BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Al-Qur`an adalah sumber dari segala
sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam
perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu ke Islaman tetapi juga merupakan
inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad
lebih sejarah pergerakan umat ini.Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam
dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna
dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa
dalam isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir.
Penafsiran terhadap al-Qur`an
mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan
umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali
dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga
lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka
ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin
perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya
sendiri. Dalam makalah yang singkat ini penulis berusaha membahas tentang
pengertian tafsir, sejarah perkembangan tafsir, bentuk metode corak tafsir,
kitab-kitab tafsir berbahasa indonesia syarat-syarat seorang mufassir.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian
tafsir
2.
Sejarah
perkembangan tafsir
3.
Bentuk, metode
dan corak tafsir
4.
Kitab-kitab
tafsir berbahasa Indonesia
5.
Syarat-syarat
seorang mufassir
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui pengertian tafsir
2.
Untuk
mengetahui sejarah perkembangan tafsir
3.
Untuk
mengetahui bentuk, metode dan corak tafsir
4.
Untuk
mengetahui kitab-kitab tafsir berbahasa Indonesia
5.
Untuk
mengetahui syarat-syarat seorang mufassir
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
TAFSIR
Secara etimologis, tafsir berakar dari kata fassara-yufassiru-tafsiran,
berarti penjelasan (al-idhah wa at-tabyin), sebagai mana terdapat dalam
firman Allah SWT yang berbunyi :
(٣٣)
وَلا
يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Artinya:
“tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Q.S.
Al-Furqan 25:33).
Dari segi terminologis bermacam definisi dibuat
oleh para ulama, antara lain sebagai berikut :
1.
Abu Hayyan, menurutnya
tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh
Al-Qur’an dan tentang arti dan makna dari lafazh-lafazh tersebut, baik kata
perkata maupun dalam kalimat yang utuh serta hal-hal yang melengkapinya.
2.
Az-Zarkasyi, menurutnya
tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan
hikmahnya.
3.
Az-Zarqani, menurutnya
tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari segi makna
yang terkandung di dalamnya sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh Allah SWT
sebatas kemampuan manusia.
Sekalipun telah diungkapkan dengan kalimat yang
berbeda-beda tetapi ketiga definisi di atas sepakat menyatakan bahwa secara
terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud
ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit dalam
definisi, tentu saja Abu Hayyan dan Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-Zarqani
bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman Allah SWT tersebut
sebatas kemampuan manusia.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, di sampig dibatasi
oleh kemampuan masing-masing sebagai manusia, para mufasir juga dipengaruhi
oleh latar belakang pedidikan, sosial budaya yang berbeda-bed, sehingga bentuk,
metode dan corak penafsir an mereka juga berbeda-beda.
B.
SEJARAH
PERKEMBANGAN TAFSIR
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai
semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn
Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab adalah diantara para sahabat yang
terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan
sahabat-sahabat yang lain.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para
sahabat menggunakan beberapa cara, antar lain.
1.
Menelitinya
dalam’ Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling
menafsirkan.
2.
Merujuk kepada
penafsiran Nabi Muhammmad SA, sesuai dengan fungsi beliau sebagai mubayyin terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an.
3.
Apabila mereka
tidak ditemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak
sempat menanyakannya kepada Rasulullah SA, para sahabat berijtihat dengan
bantuan pengetahuan bahasa Arab, pengenalan terhadap tradisi Arab dan keadaan
orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar
belakang ayat tersebut diturunkan, dan dengan menggunakan kekuatan penalaran
mereka sendiri.
4.
Sebagian
sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah Nabi-Nabi atau
kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh ah;i Ahlul Kitab
yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Ahbar dan
lain-lain.
Tafsir pada masa sahabat ini belum merupakan ilmu
sendiri’ masih merupakan bagian dari riwayat-riwayat hadits yang berserakan,
belum sistematis seperti tafsir yang kita kenal sekarang. Di samping belum
sistematis pada masa sahabat ini pun Al-Qur’an belum ditafsirkan secara
keseluruhan, dan pembahasannya pun belum luas dan mendalam.
Sesudah periode sahabat, datangah generasi
berikutnya (tabi’in) meneruskan usaha yang telah dirintis oleh para sahabat. Di
samping menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi mereka juga
merujuk kepada penafsiran para sahabat dan sebagian juga tidak lupa mengutip
dari Ahlul Kita. Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri
berdasarkan ijtihad. Pada masa Tabi’in, tafsir masih merupakan bagian dari
hadits, tetapi sudah mengelompok menurut kota masing-masing.
Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa
kodifikasi (tadwin) hadits dimana riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan
menjadi satu bab sendiri, walaupun tetap belum sistematis seperti susunan
Al-Qur’an. Dalam perkembangan selanjutnya tafsir dipisahkan dari
kandungan kitab hadits dan menjadi kitab sendiri. Para ulama mengumpulkan
riwayat-riwayat yang berisi tefsir dari Nabi, sahabat dan tabi’in dalam kitab
sendiri. Riwayat-riwayat yang dikumpulkan itu sudah mencakup keseluruhan
ayat-ayat Al-Qur’an dan disusun sesuai dengan sistematika mushaf. Bentuk
penafsiran yang dirintis Ibn Jarir dan mufasir lain pada masa awal pembukuan
tafsir inilah yang kemudian di kenal dengan bentuk at-tafsir bi al-ma’tsur.
Setelah ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang
pesat pada masa Daulah Abbasiyah, para mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bi
al-ma’tsur, karena perubahan dan perkembangan zaman menghendaki
pengembangan bentuk tafsir dengan memperluas dan memperbesar peran ra’yu atau
ijtihad dibandingkan dengan penggunaannya pada bentuk bi al-ma’tsur.
Tafsir dengan bentuk ini kemudian dikenal dengan at-tafsir
bi-ar-ra’yi.
Dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi seorang
mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihad
atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan
hadits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan
tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu
pengetahuan seperti ilm bahasa Arab, ilmu Qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an,
ilmu hadits, ushul fiqih, ilmu sejarah dan lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir
bi-ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu
sendiri.
C.
BENTUK, METODE
DAN CORAK TAFSIR
1.
Bentuk
Penafsiran Al-Qur’an
Sebagaimana sudah disinggung dalam uraian
perkembangan tafsir diatas, dari segi bentuk dikenal dengan dua bentuk
penafsiran, yaitu :
a.
Tafsir bi
al-ma’tsur
Tafsri Tafsir bi al-ma’tsur adalah
menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi dan
Al-Qur’an dengan pendapat atau penafsiran para sahabat Nabi dan tabi’in.
Dinamai dengan bi al-ma’tsur (dari kata atsar yang berarti
sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam menafsirkan Al-Qur’an, seorang
mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya
terus sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Karena banyak mennggunakan riwayat, maka
tafsir dengan meode ini dinamai tafsir bi ar-riwayah.
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau
ayat dengan ayat adalah firman Allah dalam Surat Al An’am ayat 82 ditafsirkan
oleh surat Luqman ayat 13. Allah SWT berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ
يَلْبِسُواإِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Artinya:
“Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah yang mendapat keamanandan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-An’am 6:82)
Penafsiran ayat dengan ayat tidak selamanya
berdasarkan petunjuk Nabi seperti dalam contoh di atas, tetapi bisa juga atas
pemahaman para sahabat atau tabi’in seperti dalam penafsiran maksud kalimatin
dalam Surat Al-Baqarah 37. Allah SWT berfirman:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ
فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Artinya:
“Kemudian Adam
menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat Lagi Maha Penyayang.” (Q.S.
Al-Baqarah 2:37)
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Hadits Nabi
adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir dan lain-lain
dari ‘Adi bin Hati, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang
firman Allah SWT: ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin, Nabi
menjelaskan bahwa ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin, adalah
Yahudi, dan wa la adh-dhallin adalah Nashara.
b.
Tafsir bi
ar-Ra’yi
Tafsir biar ar-ra’yi adalah menafsirkan
Al-Qur’an dengan mrnggunakan kemampun ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan
tafsir Al_Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hdits dan tidak pula meninggalkan
sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan
penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengtahuan seperti ilmu bahasa
Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, ilmu
sejarah, dan lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi- ar-ra’yi
karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.
2.
Metode
Penafsiran Al-Qur’an
Dari segi metode sejauh ini dikenal ada empat
metode penafsiran yaitu:
a.
Metode Ijmali
Metode ijmali adalah metode yang paling
awal muncu karena sudah digunakan sejak Nabi dan para sahabat. Nabi dan para
sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak memberikan rincian yang detail, hanya
secara ijmali atau global.
Dengan metode ijmali, seorang mufasir
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas, mulai dari ayat pertama sampai
ayat terakhir sesuai dengan susunan ayat dan surat di dalam mushaf dengan
bahasa yang populer dan mudah dimengerti. Makna yang diungkapkan ayat-ayat
dengan menggunakan lafazh bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafazh
Al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebut tidak jauh
dari gaya bahasa Al-Qur’an itu sendiri.
b.
Metode Tahlili
Setelah metode ijmali, dikenal metode tahlili.
Dengan menggunakan metode ini, seorang mufasir berusaha menjelaskan kandungan
ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai aspek, mulai dari aspek bahasa, asbab an
nuzul, munasabah dan aspek lain yang memungkinkan sesuai dengan minat dan
kecenderungan mufasir sendiri. Penafsiran dilakukan dengan menggunakan
sistematika mushaf Al-Qur’an, urut dari awal sampai akhir ayat demi ayat.
c.
Metode Muqarin
Setelah metode ijmali dan tahlili, muncul
metode muqarin atau perbandingan. Dengan metode ini seorang mufasir melakukan
perbandingan antara (1) teks ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau
kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memilki redaksi yang berbeda
bagi satu kasus yang sama; (2) ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits yang pada
lahirnya terlihat bertentangan; dan (3) berbagai pendapat ulama tafsir dalam
menafsirkan Al-Qur’an.
d.
Metode Maudhu’i
Yang terakhir muncul adalah metode maudhu’i
atau tematik. Berbeda dengan metode ijmali dan tahlili yang
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara kronologis sesuai dengan urutan ayat dan
surat yang terdapat dalam mushaf, maka metode maudhu’i ini membahas ayat-ayat
yang dalam berbagai surat yang telah diklasifikasikan dalam tema-tema tertentu.
Dengan metode ini seorang mufasir menghimpun ayat-ayat yang mengandung
pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang am dan khas,
antara yang muthlaq dan yang muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat
yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh,
sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan
kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna
yang sebenarnya tidak tepat.
3.
Corak
Penafsiran Al-Qur’an
Di samping bentuk dan metode yang sudah
dijelaskan di atas, dikenal juga corak pnafsiran. Karena yang dominan dalam
at-tafsir bi-ar-ra’yi adalah pemikiran musafir, baik yang orisinal dari yang
bersangkutan atau mengutip dari sumber-sumber lain, maka tentu saja hasil
penafsiran beragam sesuai latar belakang pengetahuan, sosial budaya dan
kecenderungan masing-masing. Dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an keragaman itu
diistilahkan dengan al-laun yang secara harfiah berarti warna. Dalam
bahasa Indonesia, oleh M. Quraish Shihab digunakan istilah Corak. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, arti corak antara lain berjenis-jenis warna pada warna
dasar, faham, macam,bentuk. Menurut hemat penulis, kata corak lebih tepat
digunakan dibanding warna. Warna dasarnya adalah at-tafsir bi-ar-ra’yi di atas
warna dasar itu ada warna warni lain yang beragam, dan itulah corak. Corak itu
sekalipun menunjukkan faham penulisannya, macam atau bentuk tafsirnya.
Sejauh ini corak-corak penafsiran yang dikenal
antara lain sebagai berikut:
a.
Corak Sastra
Bahasa
Corak sastra bahasa timbul akibat banyaknya
orang non-Arab yang memelukagama islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang
Arab sendiri dibanding sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan
kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an.
b.
Corak Fiqih dan
Hukum
Corak fiqih dan hukum, akibat berkembangnya
ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan brusaha
membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka
terhadap ayat-ayat hukum.
c.
Corak Teologi
dan atau Filsafat
Corak teologi dan atau filsafat, akibat
penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat
masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atua tanpa
sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya
menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran
mereka.
d.
Corak Tasawuf
Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan
sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau
sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
e.
Corak
Penafsiran Ilmiah
Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu
pengetahuan dan usaha mufasir untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan
perkembangan ilmu.
f.
Corak Sastra
Budaya Kemasyarakatan
Corak sastra budaya kemasyarakatan, yakni satu
corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan
langsung dengan penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan
petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa
yang mudah dimengerti tetapi indah didengar.
Demikianlah bentuk, metode dan corak penafsiran
Al-Qur’an sepanjang zaman sampai zaman kita sekarang ini. Masing-masing mufasir
telah berjasa menjelaskan pesan-pesan Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan
latar belakang masing-masing. Karena keragaman latar belakang para mufassir
baik dari segi disiplin ilmu, kecenderungan maupun latar belakang sosial budaya
dan keragaman persoalan dan kebutuhan zaman, maka kitab-kitab tafsir yag muncul
sepanjang waktu pun mempunyai bentuk, corak dan warna yang berbeda-beda. Namun
demikian, sekalipun terjadi keragaman, tidak berarti sau sama lain saling
berbeda sepenuhnya. Ibarat lingkungan yang dipertautkan sambung bersambung,
selalu ada bagian dua lingkaran yang menempati ruang yang sama. Bagian yang
sama itulah yang akan menjadi benang merah dari seluruh penafsiran.
D.
KITAB-KITAB
TAFSIR BERBAHASA INDONESIA
Sejak pertiga awal abad XX di Indonesia telah
lahir berbagai karya berbahasa Indonesia tentang Al-Qur’an, baik berupa
terjemhan Al-Qur’an dengan beberapa anotasi di mana perlu maupun dalam bentuk
tafsir Al-Qur’an sebagian atau keseluruhannya.
Dalam bentuk terjemahan Al-Qur’an dengan
beberapa anotasi di mana perlu antara lain:
1.
Mahmud Yunus,
Tafsir Al-Qur’an al-Karim (1930);
2.
A. Halim hasan,
Zainal Arifin Abbas dan Abdur Rahim Haitami, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (1955);
3.
Zainuddin
Hamidy dan Hs. Fachruddin, Tafsir Qur’an (1959);
4.
Bachtiar Surin,
Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an (1978);
5.
Oemar Bakry,
Tafsir Rahmat (1983);
6.
Team Penerjemah
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (1975).
Dalam bentuk
tafsir Al-Qur’n sebagaian atau keseluruhannya, antara lain:
1.
Abdul Karim
Amrullah, Al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma (1922);
2.
Ahmad Hassan,
Al-Hidayah, Tafsir Juz ‘Amma (1930);
3.
M. Hashbi ash-
Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur (1952) dan Tafsir Al-Bayan
(1962);
4.
HAMKA, Tafsir
Al-Azhar (1982);
5.
Team Penafsir
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya (1995);
6.
M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (2000).
E.
SYARAT-SYARAT
SEORANG MUFASSIR
Para ahli dan ulama’ mensyaratkan agar setiap
mufassir memenuhi hal-hal sebagai berikut:
1.
Memiliki aqidah
yang benar
2.
Tidak dikuasai
nafsu ananiya, ’asabiyah dan lain-lain
3.
Mengetahui ilmu
bahasa Arab dan cabang-cabangnya
4.
Mengetaui
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an
5.
Faham secara
mendalam dan dapat mengistimbatkan makna sesuai dengan nash syari’ah.
KESIMPULAN
Secara
etimologis Tafsir berarti penjelasan, sedangkan secara terminologis tafsir
adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an
sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu
Hayyan dan Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-Zarqani bahwa keterangan dan
penjelasan tentang maksud firman Allah SWT tersebut sebatas kemampuan
manusia.
Usaha
menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri.
Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab
adalah diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an
Komprehensif. Gama Media: Yogyakarta
Ilyas, Yunahar. 2013. Ulumul Qur’an.
Itqan Publishing: Yogyakarta
Izin copas gan
ReplyDelete