SEJARAH
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAMDALAM TEOLOGI,
TASAWUF, HUKUM, DAN FILSAFAT
A. PEMIKIRAN TEOLOGI
Perkembangan pemikiran Teologi dalam Islam dapat dibagi
dalam 5 periode, yakni periode Rasulullah saw., Khulafa al-Rasyidin, Bani
Umayyah, Bani ‘Abbas, dan periode sesudah Bani ‘Abbas.
Pada masa Rasulullah saw. pemikiran teologi dalam Islam
merupakan pemikiran yang murni karena mendasarkan hanya pada Rasulullah saw,
Pada periode ini tidak ada perselisihan pendapat dalam dasar-dasar ataupun
kaidah-kaidah teologis.
Pada masa Khulafa al-Rasyidin sebelum Khalifah ‘Utsman ibn
‘Affan juga belum terjadi perbedaan pendapat dalam teologi Islam, hal ini
disebabkan oleh praktek teologi Islam langsung didasarkan pada Alqur’an dan
Hadis tanpa pentakwilan atas nash- nashnya. Pada masa Khalifah ‘Utsman terjadi
perpecahan politik dalam tubuh umat Islam, sehingga berdampak pada penafsiran
Alqur’an dan Hadis menurut selera masing- masing golongan, bahkan sebagian
melakukan pemalsuan terhadap Hadis untuk mendukung keberadaan dan kebenaran
kelompok tertentu.
Pada masa Bani Umayah perluasan wilayah Islam membawa
konsekwensi penyerapan tradisi-tradisi non Islam dalam budaya dan peradaban
Islam. Berbagai aliran yang muncul pada masa akhir Khulafa al-Rasyidin semakin
memuncak. Pada masa ini segolongan umat Islam telah berbeda pendapat tentang
qadar danisti ţâ‘ah. Aliran-aliran yang muncul dalam periode ini antara lain:
1.
Qadariyah. Ma’bad al-Juhaniy, Ghailân
al-Dimasyqiy, dan al-Ja‘ad Ibn Dirham dikenal sebagai tokoh awal dari aliran
Qadariyah. Salah satu pemikiran mereka yang sangat kontroversial pada masa itu
adalah bahwa Alqur’an adalah makhluk1 serta kehidupan manusia dibentuk oleh
manusia itu sendiri dan terlepas dari ketentuan Tuhan. Aliran Qadariyah ini
mendapat tantangan keras dari para sahabat Nabi saw, seperti ‘Abdullah ibn
‘Umar, Anas ibn Malik, Ibn ‘Abbas dan Abu Hurairah. Para sahabat ini
menganjurkan umat Islam untuk menjauhkan diri dari golongan Qadariyah, tidak
memberi salam kepada mereka, tidak mengunjungi mereka saat sakit, dan tidak
mensalatkan jenazah mereka, sebagaimana dinyatakan dalam kitab al-Farq bain al-Firaq
wa bayân al-Firqah al-Nâjiyah:
2. Jabriah atau Mujbarah atau Mu’aţţilah atau
Jahmiyah. Jaham ibn Şafwân yang merupakan tokoh awal dari aliran ini.3
Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :
a. Bahwa manusia tidak mempunyai
kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap
b. perbuatannya baik yang jahat, buruk
atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
c. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu
apapun sebelum terjadi.
d. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
e. Iman cukup dalam hati saja tanpa
harus dilafadhkan.
f. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat
yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
g. Bahwa surga dan neraka tidak kekal,
dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi
hanyalah Allah semata.
h. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di
surga oleh penduduk surga
i. Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan
bukan kalamullah.
3. Khawarij. Aliran ini muncul dipenghujung
abad pertama Hijriah dan dikenal dengan
pemikirannya yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan
dosa besar adalah kafir. Berbagai pemikiran mereka yang lain adalah:
a. Segala perbuatan hamba mengikut
kehendak Allah semata-mata.
b. Menolak ijtihad dan berpegang dengan
zahir al-Quran.
c. Menolak taklif sebelum diutus Rasul.
d. Menolak adanya azab kubur.
e. Menolak sistim kekhalifahan bagi
umat Islam karena tidak diperlukan
f. Harus membunuh kanak-kanak dan
wanita pihak yang menyalahi mereka.
g. Pelaku dosa besar adalah kafir dan
kekal dalam neraka.
h. Tidak sah menikah dengan orang yang
tidak mengkafirkan ‘Utsman dan ‘Ali r.a.
i. Semua orang yang menyalahi
mereka adalah kafir atau musyrik.
j. Orang yang tidak berhijrah kepada
mereka adalah musyrik.
k. Wajib menguji kesetiaan orang yang
berhijrah kepada mereka dengan cara menyuruh orang itu membunuh tawanan. Jika
tidak sanggup bermakna munafiq dan mereka akan membunuhnya.
l. Anak-anak orang yang menyalahi
mereka kekal dalam Neraka.
m. Menganggap
negeri orang yang menyalahi mereka sebagai negeri kafir.
n. Menggugurkan hukum rajam ke atas
penzina yang sudah beristeri.
o. Memotong tangan pencuri sampai ke
bahu.
p. Wajib salat dan puasa atas perempuan
haid.
q. Wajib qada salat atas
perempuan haid sebagaimana qada puasa.
r. Mendakwa ayat 204 surah
al-Baqarah khusus untuk Ali r.a.
s. Mendakwa ayat 207 surah al-Baqarah
sebagai khusus untuk ‘Abd ar-Rahman Ibn Muljim (pembunuh Ali r.a.).
t. Penyokong mereka tidak akan masuk
neraka Jahannam, jika berdosa mereka akan diazab dengan azab selain neraka
Jahannam.
u. Sebahagian mereka menggugurkan hukum
hudud bagi peminum arak, dan sebagian yang lain pula mengenakan hukuman yang
sangat berat.
v.
Melakukan dosa kecil secara
berterusan adalah suatu kesyirikan bagi yang tidak menyokong mereka, tetapi
bagi para penyokong mereka ia tidak pula dianggap syirik meskipun melakukan
dosa besar.
w.
Mengharuskan at-taqiyyah.
x. Harus menikah dengan anak perempuan
cucu lelaki (cicit) dan anak perempuan anak saudara lelaki.
y. Sifat munafik itu hanya khusus bagi
golongan yang disebutkan dalam al-Quran.
4.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Aliran ini dipelopori oleh Hasan
al-Basri dengan pemikiran bahwa orang yang mengerjakan dosa besar hanya
digolongkan dan masih dinyatakan sebagai orang mukmin. Ciri ahlus sunnah wal
jama'ah
Ahlus Sunnah adalah mereka yang
berpegang teguh dengan tali Allah yang kokoh
Mereka adalah teladan yang shalih yang
memberikan petunjuk kepada kebenaran dan bimbingan
ke jalan yang lurus.
Menempuh jalan tengah antara orang
yang mengeraskan agama dan yang meremehkannya
terutama tentang sifat-sifat Allah, hak para nabi, perkara halal dan haram,
penciptaan, perintah, janji, ancaman
Bertindak sederhana tentang sunnah
Rasul dan mengikutinya dengan sungguh sekalipun
banyak kelompok yang menjerumuskannya dari jalan yang benar
5. Mu’tazilah. Dipelopori oleh Washil bin Atha’.
Mu’tazilah mempunyai asas dan
landasan yang disebut dengan al-Uşûl
al-Khamsah (lima landasan pokok), yaitu:
a.
Al-Tauhid, yakni mengingkari dan meniadakan
sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti
telah menetapkan untuk masing- masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada
Allah.
b. Al-‘Adl (keadilan), yakni keyakinan
bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari
makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah.
c. Al-Wa’du wa al-Wa’id, yakni wajib
bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al- wa’d) bagi pelaku kebaikan agar
dimasukkan ke dalam al-jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi
pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalamal- nâr,
kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya.
Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
d.
Manzil bain al-Manzilatain (suatu
keadaan di antara dua keadaan), yakni keimanan itu satu dan tidak
bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di
bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga
ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan
kekafiran).
e. Amar Ma’ruf Nahi Munkar, yakni
wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim
Ciri lain dari Mu‘tazilah :
Mendahulukan akal daripada Al Qur’an,
As Sunnah, dan Ijma’ Ulama
Mengingkari adzab kubur, syafa’at
Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yah Allah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat,mizan (timbangan amal di
hari kiamat),şiraţ (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga
Rasulullah di padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah
diciptakannya Al-Jannah dan An- Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia
setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya
Vonis mereka terhadap salah satu
dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran
Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah
orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya
Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan
alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan.
Pada periode Bani ‘Abbas terjadi usaha-usaha ilmiah yang
antara lain adalah penterjemahan filsafat Yunani kedalam bahasa Arab. Dan
mulailah filsafat merambah dalam dunia pemikiran teologi Islam. Tradisi usaha
untuk menuliskan pendapat-pendapat setiap golongan pun mulai merebak, yang
antara lain:
1 ‘Amar ibn ‘Ubaid al-Mu‘tazil yang
menyusun kitab berisikan penolakan terhadap faham qadariyah.
2 Hisyam ibn al-Hakam al-Syafi‘i
menyusun kitab yang menolak faham mu’tazilah.
3 Abu Hanifah menyusun kitab al-‘Alim
wa al-Muta‘alim, dan juga Fiqh al-Akbar yang isinya mempertahankan faham ahlus
sunah wal jama’ah.
4 al-Syafi‘i menyusun kitab Fiqh
al-Akbar juga dalam mempertahankan faham ahlus sunah wal jama’ah.
5 Abu al-Hasan al-Asy‘ari menulis
kitab Maqalah al-Islamiyin yang didalamnya ia menentang pendapat Mu’tazilah
yang tadinya ia anut dan beralih ke faham ahlussunnah wal jama’ah. Dalam
menegakkan pandangannya Abu al-Hasan al- Asy‘ari mengumpulkan dalil-dalil aqli
dan naqli untuk menolak faham Mu’tazilah. Pandangan Abu al-Hasan al-Asy‘ari ini
kemudian dikembangkan oleh para pengikutnya antara lain Abu Bakar al-Baqillani,
al-Isfarayin dan Imam al-Haramain al-Juwaini.
Pada periode setelah Bani ‘Abbas pengikut-pengikut
Abu al-Hasan al-Asy‘ari mengintegrasikan filsafat dan kalam dalam
pandangan-pandangan mereka seperti al- Baidawi dalam kitabal- Ţawal i dan
‘Abduddin al-Ijy dengan kitabnyaal- Mawaqi
Ibnu Taimiyah
dikenal sebagai pembela aliran salaf (sahabat, tabi’in, dan imam- imam mujtahidin) dan membantah
pendirian-pendirian golongan-golongan al-Asy’ariyah dan lain-lain. Jalan yang di tempuh
oleh Ibnu Taimiyah ini dilanjutkan oleh seorang muridnya yang terkemuka, yaitu Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Perkembangan pemikiran teologi Islam
kemudian mengalami kefakuman, yang ada hanya terbatas upaya-upaya penjelasan ma’na-ma’na lafadz dan
ibarat-ibarat dari kitab-kitab peninggalan lama. Gerakan permurnian teologi Islam kemudian mengalami kemajuan
kembali di tangan Muhammad Abduh
dan Jamaluddin al-Afghani yang kemudian di lanjutkan oleh al-Said Rasyid Ridla. Usaha-usaha mereka
kemudian berhasil membangun kembali ilmu-ilmu agama dan timbullah jiwa baru yang cenderung kepada
mempelajari kitab-kitab Ibnu
Taimiyah
dan murid-muridnya. Mereka-mereka inilah yang kemudian dikenal dengan gerakanS al afiyyin.
B. PEMIKIRAN TASAWUF
Keistimewaan tasawuf sebagai salah satu institusi Islam
adalah penekanan pada aspek psikis spiritual dan cara hidupnya yang lebih
mengutamakan aspek psikomotor dan efeksi, lebih mengutamakan pengagungan Tuhan
dan membebaskan diri dari egoisme. Secara umum tasawuf dibagi atas tiga bagian
besar: tasawuf akhlak, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi.
Keadaan ini berlangsung sampai awal abad ke 8 Hijriah yakni
saat Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dari Damaskus menentang urusan yang berlebih-
lebihan dari pihak-pihak yang mencampur baurkan filsafat dengan kalam, atau
menentang usaha-usaha yang memasukkan prinsip-prinsip filsafat dalam aqidah
islamiyah.
Tasawuf Akhlak
Tasawuf akhlak menekankan para pendalaman dan pengamalan
spiritual untuk membangun akhlak mulia. Hal ini diperlukan dalam upaya mencapai
tingkat kesempurnaan dan kesucian jiwa diperlukan latihan mental yang panjang.
Tahap pertama yang harus dilakukan dalam hal ini adalah pendidikan sikap dan
mental dan pendisiplinan tingkah laku (akhlak) yang ketat.
Salah satu tokoh dalam tasawuf
akhlak adalah al-Ghazali. Dalam kitabnyaIhyâ’ ‘ulûm al-Dîn pada bab Mengenai
ketercelaan Dunia ia menekankan bahwa untuk mencapai kesempurnaan akhlak
maka hal utama yang harus dilakukan adalah manajemen hawa nafsu dan upaya yang
harus dilakukan antara lain adalah melepaskan kesenangan duniawi untuk mencapai
kecintaan pada Allah. Dalam pandangan al-Ghazali manusia memiliki kecenderungan
untuk mengikuti hawa nafsunya yang ingin menguasai dunia dan berkuasa di dunia
sehingga cinta manusia pada dunia menutupi cintanya kepada Allah. Dan ini
merupakan dasar dari kehancuran moral (akhlak) manusia. Untuk mencapai
kesempurnaannya ada beberapa langkah yang harus ditempuh manusia menurut
tasawuf, yakni:
1. Takhalli, yakni pengosongan diri dari semua
bentuk kemaksiatan dan melenyapkan dorongan hawa nafsu.
2.
Tahalli, yakni upaya menghiasi diri dengan
kebiasaan, sikap dan prilaku yang baik. Minimal ada 7 sikap harus menjadi
hiasan bagi orang-orang yang menekuni jalan sufi, yakni: tobat, cemas dan harap
pada Allah, zuhud, fakir, sabar, rida, dan muraqabah.
3.
Tajalli. Tahap ini merupakan tahap
tertinggi yakni pengisian rasa cinta dan rindu pada Allah yang dengan proses
ini akan terbuka nur Ilahi pada hati seorang sufi.9 Tahap ini merupakan tahap
lanjutan dari pencapaian akhlaq al-karimah saat seorang sufi telah mencapai
kesempurnaan jiwa. Tanpa kesempurnaan kesucian jiwa maka tahap tajalli tidak
akan dapat diraih. Setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan dalam tahap ini,
yakni munajat dan zikir maut.
Tasawuf Amali
Tasawuf amali adalah jalan tasawuf yang harus dilakukan
melalui bimbingan guru tasawuf. Hal ini mengingat bahwa untuk menjalani
kehidupan tasawuf ada orang yang mampu melakukannya sendiri dan ada yang harus
dibimbing oleh seorang ahli tasawuf. Dalam tasawuf amali dikenal strata yang
antara lain adalah:
a.
Murid. Yakni orang yang mencari
pengetahuan dan bimbingan dalam melaksanakan amal ibadahnya, dengan memusatkan
perhatian dan usahanya ke dalam tujuannya ini, serta menahan segala kemauannya
dengan menggantungkan diri dan hidupnya kepada Iradah Allah.10 Dalam kalangan ini murid
diklasifikasikan dalam tiga kategori: pemula, menengah dan tinggi.
b.
Syekh/Mursyid. Yakni pemimpin
kelompok sufi, pembimbing dan pengawas para sufi. Hubungan murid dengan
syekh/mursyid adalah hubungan penyerahan diri sepenuhnya, atau dengan kata lain
murid harus tunduk, setia dan rela dengan segala perlakuan syekh kepadanya.
c.
Wali danQuţb. Wali adalah seorang
yang telah sampai ke puncak kesucian batin, memperoleh ilmu laduni yang tinggi
sehingga tersingkap tabir rahasia hal-hal ghaib- ghaib baginya ia telah
mendapat karomah.11 Sedangkanquţb
adalah seorang wali yang telah berfungsi sebagai “Pewaris Nabi” yang
melanjutkan perjuangan Nabi. Tingkat kesucian jiwa, kedalaman ilmu dan ketaatan
paraquţb hampir sama dengan Nabi, perbedaannya adalah Nabi memperoleh ilmu
melalui wahyu sedangquţb memperoleh ilmu melalui ilham.
Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi merupakan reaksi sebagian kalangan tasawuf
atas teori-teori teologi yang dikemukakan para filusuf atau mutakallimin yang
karena harus menyesuaikan diri dengan teori filasafat sebagian sifat-sifat
Tuhan harus ditanggalkan. Secara garis besar konsep mereka dalam teologi Islam
dapat dibagi kedalam tiga bagian: konsep etika, konsep estetika dan konsep
kesatuan wujud.
Konsep etika tentang Tuhan menyatakan bahwa zat
Tuhan merupakan kekuasaan, daya dan iradat yang mutlak. Tuhan merupakan
pencipta dan penguasa tertinggi dalam segala hal, termasuk dalam hal tingkah
laku manusia. Kalangan ini menyatakan bahwa kehidupan dunia sebagai sesuatu
yang harus ditinggalkan. Mereka memiliki rasa takut yang luar biasa terhadap
dosa dan siksa, sehingga mereka mempasrahkan diri mereka bulat-bulat pada
pengabdian dan pemenuhan cinta pada Tuhan. Hasan Basri merupakan salah satu
tokoh yang mewakili kelompok ini.12
Konsep estetika menyatakan bahwa antara Tuhan dan
manusia terdapat jalur timbal balik. Konsep ini pertama kali dilahirkan oleh
Rabi’ah al-Adawiyah. Karakteristik yang menonjol pada konsep ini adalah
kecintaan yang luar biasa pada Tuhan. Cinta ini memenuhi jiwa raga sufi
sehingga dalam jiwa tidak ada rasa takut akan siksa Tuhan dan juga tidak ada
rasa untuk mendapat kenikmatan dari Tuhan. Rasa cinta ini merupakan
satu-satunya motivator dalam berbagai aktifitas kehidupan manusia. bagi
kalangan ini Penciptaan adalah pernyataan cinta kasih Allah yang abadi dan
terefleksi dalam dunia
empiris. Teori ini lahir di kalangan sufi estetis ini bukan
dari pencarian nalar melainkan ia
terhunjam dalam jiwa melalui al-nûr al-anwâr (sinar
Ilahiah).
Konsep kesatuan wujud dipelopori oleh Ibn ‘Arabi
yang inti ajarannya adalah, alam realitas (dunia fenomena) ini merupakan
bayangan dari supra-realitas (Tuhan). Satu- satunya wujud yang hakiki adalah
Tuhan dan Tuhan adalah wujud yang tidak dapat diberi sifat-sifat.14 Atas dasar
pemikiran ini maka kalangan ini menyatakan manusia merupakan refleksi dari
hakikat Ilahi. Oleh sebab itu dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ketuhanan
karena ia merupakan pancaran dari Nu Ilahi. Itulah sebabnya jiwa manusia selalu
bergerak dan berusaha untuk bersatu kembali dengan sumber asalnya. Konsep ini
secara filsafati telah meluas ke pembahasan metafisika, yakni proses bersatunya
manusia dengan Tuhan sekaligus membahas konsepsi manusia dan Tuhan. Terminologi
utama dalam konsep kesatuan wujud ini adalah:al- fanâ danal-baqâ,
al-ittihad,al- hulul, wahdah al-wujud, dan al-isyraq.
C. PEMIKIRAN HUKUM
Sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam dibagi atas enam
periode
1.
Periode Rasulullah saw. Pada periode
ini perkembangan pemikiran hukum Islam belum terjadi karena semua persoalan
hukum langsung dikembalikan kepada Rasulullah saw.
2.
Periode sahabat besar. Pada masa ini
istimbat hukum terbatas pada fatwa-fatwa yang pernah dikeluarkan oleh para
sahabat. Para sahabat bersifatikhtiyaţ (berhati-hati) dalam memutuskan suatu
perkara hukum. Dan jika suatu persoalan hukum tidak didapati dalam Alqur’an dan
Hadis serta fatwa para sahabat dengan melakukan permusyawarahan antara para
sahabat mereka kemudian mengandalkan qiyas. Dengan demikian pada masa ini telah
ada empat sumber hukum Islam, yakni: Alqur’an, Sunnah, qiyas, dan Ijma’
sahabat.
3.
Periode sahabat kecil dan tabi’in.
periode ini diawali pada tahun 41 H sampai awal abad ke II Hijriah. Periode ini
ditandai antara lain dengan timbulnya berbagai golongan politik dalam umat
Islam yang kemudian menjadi golongan teologi dan dengan ijtihad dan pendapat
masing-masing, seperti syiah dan khawarij.
4.
Dalam hal pemikiran hukum Islam pada
masa ini terjadi penggunaanra’yu dengan cara mengambil‘illat dan tujuan mengapa
hukum-hukum tertentu disyari’atkan. Oleh sebab itu bagi kalangan ahlu ra’yi ini
terkadang mereka menolak suatu hadis apabila bertentangan dengan pokok-pokok
syari’at apa lagi jika hadis itu bertentangan dengan hadis yang lain. Umumnya
prinsip ahli ra’yi dianut oleh penduduk Iraq.
5.
Periode awal abad II sampai
pertengahan abad IV Hijriah. Hal utama yang muncul pada periode ini antara lain
penyusunan dan pembukuan Hadis berdasarkan klasifikasi masing-masing,
penyusunan dan pembukuan kitab-kitab Fiqh dan munculnya imam- imam besar dengan
madzhab masing-masing.
Pada saat-saat awal terbentuknya pemikiran hukum Islam yang
metodis (ilmu fiqh), dikenal adanya dua kubu pengembangan pemikiran hukum
Islam; yaitu kubu Irak dan kubu Hijaz. Tokoh utama kubu Irak ialah Imam Abu
Hanifah, dan tokoh utama kubu Hijaz adalah Imam Malik. Biasanya para ulama
pendukung kubu Irak dikenal sebagai ahl al-ra'y, dan para ulama pendukung kubu
Hijaz dikenal sebagaiahl al-hadits.
Ahl al-ra'y sesuai dengan situasi lingkungannya, dalam
pengembangan pemikiran hukumnya (metoda ijtihadnya) volume penggunaan rasio
lebih besar dari volume penggunaan hadist (sebagai salah satu sumber syari'ah).
Ini tidak berarti, mereka tidak mengakui keabsahan hadist itu, atau sama sekali
tidak menggunakan sumber hukum itu. Tapi penggunaannya sangat terbatas.
Di pihak lain, ahl al-hadits sesuai dengan situasi
lingkungannya, mereka dalam pengembangan pemikiran hukum (metode ijtihadnya)
volume penggunaan sumber hukum hadits lebih besar dari volume penggunaan sumber
rasio (dalam hal ini qias). Ini tidak berarti mereka menolak penggunaan sumber
rasio itu. Kedua kubu tersebut mengakui keabsahan sumber hukum qias.
Dalam pemikiran hukum Islam di periode ini berkembang metode
penetapan hukum sekunder yang kemudian melahirkante chnische- term yang dikenal
sampai sekarang, yang antara lain adalah istihsan, istişlah, Istihsan
sebagaitechnische-term banyak beredar dikalangan tokoh-tokoh (ulama) dari
aliran pemikiran hukum (mazhab) Hanafiyah. Mereka menggunakannya secara
tersendiri atau menyebutnya berdampingan dengan kata/istilah qias. Mereka
sering mengatakan, hukum dalam masalah ini bersumber dari Istihsan.
Analogi Istihsan tidak terikat pada keketatan analogi qias
karena dimungkinkan adanya qias alternatif (qias kahfi) yang terlepas dari
elemen 'illah (dalam analogi qias biasa), atas pertimbangan sesuatu alasan yang
lebih kuat. Alasan itulah menjadikan qias jali (biasa) dialihkan kepada qias
khafi (alternatif) dan hasilnya disebut Istihsan. Termasuk pula dalam kategori
Istihsan, pengecualian masalah tertentu dari suatu ketentuan pokok yang
bersifat umum, atau dari suatu kaidah hukum, karena pengecualian itu didukung
oleh suatu nash, atau ijma', atau 'urf atau dharurah, atau mashlahah. Dengan
kata lain pertimbangan adanya ketentuan lain atau kesepakatan, atau kebiasaan,
atau keadaan darurat atau suatu kepentingan nyata, semua itu merupakan
elemen-elemen dalam hukum Istihsan.
Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam, Istihsan ini
ditempatkan sebagai sumber hukum sekunder, di kalangan penganut aliran
pemikiran madzhab Hanafiyah. Kemudian berkembang pula secara terbatas dalam
aliran Malikiyah dan Hambaliyah, sekalipun dengan istilah-istilah yang berbeda.
Imam yang menolak menempatkan Istihsan adalah Imam Syafi'i, karena beliau
berpendapat, kaidah-kaidah interpretasi atas ketentuan-ketentuan syari'ah
(al-Qur'an dan Sunnah) ditambah dengan analogi qias, sudah cukup, untuk
menampung segala perkembangan yang terjadi.
Istişlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran hukum Islam
yang menjadikan maşlahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak
terikat (mursalah) menjadi suatu sumber hukum sekunder. Karenanya juga konsep
ini lebih dikenal dengan sebutan, al-maşlah al-mursalah atau al-maşalih
al-mursalah. Konsep penalaran ini bermula dikembangkan dalam aliran pemikiran
hukum Islam (madzhab) Malikiyah. Tapi dapat dicatat bahwa pada hakekatnya
konsep ini telah dikenal dan digunakan oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad di
kalangan sahabat dan tabi'in.Dan ternyata kemudian diambil alih juga oleh Imam
al-Ghazali dari aliran Syafi'iyah dengan beberapa penyempurnaan. Tapi perlu
dicatat, konsep ini ditolak oleh aliran Zhahiriyyah dan Syi'ah.
Landasan pemikiran yang membentuk konsep ini ialah,
kenyataan bahwa, syari'ah Islam dalam berbagai pengaturan dan hukumnya mengarah
kepada terwujudnya maşlahah (apa yang menjadi kepentingan dan apa yang
dibutuhkan manusia dalam kehidupannya di permukaan bumi). Maka tidak dituntut
untuk dilakukan manusia untuk kepentingan hidupnya, dan manusia tidak dicegah
melakukan sesuatu, kecuali hal-hal yang pada galibnya membahayakan dan
memelaratkan hidupnya. Maka, upaya mewujudkan maşlahah dan mencegah mafsadah
(hal-hal yang merusak) adalah sesuatu yang sangat nyata dibutuhkan setiap orang
dan jelas dalam syari'ah yang diturunkan Allah kepada semua rasul-Nya. Dan
itulah sasaran utama dari hukum Islam.
Dalam kajian para ahl-ijtihad ada tiga jenismaşlahah, yaitu:
1) Maşlahah yang diakui ajaran
syari'ah, yang terdiri dari tiga tingkat kebutuhan manusia, yaitu:
Daruriyyah (bersifat mutlak) karena menyangkut
komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut
terpelihara dirinya (jiwa, raga dan kehormatannya) akal pikirannya, harta
bendanya, nasab keturunannya dan kepercayaan keagamaannya.
Hajiyyah (kebutuhan pokok) untuk
menghindarkan kesulitan dan kemelaratan dalam kehidupannya.
Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka
memelihara sopan santun dan tata krama dalam kehidupan
2) Maşlahah yang tidak diakui ajaran
syari'ah, yaitu kepentingan yang bertentangan dengan maslahah yang diakui
terutama pada tingkat pertama.
3) Maşlahah yang tidak terikat pada
jenis pertama dan kedua.
4) Periode mendirikan dan
menguatkan madzhab.
5) Periode keruntuhan Baghdad di
tangan Hulagukhan sampai sekarang.
D. PEMIKIRAN
FILSAFAT
Khazanah Pemikiran dalam Islam kaya dengan karya dan tradisi
filsafat. Sangat tidak memungkinkan dalam rangkuman ini dipaparkan resume para
tokoh dan pemikirannya dalam bidang filsafat. Oleh sebab itu dalam rangkuman
ini hanya dipaparkan 2 tokoh utama, yakni: Ibn Rusyd untuk mewakili pemikiran
filsafat kelasik Islam, dan Jamaluddin al-Afghani untuk mewakili pemikiran
filsafat modern. Pembahasan juga mencakup pengaruh pemikiran mereka dalam
dunia.
Ibn Rusyd (520-595 H / 1126-1198 M).
Ibn Rusyd adalah model bagi kemandirian akal-fikiran dan
sekaligus model bagi keberanian berfikir, khususnya dalam melawan
pemikiran-pemikiran yang telah terlembaga dalam institusi agama. Keberaniannya
mengkritisi kemapanan kekusaan agama menginspirasikan orang-orang Eropah pada
abad ke-13 dan ke-14 untuk melakukan hal yang sama kepada kuasa Gereja
yang saat itu mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan mereka.
Ibn Rusyd adalah pemikir yang berusaha menghidupkan tradisi
pemikiran bebas dalam pengertian yang kemudian dikembangkan para filusuf
pencerahan di Eropah. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Cordova, sebuah dinasti
Islam di Sepanyol. Ia hidup di penghujung masa yang biasa dikenal “zaman
keemasan Islam” (the Golden Age of Islam). Ibn Rusyd hidup sekitar satu abad
sebelum Baghdad jatuh (1258) atau empat abad sebelum Granada, benteng terakhir
umat Islam di Sepanyol, runtuh (1492).
Ibn Rusyd hidup di tengah kecenderungan kaum Muslim yang
semakin antipati terhadap pemikiran rasional. Pada masa ini, di belahan Timur
dunia Islam (masyriq) filsafat Islam mengalami gempuran sangat keras dari ulama
konservatif yang merasa terancam dengan dominasi “ilmu-ilmu klasik” (‘ulûm
al-awail) yang datang dari Yunani. Para teolog yang didominasi kaum Asy’ariyah
menggempur kecenderungan teologi rasional, khususnya yang dimotori oleh
Mu’tazilah.
Simpatinya
kepada Abu Hamid al-Ghazali (w.1111)
disalurkannya dengan membuat
sebuahtalkhis (ringkasan)al- Mustasyfa, salah satu karya penting al-Ghazali dalam bidang ushul fiqh. Tapi
sesudah itu dia menyedari ada yang tidak lengkap dari al- Ghazali dan para teolog yang
membabi-buta mengecam para filsuf Yunani dan para filusuf Muslim lainnya.
Sebuah
peristiwa penting mengubah hidupnya. Dalam sebuah kesempatan, ia diperkenalkan Ibn Tufayl, filsuf
Andalusia lainnya, kepada Khalifah Abu Yusuf Ya’qub, penguasa Marrakesh yang dikenal
menggandrungi filsafat. Sang Khalifah bertanya pada Ibn Rusyd tentang pandangan para
filsuf Yunani mengenai penciptaan alam.
Ibn Rusyd
begitu malu dan gundah, karena ia tak mampu menjawab pertanyaan itu. Karena peristiwa inilah
kemudian ia bertekad mempelajari filsafat Yunani secara lebih serius. Ia mempelajari Plato dan
mendalami serta mensyarah karya Aristotles, sehingga kemudian dijuluki “Sang Pensyarah”
(El Gran Comento). Ia beralih, dari penulistal khis buku al-Ghazali menjadi penulistal
khis buku-buku Aristotles. Ia pun mulai mengkritisi al-Ghazali, teolog, dan para
fuqaha, yang menurutnya turut memberikan sumbangan bagi kesesatan (tahafut)
pemahaman Muslim terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan.
Ibn Rusyd menulis banyak buku. Ia meninggalkan tak kurang
dari 50 judul buku dari berbagai disiplin ilmu: filsafat, kedokteran, politik,
fikih, dan masalah-masalah agama. Kitab fikihnya yang terkenal, Bidayat
al-Mujtahid, menjadi rujukan di beberapa pesantren di Indonesia. Namun, sejauh
menyangkut peranan Ibn Rusyd sebagai model pencerahan, tiga bukunya, yakni:
1. Faşl al-Maqal fî mâ baina al-Hikmah
wa al-Syar‘iah min al-Ittisal, yang berisi tentang persesuaian antara agama dan
filsafat.
2. al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah fî
Aqâid Ahl al-Millah yang menguraikan tentang pendirian aliran-aliran ilmu kalam
dan kelemahan-kelemahannya.
3.
dan Tahafut al-Tahafut (ditulis
berturut-turut pada 1178, 1179, 1180), merupakan karya yang dikhususkan untuk
menentang serangan al-Ghazali atas para filusuf dalam bukunya Tahafut
al-Falasifah.
Ketiga buku ini memuat pandangan-pandangan kontroversial Ibn
Rusyd yang pernah menggemparkan dunia Eropah pada pertengahan abad ke-13.
Dampak langsung dari gagasan-gagasan Ibn Rusyd dapat
ditelusuri pada mazhab pemikiran yang dikenal dengan sebutan “Averoisme.”
Istilah Averoisme mulai digunakan di Eropa pada sekitar tahun 1270, atau
setelah 72 tahun Ibn Rusyd meninggal dunia. Kata yang digunakan adalah
“Averroistae” yang sesungguhnya lebih merupakan bentuk sinisme untuk merujuk
para pengikut dan pengagum Ibn Rusyd.
Pada bulan Desember 1270, bishop Stephen Tempier,
mengeluarkan pengumuman tentang ajaran-ajaran heretik. Siapa saja yang
mengikuti ajaran ini harus dikirim ke pengadilan inkuisisi dan dihukum keras.
Beberapa ajaran yang dituduh heretik adalah doktrin tentang jiwa dan intelek yang
diajarkan Ibn Rusyd serta doktrin Aristotles tentang Tuhan. Dalam deklarasi
ini, Tempier tidak merinci ajaran-ajaran yang dianggap terlarang. Tapi, pada
Maret 1277, ia mengeluarkan lagi pengumuman lanjutan dengan memberikan 219
daftar ajaran yang dianggap heretik dan pengikutnya harus dihukum seberat-
beratnya. Surat pengumuman kali ini juga mengarah kepada beberapa nama, seperti
Siger of Brabant (w. 1282), pengikut fanatik Ibn Rusyd dan pendiri semacam
“Jaringan Averoisme Paris” dan Boëthius of Dacia (w. 1290), mahasiswa filsafat
yang aktif dalam jaringan itu.
Siger, Boethius, dan kebanyakan
orang yang setuju dengan ke-219 ajaran yang didaftar Tempier adalah pengikut
Averoisme. Sedianya, daftar itu untuk menjaring para pemikir liberal
yang dianggap “telah meresahkan masyarakat Paris.” Tapi, Tempier agaknya terlalu banyak mendaftar
“barang-barang haram” sehingga beberapa petinggi Gereja yang diam-diam mengagumi Ibn Rusyd juga terkena
imbasnya, termasuk Thomas Aquinas,
pemimpin Ordo Dominikan dan filsuf terbesar Abad Pertengahan.
Averoisme
memang tidak melulu terkait dengan “intelektual liberal.” Dalam sejarah filsafat Barat, Averoisme
juga dikaitkan dengan pemikiran filsafat keagamaan yang kemudian lebih dikenal dengan
sebutan “Averoisme Yahudi” dan “Averoisme
Kristen.”
Averoisme
Yahudi lebih mapan ketimbang Averosime Kristian. Mungkin ini ada kaitannya dengan hubungan ketiga
agama itu. Hubungan Islam-Yahudi pada masa itu cukup baik, terutama di Sepanyol di mana warga Yahudi
memiliki keistimewaan yang
sangat
besar. Sementara hubungan Islam-Kristian agak buruk, terutama karena dampak perang salib di Jerusalem dan
perluasan imperium Islam ke bumi Eropa (baik yang dilakukan oleh dinasti Umayyah maupun dinasti Utsmaniyyah). Averoisme
Yahudi berkembang pesat di Andalusia. Para pengikut Averoisme Yahudi umumnya memandang Ibn Rusyd sejajar dengan filsuf besar mereka,
yakni Musa bin Maymun atau Maimonides (w. 1204) dan Abraham bin Ezra
(w. 1167) yang kebetulan keduanya hidup di Andalusia sezaman
dengan Ibn Rusyd. Tokoh-tokoh penting Averoisme Yahudi adalah Isaac Albalag
(akhir abad ke-13) yang menerjemahkkan Maqasid al-Falasifah, karya Imam
al-Ghazali, ke dalam bahasa Ibrani; Joseph ibn Caspi (l. 1279), Moses Narboni (w. 1362), dan Elijah Delmedi (w. 1493),
pengikut Averoisme Yahudi terakhir.
Sementara itu,
Averoisme Kristian sebetulnya merupakan istilah yang agak paradoks, karena dunia Gereja,
khususnya pada abad ke-13 dan ke-14, didominasi oleh kecenderungan memusuhi ajaran-ajaran
Ibn Rusyd dan Aristotles. Tapi, beberapa tokoh Kristen pada masa-masa akhir Abad Pertengahan, seperti
Thomas Aquinas, menggandrungi
ajaran-ajaran Aristotles (meski dia memposisikan dirinya sebagai musuh para pengikut Averoisme Latin,
khususnya Siger of Brabant). Dan tak ada pengantar paling baik ke filsafat Aristotles
kecuali karya-karya Ibn Rusyd.
Baik Averoisme
Yahudi maupun Averoisme Kristen menganggap Ibn Rusyd telah berjasa
menyelesaikan persoalan pelik yang selama berabad-abad menjadi momok bagi para
pemikir agamawan, yakni bagaimana mendamaikan wahyu dengan akal; filsafat
dengan agama; para nabi dengan Ariestoles. Dalam karyanya, Fasl al-Maqal, yang
sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa
penting Eropah, Ibn Rusyd menjawab semua persoalan ini dengan lugas.
Pertama-tama, kunci dari persoalan itu terletak pada
persoalan genting lainnya yang lebih mendasar, yakni apakah benar bahawa
mempelajari filsafat itu haram? Untuk menjawab ini Ibn Rusyd memberikan
hipotesis. Menurutnya, secara legal-fikih (syar’i)
belajar filsafat itu punya beberapa kemungkinan: bisa dibolehkan (mubah),
dilarang (mahdzur), dianjurkan (nadb), atau diharuskan (wajib)? Menurut Ibn
Rusyd belajar filsafat hukumnya: wajib atau sunnah. Ibn Rusyd memberikan
kesimpulan bahwa tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan
agama karena mereka semua datang dari asal yang sama, yakni Tuhan.
Jamaluddin al-Afghani (1838-1897 M)
Salah satu tanggapan terpenting di dunia Islam diberikan
oleh Jamaluddin al- Afghani. Gagasannya mengilhami Muslim di Turki , Iran ,
Mesir, dan India. Meskipun sangat anti-imperialisme Eropa, ia mengagungkan
pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tidak melihat kontradiksi antara Islam
dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasannya untuk mendirikan sebuah universitas
yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan modern di Turki menghadapi tentangan
kuat dari para ulama. Akhirnya ia diusir dari negeri itu.
Bagi Afghani, ilmu pengetahuan Barat dapat dipisahkan dari
ideologi Barat. Barat mampu menjajah Islam karena memiliki ilmu pengetahuan dan
teknologi, oleh sebab itu kaum Muslim harus juga menguasainya agar dapat
melawan imperialisme Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat,
sedangkan tujuan yang ingin dicapai ditentukan oleh agama Islam. Di sini sudah
tampak bibit pandangan instrumentalistik, yaitu anggapan bahwa ilmu pengetahuan
hanyalah alat untuk prakiraan dan pengendalian, dan sama sekali tak berbicara
tentang kebenaran. Pandangan al-Afghani ini didukung oleh gagasannya bahwa
Islam menganjurkan pengembangan pemikiran rasional dan mengecam sikap taklid.
Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu pengetahuan tetapi
juga pengembangan filsafat Islam yang telah lama fakum.
Gagasan al-Afghani amat berpengaruh,
khususnya di dunia Arab dan Iran . Penerus utama gagasan Afghani di dunia Arab
adalah pembaharu Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha
(1865-1935). Keduanya sempat mengunjungi beberapa negara Eropa, dan amat
terkesan dengan pengalaman mereka di sana . Rasyid
Ridha, yang mendapat pendidikan Islam tradisional, menguasai bahasa asing (Perancis dan Turki), yang
menjadi jalan masuk untuk mempelajari ilmu
pengetahuan
modern. Karena itulah, ketika gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, dengan jurnal Al-’Urwah
al-Wutsqa-nya yang diterbitkan di Paris, dan menyebar di Mesir, tak sulit bagi Ridha untuk
bergabung dengan gerakan itu.
Seperti
Afghani, Abduh tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dan al-Qur’an.
Jika hal itu terjadi, maka berarti penafsiran atas al- Qur’an itulah yang mesti
dipertanyakan. Dalam beberapa hal Ridha tampak lebih moderat dari Abduh. Jika seruan keras Abduh
untuk ijtihad - untuk menafsirkan kembali Islam agar memiliki vitalitas baru - dapat diartikan sebagai
adopsi total model Barat untuk ilmu
pengetahuan,
maka Ridha tampak lebih berhati-hati dengan menyarankan dibuatnya suatu kriteria pembaruan Islam untuk
menyeleksi bagian-bagian yang akan diadopsi. Namun, sama seperti Abduh, dalam hal ilmu
pengetahuan dan teknologi ia menyeru agar kaum Muslim mempelajari ilmu pengetahuan maupun ketrampilan
teknik Barat. Bagi Abduh dan Ridha, ilmu
pengetahuan modern sendiri adalah baik, yang menjadi masalah adalah tujuan penggunaannya.
Sebagaimana di
banyak bagian dunia Islam lainnya, gagasan Jamaluddin al- Afghani cukup berpengaruh di Iran.
Dalam hal respons terhadap kemodernan, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, gagasan-gagasan
al-Afghani digemakan kembali oleh
beberapa pemikir Muslim Iran.
Salah seorang
pemikir Iran abad ke-20 awal adalah Mahdi Bazargan (l. 1904), yang lahir sekitar 10 tahun setelah
wafatnya al-Afghani. Setelah pecah Revolusi Islam 1979, Bazargan menjadi perdana menteri yang pertama. Namun
sesungguhnya, sebelumnya ia
adalah seorang ilmuwan, bukan politikus. Pada dasawarsa awal abad ke-20 di Iran, pandangan yang berkembang
serupa dengan di dunia Islam umumnya, yaitu
bahwa
hasil-hasil temuan dan penerapan ilmu pengetahuan tak bertentangan dengan Islam, tetapi justru diperlukan
untuk membuat masyarakat Islam tak ketinggalan. Bazargan berusaha memberikan penegasan bahwa yang tak
bertentangan dengan Islam adalah ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai instrumen, sementara Islam dianggap sebagai jalan penyelamatan
spiritual. Banyak hasil temuan ilmu pengetahuan telah diisyaratkan dalam al-Qur’an. Hal
terpenting yang dikemukakan Bazargan adalah bahwa seorang Muslim dapat tetap setia kepada agamanya, dan pada
saat yang sama mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Periode berikutnya ditandai dengan munculnya Ali Syari’ati
(1933-1977) dan Murtadha Mutahhari (1920-1979). Keduanya adalah pemikir
terpenting Iran di zaman modern. Sebagai ideolog, tema terpenting Syari’ati
adalah “kembali ke jati diri yang sebenarnya,” sementara Mutahhari, sebagai
seorang mullah yang cukup akrab dengan berbagai pemikiran Barat modern,
berusaha secara sistematis membangun pandangan dunia Islam. Gagasan keduanya
tak terkesan bersifat apologetis terhadap perkembangan modern, namun sikapnya
terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi Barat masih berpusat di sekitar
penekanan bahwa keduanya tak bertentangan dengan Islam, dan memiliki wilayahnya
masing-masing.
Kebanyakan pemikir Muslim tidak mengambil sikap “religius”
atau “sekularis” yang ekstrem. Yang tampak tetap dominan di dunia Arab adalah
gagasan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi Barat harus dikuasai, dan bahwa
itu tak bertentangan dengan ajaran Islam. Ini tampak hingga pada beberapa tokoh
ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb dan Yusuf al-Qardhawi. Qardhawi, ideolog
Ikhwanul Muslimin, menekankan perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika
modernisasi tak berarti pembaratan, dan terbatas pada pemanfaatan ilmu
pengetahuan modern dan penerapan teknologinya, maka Islam tak menolaknya.
Pandangan Qardhawi ini cukup mewakili pandangan mayoritas
Muslim. Secara umum, dunia Islam relatif terbuka untuk menerima ilmu
pengetahuan dan teknologi sejauh memperhitungkan manfaat praktisnya. Pandangan
instrumentalis ini kelak terbukti tetap bertahan, hingga kini, di kalangan
masyarakat Muslim. Tetapi di kalangan pemikir yang mempelajari sejarah dan
filsafat ilmu pengetahuan, gagasan seperti ini tak cukup memuaskan mereka.
E.
KESIMPULAN
Dari rangkuman sejarah
perkembangan pemikiran dalam Islam nampak bahwa tradisi keilmuwan melekat dalam
diri umat Islam sejak agama ini lahir. Tradisi itu bukan saja hanya pada
tataran empirisme melainkan jauh melesat ke alam meta empiris. Kebebasan dan
keberanian dunia pemikiran Islam telah melahirkan kekayaan yang tidak ternilai
dalam khazanah ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Sayangnya, semua
itu saat ini tinggal nostalgia. Dunia Islam kemudian tertinggal dalam ilmu
pengetahuan.
Sejak
akhir abad ke-19 hingga kini, salah satu persoalan besar yang diangkat para
pemikir Muslim adalah
sikap yang mesti diambil terhadap ilmu pengetahuan modern di dunia Barat.
Perdebatan mereka dilatarbelakangi kesadaran bahwa dunia Islam pernah menjadi
pusat ilmu pengetahuan, tetapi pada Zaman Baru telah jauh tertinggal oleh dunia
Barat. Perbincangan tentang Islam dan ilmu pengetahuan sejak akhir abad ke-19
itu memiliki dua aspek penting.
Pertama, periode
tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam pemikiran Islam. Penyebab
utamanya adalah kontak yang semakin intensif - pada beberapa kasus bahkan
berupa benturan fisik - antara dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti
“kemodernan” serta “modernisme”, “westernisasi” atau pembaratan, dan “sekularisme”
menjadi objek utama perhatian para pemikir Muslim. Demikian luasnya penyebaran
gagasan baru itu sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran baru
Islam lahir dari keinginan menanggapinya.
Kedua, sejak awal
perkembangan Islam, ilmu -berdasarkan pengamatan, wahyu, atau renungan para
sufi- sebagai induk ilmu pengetahuan selalu mendapatkan perhatian para pemikir
Muslim. Bertemu dengan kecenderungan di atas, perhatian tersebut mengambil
bentuk tanggapan terhadap perkembangan pesat ilmu pengetahuan modern di dunia
Barat, yang dianggap tidak berinduk pada suatu ilmu yang benar. Tanggapan itu,
karena lebih merupakan reaksi daripada usaha atas prakarsa sendiri, pada diri
beberapa pemikir dan aliran pemikiran merupakan penyempitan wilayah wacana
tentang ilmu dan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan periode sebelumnya,
khususnya masa awal perkembangan intelektual Islam.
Sejak abad ke-19, usaha
untuk memberi tanggapan itu melahirkan pemikiran tentang antara Islam dan ilmu
pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat berarti usaha
apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat
sebenarnya bersifat “islami”. Bisa pula merupakan usaha mengakomodasi sebagian
nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena dianggap islami, sambil
menolak sebagian lain. Tidak pula bisa dilupakan usaha “islamisasi” berbagai
cabang ilmu pengetahuan dan penciptaan suatu “filsafat ilmu pengetahuan Islam”.
Akhirnya ada upaya rekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam.
Kesemua tanggapan itu
dapat dikelompokkan ke dalam dua wacana besar. Pembagian atas dua wacana ini
sebagian bersifat kronologis dan sebagian lagi tematis. Wacana pertama, yang
berkembang sejak abad ke-19, terfokus pada penegasan bahwa tidak terdapat
pertentangan antara ilmu pengetahuan dan Islam. Penegasan tersebut didasarkan
pada pandangan instrumentalis tentang ilmu pengetahuan, artinya pandangan bahwa
ilmu pengetahuan sekedar alat dan tidak terikat pada nilai atau agama tertentu.
Referensi
Afifi,
A.E., Fî al-Taşawuf al-Islâm wa Tarikhi, Kairo: tnp, 1939.
Ahmadi,Abu,Filsafat
Islam, Semarang: Toha Putra, 1982.
al-Ghazâlî,
Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad, Ihyâ’ ‘ulûm al-Dîn, 4 Jilid, Beirut: Dâr
al-Ma‘rifah, tt.
HAMKA,
Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, cetakan ke 8, Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, 1978.
Nasution, Harun, Falsafah dan Misticisme
dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
0 Response to "PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM"
Post a Comment