I. Pengertian
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. Perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya
hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah adalah
hak atas tanah termasuk hak pengelolaan beserta bangunan di atasnya sebagaimana
dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No.16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya. Dasar hukum Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan adalah UU No.20/2000 (UU No.21/1997
rev.)
II. Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan
Subjek
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan
kewajiban membayar BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi
Wajib Pajak.
Pengertian
Subjek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut Pasal 4 ayat (1) UU
SPHTS adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan.
III. Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan
1. Objek BPHTB adalah perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan, bukan
tanah atau bangunannya sendiri. Objek perolehan hak atas
dan atau bangunan meliputi:
A.
Pemindahan
Hak karena:
· Jual beli;
· Tukar-menukar;
· Hibah;
· Hibah wasiat, yaitu suatu penetapan
wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada
orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah
wasiat meninggal dunia;
· Waris;
· Pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang
pribadi atau badan kepada perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai
penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut;
· Pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan
oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama;
· Penunjukan pembeli dalam lelang,
yaitu penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum
dalam risalah lelang;
· Pelaksanaan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu adanya peralihan hak dari orang pribadi
atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam
putusan hakim tersebut;
· Penggabungan usaha, yaitu penggabungan
dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya
salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung;
· Peleburan usaha, yaitu penggabungan
dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan
melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut;
· Pemekaran usaha, yaitu pemisahan
suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan
badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha
baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama;
· Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum
berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
B.
Pemberian
hak baru karena:
· Kelanjutan pelepasan hak, yaitu
pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah
yang berasal dari pelepasan hak;
· Di luar pelepasan hak, yaitu
pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara
atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
· Perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya
hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
· Objek pajak yang diperoleh karena
waris dan hibah wasiat pengenaan BPHTB-nya diatur lebih lanjut dalam PP
Nomor 111 Tahun 2000;
· Objek pajak yang diperoleh karena
pemberian hak pengelolaan pengenaan BPHTB-nya diatur lebih lanjut dengan PP
Nomor 112 Tahun 2000.
2.
Yang
meliputi Hak atas tanah yaitu:
a. Hak milik, yaitu hak turun-temurun,
terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum
tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah;
b. Hak guna usaha (HGU), yaitu hak
untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu
sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku;
c. Hak guna bangunan (HGB), yaitu hak
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
d. Hak pakai, yaitu hak untuk
menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
e. Hak milik atas satuan rumah susun,
yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik
atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama,
dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan satuan yang bersangkutan.
f. Hak pengelolaan, yaitu hak menguasai
dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang
haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah,
penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian
dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak
ketiga.
3. Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB, yaitu:
a. Objek pajak yang diperoleh Perwakilan diplomatik, konsulat
berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
b. Objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan
pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum. Yang
dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan
pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum
adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan
pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan
yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan
atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah,
jalan umum.
c. Objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi
internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan
atau perwakilan organisasi tersebut;
d. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena
konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan
nama. Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama
menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak
oleh Pemerintah.
e. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena
wakaf. Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau
bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan
atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.
f. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang
digunakan untuk kepentingan ibadah.
IV. Tarif Pajak Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan
Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan adalah 5% (lima persen).
V. Dasar Pengenaan Dan Cara Penghitungan
Pajak
1. Dasar Pengenaan BPHTB
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu
a.
Jual beli adalah harga transaksi;
b. Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c.
Hibah adalah nilai pasar;
d. Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e.
Waris adalah nilai pasar;
f.
Pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan adalah nilai pasar;
h. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i.
Pemberian hak baru atas tanah
sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j.
Pemberian hak baru atas tanah di
luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. Penggabungan usaha adalah nilai
pasar;
l.
Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. Hadiah adalah nilai pasar;
o. Penunjukan pembeli dalam lelang
adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
Dalam hal NPOP tidak diketahui atau
lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang dipakai adalah NJOP PBB.
Yang dimaksud dengan harga transaksi
adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Dalam hal NJOP PBB pada tahun terjadinya perolehan belum
ditetapkan, besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
2.
Apa yang
boleh dikurangkan dalam penghitungan BPHTB ?
Yang boleh dikurangkan dalan perhitungan BPHTB
adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP diberikan untuk setiap perolehan hak sebagai
pengurang penghitungan BPHTB terutang. NPOPTKP ditetapkan secara regional
(setiap kabupaten/kota) paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah),
kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima
oleh orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat,
termasuk suami/istri, NPOPTKP regional paling banyak Rp300.000.000,- (tiga
ratus juta rupiah). Besarnya NPOPTKP ditetapkan oleh Kepala Kanwil DJP atas
nama Menteri Keuangan untuk setiap kabupaten/kota dengan mempertimbangkan
pendapat Pemda setempat. Ketentuan besarnya NPOPTKP diatur lebih lanjut dalam
PP Nomor 113 Tahun 2000.
3.
Cara Perhitungan pajak BPHTB
1.
BPHTB terutang = 5 % x NPOP Kena
Pajak;
2.
NPOP Kena Pajak = NPOP – NPOPTKP.
VI. Saat Dan Tempat Pajak Terutang
i.
Saat terutang dan pelunasan BPHTB
untuk:
a) Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta, yaitu tanggal dibuat dan ditandatanginya akta pemindahan hak di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris;
b) Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
c) Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
d) Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan
peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
e) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah
sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
f) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g) Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang,
yaitu tanggal ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara
atau kantor lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang memuat antara lain nama pemenang lelang.
h) Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
i) Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan
mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
j) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat
keputusan pemberian hak;
k) Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak
tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
l) Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditanda-tanganinya akta;
m) Peleburan
usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
n) Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditanda-tanganinya akta;
o) Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta.
ii. Tempat pajak BPHTB terutang
Tempat BPHTB terutang adalah wilayah Kabupaten Daerah
Tingkat II atau Kotamadya Daerah Tingkat II, atau Propinsi Daerah Tingkat
I untuk Kotamadya Administratif yang
meliputi letak tanah dan atau bangunan.
VII.
Pembayaran, Penetapan, Dan Penagihan
Sistem
self assessment digunakan sebagai dasar pemungutan BPHTB, dimana Wajib Pajak
membayar BPHTB yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat
ketetapan pajak.
1.
Cara Pembayaran pajak BPHTB
BPHTB yang terutang dibayar ke kas
negara melalui Bank/Kantor Pos Persepsi BPHTB, yaitu Kantor Pos dan atau Bank
Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat
pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan menggunakan Surat Setoran
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB).
2. Waktu SKBKB dapat Diterbitkan
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB)
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah
BPHTB yang terutang kurang dibayar.
3. Besarnya BPHTB Terutang Dalam SKBKB
BPHTB terutang dalam SKBKB adalah
BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan dari jumlah kekurangan BPHTB
tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung
mulai saat terutangnya BPHTB sampai dengan diterbitkannya SKBKB dimaksud.
4. Waktu
SKBKBT Dapat Diterbitkan
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
(SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap
yang menyebabkan penambahan jumlah BPHTB yang terutang setelah diterbitkannya
SKBKB.
5. Besarnya
BPHTB Terutang Dalam SKBKBT
BPHTB terutang dalam SKBKBT adalah
BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
kekurangan BPHTB tersebut, kecuali Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum
dilakukan tindakan pemeriksaan.
6. Dalam keadaan Bagaimana STB diterbitkan
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(STB) diterbitkan apabila :
a.
BPHTB Yang Terutang Tidak Atau
Kurang Dibayar;
b. Dari Hasil Pemeriksaan SSB Terdapat
Kekurangan Pembayaran BPHTB Sebagai Akibat Salah Tulis Dan Atau Salah Hitung;
c.
Wajib Pajak Dikenakan Sanksi
Administrasi Berupa Denda Dan Atau Bunga.
7. Besarnya
BPHTB Terutang Dalam STB
BPHTB terutang dalam STB akibat
tidak atau kurang dibayar dan akibat salah tulis dan atau hitung adalah BPHTB
terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat
terutangnya BPHTB.
8. Bagaimana
kedudukan STB dalam proses penagihan BPHTB ?
STB mempunyai kekuatan hukum yang
sama dengan surat ketetapan pajak sehingga penagihannya dapat dilanjutkan
dengan penerbitan Surat Paksa.
9. Dasar
penagihan BPHTB ?
Dasar penagihan BPHTB adalah SKBKB,
SKBKBT, STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun
Putusan Banding yang menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah.
Tata cara penagihan BPHTB diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
10. Berapa
lama jangka waktu pelunasan SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang menyebabkan
jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah?
BPHTB terutang dalam SKBKB, SKBKBT,
STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan
Banding yang menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah harus
dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh
Wajib Pajak.
Apabila sampai dengan jangka waktu 1
(satu) bulan sebagaimana dimaksud tidak atau kurang dibayar, dapat ditagih
dengan Surat Paksa, yaitu surat perintah membayar pajak dan tagihan yang
berkaitan dengan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang mempunyai kekuatan sama dengan putusan pengadilan (parate executie).
VIII.
Keberatan, Banding, Dan Pengurangan
1.
Apa saja
yang dapat diajukan permohonan keberatan BPHTB ?
Yang
dapat diajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak adalah :
a.
SKBKB, yaitu surat ketetapan yang
menentukan besarnya jumlah BPHTB terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok
pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar;
b. SKBKBT, yaitu surat ketetapan yang
menentukan tambahan atas jumlah BPHTB yang telah ditetapkan;
c.
SKBLB, yaitu surat ketetapan yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran BPHTB karena jumlah BPHTB yang telah
dibayar lebih besar daripada BPHTB yang seharusnya terutang;
d. SKBN, yaitu surat ketetapan yang
menentukan jumlah BPHTB yang terutang sama besarnya dengan jumlah BPHTB yang
dibayar.
2. Bagaimana
tata cara permohonan keberatan BPHTB ?
· Membuat permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
kepada Kepala KPPBB dengan mengemukakan jumlah BPHTB yang terutang menurut
penghitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan yang jelas, yaitu didukung
dengan data atau bukti bahwa jumlah BPHTB yang terutang atau lebih bayar yang
ditetapkan oleh fiskus tidak benar;
· Menyampaikan permohonan secara lengkap sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dalam batas waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya SKBKB, SKBKBT,
SKBLB, atau SKBN; kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu
tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
· Melampirkan foto kopi sebagai berikut :
· Fotocopy
SSB
· Asli
SKBKB/SKBKBT/SKBLB/SKBN
· Fotocopy
Akta/Risalah Lelang/Surat Keputusan Pemberian Hak Baru/Putusan Hakim
· Fotocopy
KTP/ Paspor / KK /identitas lain
· Permohonan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak
dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan;
· Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat
Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat
Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan
tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.
3. Berapa
lama jangka waktu penyelesaian permohonan keberatan BPHTB ?
Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal Surat Permohonan Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas
keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah lewat
dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka keberatan
yang diajukan tersebut dianggap diterima.
4. Apa yang
dapat disampaikan oleh Wajib Pajak sebelum keputusan keberatan BPHTB
diterbitkan?
Sebelum
surat keputusan keberatan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan
tambahan atau penjelasan tertulis.
5.
Apa bentuk
keputusan keberatan?
Keputusan
Keberatan dapat berupa :
· Menerima seluruhnya, apabila data/bukti-bukti yang
dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan
terbukti kebenarannya.
· Menerima sebagian, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan
dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan sebagian
terbukti kebenarannya.
· Menolak, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam
pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan tidak terbukti kebenarannya.
· Menambah jumlah pajaknya, apabila data/bukti-bukti yang
dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan,
mengakibatkan peningkatan jumlah BPHTB-nya.
6. Apa yang
dapat dilakukan Wajib Pajak jika permohonan keberatannya ditolak ?
·
Wajib Pajak yang keberatannya
ditolak dapat mengajukan banding ke Badan Pengadilan Pajak (BPP).
·
Permohonan dimaksud diatur lebih
lanjut dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
7.
Apa bentuk
putusan Banding ?
Putusan Banding dapat berupa :
- Menolak;
- Mengabulkan sebagian atau
seluruhnya;
- Menambah pajak yang harus dibayar;
- Tidak dapat diterima;
8. Bagaimana
sifat Putusan Banding ?
Putusan
Banding oleh BPP bukan merupakan putusan final dan dapat diajukan Peninjauan
Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
9. Bagaimana
jika Putusan Banding menerima sebagian atau seluruhnya ?
Apabila
putusan banding menerima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% untuk jangka waktu paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran BPHTB sampai dengan diterbitkannya Putusan
Banding.
10.
Kepada
siapa pengurangan BPHTB dapat diberikan ?
Pengurangan BPHTB dapat diberikan
Wajib Pajak melalui permohonan karena:
a.
Kondisi tertentu Wajib Pajak yang
ada hubungannya dengan Objek BPHTB, atau
b.
Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya
dengan sebab-sebab tertentu, atau
c.
Tanah dan atau bangunan digunakan
untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari
keuntungan.
0 Response to "BPHTB"
Post a Comment