KATA PEGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya
menyelesaikan tugas ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin
penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Tugas ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan.
Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun
dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini
dapat terselesaikan.
Tugas ini memuat tentang “Ihtikar dalam
Perspektif Islam’’ sengaja dipilih karena menarik
perhatian penulis untuk dicermati dan perlu mendapat dukungan dari semua mengenai
Ikhtikar
ataupun Monopoli yang terjadi di kalangan pengusaha saat ini yang berimbas
kepada tingkat ekonomi masyarakat.
Semoga tugas ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Walaupun tugas ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon
untuk saran dan kritiknya.
Terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….. i
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II PEMBAHASAN
2
A. Pengertian.............................................................................................................2
B. Dasar Hukum………………………………........................................................3
C. Persamaan
Monopoli dengan Ihtikar..................................................................5
D. Kriteria Al – Ihtikar
dalam Islam........................................................................6
E. Hikmah dari
Larangan Ihtikar............................................................................7
BAB III PENUTUP
Kesimpulan………………………………………………………………………………...9
Kesimpulan………………………………………………………………………………...9
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………………….
ii
i
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
agama Islam kita memang di halalkan dan di suruh untuk mencari rezki melalui
berbagai macam usaha seperti bertani, berburu atau melakukan perdagangan atau
jual beli. Namun tentu saja kita sebagai orang yang beriman diwajibkan
menjalankan usaha perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara
khusus menurut Alquran dan Sunnah, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana
seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan agar mendapatkan
berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.
Aturan
main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai macam syarat dan rukun yang harus
dipenuhi oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan
dengan menggunakan dan mematuhi apa yang telah di syariatkan tersebut, suatu
usaha perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran
selalu mendapat berkah Allah SWT di dunia dan di akhirat.
Selain harus mengetahui bagaimana jual beli yang di perbolehkan dan sah
menurut hukm islam, kita juga dituntut untuk tahu apa saja jual beli yang
dilarang oleh Islam, agar kita tidak terjerumus kepada hal yang dilarang oleh
Allah SWT, untuk itulah dalam makalah sederhana ini saya akan membahas satu
dari sekian banyak jual beli yang tidak diperbolehkan, yaitu monopoli atau
Ihtikar. Tentang
apa dan bagaimana ihtikar itu menurut pandangan okum islam.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ihtikar
Ikhtikar (الاحتكار ) dala bahasa
Arab artinya zalim (aniaya) dan merusak
pergaulan
(اساء المعاشرة ), upaya penimbunan barang dagangan
untuk menunggu melonjaknya harga barang penimbunan barang adalah salah satu
perkara dalam perdagangan yang diharamkan oleh agama karena bisa membawa
madhorot. Para ulama mengemukakan arti atau definisi ihtikar (menimbun) berbeda-beda
sepertinya halnya yang diterangkan dibawah ini Imam Muhammad bin Ali
Asy-Syaukani mendefinisikan : Penimbunan atau penahan barang dagangandariperedarannya.
Defenisi lain Ikhtikar artinya menimbun barang agar yang
beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh
keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan(1). Menurut Adimarwan
"Monopoli secara harfiah berarti di pasar hanya ada satu penjual"(2).
Berdasarkan hadist :
عَنْ
سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
dari
Sa'id bin Musayyab ia meriwayatkan: Bahwa Ma'mar, ia berkata, "Rasulullah
saw. bersabda, 'Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa'," (HR Muslim
(1605). jelas monopoli seperti ini dilarang dan hukumnya adalah haram, karena
perbuatan demikian didorong oleh nafsu serakah, loba dan tamak, serta
mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang banyak. Selain itu juga
menunjukan bahwa pelakunya mempunyai moral dan mental yang rendah.
2
B.
Hukum Ihtikar
Para ulama berbeda pendapat tentang
hukum ihtikar, dengan perincian sebagai berikut:
1.Haram secara mutlak (3) (tidak
dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda Nabi SAW:
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR.
Muslim 1605)
2. Makruh secara mutlak, Dengan
alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah terbatas kepada
hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi umatnya.
3. Haram apabila berupa bahan
makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan, dengan alasan
hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang
dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana riwayat
lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:
مَنِ
احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ
إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِي كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ
Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id
ditanya, "Kenapa engkau lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab,
"Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan
ihtikar!' (HR. Muslim 1605)
Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan:
"Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan Ma'mar (perowi hadits) hanya
menyimpan minyak, karena keduanya memahami bahwa yang dilarang adalah khusus
bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak mungkin bagi seorang
sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi'in [mulia]
yang bernama Said bin Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits larangan
ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang dilarang
hanyalah bahan makanan saja).
3
4. Haram
ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan
tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran
Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila
ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka
perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang
yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang
menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian
manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
5. Boleh
ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang
memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat
tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil
dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ مُجَازَفَةً عَلَى
عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَ أَنْ
يَبِيعُوهُ حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِـهِمْ
Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli
bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang
menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih
dahulu." (HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8)
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani
berkata:
"Imam Bukhori sepertinya
berdalil atas bolehnya menimbun/ihtikar dengan (hadits ini), karena Nabi SAW
memerintahkan pembeli bahan makanan supaya mengangkutnya terlebih dahulu ke
rumah-rumah mereka sebelum menjualnya kembali, dan seandainya ihtikar itu
dilarang, maka Rosulullah SAW tidak akan memerintahkan hal itu." (Fathul
Bari 4/439-440).(5) Demikian pula pendapat tentang waktu diharamkannya ihtikar.
Ada ulama yang mengharamkan ihtikar
setiap waktu secara mutlaku, tanpa membedakan masa paceklik dengan masa surplus
pangan, berdasarkan sifat umum larangan terhadap monopoli dari hadits yang
sudah lalu. Ini adalah pendapat golongan salaf.
4
C.
Persamaan Monopoli
dan Al-Ihtikar
Secara terminologi bahwa al-Ihtikar dalam dataran konseptual berbeda dengan
monopoli, namun jika dilihat dari dataran faktualnya memiliki banyak persamaan,
sedangkan perbedaannya adalah sangat tipis sekali.
Adapun persamaannya adalah:
1. Monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki unsur kepentingan sepihak (motivasi yang kuat) dalam mempermainkan harga (price maker).
2.
Pelaku monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki
hak opsi untuk menawarkan barang-barang ke pasaran
atau tidak.
3.
Monopoli dan Ihtikar dapat mengakibatkan polemik dan
ketidakpuasan pada masyarakat.
4. Monopoli dan ihtikar merupakan salah satu cara golongan orang kaya untuk mengeksploitasi (Zulm) golongan miskin.
4. Monopoli dan ihtikar merupakan salah satu cara golongan orang kaya untuk mengeksploitasi (Zulm) golongan miskin.
Sedangkan diantara perbedaan monopoli dan ihtikar adalah:
1. Bahwa monopoli terjadi jika seseorang memiliki modal yang besar dan dapat memproduksi suatu barang tertentu di pasaran yang dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan Ihtikar tidak hanya bisa dilakukan oleh pemilik modal besar namun masyarakat menengah dengan modal alakadarnya pun bisa melakukannya
2.
Suatu perusahaan monopolis cenderung dalam melakukan aktifitas ekonomi dan
penetapan harga mengikuti ketentuan pemerintah (adanya regulasi standard
pemerintah), sedangkan ihtikar dimana dan kapan pun bisa dilakukan oleh siapa
saja, sebab penimbunan sangat mudah untuk dilakukan.
3.
Untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum, dalam ihtikar kelangkaan barang dan
kenaikan harga suatu barang terjadi dalam waktu dan tempo yang tentitif dan
mendadak dan dapat mengakibatkan inflasi. Sementara dalam monopoli kenaikan
harga biasanya cenderung dipengaruhi oleh mahalnya biaya produksi dan
operasional suatu perusahaan walaupun kadang-kadang juga dipengaruhi oleh
kelangkaan barang.
4.
Praktek monopoli adalah legal dan bahkan di negara tertentu dilindugi oleh undang-undang
atau aturan suatu negara, sedangkan ihtikar merupakan aktifitas ekonomi yang
ilegal.
5
D.
Kriteria al-Ihtikar dalam Islam
Dalam hal ini para ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan penimbunan yang haram adalah yang memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya, berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Karena seseorang boleh menimbun untuk persediaan nafkah dirinya dan keluarganya dalam tenggang waktu selama satu tahun.
2. Bahwa orang tersebut menunggu
saat-saat memuncaknya harga barang agar dapat menjualnya dengan harga yang
lebih tinggi karena orang sangat membutuhkan barang tersebut kepadanya.
3. Bahwa penimbunan dilakukan pada saat
dimana manusia sangat membutuhkan barang yang ditimbun, seperti makanan,
pakaian dan lain-lain. Jika barang-barang yang ada di tangan para pedagang
tidak dibutuhkan manusia, maka hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan,
karena tidak mengakibatkan kesulitan pada manusia.(Ali Abd ar-Rasul, 1980:
1980, dan As-Sayyid Sabiq, 1981: 100)
Dari ketiga syarat itu, jika dianalisa aspek keharamannya maka dapat disimpulkan, bahwa penimbunan yang diharamkan adalah kelebihan dari keperluan nafkah dirinya dan keluarganya dalam masa satu tahun. Hal ini berarti apabila menimbun barang konsumsi untuk mengisi kebutuhan keluarga dan dirinya dalam waktu satu tahun tidaklah diharamkan sebab hal itu adalah tindakan yang wajar untuk menghindari kesulitan ekonomi dalam masa paceklik atau krisis ekonomi lainnya. Sedangkan syarat terjadinya penimbunan, adalah sampainya pada suatu batas yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang tertimbun semata karena fakta penimbunan tersebut tidak akan terjadi selain dalam keadaan semacam ini. Kalau seandainya tidak menyulitkan warga setempat membeli barang tersebut, maka penimbunan barang tidak akan terjadi kesewenangan-wenangan terhadap barang tersebut sehingga bisa dijual dengan harga yang mahal.
6
Atas dasar inilah, maka syarat terjadinya penimbunan tersebut adalah bukan pembelian barang. Akan tetapi sekedar mengumpulkan barang dengan menunggu naiknya harga sehingga bisa menjualnya dengan harga yang lebih mahal. Dikatakan menimbun selain dari hasil pembeliannya juga karena hasil buminya yang luas sementara hanya dia yang mempunyai jenis hasil bumi tersebut, atau karena langkanya tanaman tersebut. Bisa juga menimbun karena induustri-industrinya sementara hanya dia yang mempunyai industri itu, atau karena langkanya industri seperti yang dimilikinya.
Menurut Yusuf al-Qardawi penimbunan itu diharamkan jika memiliki keriteria sebagai berikut:
1. Dilakukan di suatu tempat yang penduduknya akan menderita sebab adanya penimbunan tersebut.
2. Penimbunan dilakukan untuk menaikkan harga sehingga orang merasa susah dan supaya ia dapat keuntungan yang berlipat ganda. .(Yusuf al-Qardawi, 2000: 358)
E.
Hikmah di Balik Larangan Ihtikar
Imam
Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah mencegah hal-hal yang
menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada
orang memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada
makanan
kecuali yang ada pada orang tadi,
maka wajib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan cuma-cuma
makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan. Demikian juga apabila
ada yang menimbun selain bahan makanan (seperti pakaian musim dingin dan
sebagainya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan mereka,
maka hal ini dilarang dalam Islam(6).
Islam
mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam mengancam
mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah
subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35:
7
وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ
جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا
كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (35)
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam
neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung
mereka (lalu dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan
untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu
simpan itu”.
Menimbun
harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran.
Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam
perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan
mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa
menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong
meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun
dengan memperluas rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta
situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat.
Penimbunan barang merupakan halangan
terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat
internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang
dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya dan maju secara
ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok. Bahkan,
negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang
kurang maju perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang
dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap
keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.
8
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ihtikar artinya menimbun barang
agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun
memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan. Para ulama berbeda
pendapat tentang okum ihtikar ada yang berpendapat Haram secara mutlak, makruh
secara mutlak, haram apabila berupa bahan makanan saja , haram ihtikar
disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah dan pula yang
berpendapat bahwa ihtiakar itu boleh. Sedangkan Monopoli dengan Ihtikar memiliki kesamaan dan
beda yang tidak jauh.
Ihtikar dalam salah satu barang
kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan
kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang
luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya yang tidak mempengaruhi
perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya. Penimbunan barang merupakan halangan
terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat
internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang
dialami oleh manusia sekarang,
9
DAFTAR PUSTAKA
Basyarahil, Salim, Aziz, H. A., 22 Masalah Agama, Gema
Insani Press, Jakarta. Tanpa Tahun.
Nurhayati, Sri, Akuntansi Syari’ah
di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 2009.
Ali, Muhammad, e-book Hukum
Menimbun Barang Dagangan, Al-Furqon, Gresik, Edisi 7 Th. Ke-7, 1429 H.
Adiwarman
A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, , PT Raja Grafindo, Jakarta hlm. 173
1. H. A.
Aziz Salim Basyarahil, 22 Masalah Agama, hlm.56, Gema Insani Press, Jakarta.
Tanpa Tahun.
2. Ir. Adiwarman A. Karim, Ekonomi mikro islami, hlm. 173,
PT Raja Grafindo, Jakarta, .
3. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama tentang haram
monopoli secara mutlak.
4. H. A. Aziz Salim Basyarahil, Opcit., hlm.58.
5.
Muhammad Ali, e-book Hukum Menimbun Barang Dagangan, hlm.4, Al-Furqon, Gresik, Edisi 7
Th. Ke-7, 1429 H
6. Ibid., hlm. 10.
ii
0 Response to "IKHTIKAR"
Post a Comment