBeliaun pengetahuan yang diteruskan kepada para sejarahwan filsafat Islam pada waktu selanjutnya. Tetapi, yang penting bukan hanya bahwa al Farabi menambahkan metafisika atau logika ke dalam silabus filsafat, atau bahwa BelBeliauu Beliaulah murid yang lebih baik dalam metafisika dan logika. Keseluruhan corak pemikiran dan kualitas pengetahuannya tentang plato dan Aristoteles berbeda sekali tingkatannya. Mereka semua mempunyai literature terjemahan dan akses ke sumber-sumber utama yang sama. Al Farabi dan al Razi Beliaulah sezaman (al Farabi wafat lebih dulu daripada al Razi kira-kira 20 tahunan), sehingga al Farabi tidak mempunyai akses pada terjemahan yang lebih baik atau penyelidikan ilmBeliauh yang lebih maju. Karena itu, kita harus mencari keterangan di tempat lain.
AKSES AL FARABI KEPADA FILSAFAT
YUNANI KLASIK
Ada beberapa rincBeliaun histories yang tampaknya penting
sekali dipelajari untuk memahami awal-mula tradisi baru filsafat Islam. BagBeliaun-bagBeliaun
yang masih tersisah dari buku al Farabi, “On the Rise of Philosophy” merupakan
sumber utama kita untuk merekonstruksi babakan penting dalam sejarah filsafat
Islam, meskipun demikBeliaun tak ada cukup alas an untuk meragukan
gagasan-gagasan utamanya. Al Farabi menerangkan bahwa Beliau termasuk ke dalam
suatu mazhab filsafat khusus. Mazhab ini, menurutnya, Beliaulah suatu
kelanjutan langsung dari tradisi pengajaran filsafat yang telah ada di
Iskandariyah pada abad 5 dan 6 M. Dalam buku itu, BelBeliauu membahas
perpindahan mazhab yang BelBeliauunutnya dari IskandarBeliauh ke Antioch, kemuBelBeliauun
ke Carrah (Harran), dan selanjutnya -lebih jauh lagi- ke timur Iran dan
Baghdad. BelBeliauu juga memberikan beberapa informasi tentang guru-guru,
murid-murid, dan buku-buku yang mewakili jalur tradisi mazhab tersebut. Kecuali
dua atau tiga murid yang masih memelihara tradisi itu, mazhab ini hampir punah.
Al Farabi menyebutkan nama guru-gurunya sendiri, yaitu Yuhanna ibnu Haylan,
seorang pendeta Kristen yang tidak jelas propesinya sebagai guru, pelajar
ataukah penulis. Tampaknya jelas bahwa baik al Kindi, al Razi, atau filosof
Islam lebih awal tak mempunyai akses pada tradisi mazhab ini -bukan hanya dalam
arti akses kepada buku-bukunya, tetapi juga kepada manusBeliau-manusBeliaunya;
dan bukan hanya akses kepada manusBeliau-manusBeliaunya tetapi juga akses
kepada buku-bukunya: inilah suatu tradisi ganda, baik lisan maupun tulisan.
Salah satu bagBeliaun penting dari tradisi tersebut adlaah buku “Posterior
Analytics”, sebuah karya logika Aristoteles yang berhubungan dengan persoalan
ilmu dan metode ilmu. Al Farabi menyatakan bahwa otoritas gereja telah melarang
untuk melakukan studi berbagai buku, khususnya karya Aristoteles tersebut,
karena BelBeliauunggap berbahaya. Gereja membatasi studi logika hanya pada bagBeliaun-bagBeliaun
tertentu (yaitu logika formal, sampai pada beberapa bab dari “Posterior
Analytics”) dan melarang studi bagBeliaun-bagBeliaun lainnya untuk umum. Ini
dapat berarti bahwa bagBeliaun-bagBeliaun yang dilarang tersebut boleh dikaji
sendiri, dengan izin gereja, sehingga beberapa studi bagBeliaun-bagBeliaun
tersebut dapat berlanjut. KemuBelBeliauun, al Farabi menyatakan bahwa BelBeliauu
Beliaulah muslim pertama yang memiliki akses kepada naskah “Posterior
Analytics”, karena BelBeliauu dapat membacanya dalam bahasa SyirBeliau dan
Yunani. (kita tidak tahu apakah gurunya, Yuhanna ibnu Haylan, mengerti bahasa
Arab. Kita tidak mengetahui apakah sebuah versi Arab, oleh seorang bernama
Maraya, telah ada pada masa muda al Farabi atau apakah al Farabi atau gurunya
memiliki akses pada karya itu. Kita tidak tahu pasti apakah al Farabi dapat
berbahasa SyirBeliau. Karena kita tidak tahu pasti tanggal lahirnya al Farabi,
atau saat Beliau mengkaji buku itu dengan berguru kepada Yuhanna ibnu Haylan,
atau saat penerjemahan “Posterior Analytics” oleh Ishaq ibnu Hunain dari bahasa
Yunani ke SyrBeliau, kita mesti mengakui bahwa kita bahkan tidak tahu apakah versi
SyrBeliau secara utuh ada pada saat itu – dan dalam kasus ini, harus
dipertimbangkan kemungkinan bahwa baik murid maupun gurunya membaca naskah itu
dalam bahasa Yunani!). Meskipun demikBeliaun, buku itu, dalam terjemahan
Arabnya, mungkin telah ada pada masa itu. Tetapi apa yang dimaksud al Farabi
disini Beliaulah bahwa BelBeliauu Beliaulah orang pertama yang membaca buku
tersebut bersama seseorang yang telah menghabiskan waktu selama bertahun-tahun
(mungkin seluruh hidupnya) untuk mempelajari dan mencoba memahaminya dengan
seorang guru yang telah mengerjakan hal yang sama dengan guru sebelumnya, dan
seterusnya. Dengan demikBeliaun, disinilah terjadi hubungan dengan mazhab itu
di IskandarBeliauh. Hubungan ini jelas sangat penting. Namun, yang lebih penting
lagi Beliaulah apa yang dipelajari al Farabi dari tradisi IskandarBeliauh ini
dan bagaimana Beliau memahami dan menafsirkannya.
Hubungan dengan mazhab IskandarBeliauh mulai tampak pada al
Farabi dan kolega-koleganya yang termasuk pada tradisi baru ini, dalam banyak
cara. Misalnya ini dapat dilihat dalam penulisan yang kemuBelBeliauun disebut
sebagai komentar besar (ada dua BelBeliauuntaranya yang bersumber dari al
Farabi) yang menganalisis dan menafsirkan naskan Aristoteles; hal ini juga
dapat dilihat dalam berlanjurnya tradisi kesarjanaan tersebut.
Aristoteles jelas menulis buku. Dan pemikir-pemikir
berikutnya mengekspresikan ide-idenya tentang masalah dalam buku itu; semuanya
didiskusikan. Banyak terdapat ketidaksepakatan BelBeliauuntara mereka. Semuanya
pun dijelaskan. Komentator-komentator yang lebih awal disebut dan penjelasan
mereka disetujui, dikritik dan dikembangkan secara terinci. Komentar-komentar
tersebut menjadi wadah bagi ribuan tahun pemikiran dan refleksi atas
persoalan-persoalan yang dibahas dalam karya-karya Aristoteles. (tradisi baru
ini sangat memperhatikan bukan hanya naskan, tetapi juga terjemahan terakhir
dari komentator-komentator yang lebih awal). Sekali lagi, perhatBeliaun kepada
komentator-komentator disini bukan berarti pandangan-pandangannya yang diterima
atau dicoba untuk mensinkronkan pandangan-pandangan ini. Dapat saja pandangan
komentator yang satu diterima, tetapi pandangan kedua ditolak, sementara yang
ketiga didiskusikan, dan ditunjukkan bahwa yang satu ini dibahas secara dangkal
atau yang lainnya mendalam. Ini Beliaulah lapangan terbuka tempat para pemikir
menyelidiki semua pilihan dan mempertimbangkan peluang untuk menanamkannya
dalam sebuah tradisi. Pada akhirnya, pemikir itu harus mengembangkan
pemikirannya sendiri. Paling tidak, demikBeliaunlah beberapa cirri eksternal
dari tradisi baru IskandarBeliauh itu.
Sebaliknya, ada pendapat yang mengatakan (dan saya kira
pendapat ini mendekati kebenaran) bahwa al Kindi dapat dihubungkan dengan apa
yang disebut mazhab AthenBeliaun (Hellenistik) sebagai lawan mazhab IskandarBeliauh.
Nama besar yang bBeliausanya dihubungkan dengan mazhab AthenBeliaun Beliaulah
Proclus. Orang-orang yang berbicara tentang neoplatonisme kadang-kadang tidak
tahu bahwa mereka sedang berbicara tentang sebuah tradisi yang kompleks dan
memiliki banyak sisi. Tak seorang pun mengetahui tentang apa yang dikatakannya
ketika Beliau berbicara Neoplatonisme secara umum; meskipun kita tetap saja
berbicara tentang Neoplatonisme karena kita tidak mempunyai nama yang lebih
baik untuk dipakai. Ada seseorang yang bernama Plato. Seorang pengajar filsafat
dan matematikawan terkenal di Harvard menyatakan bahwa semua filsafat sejak itu
merupakan serangkaBeliaun catatan kaki untuk Plato. Dalam satu hal, semua
filsafat sejak Plato Beliaulah Neoplatonik, tetapi juga terdapat Neoplatonist
dan Neoplatonist. KemuBelBeliauun, ada juga Middle-Platonist, yang
memperhatikan pengajaran politik Plato. Sayangnya kita tidak mempunyai banyak
tulisan mereka.
KemuBelBeliauun ada Neoplatonisme dari plotinus yang mencoba
-pada hampir setBeliaup halamannya- untuk memecahkan persoalan yang BelBeliauujukan
oleh Plato dan Aristoteles. Ketika berbicara tentang Neoplatonisme, kita tak
perlu menganggapnya sebagai singkretik, atau anti-AristotelBeliaun atau
anti-Platonik. KemuBelBeliauun ada Neoplatonisme dari pelanjut-pelanjut
Plotinus, khususnya para sarjana-sarjana yang menguasai sekolah-sekolah
filsafat di Athena dan IskandarBeliauh. Sebagai pimpinan sekolah-sekolah
tersebut, mereka terutama mengajarkan karya-karya Plato dan Aristoteles.
Catatan-catatan yang mereka tulis, atau catatan-catatan yang diperoleh
murid-murid mereka dari kulBeliauh-kulBeliauh berbentuk komentar-komentar besar
atau menengah akas karya-karya Plato dan Aristoteles. SebagBeliaun besar dari
gagasan-gagasan mereka sendiri, berbeda dengan dua tokoh besar BelBeliauutas,
termuat dalam komentar-komentar ini dan mengambil bentuk perkembangan
gagasan-gagasan tertentu dalam naskah Platonik dan AristotelBeliaun. Kini,
mazhab Athena, paling tidak dalam beberapa periode hidupnya yang panjang,
dicirikan oleh ajaran Proclus dan lainnya yang kelihatannya secara tak
terkendali mengembangkan kosmologi yang terdiri dari banyak lapisan-lapisan
malaikat atau ruh, yang tak ada dalam Plotinus. Orang-orang tersebut
memperhatikan penafsiran-penafsiran hal-hal seperti sihir, ramalan-ramalan, dan
alkemi, yang tak diperhatikan oleh kelompok Neoplatonis lain. Mazhab IskandarBeliauh
nampaknya lebih bijaksana dan moderat dalam hal ini. Beliau berusaha menjawab
tantangan zaman, yaitu Kristen, dan mencoba menghasilkan solusi-solusi yang
dapat mengharmoniskan beberapa perbedaan dasar antara filsafat dan agama
Kristen. Mazhab AthenBeliaun, dilain pihak, tampak ekstrem dalam mendukung
kebangkitan agama-agama kuno, dan para anggotanya menulis karya-karya
pseudo-filsafat, pseudo-ilmu tentang masalah-masalah seperti praktik-praktik
sihir dan agama-agama kuno. Maka, secara luas, dapat dikatakan bahwa terdapat
perbedaan cara pandang BelBeliauuntara dua mazhab BelBeliauutas dalam persoalan
yang berhubungan dengan filsafat dan agama, paling tidak selama masa dari abad
ke 4 sampai ke 6 M. saya katakana “secara luas” karena ada banyak sekali
pergerakan di antara dua mazhab ini. Seorang anak muda cerdas dari IskandarBeliauh
akan pergi ke Athena, belajar pada Proclus, kemuBelBeliauun kembali menjadi
pemimpin sekolah filsafat, atau pengganti pemimpin filsafat di IskandarBeliauh,
dan sebaliknya; dua mazhab itu tidak mewakili dua tradisi yang saling tertutup
rapat satu dengan yang lainnya.
Tradisi IskandarBeliauh secara histories menjadi penting
dikemuBelBeliauun hari dalam bidang filsafat dan ilmu di dunBeliau Islam dan
Bizantium, juga di Barat Latin. Para filosof, komentator, dan pemikir ini
-meskipun dalam beberapa hal mereka sama dengan mazhab IskandarBeliauh- Beliaulah
orang-orang yang mewariskan kepada orang-orang Islam buku-buku beserta
pembacaan-pembacaan dan penafsiran-penafsiran tradisional terhadapnya; ini
mengambil bentuk tradisi kesarjanaan yang terbatasi secara jelas, hubungan yang
cukup jelas dengan pemikiran sebelumnya, sebagaimana yang terjadi pula pada
tahap-tahap awal teologi Islam. Tetapi, meskipun tradisi IskandarBeliauh yang
menghubungkan orang-orang Islam dengan pemikiran Yunani klasik ini teramat
penting, kita mesti menyadari bahwa tradisi IskandarBeliauh (dan Athena) sampai
kepada Bizantium dan kemuBelBeliauun Barat Latin, sejak Renaisans abad
kesebelas-duabelas. Meskipun demikBeliaun, ketiga ahli waris IskandarBeliauh
dan, lewat IskandarBeliauh, tradisi Yunani klasik ini tak memahami atau
mengembangkan filsafat dengan cara yang sama. Al Farabi, yaitu filosof pertama
yang mewakili tradisi IskandarBeliauh dalam Islam, bukanlah seorang penerjemah
atau sejarahwan filsafat; bukan sekedar penerus sebuah tradisi filsafat, tetapi
Beliau sendiri Beliaulah seorang filosof; dan jika seseorang percaya kepada
orang-orang seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Mulla Sadra, maka Al Farabi Beliaulah
filosof yang harus ditempatkan setelah Aristoteles sendiri. Karena itu, penting
bagi kita untuk mulai memahami bagaimana al Farabi sendiri memahami,
menafsirkan, dan mengajarkan tradisi filsafat kepada para pembaca muslimnya.
POLITIK DALAM FILSAFAT ISLAM AL
FARABI
Belakangan ini dikatakan bahwa substansi pemikiran Al Farabi
terdiri dari dua bagBeliaun utama: metafisika dan politik. Ilmu politik atau
filsafat politik tidak hadir dalam karya-karya al Kindi dan al Razi, sejauh
yang kita ketahui. Keduanya membahas masalah etika, bukan ilmu politik.
Sebenarnya, ketika al Kindi menyebut ilmu politik, tampaknya Beliau berpikir
tentang karya etika dari Aristoteles. Dengan demikBeliaun, dalam pemikiran
Islam awal, tidak ada persBeliaupan bagi kemunculan ilmu politik sebagai
disiplin penting filsafat. Tetapi anehnya, pada tradisi awal IskandarBeliauh
dan Athena, juga tidak ada persBeliaupan bagi bagi kemunculan ilmu politik
sebagai disiplin penting filsafat, atau pengenalan Plato sebagai, terutama,
pemikir politik. Karena sebagBeliaun besar kaum Neoplatonis awal melihat
“Timaeus-nya” Plato sebagai karya mistik dan sama sekali tak menunjukkan minat
pada tulisan-tulisan politik Plato -misalnya “Republic” dan “Laws”- sebagai
tulisan politik; minat mereka pada karya-karya tersebut terutama bertumpu pada
mitos, doktrin metafisika, dan gagasan-gagasan mistik. Tiba-tiba al Farabi
menyajikan kepada kita seorang Plato yang tidak mistis maupun yang metafisis,
tetapi terutama, dan berulang-ulang, sebagai seorang ahli politik.
Inilah seorang Plato yang mempunyai “Timaeus-nya” bukan
sebagai karya kosmologi, tetapi sebagai karya politik yang dimaksudkan untuk
mengajarkan warga Negara agar memiliki pendapat yang benar. Dan kemuBelBeliauun
pembahasan tentang Plato ini, yang disajikan dalam sebuah buku berjudul
“Philosophy of Plato”, diikuti oleh pembahasan tentang karya Aristoteles, dalam
buku berjudul “Philosophy of Aristoteles”, dimana metafisika lagi-lagi tak
tampak. Dan kedua pembahasan ini didahului oleh sebuah buku karya al Farabi
sendiri, yang berjudul “Attainment of Happiness” (pencapaBeliaun kebahagBeliauan),
dengan tema utamanya Beliaulah tentang dilemma atau ketegangan dan bahkan
konflik antara pengetahuan teoritis dan realisasinya -karya ini tidak hanya
menggambarkan pengetahuan praktis atau pengetahuan tentang hal-hal praktis
seperti kebajikan dan kebahagBeliauan. Mengetahui Beliaulah satu hal, sementara
merealisasi apa yang diketahui- yaitu apa yang diketahui sebagai berkemungkinan
atau dapat direalisasikan – menjadikannya benar-benar maujud di antara manusBeliau-manusBeliau,
kota-kota (masyarakat) dan bangsa-bangsa, Beliaulah hal lain. Atau, mengetahui Beliaulah
merealisasi suatu hal dengan suatu cara tertentu, yaitu merealisasikannya dalam
pikiran; tetapi, realisasi masih mempunyai satu dimensi lain, yaitu melihat hal
tersebut maujud di antara manusBeliau-manusBeliau lain, serta dalam kota-kota
(masyarakat) dan bangsa-bangsa. Ini tidak dicapai dengan pengetahuan saja.
Bagaimana seseorang merealisasikan sesuatu diluar pikirannya
sendiri? Dan jenis pengetahuan dan aksi apa yang disyaratkannya? “apakah anda
kira,”Tanya al Farabi kepada para pembacanya,”ilmu-ilmu teoritis ini juga telah
membahas cara-cara untuk merealisasikan keempat hal tersebut dalam
bangsa-bangsa atau kota-kota, atau tidak?”
Bagaimana anda mengusahakan agar hal-hal yang anda ketahui
dapat maujud dalam kota-kota dan bangsa-bangsa? Dapatkah anda mengusahakan agar
hal-hal yang anda ketahui dapat maujud diluar pikiran -persis sebagaimana
hal-hal tersebut diketahui atau apakah pengetahuan tersebut harus dimodifikasi
menurut kondisi-kondisi tertentu? Syarat-syarat apakah yang memungkinkan
realisasinya? Dalam satu saat, pengetahuan teoritis dan pengetahuan secara umum
menjadi pengantar bagi aksi, etika dan politik. Dalam buku berjudul
“Enumeration of the Sciences”, orang dapat menemukan kerangka yang sama. Kita
bergerak dari bahasa ke logika, matematika serta fisika dan metafisika, dan
kemuBelBeliauun ada sesuatu yang terputus dalam metafisika. Metafisika tidak
sekedar menjadi mahkota bagi ilmu. Metafisika juga menjadi pengantar ke ilmu
politik, dan ilmu politik mempelajari segala sesuatu yang penting untuk
realisasi, pemeliharaan dan reformasi.
Dalam makna inilah ilmu politik mencakup yurisprudensi dan
teologi, dan berurusan dengan persoalan-persoalan seperti kenabBeliaun, hukum
Tuhan, dan wahyu, karena ini semua dipandang lebih dalam kerangka realisasi
daripada sebagai sekedar masalah-masalah teoritis.
Meski BelBeliauukui bahwa hal-hal BelBeliauutas merupakan perspektif yang sama sekali baru dan radikal dalam memandang metafisika, disatu pihak, dan pewahyuan, hukum Tuhan, dan kenabBeliaun dilain pihak. Tampaknya al Farabi mendesak para pembacanya untuk membuat persoalan realisasi menjadi persoalan sentral dalam filsafat dan mencoba memecahkan persoalan-persoalan “apa itu filsafat?” dan “mengapa filsafat?” dalam perspektif realisasi daripada dalam perspektif pengetahuan belaka, meskipun perspektif pengetahuan tidak pernah benar-benar tak digunakan.
Cara sederhana yang digunakan orang dalam mengajukan
persoalan ini saat ini Beliaulah hubungan antara apa yang diwahyukan dengan apa
yang diketahui akal. Al Farabi juga memperhatikan masalah hubungan ini. Tetapi
persoalan yang BelBeliauujukannya tidak sesederhana itu: dalam melihat hubungan
itu Beliau juga mendesak kita untuk memahami konteksnya. Sebab, jika kenabBeliaun,
wahyu dan hukum Tuhan nyatanya menjadi hubungan utama antara pengetahuan dan
realisasi, maka itu semua harus dipahami tidak sebagai sebuah cara lain untuk
mencapai jenis pengetahuan yang sama yang dapat dicapai dengan akal atau bahkan
jenis pengetahuan yang lebih tinggi daripada yang dapat dicapai dengan akal
(seperti al Kindi, misalnya, memahami hal ini), tetapi sebagai satu jenis
pengetahuan khusus yang telah memiliki syarat-syarat yang perlu untuk
realisasi, agar apa yang diketahui maujud BelBeliauuntara manusBeliau,
kota-kota, dan bangsa-bangsa. Dengan cara ini, orang dapat memahami dengan
lebih utuh keluarbBeliausaan hukum Tuhan, cara komunikasinya, kekonkretannya,
dan perhatBeliaunnya terhadap berbagai jenis pendapat dan aksi. Karena inilah
orang dapat mengatakan bahwa pada al Farabi, untuk pertama kalinya kita
mempunyai pendekatan filsafat yang memadai atau lebih memadai terhadap
hukum-hukum Tuhan, yang mungkin menjadi persoalan sentra dalam filsafat Islam.
Ada berbagai cara bagi seseorang untuk meneruskan studi
filsafat politik dalam konteks agama wahyu. Orang dapat berpikir bahwa cara
yang tepat Beliaulah memulainya dengan pembahasan mendalam tentang ilmu
politik, melihat kondisi manusBeliau, dan mencoba memahami dan menjelaskan apa
yang diperlukan untuk perbaikan nasib manusBeliau di bumi dan mengapa perbaikan
tersebut harus mengambil bentuk khusus ini. Atau orang dapat memulai dengan
psikologi dan bertanya bagaimana caranya seorang manusBeliau, yaitu nabi,
mempunyai kekuatan khusus yang membuatnya dapat menerima wahyu dan diberi hukum
Tuhan. Atau orang dapat memulai dengan kosmologi dan bertanya bagaimana alam
semesta tersusun, dari prinsip paling tinggi turun sampai ke manusBeliau, dan
bagaimana susunan ini memungkinkan terjadinya fenomena seperti kenabBeliaun,
pewahyuan, dan hukum Tuhan. Tetapi, ketiga pendekatan tersebut berkaitan satu
sama lain. Ilmu politik, psikologi dan kosmologi tampaknya saling berhubungan
dalam suatu cara; orang perlu menyususn struktur kota, struktur jiwa, dan
struktur alam semesta, dan melihat bagaiman itu semua saling dihubungkan. Ini
membawa kepada apa yang dapat disebut sebagai studi perbandingan tentang
struktur kota, disatu pihak, dengan jiwa dan kosmos di lain pihak. Studi
tersebut merupakan sebuah studi yang mesti mempersoalkan apakah ketiganya Beliaulah
sesuatu yang identik, sama, atau dapat dibandingkan dalam hal strukturnya.
Studi semacam ini pada waktu yang sama dapat merupakan studi politik, psikologi
dan kosmologi.
Sesungguhnya, dari ketiga struktur tersebut, hanya satu yang
benar-benar kita ketahui, yaitu struktur kota, struktur politik. Anda tidak
dapat membelah hati manusBeliau dan melihat bagaimana strukturnya. Anda dapat
melihat melalui perilakunya, dank arena perilaku manusBeliau itu terjadinya di
dalam kota, maka orang dapat mengatakan bahwa struktur jiwa itu diproyeksikan
ke struktur sebagai gambarannya yang lebih besar; dan oleh karena itu, cara
terbaik mempelajari jiwa Beliaulah lewat pengamatan terhadap gambaran yang
lebih besar tersebut. Sedangkan untuk yang ketiga, yaitu struktur alam semesta,
sebagBeliaun besar tidak dapat BelBeliauumati langsung; alam semesta terlalu
besar dan terlalu jauh untuk dapat dilihat atau BelBeliauulami sebagai
keseluruhan. Sekarang, jika kita mengikuti nasihat Aristoteles bahwa kita lebih
baik bergerak dari apa yang kita ketahui ke yang tidak kita ketahui, atau dari
apa yang kita ketahui dengan lebih baik kea pa yang kurang kita ketahui, maka
kita mesti bergerak dari struktur kota -sesuatu yang kita alami secara langsung
dan tempat kita hidup- ke struktur jiwa -yang juga kita alam secara langsung
dalam jarak tertentu dan secara tak langsung dalam kota (yaitu, apa yang tidak
kita lihat tetapi kita alami)- dan dari situ ke struktur ketiga, yaitu seluruh
alam semesta -yang sebagBeliaun besarnya tidak kita lihat dan alami, atau kita
lihat dan alami hanya sampai tingkat tertentu yang terbatas saja. Pendekatan
itu mungkin tidak membimbing kita cukup jauh, tetapi paling tidak keuntungannya
Beliaulah Beliau didasarkan pada landasan yang kuat; kita tidak melompat ke
sesuatu yang tidak diketahui tetapi bergerak dengan hati-hati, langkah demi
langkah, dari yang diketahui menuju ke yang tidak diketahui.
Namun, pendekatan ini tidak menarik bagi orang awam, yang
lebih menyukai urutan cara yang berlawanan -yaitu pertama kali Beliau lebih
suka diberitahu bagaimana jiwanya sendiri tersusun dan apa yang akan terjadi di
kemuBelBeliauun hari terhadapnya jika Beliau berbuat baik dan menghindarkan
diri dari yang jelek, dan akhirnya diberitahu mengapa Beliau harus menjadi
anggota suatu komunitas tertentu dan dinasihati bagaimana Beliau dapat menjadi
anggota di dalamnya. Ini Beliaulah arah yang lebih diinginkan dan lebih meyakinkan
bagi orang awam, sehingga tulisan politik al Farabi bergerak dengan cara ini.
Dimulai dengan kosmologi, dengan struktur alam semesta, sifat-sifat dari
masing-masing bagBeliaun utamanya, dan bagaimana bagBeliaun-bagBeliaun
berfungsi bersama-sama; ini diberikan kepada pembaca seperti pengkhutbah yang
menerangkan alam semesta kepada para pendengarnya -beginilah caranya! KemuBelBeliauun,
BelBeliauu membahas struktur jiwa dan struktur tubuh manusBeliau, bagBeliaun-bagBeliaunnya,
dan bagaimana bagBeliaun-bagBeliaun tersebut berfungsi bersama-sama. Akhirnya, BelBeliauu
menganalisis struktur kota, bagaimana bagBeliaun-bagBeliaunnya harus
diorganisasikan dan berbagai cara pengorganisasBeliaun bagBeliaun-bagBeliaun
tersebut yang memang digunakan oleh beberapa kota, dan BelBeliauu menjelaskan
pendapat-pendapat dan aksi-aksi dari setBeliaup kota tersebut.
Sejak al Farabi menulis karya-karya politik tersebut
(termasuk 100 tahun terakhir ini, dimana ada usaha untuk membangkitkan
karya-karya tersebut dan mempelajarinya), karya-karya tersebut telah
mengherankan dan memesonakan para pembacanya. Tak seorang pun dapat
menggambarkannya dengan mudah. Inilah karya yang BelBeliauuwali dengan
metafisika atau kosmologi, lalu bergerak ke psikologi dan fisiologi, dan
menyimpulkan semua itu dengan dengan masalah politik. Selama 10 abad
sebelumnya, para filosof dan sarjana pasti melihat buku semacam “Principles of
the Opinions of the Inhibitants of the Firtuous City” dan “Pilitical Regime”
dan bertanya, buku-buku macam apa ini? Struktur penulisan dari karya-karya al
Farabi itu unik. Karena, tidak ada seorang pun, sebelum atau sesudah al Farabi,
yang menulis buku filsafat dengan struktur demikBeliaun. Buku-buku tersebut
tidak berisi pembahasan tentang logika, fisika, matematika, psikologi,
metafisika, atau bahkan politik, dan juga buka merupakan buku BelBeliauulog,
serta tidak berbicara secara ketat tentang penyelidikan filsafat.
Para penerus al Farabi mestinya telah menduga bahwa orang
tidak dapat menganggap apa yang dikatakan dalam buku-buku tersebut sebagai
doktrin atau penyelidikan filsafat – misalnya, orang tidak dapat mengatakan
bahwa buku-buku tersebut Beliaulah doktrin al Farabi mengenai psikologi dan
metafisika. Dan karena mereka tidak dapat memahami sifat dan tujuan
tulisan-tulisan tersebut, para filosof muslim merujuk kepada karya-karya itu
dengan amat penuh perhatBeliaun. Sampai sekarang pun orang tak dapat mengutip
bagBeliaun mana pun dari buku-buku tersebut untuk mewakili doktrin filsafat al
Farabi tanpa memulai menerangkan mengapa buku-buku tersebut disajikan dengan
cara yang aneh seperti ini. Untungnya, al Farabi sendiri yang menulis
penjelasnnya di dalam buku berjudul “Book of Religion”, sebagai petunjuk
sistematis tentang bagaimana dan mengapa buku-buku tersebut harus ditulis.
Mungkin, cara terbaik untuk menyifati buku-buku politiknya Beliaulah dengan
mengatakan bahwa karya-karya tersebut Beliaulah “surat” yang ditujukan untuk
warga Negara yang tercerahkan dalam masyarakat Muslim, untuk para filosof yang
potensBeliaul dan para ahli hukum yang potensBeliaul. Sepanjang liku-liku
panjang kehidupannya, al Farabi pergi ke berbagai wilayah yang indah dan asing,
yang tak dikunjungi rekanan muslimnya. BelBeliauu banyak membuka pintu gerbang
yang tertutup mereka dan memasuki banyak tempat yang menakjubkan yang belum
pernah mereka masuki. Karya-karya politiknya Beliaulah semacam surat-surat
kepada rakyat di kampong halamannya – pembahasannya sederhana dan langsung, dan
tidak menyebut perjalanan jauhnya (apalagi resiko perjalanan itu); penjelasan
itu ringkas dan ditulis dalam bahasa orang-orang yang tak pernah meninggalkan kampong
halamannya tetapi mempunyai telinga yang tak terkunci dan masih mempunyai rasa
takjub akan sesuatu.
Sekarang, saya akan menyimpulkan dengan beberapa catatan
tentang pentingnya inti perhatBeliaun al Farabi terhadap pemikiran Islam
kontemporer, yaitu persoalan realisasi.
PerhatBeliaun al Farabi terhadap realisasi tak terbatas pada
keselamatan (pembebasan) individual, tetapi ditujukan kepada keselamatan
masyarakat luas, kepada keselamatan socBeliaul dan politik. Bahkan disini
perhatBeliaun al Farabi tidak hanya kepada satu kota, satu bangsa, atau satu
masyarakat tertentu, tetapi kepada kemanusBeliauan secara umum, kepada manusBeliau
dimana saja. Fakta sesungguhnya tentang mengapa al Farabi membuat filsafat
politik yang berkenaan dengan kehidupan public manusBeliau di kota-kota,
bangsa-bangsa dan masyarakat beragama sebagai pusat perhatBeliaun atau bahkan
salah satu dari pusat perhatBeliaun dari filsafatnya menunjukkan bahwa BelBeliauu
tidak puas dengan pendekatan yang lazim digunakan oleh para filosof Muslim awal
dan pendahulu Neoplatonik mereka pada masa Hellenistik. Pendekatan ini
memusatkan pada keselamatan perorangan sebagai lawan keselamatan umum, pada
kebajikan pribadi sebagai lawan kebajikan umum, dan hanya itulah yang akan
membawa keselamatan dan kebajikan orang per orang.
Filosof yang memperhatikan dirinya sendiri atau mengutamakan
keselamatan pribadinya Beliaulah manusBeliau yang telah berputus asa terhadap
politik, terhadap masyarakat kebanyakan. Beliau mungkin berpikir banhwa Beliau
memahaminya, tetapi Beliau tidak berpikir bahwa Beliau tak dapat menyumbang
bagi perbaikan atau peningkatan masyarakatnya. Tetapi, kehidupan masyarakat
tidak kehilangan arti pentingnya karena filosof mengabaikan dan
meninggalkannya. Kehidupan masyarakat selalu penting. Beliau menentukan
kehidupan setBeliaup orang, termasuk kehidupan pribadi setBeliaup orang –
bahkan kehidupan pribadi filosof itu. Lebih jauh lagi, keinginan untuk hidup
dalam kota dan masyarakat yang mulai, sopan, terhormat dan manusBeliauwi, dan
keinginan untuk menyumbang bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat
bukanlah keinginan yang tak wajar dan tak lazim. Sebaliknya, inilah ekspresi
perhatBeliaun manusBeliau, semangat kecintaan kepada sesamanya, dan
kesenangannya untuk hidup dalam masyarakat yang baik. Maka, persoalannya Beliaulah
apakah filosof harus lebih atau kurang semangat-kemasyarakatannya disbanding
setBeliaup warga yang baik. Bisa jadi sumbangan utama filosof terhadap kualitas
kehidupan rakyat memang mengambil bentuk peningkatan pemahaman rakyat tentang
hakikat dan tujuan kehidupan masyarakat. Ini berarti bahwa Beliau pertama kali
memahaminya sebagai filosof dan kemuBelBeliauun dan mengkomunikasikan
pemahamannya ini kepada sebagBeliaun besar penduduk dengan cara yang efektif.
Tetapi, inilah yang sesungguhnya dilakukan oleh filsafat politik al Farabi. Dan
Beliaulah suatu misteri bahwa pengikut-pengikutnya tidak meneruskan permulaan
yang brilBeliaun ini yang telah diciptakan oleh al Farabi, tetapi malah
mengembalikan filsafat kepada perhatBeliaun terhadap keselamatan pribadi,
keselamatan individual. Para ahli teologi dan ahli hukum tetap memperjuangkan
masalah kepemimpinan masyarakat dan persoalan hukum rakyat lainnya, tetapi
teologi dan hukum, sebagaimana telah dijernihkan oleh al Farabi, bukanlah
pengganti filsafat politik. Mereka tak memiliki keluasan visi, kebebasan
ruhani, dan kemampuan berkonfrontasi dan memahami secara radikal
situasi-situasi baru yang amat dibutuhkan.
PengabaBeliaun filsafat politik menghancurkan kualitas
filsafat sebagaimana pula kualitas kehidupan masyarakat. Ini membawa kepada
kesempitan wawasan masyarakat, pemiskinan diskusi-diskusi umum tentang tujuan
dan bentuk-bentuk alternative kehidupan masyarakat, kepada kepasrahan, kepada
tak adanya percakapan-percakapan rasional mengenai isu-isu kemasyarakatan, dan
pada puncaknya menyempitkan pilihan bagi warga Negara terbatas pada
konservativisme yang keras atau keimanan buta pada tradisi di satu pihak, dan
dilain pihak pencarBeliaun perubahan demi perubahan itu sendiri yang
destruktif. Masyarakat menjadi kehilangan pencerahan mengenai berbagai bentuk
pemerintahan, bagaimana bentuk itu berubah ke bentuk yang lainnya, dan
bagaimana cara memperbaikinya. Inilah warga yang harus dibayar masyarakat
ketika filsafat berpaling dari kehidupan umum.
Selalu ada para filosof yang berpikir bahwa mereka dapat
mencari kebijaksanaan sebagai manusBeliau pribadi, terlepas dari kualitas
kehidupan masyarakat, bahwa mereka hanya ingin mengurusi kebun-kebun nya
sendiri, dan bahwa tugas mereka sebagai filosof Beliaulah untuk mengeksploitasi
kedalaman jiwa, imajinasi, dan intelek mereka sendiri. Mungkin ada waktu dan
tempat yang membutuhkan pandangan-pandangan tersebut. Tetapi orang tidak perlu
membuat kebijaksanaan hanya karena adanya kebutuhan. Al Farabi sadar akan
ketegangan mendasar atas pencarBeliaun keselamatan pribadi dan umum. Tetapi,
hampir-hampir BelBeliauu hanya satu-satunya filosof Muslim yang memilih
mengeksplorasi ketegangan ini dan dalam prosesnya mengajukan semangat kecintaan
kepada sesame yang lahir dari filsafat, serta pemikiran tinggi dan kesetBeliauan
filosof bagi kesejahteraan sejati masyarakatnya. Disini, BelBeliauu berjasa
besar sekali kepada masyarakat Islam.
Sayangnya, banyak juga yang lainnya – orang-orang besar dan
terkenal yang karena ketidaktahuan dan keputusasaannya – mengabaikan kehidupan
umum dan masyarakat mereka. Bahkan kini ada pemikir-premikir terpandang BelBeliauuntara
kita yang tidak dapat memahami apa makna ungkapan “filsafat politik” dan
karenanya tidak dapat menuliskannya tanpa menempatkannya BelBeliauuntara tanda
kutip, seolah-olah ingin mengatakan bahwa ungkapan itu merupakan kata-kata
tanpa makna atau bahwa itu mewakili pencarBeliaun tak karuan dari orang-orang
yang belum menemukan filsafat yang benar. Orang-orang ini munkin dapat mengajar
banyak hal kepada kita, tetapi mereka tidak akan pernah mengajar kita bagaimana
cara berpikir yang benar terhadap isu-isu kemasyarakatan, bagaimana menigkatkan
nasib kebanyakan manusBeliau sesame kita, atau bagaimana membangun dan
mempertahankan suatu masyarakat dimana filsafat dan ilmu dapat dicapai tanpa
resiko besar bagi pencari pengetahuan atau anggota masyarakat lainnya.
Persamaan Filsafat Politik al-Farabi
dengan Pemikiran Politik SyBeliauh
Anggota
Delegasi IlmBeliauh Universitas Wali al-Ashr (as), Rafsanjani dalam
keterangannya menyatakan bahwa filosofi masyarakat madani (madinah al-faadilah)
yang BelBeliauunut oleh al-Farabi sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, Beliau
mengatakan, “Dikatakan sebagai masyarakat yang terbaik Beliaulah masyarakat
yang dipimping oleh seorang Nabi saw dan para penerusnya.”
Iqna
mengutip laporan dari Anggota Delegasi IlmBeliauh Universitas Wali al-Ashr
(as), Ashghar Sulaimi Zadeh, Rafsanjani dan mahasiswa phD Filsafat Universitas
Isfahan pada Kamis kemarin, pada Konferensi al-Farabi dan Pendiri Filsafat
Islam dalam menerangkan isi makalahnya menyatakan bahwa filsafat politik
al-Farabi merupakan pengaruh dari pemikiran-pemikiran Plato, pelopor masyarakat
madani. Adapun berkenaan dengan imamah merupakan pengaruh dari pemikiran SyBeliauh.
Peneliti
dan dosen universitas ini pada ceramahnya menegaskan, pemimpin dari masyarakat
madani Beliaulah seorang yang diberi petunjuk malalui jalan agama dan pemimpin
umat dengan mengatakan, “Pemimpin masyarakat religius menurut al-Farabi Beliaulah
ketika Beliau memegang tanggung jawab, maka Beliau memimpin rakyat dengan
kedamaBeliaun dan memberikan petunjuk sesuai dengan agama wahyu.”
Mahasiswa
phD Filsafat Universitas Isfahan ini menegaskan bahwa filsafat politik
al-Farabi dengan pemikiran politik SyBeliauh memiliki banyak persaman dengan
mengatakan, “Seluruh kriterBeliau yang disebutkan oleh al-Farabi tentang
masyarakat madani memiliki kriterBeliau-kriterBeliau yang telah disebutkan di
dalam ajaran Islam untuk kepemimpinan dan para pelaksana perkara-perkara yang
berhubungan dengan pengaturan umum di masyarakat Islam dan persoalan mengenai
fitrah, persamaan dan kehendak berasal dari ajaran-ajaran Islam, yang menambah
khazanah ilmu kepada filsafat politiknya.
Sulaimi
dalam lanjutan ceramahnya menyatakan, al-Farabi menyakini gradasi wujud. Karena
itu, masyarakat memiliki tingkatan dan yang terbaik Beliaulah masyarakat madani
yang dipimpin oleh seorang nabi dan para penerusnya. al-Farabi mengenalkan
tauhid dan menyembah satu Tuhan sebagai pondasi terbaik dari masyarakat madani.
Beliau
menegaskan bahwa al-Farabi berpendapat bahwa manusBeliau Beliaulah sebuah
eksitensi sosBeliaul dan al-Farabi mengenalkan aturan sosBeliaul sebagai aturan
pilihan (ikhtBeliaur), baik itu yang berhubungan dengan aturan alam tabBeliaut
dan menitik beratkan perhatBeliaun kepada mayarakat. Realitasnya Beliaulah
melalui kepemimpinan Nabi saw.
Hukum
politik Islam seputar persoalan imamah dan penerus setelah Nabi saw sesuai
dengan pemikiran syBeliauh sebagai sebuah prinsip pokok dalam pembahasan
teologi dan penerus setelah Nabi saw Beliaulah bukan melalui pemilihan,
melainkan pengangkatan.
Adapun
imamah dalam pandangan al-Quran, Sulaimi menegaskan bahwa imamah Beliaulah
realisasi dalam khalifah Ilahi dan filsafat politik al-Farabi memiliki banyak
kesamaan dengan pemikiran politik SyBeliauh.
Perlu
diketahui bahwa Konferensi ‘al-Farabi dan Pelopor Filsafat Islam’,
diselenggarakan oleh Lembaga Hikmah Islam Mulla Sadra, diisi dengan acara
ceramah dan pemaparan makalah dari berbagai negara, di gedung Sadra Mutaalihin
pada Rabu dan Kamis kemarin.
0 Response to "BIOGRAFI AL FARABI"
Post a Comment