A. Pengertian
Akhlak
Kata “Akhlak” berasal dari bahasa arab, jamak dari khuluqun خُلُقٌ yang
menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kata
tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun خَلْقٌ yang berarti kejadian, yang juga erat
hubungannya dengan khaliqخَالِقٌ yang berarti pencipta; demikian pula dengan akhluqun مَخْلُوْقٌ yang
berarti yang diciptakan.
Secara epistemologi atau istilah akhlak bisa diartikan
berbagai perspektif sesuai dengan para ahli tasawuf diantaranya :
Ibnu Maskawaih memberikan pengertian sebagai berikut:
حَالً لِلنَّفْسِ دَاعِيَةٌ لهَاَ اِلَى اَفْعَالِهَا مِنْ
غَيْرِ فِكْرٍ وَرُوِيَّةٍ
Artinya:
“Keadaan jiwa seseorang yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan
pikiran (lebih dahulu)”.
Imam Al-Ghozali mengemukakan pengertian Akhlak sebagai
berikut:
اَلْخُلُقُ عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ رَاسِخَةٍ
عَنْهَا تَصْدُرُ اْلَافْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍمِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلَى
فِكْرٍ وَرُوِيَّةٍ
Artinya:
Akhlak ialah suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah,
dengan tidak memertrlukan pertimbangan pikiran(lebih dahulu)”.
Prof. Dr. Ahmad Amin memberikan pengertian, bahwa yang
disebut akhlak “Adatul-Iradah” atau kehendak yang dibiasakan. Pengertian ini
terdapat dalam suatu tulisannya yang berbunyi:
عَرَفَ بَعْضُهُمْ اْلخُلُقَ بِأَنَّهُ عَادَةُ اْلِارَادَةِ
يَعْنِى أَنَّ اْلِإرَادَةَ اِذَا اعْتَادَتْ شَيْأً فَعَادَتُهَا هِيَ
الْمُسَمَّاةُ بِالْخُلُقِ
Artinya:
“Sementara orang membuat pengertian
akhlak, bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa
kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinakamakan akhlak.”
Makna kata kehendak dan kata
kebiasaan dalam penyataan tersebut dapat diartikan bahwa kehendak ialah
ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah bimbang, sedang kebiasaan
ialah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya. Masing-masing
dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari kekuatan
dari kekuatan yang besar inilah dinamakan Akhlak.
Sekalipun ketiga pengertian akhlak
diatas berbeda kata-katanya, namun sebenarnya tidak berjauhan maksudnya, Bahkan
berdekatan artinya satu dengan yang lain. Sehingga Prof. Kh. Farid Ma’ruf
membuat kesimpulan tentang pengertian akhlak ini sebagai berikut:
“Kehendak jiwa manusia yang
menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan
pertimbangan pikiran terlebih dahulu”.
B. Sumber dan Ciri-Ciri Akhlak
Islami
Persoalan “Akhlak” di dalam islam banyak dibicarakan dan dimuat pada Al-Qur’n
dan Al-Hadits. Sumber tersebut merupakan batasan-batasan dalam tindakan
sehari-hari bagi manusia. Ada yang menjelaskan arti baik dan buruk. Memberi
informasi kepada umat, apa yang semestinya harus diperbuat dan bagaimana harus
bertindak. Sehingga dengan mudah dapat diketahui, apakah perbuatan itu terpuji
atau tercela, benar atau salah.
Kita telah mengetahui bahwa akhlak
islam ialah merupakan system moral/akhlak yang berdasarkan islam, yakni
bertitik tolak dari akidah yang diwahyukan Allah pada nabi/Rasul-Nya yang
kemudian agar disampaikan kepada umatnya.
Memang sbagaimana disebutkan
terdahulu bahwa secara umum akhlak/moral terbagi atas moral yang berdasarkan
kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan akhirat dan kedua moral yang sama sekali
tidak berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan, moral ini timbul dari sumber-sumber
sekuler.
Akhlak islam, karena merupakan
system akhlak yang berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan, maka tentunya sesuai
pula dengan dasar daripada agama itu sendiri. Dengan demikian, dasar/sumber
pokok daripada akhlak islam ialah Al-Qur’an dan Al-Hadits yang merupakan sumber
utama dari agama islam itu sendiri.
Dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi:
عَنْ اَنَسِ بْنِ ماَلِكٍ قَالَ النَّبُّى صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا ماَ
تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ وَرَسُوْلِهِ
Artinya:
“ Dari Anas Bin Malik berkata:
Bersabda Nabi Saw: Telah kutinggalkan atas kamu sekalian dua perkara, yang
apabila kamu berpegang kepada keduanya, maka tidak akan tersesat, yaitu Kitab
Allah dan Sunah Rasul-Nya”.
Memang tidak diragukan lagi bahwa segala perbuatan/tidakan manusia apapun
bentuknya pada hakikatnya ialah bermaksud untuk mencapai kebahagiaan (saadah),
dan hal ini ialah sebagai “natijah” dari masalah akhlak. Sedangkan saadah
menurut system moral/akhlak yang agamis(islam), dapat dicapai dengan jalan
menuruti perintah Allah yakni dengan menjahui segala larangan Allah dan
mengerjakan segala perintah-Nya, sebagaimana yang tertera dalam pedoman dasar
hidup bagi setiap muslim yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Sehubungan dengan Akhlak Islam, Drs. Sahilun A, Nasir
menyebutkan bahwa Akhlak Islam berkisar pada:
- Tujuan hidup setiap muslim, ialah menghambakan dirinya kepada Allah, untuk mencapai keridhaan-Nya, hidup sejahtera lahir dan batin, dalam kehidupan masa kini maupun yang akan datang.
- Dengan keyakinannya terhadap kebenaran wahyu Allah dan sunah Rasul-Nya, membawa konsekuensi logis, sebagai standard dan pedoman utama bagi setiap moral muslim. Ia member sangsi terhadap moral dalam kecintaan dan kekuatannya kepada Allah, tanpa perasaan adanya tekanan-tekanan dari luar.
- Keyakinannya akan hari kemuadian/pembalasan, mendorong manusia berbuat baik dan berusaha menjadi manusia sebaik mungkin, dengan segala pengabdiannya kepada Allah.
- Islam tidak moral yang baru, yang bertentangan dengan ajaran dan jiwa islam, berasaskan darI Al-Qur’an dan Al-Hadits, diinterprestasikan oleh ulama mujtahid.
- Ajaran Akhlak Islam meliputi segala segi kehidupan manusia berdasrkan asas kebaikan dan bebas dari segala kejahatan. Islam tidak hanya mengajarkan namun menegakkannya, dengan janji dan sangsi Illahi yang Maha Adil. Tuntutan moral sesuai dengan bisikan hati nurani , yang menurut kodratnya cenderung kepada kebaikan dan membenci keburukan.
Dengan demikian dapat ditegasakan disini bahwa dasar dari akhlak islam secara
global hanya ada dua yakni: Percaya adanya Tuhan dan percaya adanya hari
kemudian/ pembalasan, sebagai disebutkan oleh Abul A’la Maududi bahwa system
moral/akhlak ada yang berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan
setelah mati.
Dalam
islam, budi pekerti merupakan refleksi iman dari seseorang sebagai contoh(suri
tauladan) yang pas dan benar ialah Rasullah Saw. Beliau memiliki akhlak yang
sangat muia, agung dan teguh. Sehingga tidak mustahil jika Allah memilih beliau
sebagai pemimpin umat manusia.
“Akhlak” di dalam ajaran islam sangat
rinci, berwawasan multi dimensial bagi kehidupan, sistematis dan beralasan
realitas. Juga “Akhlak” banyak dibicarakan tentang konsekuensi yang bagi
manusia yang tidak berpegang pada “ akhlak islam”.
“Akhlak islam” bersifat mengarahkan,
membimbing, mendorong, membangun peradaban manusia dan mengobati bagi penyakit
social dari jiwa dan mental. Tujuan berakhlak yang baik untuk mendapatkan
kebahagiann di dunia dan akhirat. Dua simbolis tujuan inilah yang diidamkan
manusia bukan semata berakhlak secara islami hanya bertujuan untuk kebahagiaan
dunia saja.
Dalam ajaran Islam memelihara
terhadap sifat terpuji. Dan ada cirri-ciri akhlak islamiyah yaitu:
- Kebajikan yang mutlak Islam menjamin kebajikan mutlak. Karena Islam telah menciptakan akhlak yang luhur. Ia menjamin kebaikan yang murni baik untuk perorangan atau masyarakat pada setiap keadaan, dan waktu bagaimanapun. Sebaliknya akhlak yang diciptakan manusia, tidak dapat menjamin kebaikan dan hanya mementingkan diri sendiri.
- Kebaikan yang menyeluruhAkhlak islami menjamin kebaikan untuk seluruh manusia. Baik segala jaman, semua tempat, mudah tidak mengandung kesulitan dan tidak mengandung perintah berat yang tidak dikerjakan oleh umat manusia di luar kmampuannya. Islam menciptakan akhlak yang mulia, sehingga dapat dirasakan sesuai dengan jiwa manusia dan dapat diterima akal yang sehat.
- Kemantapan Akhlak Islamiayah menjamin kebaikan yang mutlak dan sesuai pada diri manusia. Ia bersifat tetap, langgeng dan mantap, sebab yang menciptakan Tuhan yang bijaksana, yang selalu memliharanya dengan kebaikan yang mutlak. Akan namun akhlak/etika ciptaan manusia bersifat berubah-rubah dan tidak selalu sama sesuai dengan kepentingan masyarakat dalam satu jaman atau satu bangsa. Sebagai contoh aliran materialism, hati nurani dana lain sebagainya.
- Kewajiban yang dipatuhiAkhlak yang bersumber dari agama Islam wajib ditaati manusia sebab ia mempunyai daya kekuatan yang tinggi menguasai lahir batin dan dalam keadaan suka dan duka, juga tunduk pada kekuasaan rohani yang dapat mendorong untuk tetap berpegang kepadanya. Juga sebagai perangsang untuk berbuat kebaikan yang diiringi dengan pahala dan mencegah perbuatan jahat, karena takut skan siksaan Allah SWT.
- Pengawasan yang menyeluruhAgama islam ialah pengawas hati nurani dan akal yang sehat, islam menghargai hati nurani bukan dijadikan tolak ukur dalam menetapkan beberapa usaha. Firman Allah dalam surat Al-Qiyamah: 1-2 ; yang artinya: “Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”.
C. Akhlak islami dalam kaitannya
dengan status pribadi
Dibagian ini akan dijelaskan “Akhlak islami” yang mengatur dan membatasi
kedudukan (satus) pribadi sebagai:
- Hamba Allah
- Anak
- Ayah/ibu
- Anggota masyarakat
- Jama’ah
- Da’i/Muballigh
- Pemimpin
Dengan demikian “akhlak islami” mengarah kepada status pribadi yang berada pada
kelompok social yang beraneka ragam. Fungsi, peran dan bagaimana semestinya
berperilaku pada posisi(kedudukan) dalam kelompok sosial tersebut, dengan
adanya “akhlak Islami” dapat dihindari (pola hubungan manusia dengan manusia,
dan hubungan manusia dengan kholiqnya) keliruan bertindak.
1. Pribadi sebagai Hamba
Allah
Kenyataan di jagad raya (dunia)
membuktikan bahwa ada kekuatan yang tidak Nampak. Dia mengatur dan memelihara
alam semesta ini.Juga Dialah yang menjadi sebab adanya semua ini. Dalam
pengaturan alam semesta ini terlihat ketertiban, dan ada suatu peraturan yang
berganti-ganti dan gejala dating dengan keteraturan-Nya.
Semua kenikmatan tersebut, bukan
berarti “ Sang Pencipta mempunyai maksud kepada manusia supaya membalas dengan
sesuatu, itu tidak, namun Allah SWT. memerintahkan manusia agar senantiasa
beribadah kepada-Nya.
Hubungan manusia dengan Allah ialah
hubungan makhluk dengan kholiknya. Dalam masalah ketergantungan , hidup manusia
selalu mempunyai ketergantungan kepada yang lain. Dan tumpuan serta pokok
ketergantungan ialah ketergantungan kepada yang Maha Kuasa, Yang Maha Perkasa,
Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Sempurna, ialah Allah Rabul ‘alamin, Allah Tuhan
Maha Esa.
Ketergantungan manusia kepada Allah ini, difirmankan Allah
dalam surah al ikhlas ayat 2
Artinya:
“Allah ialah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu”.(QS.Al-Ikhlas:2)
Jika di dalam sesuatu hal dalam hidup sehari-hari untuk mencapai suatu tujuan
tergantung kepada “Sesuatu”, maka kita harus memperhatikan ketentuan dari
“Sesuatu” itu agar tujuan kita tercapai. Memenuhi ketentuan “Sesuatu” itu ialah
sesuatu keharusan bagi kita.
Kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, tergantung kepada izin dan ridha
Allah. Dan untuk itu Allah memberikan ketentuan-ketentuan agar manusia dapat
mencapainya. Maka untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat itu dengan
sendirinya kita harus mengikuti ketentuan-ketentuan dari Allah SWT.
Dari segi kemanusiaan, sebagai manusia yang normal yang
mempunyai sifat kemanusiaan, harus tahu berterima kasih kepada segala pihak
yang telah memberikan jasa. Kita akan disebut orang yang “ tak tahu diri”, jika
kita ditolong oleh seseorang, kemudian orang itu tidak kita terima kasih
apalagi malah orang itu kita marahi.
Jika kita ditolong oleh orang lain dalam hidup kita ini,
maka sewajarnyalah jika kita berterima kasih kepada orang yang telah member
pertolongan itu.
Maka akan timbul di dalam hati bagaimana dapat membalas jasa atau membalas budi
kepada orang yang telah member pertolongan itu. Maka akan timbul di dalam hati
bagaimana dapat membalas jasa atau membalas budi kepada oaring yang telah
member tolong itu tadi. Jika tidak dapat dapat memberikan balasan budi yang
sepadan, sekurang-kurangnya akan mengatakan terima kasih dengan perbuatan yang
hormat, menunjukkan betapa berterima kasihnya dan keinginan membalas budi
walaupun tidak terbalas oleh dirinya, dia mengharapkan mudah-mudahan dibalas
kebaikannya itu dengan pahala yang berlipat ganda oleh Allah.
Jika kita diberi sesuatu sebagai hadiah oleh seseorang, yang hadiah itu sangat
bermanfaat bagi kita,tentu kita akan senang dan berterima kasih kepada orang
yang member it. Malah timbul kehendak ingin membalas kebaikannya orang itu
dengan sesuatu yang berharga baginya.
Sifat berterima kasih kepada orang yang telah berjasa kepada dirinya ialah
sifat kemanusiaan, yang sesuai dengan bisikan hati nurani setiap orang.Dari
tindakan moral inilah kemudian timbul adat-istiadat, sopan-santun dan tata
susila.
Karena itulah kiranya sangat wajar dan seharusnya, apabila
setiap anak harus hormat dan berbudi baik kepada orang tuanya, seseorang harus
berbudi baik kepada temannya. Seorang atasan harus berterima kasih dan berbudi
kepada bawahannya, karena bawahannya telah memberikan bantuan kelancaran
programnya. Bawahan harus berterima kasih dan berbudi baik kepada atasannya karena
bimbingan dan kebijaksanaannya. Apa yang telah kita terima dari Allah SWT.
Sungguh tak dapat dihitung dan tak dapat dinilai dengan materi banyaknya. Dan jika
kita mau menghitungnya, karena terlalu amat sangat banyaknya. Firman Allah
dalam surah An-nahl ayat 18:
Artinya:
“Dan jaika kamu
menghitung-hitung nikamat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi maha Penyayang”. (QS.An-Nahl:18)
Secara moral manusiawi, manusia mempunyai kewajiban kepada Allah sebagai
kholiknya, yang telah member kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
Pada garis besarnya kewajiban manusia kepada Allah menurut
hadits Nabi, yang diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal bahwa Nabi Saw.
Bersabda kepada Mu’
كُنْتُ
رِدْفَ النَّبِى صَلَى اللهُ عليهِ وسلَّمَ عَلَى حِمَارِ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ
فَقَالَ : ياَ مُعَاذُ، هَلْ تَدْرِىْ حَقَّ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقَّ
اْلعِبَادِ عَلَى اللهِ ؟ قُلْتُ : اللهُ ورَسُوْلُهُ اَعْلَمُ قَالَ : فَإِنَّ
اللهِ عَلَى الْعِبَادِ اَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَايُشْركُوا بِهِ شَيْأً وَحَقُّ
العِبَادِ عَلَى اللهِ اَنْ لَايُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكَ بِهِ شَيْأً , قُلْتُ
: يَا رَسُولَ اللهِ ! اَفَلَا اُبَشِّرُ بِهِ النَّاسِ؟ قَالَ : لَا
تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا
Artinya:
“Ialah aku
duduk di belakang Nabi di atas sebuah keledai yang dinamai Ufair, maka bersabda
Nabi: Hai Mu’adz apakah engkau mengetahui hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak
engkau mengetahui hak hamba terhadap Allah? Menjawab aku, Allah dan Rasul-Nya
yang lebih mengetahui. Bersabda Nabi: maka bahwasanya hak Allah atas para
hamba, ialah : Mereka menyembah-Nya dan tidak memperserikatkan Dia dengan
sesuatu dan hak para hamba terhadap Allah, Tiada Allah mengadzabkan orang yang
tidak memperserikatkan Dia dengan sesuatu. Mka berkata aku, ya Rasullah, apa
tidak lebih baik saya menggembirakan para manusia dengan dia? Bersabda Nabi,
jangan kamu menggembirakan mereka yang menyebabkan mereka akan berpegang kepada
untung saja”. (Al-Lu’la uwal Marjan I:8)
Jadi berdasarkan hadits ini kewajiban manusia kepada Allah pada garis besarnya
ada 2( dua):
- Mentauhidkan-Nya yakni tidak memusyrikkan-Nya kepada sesuatupun.
- Beribadah kepada-Nya.
Orang yang demikian ini mempunyai hak untuk tidak disiksa oleh Allah, bahkan
akan diberi pahala dengan pahala yang berlipat ganda, dengan sepuluh kali lipat
sampai tujuh ratus kali lipat bahkan dengan lipat ganda yang tak terduga
banyaknya oleh manusia.
2. Pribadi sebagai Anak
Ketika nabi Ibrahim masih kecil, berdialog kepada ayahnya tentang Tuhan. Dan
kesimpulannya bahwa Tuhan telah memberi petunjuk kepada manusia bahwa
memperTuhan benda ialah sangat keliru.
Dengan demikian, dunia anak sangat penting diperhatikan. Apabila keliru dalam
mendidik akhlak anak, bias jadi dunia anak akan tidak mengenal akhlak yang
lebih lanjut anak akan melakukan perbuatan yang abnormal kriminalitas dan lain
sebagainya. Contoh dalam pendidikan akhlak, apabila anaka-anak sekolah berdusta
di dalam segala apa yang mereka bicarakan, didukung para gurunya berdusta juga
di dalam mengajar dan segala pembicaraannya, maka masyarakat (anak-anak) tidak
dapat berujud. Dan apabila dunia anak terancam demikian, masyarakat yang akan
dating tidak dapat berwujud karena adanya tiap-tiap yang dibicarakan menjurus
dusta. Dan yang membekas dan berwujud pada masyarakat yang merusak dan rendah
martabatnya.
Maka model mendidik akhlak anak, tidak langsung berkata itu baik, atau itu
buruk, apabila seorang anak baru saja belajar membaca, menurut kita itu
jelek/buruk namun kita tidak seharusnya berkata demikian. Sebab dapat menyakiti
hati dan patah semangat. Namun kita beri semangat dan dorongan yang dapat
memacu dan bergiatnya si anak.
Selain daripada itu, kisah luqman yang diberi hikmah oleh Allah. Hal ini
dijelaskan di dalam surat Luqman: 12:
Artinya:
“Dan
sesungguhnya telah kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu bersyukurlah kepada
Allah. Dan barang siapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya ia
bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya Lagi Maha Terpuji”.(QS.Luqman: 12)
Kelanjutan kisah Luqman yang termuat dalam ayat di atas, bahwa beliau
menasehati dan member pesan kepada generasi selanjutnya (anak-anak) untuk
mewarisi nilai-nilai akhlak sebagai berikut:
- Dilarang berbuat syirik (Menyekutukan) Allah (Luqman: 13)
- Kewajiban berbakti kepada kedua oaring tua (Luqman: 14)
- Keharusan tetap berbakti kedua orang tua di dunia(Luqman: 15)
- Perintah menegakkan sholat, amar ma’ruf, nahi munkar dan sabar (Luqman:17)
- Tidak bersikap sombong, angkuh dan membanggakan diri sendiri (Luqman:18)
- Perintah bersikap sopan, santun dalam berjalan atau berbicara (Luqman: 19)
3. Akhlak Pada Ayah dan Ibu
Betapa berat tangguangan seorang ibu dikala mengandung dan demikian pula jika
sudah dating waktunya melahirkan. Dengan mengerahkan seluruh perhatian, jiwa
raga dan tenaga si ibu melahirkan jabang bayinya dengan harap-harap cemas.
Berharap agar si bayi yang dilahirkannya sehat dan sempurna keadaannya sebagai
manusia sempurna anggota badannya, seperti susunan jasmaninya dan tumbuh dalam
keadaan yang wajar baik jasmani maupun rohaninya. Cemas jika-jika jabang
bayinya tidak normal baik jasmani dan rohaninya atau ada gangguan-ganguan yang
tidak diinginkannya. Di samping itu derita jasmani si ibu menahan dikala
melahirkan jabang bayinya tersebut.
Setelah jabang bayinya lahir, betapa kasih saying si ibu kepada anaknya,
seakan-akan segala yang ada pada si ibu ialah untuk anaknya. Jiwa, raga
perhatian, kasih saying semuanya ditumpahkan untuk si jabang bayi itu, agar si
bayi selamat sentosa dalam pertumbuhannya menjadi manusia yang baik. Kata
sanjung dan manjaan, kata timang yang mengandung doa dan harapan meluncur
dicurahkan untuk si bayi, semoga kelak menjadi manusia yang ideal.
Mengapa demikian besar kasih sayang ibu kepada anaknya. Padahal sewaktu belum
mengandung seakan belum mau mempunyai anak. Atau karena anaknya sudah dua tiga
ingin tidak ada yang keempat. Namun karena dikarunia Tuhan anak yang
selanjutnya kasih saying ibu tidak ada bedanya antar kepada yang pertama yang
kedua dan seterusnya.
Dari mana datangnya cinta kasih saying kepada putranya, padahal tiada pamrih.
Lain dengan cinta seorang kekasih kepada pacarnya, yang jika kasihnya tiada
terbalas bias berbalik menjadi benci. Namun kasih ibu bagaimanapun tiada akan
berubah dan hilang, walaupun si anak tiada membalas kasih dan cinta ibu.
Memang itu kareana “Hidayah”, anugerah dari pada Allah Yang
Maha Pengasih dan Penyayang. Hidayah itu tersebut insting atau naluri, dalam
ilmu agama disebut “Hidayah-ghariziyyah”.
Beberapa perkara yang harus di perhatikan dan dilaksanakan oleh seorang anak
kepada Orang tua yakni:
a.
Berbuat Baik kepada Ibu dan Ayah, Walaupun keduanya Lalim
Seorang anak menurut ajaran islam diwajibkan berbuat baik
kepada ibu dan ayahnya, dalam keadaan bagaimanapun. Artinya jangan sampai
seorang anak samapai menyinggung perasaan orang tuanya, walaupun seandainya
orang tuanya berbuat lalim kepada anaknya, dengan melakukan yang tidak
semestinya, maka jangan sekali-kali si anak berbuat tidak baik, atau membalas
atau mengimbangi ketidakbaikan orang tua kepada anaknya. Allah tidak
meridhoinya sehingga orang tua itu meridhoinya.
b.
Berkata Halus dan mulia kepada Ibu dan Ayah
Kewajiban anak kepada orang tuanya berbicara menurut ajaran
islam harus berbicara sopan, lemah lembut dan mempergunakan kata-kata mulia hal
ini dituturkan dalam Firman Allah surah Al-Isra: 23-24:
Artinya:
“Dan Tuhan
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain kepada-Nya dan
hendaknya kamu berbuat baik kepada ibu bapak kamu dengan seabaik-baiknya. Jika
salah satu dari keduanya atau kedua-duanya samapi berumur lanjut dalam
pemeliharaan kamu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan penuh
kesayangan dan ucapakan doa:”Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka kedua,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil.”(QS.Al-Isra:
23-24)
Dari ayat-ayat tersebut,
dapat di tarik kesimpulan bahwa sewajarnya seorang anak untuk berbuat baik
kepada orang tua baik berbicara dan yang lain- lain. Dengan cara tidak
menyinggung perasaan orang tua dan tidak berkata kasar kepada mereka.
c.
Berbuat baik kepada Ibu dan atau Ayah yang sudah meninggal dunia
Apabila ibu dan ayah masih hidup, si anak berkewajiban
berbuat baik, dan itu mudah dilakukan dengan berbagai macam cara, baik yang
bersifat moaral, maupun yang bersifat material.
Bagaimana berbuat baik seorang anak kepada ayah dan atau ibunya yang sudah
tiada. Hal ini agama islam mengajarkan supaya seorang anak:
a. Mendoakan
ayah ibu yang telah tiada itu dan memintakan ampun kepada Allah dari segala
dosa orang tua kita. Doa yang sering di amalkan yakni:
اللَّهُمَّ اغْفِرْلىِ وَلِوَالِدَىَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا
رَبَّيَانِى صَغِيْرًا
b.
Menepati janji kedua ibu bapak, Jika sewaktu hidup orang tua mempunyai janji
kepada seseorang, maka anaknya harus berusaha menunaikan menepati janji
tersebut. Umpamanya beliau akan naik haji, yang belum sampai melaksanakannya.
Maka kewajiban anaknya untuk menunaikan haji untuk orang tuanya tersebut. Dan
hal ini diperbolehkan menurut hadits riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Abbas:
اَنَّ
امرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ اِلَى النَّبِى صَلَى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَّمِ
فَقَالَتْ : اِنَّ اُمِّى نَذَرْتْ اِنَّ تَحَجَّ فَلَمْ تَحَجَّ حَتىَّ مَا تَتْ أَفَأَحُجَّ
عَنْهَا؟ قَالَ : نَعَمْ , حُجِّى عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوكَانَ عَلَى اُمِّكَ
دَيْنٌ اَكَنْتِ قَا ضِيَهُ ؟ اُقْضُوا اللهَ فاللهُ اَحَقَّ بِالْوَفَاءِ {رواه
البخارى}
Artinya:
“Bahwa seorang
perempuan dari Juhainah dating kepada Nabi Saw, ia bertanya kepada Rasullah:
Bahwasannya ibu saya telah bernazar untuk berhaji, tapi ia tidak haji sampai
meninggal dunia. Apakah boleh saya menghajikannya? Jawab Rasullah:”ya,
hajikanlah! Apakah kau tahu, jika seandainya ibu mempunyai hutang, apakah
engkau membayarkannya? Bayarkan (tepatilah) kepada Allah, sesungguhnya Allah
lebih berhak untuk ditepati!”
c. Memuliakan teman-teman kedua orang
tua. Di waktu hidupnya ibu dan ayah, beliau-beliau mempunyai teman-teman akrab,
yang segulung-segalang orang tua kita dengan temannya.
d. Bersilaturrahmi kepada
orang-orang yang mempunyai hubungan dengan keduaorang tua.
4. Akhlak kepada Anggota Masyarakat/
Jama’ah
Pokok utama kerasulan nabi Muhammad Saw ialah menyempurnakan akhlak yang mulia.
Mencakup semua bentuk sikap dan perbuatan yang terpuji dikalangan orang-orang
(masyarakat) yang bertaqwa. Di samping terpuji berdasarkan norma-norma yang
ditetapkan Allah SWT.
Akhlak mulia merupakan akhlak yang berlaku dan berlangsung di atas jalur
Al-Qur’an dan perbuatan nabi Muhammad Saw. Dalam sikap dan perbuatan. Seperti
di dalam Al-Qur’an surat l-Qalam ayat 4.”Dan sesungguhnya engkau Muhammad
mempunyai akhlak yang mulia”.
Dengan demikian setiap muslim diwajibkan untuk memlihara norma-norma (agama) di
masyarakat terutama di dalam pergaulan sehari-hari baik keluarga rumah tangga,
kerabat, tetangga dan lingkungan kemasyarakatan.
Tolong-menolong untuk kebaikan dan takwa kepada Allah ialah
perintah Allah, yang dapat ditarik hokum wajib kepada setiap kaum muslimin
dengan cara yang sesuai dengan keadaan objek orang bersangkutan, Allah
berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah, ayat 2:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّى وَالتَّقوَى وَلَاتَعَاوَنُوْا
عَلَى الِاثْمِ وَالعُدْوَانِ {المائدة:2}
Artinya:
… dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran/permusuhan”.
Dalam pergaulan yang sesuai dengan norma-norma agama, ada beberapa yang harus
di perhatikan yakni bagaimana cara berbahasa, cara salam, cara makan dan minum,
cara di majles pertemuan, cara minta ijin masuk, cara member ucapan selamat,
cara berkelakar atau becanda, cara menjenguk orang sakit, dan cara ta’ziah. Dan
kesemnilan tata cara diatas akan diterangkan secara terperinci di bawah ini:
a.
Tata cara berbahasa
Setiap muslim (umat islam) dan semua orang diperintah untuk
selalu berbahasa dengan bahasa yang jelas dan baik, bahasa yang mudah
dimengerti oleh lawan bicara, sesuai tingkat usia, masyarakat dan tingkat
kedudukannya. Di dalam islam ada peribahasa yang menyatakan bahwa “bahasa
menunjukkan taqwa”.
b.
Tata cara salam
Setiap masyarakat, agama atau bangsa memiliki tata cara
member salam, sebagaimana juga dengan islam. “Salam” telah menempati kedudukan
sendiri dalam Islam. Lebih istimewa disbanding dengan agama di luar Islam.
Sebagaimana landasan salamdi dalam firman Allah surat An-Nur
ayat 27:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah yang buka rumahmu sebelum meminta ijin dan member
salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu(selalu)
ingat”. (QS.An-Nur: 27)
c.
Tata cara makan dan minum
Cara memegang sesuatu makanan dan minuman dengan tangan
kanan. Dimulai membasuh sebelum makan, membaca “basmallah” dan diakhiri
mengucapkan “Alhamdulillah”. Sikap yang dimiliki oleh orang yang sedang makan
dan minum ialah dengan duduk yang baik. Tanpa bersuara, tanpa bersandar sambil
makan dan minum. Apabila sifatnya undangan bagi yang mengundang mempersilahkan
dengan bahasa yang sopan. Dan bagi yang diundang dengan menyambut yang baik,
mendoakan si pengundang, mendahulukan orang yang lebih tua, jangan mencaci
hidangan yang ada di depannya, walaupun tak berselera.
Dalam adab minum, tidak
boleh menggunakan peralatan dari emas dan perak, jangan menarik nafas dan
menghembuskan kembali ke dalam cangkir. Apabila menggunakan kendi (dan
sejenisnya) tidak boleh melekat pada mulut di bibir kendi.
d.
Tata cara di majelis pertemuan
Bagaimana adab kita berada di majles pertemuan? Jawabannya ialah
pertama kali baru masuk member salam, kemudian baru dapat duduk yang telah
disediakan, menyalami teman yang mendahului duduk, jangan sekali-kali menggeser
tempat duduk milik orang lain. Di samping itu juga jangan menggunakan bahasa
yang dapat menyinggung perasaan teman duduk. Ketika ingin meninggalkan tempat
minta ijin, juga bila ke luar membaca doa kifaratul majelis.
e.
Tata cara minta ijin masuk
Di dalam masyarakat dan Negara ada aturan-atauran tertentu
baik ijin masuknya, waktu maupun prosedurnya bagi setiap orang yang ingin
memasuki kamar, rumah orang lain atau Negara.
Aturan Islam bagi
seseorang yang ingin masuk rumah orang lain, maka paling awal yang dilakukan ialah
member salam. Apabila tidak baik kembali. Di dalam mengetuk pintu dilakukan
secara wajar, menyatakan nama diri. Tidak boleh berdiri tepat di tengah-tengah
pintu ketika dibukakan. Apabila ditolak tidak boleh sedih hati namun harus
dikendalikan dengan hati yang bersih.
f.
Tata cara member ucapan selamat
Tujuh (7) rangkaian (munasabah) yang ada dalam islam ketika
mengucapkan salam “ucapan salam”. Ketujuh rangkaian tersebut antara lain:
a.
Dalam rangka acara pernikahan
b.
Dalam rangka kelahiran seorang bayi kepada ibunya
c.
Kembalinya seorang musafir (yang berpergaian)
d.
Pulangnya seorang dari jihad
e.
Sekembalinya dari haji
f.
Pada hari raya idul fitri dan idul adha
g. Ketika
seseorang mendapat kenikmatan tertentu seperti kenaikan pangkat, mendapat
hadiah apa saja yang membuat seseorang merasakan kebahagiaan.
Ketujuh peristiwa pada waktu dan suasana pemberian “ucapan
selamat” tersebut telah ditentukan cara bagaimana member ucapan selamat
(sebagaimana keterangan b).
g. Tata cara bekelar
Di
dalam ajaran Islam, berkelar atau becanda diperbolehkan. Namun hal itu bukan
berarti bebas, sesuka hati, sehingga tak ingat norma social. Ada tiga syarat
diperbolehkan bercanda yaitu:
a.
Tidak boleh berlebih-lebihan sehingga menjadikan lupa kepada Allah
b.
Tidak boleh berkelar sehingga menyakiti baik yang bersifat jasmaniah dan
rohaniah seperti ucapan hinaan.
c.
Tidak bersifat dusta atau penipuan dan kata-kata kotor.
d.
Tata cara menjenguk orang sakit
Seseorang yang hidup di masyarakat, mau mengunjungi orang
sakit tetangganya (jamaah) ialah suatu tindakan terpuji. Adapun hal-hal yang
perlu diperhatikan, dalam kunjungan orang sakit yaitu:
a.
Segera mungkin setelah ada orang sakit
b.
Mengungkapkan dengan kata-kata yang meringankan beban batinnya orang yang
sakit.
c.
Ajarkan doa peringan perih pada bagian tubuh
d.
Mendoakan secara khusus bagi si sakit ketika masuk
e.
Duduk agak dekat dengan kepala si sakit
f.
Mintalah ia mendoakan kita
g.
Bila sudah gawat ajari si sakit dengan kalimat tauhid dan bacaan surat yasin.
h.
Tata cara ta’ziah
Ta’ziah dilakukan jamaah (masyarakat) dalam rangka
meringankan beban lahir batin bagi keluarga yang ditimpa musibah. Mka sikap dan
tindakan tersebut bermaksud untuk menentramkan hati mereka. Menurut ajaran
islam, tata cara ta’ziah atara lain:
a. Mengucapkan
perkataan yang pernah diucapkan oleh nabi Saw. Dan para sahabatnya.
b.
Member makan keluarga yang terkena musibah
c.
Menunjukkan rasa belasungkawa
d.
Member nasehat yang baik.
5. Akhlak Da’I / Mubaligh
Telah jelas ujian bagi penyebar agama islam yang paling hebat ialah para nabi.
Kemudian orang-orang saleh, para Da’i/ mubaligh yang menyeri atau mengangguk
manusia untuk mentauhidkan Allah dan ikhlas dalam beribadah.
Dalam mempersiapkan diri yang telah mengikrarkan untuk
berjalan mengikuti manhaj para nabi dalam dakwah, maka para nabi harus
membekali diri dengan akhlakul karimah. Sebab Da’i/mubaligh di masyarakat
menjadi suri tauladan secara langsung. Baik perilaku, sikap perbuatan maupun
perkataannya.
Jalan yang harus ditempuh selanjutnya, da’I harus berusaha terus membersihkan
jiwa. Segala apa yang mengganjal, menutup dan tersembunyi di hati nurani, Da’I
harus berusaha juga menerangi segala rahasia dirinya. Dan senantiasa mohon
petunujuk dan pertolongan dari Allah. Dengan demikian dirinya menjadi baik atas
kuasa Allah SWT.
Para Da’i memiliki ilham yang man merupakan martabat yang tinggi dalam dirinya
yang selalu menghubungkan dengan Allah. Di dalam hati Da’I ada bisikan-bisikan
yang benar yang berada pada lisannya karena tergisik dari hati yang bersih.
Menurut Jamludin Kafie, sebagai Da’I, pelaksana dakwah harus memperhatikan
prinsip-prinsip kemimpinan yang baik yaitu:
a.
Sifat terbuka
b.
Berani berkorban
c.
Aktif berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat
d. Sanggup
menjadi pelopor dan perintis dalam kebajika
e. Mengembangkan sifat-sifat
kooperatif, kemusiaan dan sikap-sikap toleransi, kebijaksanaan dan keadilan
social
f.
Tidak menjadi parasit atau membebani masyarakat
g.
Percaya diri dan yakin akan kebenaran yang dibawanya
h.
Optimis dan tidak putus asa
Dengan demikian sikap Da’I harus memahami kondisi dan situasi masyarakat yang
menjadi sasarannya. Juga perlu terus menambah wawasannya. Kerena beraneka ragam
budaya , kompleksitas permasalahan di masyarakat.
6. Akhlak Pemimpin
Tugas pemimpin tidak ringan. Tanggung jawab yang ia pikul senantiasa
bernafaskan amanat. Baik amanat dari masyarakat/ warga atau Negara. Bahkan
agama. Agama islam sangat memperhatikan masalah kepemimpinan. Menurut Islam.
Semua pemimpin akan dimintai pertanggung jawabnya. Pemimpin keluarga
bertanggung jawab atas kebahagiaan, kesejahteraan keluarganya, pemimpin
Negara/bangasa akan dimintai pertanggung jawabnya oleh masyarakat dan lain
sebagainya.
Sebagai contoh seorang pemimpin sejati ialah Rasullah Saw dan para sahabatnya
seperti Abu bakar sebagai orang yang berwibawa dan tenang. Oerangnya penuh
ramah tamah, cinta sesama dan selalu membenarkan dan menepati pada rasul yang
agung. Umar bin khotob sebagai pemimpin yang mempunyai pendapat yang berbobot.
Dia ialah orang yang terpercaya terhadap rahasia-rahasianya. Utsman sebagai
pengumpul firman Kitab Allah. Dia ialah seorang pemimpin yang meluruskan akida.
Sedangkan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin yang pandai menyusun pasukan
perang untuk mengalahkan orang-orang jahat. Dan Ali ialah seorang pemimpin yang
mampu sebagai pewaris ilmu rasullah dan pemelihara janjinya.
Demikianlah akhlak pemimpin yang dicontohkan kepada kita untuk menjadi pemimpin
sejati. Akhlak pemimpin baik, sebab sifat, perilaku dan sikapnya dapat
membahagiakan orang lain (umat manusia) dan menampakkan karismatiknya pada yang
dipimpin, jadi dapat dikemukakan di sini, bahwa pemimpin berakhlak baik apabila
memiliki kepribadian yang sesuai dengan tata aturan (ketentuan) agama,
masyarakat, keluarga dan Negara/bangsa.
7. Akhlak Mahmudah dan
Mazmumah
Ada 2 (dua) penggolongan akhlak secara garis besar yaitu: akhlak
mahmudah(fadilah) dan akhlak mazmumah(qabihah). Di samping istilah tersebut
Imam Al-Ghazali menggunakan juga istilah “munjiyat” untuk akhlak mahmudah dan
“muhlihat” untuk yang mazmumah.
Di kalangan ahli tasawuf, kita mengenal system pembinaan
mental, dengan istilah: Takhalli, tahalli dan tajalli.
Takhalli ialah mengosongkan atau membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela,
karena sifat-sifat tercela itulah yang dapat mengotori jiwa manusia.
Dan tahalli ialah mengisi jiwa ( yang telah kosong dari sifat-sifat tercela) dengan
sifat-sifat yang terpuji (mahmudah).
Jadi dalam rangka pembinaan mental, pensucian jiwa hingga dapat berada dekat
dengan Tuhan, maka pertama kali yang dilakukan ialah pengosongan atau
pembersihan jiwa dari sifat-sifat tercela, hingga akhirnya sampailah pada
tingkat berikutnya dengan apa yang disebut “tajalli”, yakni tersikapnya tabir
sehingga diperoleh pancaran Nur Ilahi.
Sedangkan yang dimaksud dengan akhlak mahmudah ialah segala macam sikap dan
tingkah laku yang baik (yang terpuji). Sebaliknya segala macam sikap dan
tingkah laku yang tercela disebut dengan akhlak mazmumah. Akhlak mahmudah
tentunya dilahirkan oleh sifat-sifat mahmudah yang terpendam dalam jiwa
manusia, demikian pula akhlak mazmumah dilahirkan oleh sifat-sifat mazmumah.
Oleh karena itu sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa sikap dan tingkah
laku yang lahir ialah merupakan cermin/ gambaran daripada sifat/kelakuan batin.
Beberapa akhlak mahmudah seperti bersikap setia, jujur, adil, pemaaf, disenangi,
menepati janji, memelihara diri, malu, berani, kuat, sabar, kasih sayang, murah
hati, tolong menolong, damai, persaudaraan, menyambung tali persaudaraan,
menghoranati tamu, merendahkan diri, berbuat baik, menundukkan diri, berbudi
tinggi, memlihara kebersihan badan, cenderung kepada kebaikan, merasa cukup
dengan apa yang ada, tenang, lemah lembut, bermuka manis, kebaikan, menahan
diri dari berlaku maksiat, merendahkan diri kepada Allah, berjiwa kuat dan lain
sebagainya.
Sedangkan yang termasuk dalam akhlak mazmumah, antara lain; egoistis, lacur,
kikir, dusta, peminum khamr, khianat, aniaya, pengecut, aniaya, dosa besar,
pemarah, curang, culas, mengumpat, adu domba, menipu, memperdaya, dengki,
sombong, mengingkari nikmat, homosex, ingin dipuji, ingin didengar
kelebihannya, makan riba, berolok-olok, mencuri, mengikuti hawa nafsu, boros,
tergopoh-gopoh, membunuh, penipuan, dusta, berlebih-lebihan, berbuat kerusakan,
dendam, merasa tidak perlu pada yang lain dan lain sebagainya yang menunjukkan
sifat-sifat yang tercela.
BUKU REFERENSI
- Drs. Sahilun A. Nasir, Etika dan Masalahatikanya Dewasa ini, PT. Al-Ma’arif Bandung, 1980
- Jamaluddin Kafie,”Psikologi Dakwah”, Indah, Surabaya, 1993
- Drs. M. Zein Yusuf, Akhlak-Tasawuf, Al-Husna, Semarang, 1993
0 Response to "AKHLAK DALAM PANDANGAN ISLAM"
Post a Comment