2.1. Pengertian dan Batasan
Dalam Dictionary
of Modern Written Arabic, karya Milton Cowan (ed) kata qa’idah (قاعدة) atau jama’nya qawa’id (قواعد) secara literal berarti: asas,
landasan, dasar, basis atau fondasi suatu bangunan atau ajaran agama dan
sebagainya. Dalam pengertian yang lebih khas, qa’idah dapat juga
bermakna ajaran, garis panduan, formula, pola atau metode. Qa’idah memiliki
makna yang sama dengan ‘asas’ atau ‘prinsip’ yang mendasari suatu bangunan,
agama atau yang semisalnya (al-Nadwi, 1991).
Dari sisi
pengertian menurut ilmu fiqh, Nadwi (1991) dan juga al-Jurjani (Djazuli, 2006)
mendifinisikan qai’dah sebagai aturan umum atau universal (kuliyyah)
yang dapat diterapkan untuk semua yang bersifat khusus atau bagian-bagiannya (juz’iyyah).
Sedang dalam pandangan para fuqaha yang lain qa’idah adalah aturan umum yang
mencakup sebagian besar (aghlabiyyah) dari bagian-bagiannya (Nadwi).
Mukhtar dkk (1995b) menyimpulkan qa’idah sebagai aturan umum yang
diturunkan dari hukum-hukum furu’ yang sejenis dan jumlahnya cukup banyak.
Berdasarkan
penelitian terhadap kitab-kitab dan riwayat hidup para penyusunnya, aturan
fiqih dalam bentuk qa’idah ini dapat tersusun melalui suatu proses yang panjang
dan tidak terbentuk sekaligus sebagai sebuah bangunan pengetahuan (body of
knowledge) tentang qa’idah sekaligus, melainkan secara bertahap (Jazuli,
2006). Menurut Jazuli, sebelum al-Karkhi dari madzhab Hanafi, sebelumnya telah
ada pengumpulan qa’idah, namun tampaknya tidak tersusun menjadi karya
sistematis, oleh seorang ulama madzhab Hanafi lainnya, yaitu Abu Thahir
ad-Dibasi hidup diakhir abad ke 3 Hijriyah sampai dengan awal abad ke empat.
Sebanyak 17 qa’idah telah disusun oleh ad-Dibasi, yang kemudian juga
disampaikan kepada seorang ulama madzhab as-Syafii yaitu Abu Sa’id al-Harawi.
Dari sumber ad-Dibasi, al-Karkhi mengembangkannya lebih lanjut menjadi 36
qa’idah (an-Nadwi, 1997) atau 37 qa’idah (Jazuli). Proses pembentukan qa’idah
dilukiskan oleh Jazuli sebagai berikut:
Qawa’id disusun
berdasarkan materi-materi fiqh, untuk selanjutnya diverifikasi untuk
mendapatkan hasil qawa;id yang lebih sempurna, untuk kemudian tersusun kembali
fiqh sebagai kelengkapan dari khazanah fiqh yang telah ada, kemudian
ketentuan-ketentuan hukumnya menjadi hasil akhir dari proses tersebut.
2.2. Posisi Qawa’id Fiqhiyyah
dalam Syari’ah Islam
Proses penerapan
aturan syar’i dalam qa’idah menurut Mahmassani (1980) sama dengan
penerapan metodologi qiyas dalam memilih aturan yang tepat dalam usul fiqh.
Apabila aturan rinci sebagaimana dijumpai pada al-Asybah wan-Nazhair muncul
dari kasus yang serupa, maka qa’idah dengan sendirinya dapat diterapkan. Nadwi
(1991) dan Mahmassani berpendapat bahwa tulisan tentang qawa’id fiqhiyyah
tersusun sejak mulai abad ke delapan Hijriyah, melalui karya Ibnul Wakil
as-Syafi’i (716 H), Tajuddin as-Subki (771 H), Ibnul Mulaqqin (804 H), dan yang
lebih monumental lagi karya Jalaluddin as-Suyuti (911 H). Satu karya yang juga
tak kalah pentingnya adalah berasal dari madzhab Hanafi yaitu karya Ibnu Nujaim
(970 H).
Dalam ketiga kitab
al-Asybah wan-Nazhair karya Tajuddin as-Subki, Jalaluddin as-Suyuti
maupun Ibnu Nujaim (970 H), pembedaan antara qa’idah umum atau asas
dengan qa’idah khusus atau rinci (detail) dijelaskan secara memadai. As-Subki
dan as-Suyuti merumuskan Lima qa’idah asasiyyah yang dikenal dengan al-Asasiyyatul-Khamsah,
yang kemudian disusun dalam al-Majallah yang dikeluaran pada jaman pemerintahan
Turki Usmani, yaitu:
1) Artikel-2
Al-umuur bimaqaasidihaa (الأمور بمقاصدها)
atau setiap perkara itu ditetukan berdasarkan niatnya;
2) Artikel -4 Al-yaqiin
laa yuzaalu bisy-syakk (اليقين لا يزال بالشك) yaitu sesuatu yang pasti tidak
dapat dihapus oleh keraguan. Dalam hal lain disebutkan Al-yaqiin laa yazuulu
bisy-syakk (اليقين لا يزول بالشك) atau sesuatu yang pasti tidak
dapat berubah disebabkan oleh keraguan;
3) Artikel
-17 Al-musyaqqah tajlibut taysiir (المشقة تجلب التيسير)
atau kesulitan itu mendatangkan kemudahan;
4) Artikel
-21 Adh-dhararu yuzaalu (الضرر يزال) atau kemadharatan hendaknya
dihapuskan; dan
5) Artikel
-36 Al-‘aadah muhakkamah (العادة محكمة) atau adat kebiasaan dapat menjadi
sumber hukum.
Sementara itu Ibnu
Nujaim menambah satu lagi qa’idah asas sehingga menjadi enam, yaitu laa
tsawaaba illaa bin-niyyah
لا ثواب الا بالنية
atau tidak ada pahala bagi perbuatan
yang tidak disertai dengan niat, yang kemudian menjadi qa’idah asas yang
berlaku di kalangan madzhab Hanafi. Sementara itu di kalangan madzhab Maliki, qa’idah
ini menjadi cabang dari qa’idah al-umuur bimaqaasidihaa.
Dalam penerapannya, Jazuli
mengklasifikasikan qawa’id dalam enam bidang, yaitu ibadah mahdhah (khusus),
ahwal as-Syahshiyyah (hal-ikhwal pribadi dan keluarga), mu’amalah (transaksi
ekonomi), jinayah (kriminalitas), siyasah (politik), dan fiqh qadha (hukum
acara dan peradilan). Namun demikian penerapan qa’idah untuk bidang mu’amalah
tidak banyak menyinggung masalah penerapan untuk perekonomian modern secara
umum. Disini keberadaan qawa’id fiqhiyyah menjadi lebih jelas maknanya.
2.3. Qawa’id
Fiqhiyyah dalam Masalah Ekonomi
Beberapa qa’idah fiqhiyyah
memberi ruang kepada pemikiran ataupun praktek-praktek ekonomi, sebagaimana
yang juga diklasifikasikan oleh Jazuli (2006). Dalam karyanya, al-Fiqh
al-Islam fi Tsaubihi at-Tajdid, terbitan tahun 1963, Muhammad Mustafa
az-Zarqa, sebagaimana dikutip oleh Jazuli (2006), menyebutkan setidaknya 25
qawa’id yang terkait dengan transaksi muamalah. Seiring perkembangan jaman,
keperluan adanya kaidah yang lebih banyak, nampaknya tidak dapat dihindarkan.
Sedangkan Jazuli sendiri menyebutkan 20 qawa’id yang memberi ruang
kepada transaksi ekonomi dan muamalah.
Diantara qawa’id yang paling mendasar
dalam masalah ini adalah al-aslu fi al-mu’amalah al-ibaahah illaa an-yadull
daliil ‘alaa tahriimihaa.
الأصل فى المعاملة
الإباحة
إلا أن يدل دليل على تحريمها
Segala bentuk muamalah pada dasarnya
adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Ini menjadi alasan
bagi setiap bentuk transaksi perdagangan dan ekonomi menjadi halal kecuali
jelas ada alasan yang melarangnya. Hanya penulis tidak menemukan qawa’id ini
dalam al-majallah.
BAB 3
QAWA’ID
DALAM PEMIKIRAN EMPAT MADZHAB FIQH
Berdasarkan sumber-sumber yang
diteliti, keempat madzhab banyak memberikan kontribusi dalam pengembangan
qawa’id fiqhiyyah. Masing-masing madzhab memiliki setidaknya seorang termasyhur
dalam pengembangan qawa’id fiqhiyyah tersebut. Pemikiran keempat madzhab dalam
qawa;id dipaparkan dalam keempat sub-bab dibawah ini.
3.1. Qawa’id
dalam Pemikiran Madzhab Hanafi
Berdasarkan bahan yang terkumpul dalam
penelitian, terdapat enam karya dari kalangan madzhab Hanafi antara lain
a) Usuul
al-Karkhi karya cUbaidullah ibn Hasan
al-Karkhi (260-340 H)
b) Ta’siis
al-Nadzr karya al-Qadhi, cUbaidullah
ibn cUmar ad-Dabusi (430 H)
c) Al-Ashbaah
wa al-Nazhaa’ir oleh Zainudddin ibn Ibrahim Ibn Nujaim (970
H)
d) Majaamic
al-Haqaa’iq yang ditulis oleh Abu Sa cid
al-Khadimi. ( 1176 H),
e) Al-Majallah
al-Ahkaam al-cAdliyyah
oleh Komite ‘Ulama Daulah cUsmaniyyah (1286 H), dan
f) Al-Faraa’id
al-Bahiyyah fi al-Qawaacid
al-Fawaa’id al-Fiqhiyyah karya Ibn Hamzah al-Husaini (1305
H).
Diantara keenam karya tersebut, Majallah
al-Ahkaam al-cAdliyyah merupakan satu-satunya karya yang
ditulis oleh sebuah tim yaitu para ‘Ulama yang ditunjuk oleh Pemerintah Daulah
Usmaniyah di Turki. Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah
terdiri dari 99 qawa’id ditambah dengan sebuah pendahuluan, yang tersusun dalam
1851 ayat.
Ushuul Al-Karkhi
memuat 36 qawa’id yang menurutnya disebut qawa’id al-Asl atau qawa’id
asal, yang kemudian diberikan komentar atau syarah oleh Najmuddin an-Nasafi
yang juga dari madzhab Hanafi. Sementara itu, karya Ibnu Nujaim, Al-Asybaah
wan-Nazhaa’ir, merupakan sebuah karya yang masyhur dari kalngan madzhab
Hanafi. Karya ini terdiri dari 6 (enam) qawa’id dasar (qawa’id
al-asasiyyah)—5 (lima) diantaranya juga dimuat dalam al-Majallah
al-Ahkaam al-cAdliyyah ayat-ayat 2, 4, 17, 21 dan
36—ditambah dengan 19 (sembilan belas) qawa’id cabang atau al-furu’iyyah. Karya
Ibnu Nujaim ini juga mendapat tanggapan luas dari berbagai kalangan madzhab
Hanafi, dengan ditulisnya beberapa ulasan atau komentar para fuqaha
terkemudian, empat diantaranya adalah:
a) Tanwiir
al-Bashaa’ir calal-Asybaah
wan-Nazhaa’ir (1005 H) oleh cAbdul-Qadir
Sharif uddin al-Ghazzi;
b) Ghamzu
cUyuun
al-Bashaa’ir Syarh al-Asybaah wan-Nazhaa’ir (1098
H) oleh Ahmad ibn Muhammad al-Hamawi;
c) cUmdatu
dzawil-Basyaa’ir li-Halli Muhtamaati al-Asybaah wan-Nazhaa’ir (1099H.)
karya Ibrahim ibn Hussain, yang lebih dikenal sebagai Ibnu Biri al-Makkati.
d) cUmdatu
an-Naadzir cala
al-Asybaah wan-Nazhaa’ir oleh Abu Su cud al-Husaini.
3.2. Qawa’id
dalam Pemikiran Madzhab maliki
Dari mahdzhab Maliki, beberapa ulama
juga menyumbangkan tulisan tentang qawa’id fiqhiyyah. Karya dari kalangan
madzhab Maliki tidak sebanyak dari madzhab Hanafi dan Syafii. Karya-karya
tersebut antara lain adalah:
a) Anwaar
al-Buruuq fi Anwaar al-Furuuq atau lebih dikenal juga sebagai: Al-Furuuq;
Kitab al-Anwaar wal-Anwaa’; atau Kitab al-Anwaar wal-Qawaacid
as-Sunniyyah oleh al-Imam Syihabudin cAbdul-Abbas Ahmad
as-Sonhaji al-Qarafi (260-340 H);
b) Al-Qawaacid
oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad
al-Muqarri (758 H);
c) Iidhaah
al- Masaalik ilaa Qawaacid
al-Imaam Maalik hasil karya Ahmad ibn Yahya ibn
Muhammad at-Tilmisani al-Winsyarinsi (914 H);
d) Al-Iscaaf
bit-Thalab Mukhtasar Sharh al-Manhaj al-Muntakhab calaa
Qawaacid
al-Madzhab karya as-Syaikh Abul-Qasim ibn Muhammad
at-Tiwani ( 995 H)
Karya terakhir, at-Tiwani, al-Is’aaf,
diulas dengan sajian ringkas oleh setidaknya Abul-Hasan cAli
ibn Qasim al-Zaqqaq, al-Fasi, at-Tujibi dalam al-Manhaj
al-Muntakhab calaa Qawaacid al-Madzhab (912
H), dan dikomentari oleh Ahmad ibn cAli al-Fasi al-Maghribi
Sementara itu madzhab Syafii paling
banyak memberikan kontribusi qawa’id fiqhiyyah dalam khazanah fiqh Islam.
Pengaruhnya di Indonesia juga cukup meluas, utamanya karya salah seorang faqih
besar seperti Jalaludin as-Suyuti yang menulis al-Asybaah wan-Nazhaa’ir dalam
beberapa jilid. Jilid 1 berisi tentang qawa’id dasar (asas) sebanyak lima buah
sebagaimana yang disebutkan dalam al-Majallah di atas. Qawa’id ini juga
cukup popular, bukan saja di indoneisa melainkan juga di wilayah negeri-negeri
Muslim lainnya, termasuk Malaysia dan juga di Timur Tengah. Di kalangan madzhab
Syafii, kelima qawa’id ini dianggap sebagai qawa’id yang utama. Kitab 2 al-Asybaah
wan-Nazhaa’ir berisi tentang qawa’id umum (‘amm) sebanyak 40 qawa’id,
sedang 20 qawa’id lagi masuk dalam kategori diperselisihkan kedudukannya,
termuat dalam Jilid 3 – 7.
3.3. Qawa’id
dalam Pemikiran Madzhab syafi’i
Secara lengkap, karya-karya tentang qawa’id
fiqhiyyah di kalangan madzhab Syafii berdasarkan urutan sejarahnya
antara lain adalah:
a) Qawaacid
al-Ahkaam fi Masaalih al-‘Anaam oleh cIzzuddin
cAbdul cAziz ibn cAbdus Salam (
577 - 660 H);
b) Kitaab
Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir karya Sadraddin Abi cAbdullah
ibn Murahhil, Ibn Wakil al-Syafi ci (716 H);
c) Majmuuc
al-Mudzhab fil-Qawaacid
al-Madzhab oleh Salahuddin Abi Sa cid
al-cAla’i as-Syafi ci (761 H);
d) Al-Asybaah
wa al-Nazhaa’ir oleh cAbdul-Wahhab ibn cAli
Tajuddin as-Subki (771 H);
e) Al-Manthuur
fi Tartiib al-Qawaacid
al-Fiqhiyyah aw al-Qawaacid
fi al-Furuuc
oleh Muhammad ibn Bahadur Badruddin az-Zarkashi (794 H);
f) Al-Ashbaah
wa al-Nazhaa’ir karya Sirajudddin cUmar ibn cAli
al-Ansari, yang lebih terkenal dengan pangggilan Ibnul-Mulaqqin (804 H);
g) Al-Qawaacid
oleh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad
ibn cAbdul-Mu’min, al-Hisni (829 H);
h) Al-Ashbaah
wa al-Nazhaa’ir oleh Jalaluddin cAbdur
Rahman ibn Abi Bakr ibn Muhammad as-Suyuthi (al-Asyuthi) (804 H); dan
i) Al-Istighnaa’
fi al-Furuuq wa al-Istithnaa’ karya Badruddin Muhammad ibn Abi Bakr
ibn Sulaiman al-Bakri
Di atas telah disinggung sedikit
tentang karya as-Suyuthi, al-Asybaah wan-Nazhaa’ir, yang cukup masyhudr
di kalangan madzhab Syafi’i. Selain karya as-Suyuthi, kitab Majmuu’ul
Madzhab karya al-‘Alai jug amendapat perhatian para fuqaha madzhab Syafii,
seperti ulasan-ulasan yang diberikan dalam kitab Mukhtashar al-Qawaacid
al-‘Alai seperti oleh:
a) Al-‘Allamah
as-Syarkhadi (792 H) yang merupakan kombinasi dengan tulisan al-Isnawi untuk
topik yang sama; dan
b) Al-‘Allamah
ibn Khatib ad-Dahsyah yang mengkombinasikan dengan kuliah-kuliah dari al-Isnawi
3.4. Qawa’id
dalam Pemikiran Madzhab HANBALI
Di
kalangan madzhab Maliki, terdapat setidaknya lima kitab karya para fuqaha mulai
dari pertengahan abad ke-7, sejak karya Ibnu Taymiyyah hingga abad ke-14
Hijriyyah pada periode al-Qari. Mereka antara lain:
a) Al-Qawaacid
al-Nuuraaniyyah al-Fiqhiyyah oleh Taqiyyuddin Abu al-cAbbas
Ahmad ibn cAbd al-Halim ibn Taymiyyah (661 - 728 H);
b) Al-Qawaacid
al-Fiqhiyyah oleh Sharifuddin Ahmad ibn al-Hasan,
ibn Qadhi al-Jabal al-Maqdisi (771 H);
c) Taqriir
al-Qawaacid
wa Tahriir al-Fawaa’id (al-Qawaacid)
karya cAbdurrahman Shihab
ibn Ahmad ibn Abi Rajab (Ibn Rajab) al-Hanbali (795H);
d) Al-Qawaacid
al-Kulliyyah wa al-Dhawaabit al-Fiqhiyyah (771
H) karya Jamaluddin Yusuf ibn Hasan ibn Ahmad ibn cAbdul-Hadi (1309-1359
H); dan
e) (Qawaacid)
Majallah al-Ahkaam al-Shar ciyyah
calaa
Madzhab al-Imaam Ahmad ibn Hanbal oleh Ahmad ibn cAbdullah
al-Qari (1309-1359 H)
Secara ringkas, karya tentang qawa’id
fiqhiyyah dan para penulis yang memberikan kontribusinya dapat dipaparkan
dalam Table 1 berikut ini:
Table 1
Qawa’id
dalam Karya Empat Madzhab Fiqh
Nama/Sebutan
Kitab
|
Penulis
|
Periode
(Hijriyah)
|
Jumah Qawaid
|
1) Hanafi
|
|||
Usuul al-Karkhi
|
al-Karkhi
|
260-340
|
36 (asl)
|
Ta’siis an-Nadzr
|
Abi
Zaid al-Dabusi
|
430
|
86
|
Al-Asybaah
wan-Nazhaa’ir
|
Ibn Nujaim
|
6 Asas
19 Furu’
|
|
Majaamic
al-Haqaa’iq
|
al-Khadimi
|
1176
|
154
|
Majallah
al-Ahkaam al- cAdliyyah
|
Daulah
al- cUsmaniyyah
|
1286
|
99
|
Al-Faraa’id
al-Bahiyyah fil-Qawaacid
al-Fawaa’id al-Fiqhiyyah
|
Ibn
Hamzah al-Husaini
|
1305
|
30
|
2) Maliki
|
|||
Al-Furuuq;
Kitab al-Anwaar wal-Anwaa’; or Kitab
al-Anwaar wal-Qawaacid as-Sunniyyah
|
Syihabuddin al-Qarafi
|
260-340
|
548
|
Al-Qawaacid
|
al-Muqarri
|
758
|
100
|
Iidhaah
al- Masaalik ilaa Qawaacid
al-Imaam Maalik
|
Ahmad
al-Winsyarinsi
|
914
|
118
|
Al-Iscaaf
bit-Talab Mukhtasar Syarhul-Manhaj al-Muntakhab calaa
Qawaacid
al-Madzhab
|
at-Tiwani
|
912
|
|
3) Syafii
|
|||
Qawaacid
al-Ahkaam fi Masaalih al-‘Anaam
|
cIzzuddin
cAbd as-Salam
|
577-660
|
-
|
Kitaab
Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir
|
Ibn
Wakil as-Syafii
|
716
|
-
|
Majmuuc
al-Mudzhab fi al-Qawaacid
al-Madzhab
|
Salahuddiin
al-cAla’i
|
761
|
20
|
Al-Asybaah
wan-Nazhaa’ir
|
Tajuddin
as-Subki
|
771
|
60
|
Al-Mantsuur
fi Tartiib al-Qawaacid
al-Fiqhiyyah awil-Qawaacid
fil-Furuuc
|
Badruddin
az-Zarkashi
|
794
|
100
|
Al-Asybaah
wan-Nazhaa’ir
|
Ibn
al-Mulaqqin
|
804
|
|
Al-Qawaacid
|
cAbd al-Mu’min,
al-Hisni
|
829
|
|
Al-Asybaah
wan-Nazhaa’ir
|
as-Suyuthi
|
804
|
5 asas
40 ‘amm
20 ikhtilafi
|
Al-Istighnaa’
fil-Furuuq wal-Istitsnaa’
|
Badruddin
al-Bakri
|
-
|
600
|
4) Hanbali
|
|||
al-Qawaacid
al-Nuuraaniyyah al-Fiqhiyyah
|
ibn
Taymiyyah
|
661-728
|
-
|
al-Qawaacid
al-Fiqhiyyah
|
Syarifudin
al-Maqdisi
|
771
|
|
Taqriir
al-Qawaacid
wa Tahriir al-Fawaa’id (al-Qawaacid)
|
Ibn
Rajab al-Hanbali
|
795
|
160
|
al-Qawaacid
al-Kulliyyah wa al-Dhawaabit al-Fiqhiyyah
|
ibn
cAbd al-Hadi
|
1309-1359
|
|
(Qawaacid)
Majallah al-Ahkaam al-Shar ciyyah
calaa
Madzhab al-Imaam Ahmad
ibn
Hanbal
|
Ahmad
cAbdullah al-Qari
|
1309-1359
|
160
|
BAB 4
APLIKASI QAWA’ID DALAM PEMIKIRAN
EKONOMI
4.1. PENDAHULUAN
Analisa dalam baba ini lebih terfokus
pada pembahasan qawa’id yang terkait dengan persoalan ekonomi. Oleh
sebab beberapa kendala, termasuk waktu dan pendanaan, penelitian dibatasi pada qawa’id
yang terdapat dalam al-Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah
terbitan Daulah Turki Usmani yang disusun sekitar tahun 1286 H. Cakupan qawa’id
dalam al-Majallah ini dirasa cukup lengkap dan merepresentasikan hampir
semua qawa’id yang pernah ditulis oleh para fuqaha/ulama dari keempat
madzhab, sekalipun tidak dapat dipungkiri, bahwa al-Majallah merupakan
karya kumpulan qawa’id yang dihasilkan oleh para ulama madzhab Hanafi.
Sebagaai konsekwensinya, banyak qawa’id yang tidak dapat diakomodasi
dalam penelitian ini, baik dari kalangan madzhab Hanafi sendiri maupun yang
lainnya.
4.2. Qawa’id dalam Pemikiran
Ekonomi
Dalam aspek transaksi muamalah,
terdapat sekitar 25 qawa’id menurut Syeh Muhammad Mustafa Zarqa, sebagaimana
dikutip oleh Jazuli (2006). Namun apabila diperluas cakupannya ke dalam ekonomi
secara keseluruhan, maka jumlah qawa’id yang dapat diaplikasikan akan
menjadi lebih banyak.
Dari 99 qawa’id dalam al-Majallah,
lebih dari 70 qawa’id dapat diinterpretasikan secara langsung sebagai
memiliki implikasi yang bersifat ekonomis, sekalipun tidak dapat lepas dari
perspektif yang lain, seperti social, politik, hukum, dan sebagainya. Ini
sesuai dengan pngertian atau definisinya, sebagaimana telah didiskusikan di
atas (Bab 2), yaitu qa’idah berfungsi sebagai aturan umum atau universal
(kuliyyah) yang dapat diterapkan untuk semua yang bersifat khusus atau
bagian-bagiannya (juz’iyyah). Atau dengan kata lain, sebagaimana
kesimpulan Mukhtar dkk (1995b) qa’idah sebagai aturan umum yang
diturunkan dari hukum-hukum furu’ yang sejenis dan jumlahnya cukup banyak.
Apabila diperbandingkan dengan tulisan
Jazuli (2006), maka hasil penelitian ini memberi gambaran bahwa jumlah qawa’id
yang terkait dengan masalah ekonom ijauh lebih banyak, dari pada jumlah yang
terkait dengan transaksi muamalah sebagaimana ditulis karya Jazuli. Akan tetapi
perlu dicatat pula bahwa dari 20 qawa’id yang ditulisnya, hanya ada 8
(delapan) qawa’id yang sama, sedangkan selebihnya didapatkan dari
karya-karya ulama lainnya. Kedelapan qawa’id tersebut dipaparan dalam Tabel 2
berikut:
Table 2
Qawa’id
sebagai dalam Pemikiran Ekonomi/Muamalat dalam
al-Majallah dan dalam kKarya Jazuli (2006)
1
|
Apabila sesuatu itu batal maka batallah apa yang ada
didalammnya
|
إذا بطل الشيء بطل ما فى ضمنه
|
2
|
Tidaklah sempurna ‘aqad tabarru’ (pemberian)
kecuali setelah diserahkan, (sebelum diminta sudah diberi)
|
لا يتم التبرع إلا بقبض
|
3
|
Hak mendapat hasil itu sebagai ganti kerugian (yang
ditanggung)
|
الخراج بالضمان
|
4
|
Pendapatan/upah dengan jaminan itu tidak datang secara
bersamaan
|
الأجر والضمان لا يجتمعان
|
5
|
Risiko itu sejalan dengan keuntungan
|
الغرم بالغنم
|
6
|
Hal yang dibolehkan syariat tidak dapat dijadikan
beban/tanggungan
|
الجواز الشرعي ينافي الضمان
|
7
|
Perintah menasarufkan (memanfaatkan) barang orang lain
(tanpa ijin pemiliknya) adalah batal
|
الأمر بالتصرف فى ملك الغير باطل
|
8
|
Tidak boleh bagi seorang pun merubah /mengganti milik
orang lain tampa izin pemiliknya.
|
لا يجوز لأحد أن يتصرف فى ملك الغير بلا إذنه
|
Ini memberitahukan kepada kita betapa
jumlah qawa’id yang disusun para ulama/fuqaha terdahulu jumlahnya cukup
banyak dan susah ditentukan secara pasti. Pada sisi lain, ia juga memberi
gambaran betapa keseriusan mereka benar-benar luar biasa, sehingga generasi
terkemudian dapat memanfaatkannya dengan lebih mudah.
0 Response to "MAKALAH QOWAID FIQH"
Post a Comment