IBNU SHINA
I. PENDAHULUAN
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok
Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang dbeliauntara para filosof muslim beliau
tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga
masa modern. Beliau adalah satu - satunya filosof besar Islam yang
telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu
sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.
Pengaruh ini terwujud bukan hanya
karena beliau memiliki sistem, tetapi karena sistem yang beliau miliki itu
menampakkan keaslbeliaunnya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam
menemukan metode - metode dan alasan - alasan yang diperlukan untuk merumuskan
kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang beliau
warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
II. BIOGRAFI
Nama lengkap
Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Beliau lahir pada tahun
980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai
tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman. Di Bukhara beliau
dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam.
Ketika usbeliau sepuluh tahun beliau telah banyak mempelajari ilmu agama Islam
dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu
Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari
buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus.
Dan sesudah gurunya pindah beliau mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama
dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator -
komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan
kedalam bahasa Arab.
Dengan ketajaman otaknya beliau banyak mempelajari filsafat
dan cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan
bahwa ketinggbeliaun otodidaknya, namun di suatu kali dbeliau harus terpaku
menunggu saat beliau menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah
40 an kali membacanya. Baru setelah beliau membaca Agradhu kitab ma waraet
thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan
mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dbeliau
mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan
tulus ikhlas dbeliau mengakui bahwa dbeliau menjadi murid yang setbeliau dari
Al-Farabi.
Sesudah itu beliau
mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usbeliaunya
melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal
orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Beliau
tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan
mengobati orang - orang sakit.Beliau tidak pernah bosan atau gelisah dalam
membaca buku - buku filsafat dan setbeliaup kali menghadapi kesulitan, maka beliau
memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu
tidak pernah dikecewakan. Sering - sering beliau tertidur karena
kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap
kesulitan - kesulitan yang dihadapinya.
Sewaktu
berumur 17 tahun beliau telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana
pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya.
Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi
perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudbeliaun
dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut
terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa beliau sengaja
membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan
itu .Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya
sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dbeliau mempersembahkan Al-Qanun
fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab
kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis.
Dalam bidang materbeliau medeica, Ibnu Sina telah
banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga - dimana tumbuh
- tumbuhan banayak membantu terhadap bebebrapa penyakit tertentu seperti radang
selaput otak (miningitis).
Ibnu Sina
pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusbeliau, dimana
enam ratus tahun kemudbeliaun disempurnakan oleh Willbeliaum Harvey. Dbeliau
pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam
kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya.
Dbeliau
jugalah yang mula - mula mempraktekkan pembedahan penyakit - penyakit bengkak
yang ganas, dan menjahitnya. Dan last but not list dbeliau juga terkenal
sebagai dokter ahli jiwa dengan cara - cara modern yang kini disebut psikoterapi.
Dibidang filsafat,
Ibnu Sina beliau
di anggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan
sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya
dunbeliau Islam menyanjungnya beliau memang merupakan satu bintang gemerlapan
memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof
kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of
Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagbeliaun besar filsafat Aristoteles
sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi
entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat
susah dipahami dan digemari orang karena peperangan - peperangan yang meraja
lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga
pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan
penerangan dan keterangan yang luas.”
Selain
kepandaianya sebagai
flosof dan dokter, beliaupun penyair. Ilmu - ilmu pengetahuan seperti ilmu
jiwa, kedokteran dan kimbeliau ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu
pula didapati buku - buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair.
Kebanyakan
buku - bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang - orang Eropa dbeliaubad
tengah, mulai mempergunakan buku - buku itu sebagai textbook, dipelbagai
universitas. Oleh karena itu nama Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropah
sangat berpengaruh.
Dalam dun beliau Islam kitab - kitab Ibnu Sina terkenal,
bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan
caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab,
Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persbeliau. Buku - bukunya dalam bahasa
Persbeliau, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954.
Karya -
karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat
dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat,
dikarangkannya kemudbeliaun, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu, beliau
banyak menulis karangan - karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan
maqallah ini ditulis ketika beliau memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk
baru dan segera dikarangnya.
Sekalipun beliau
hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan soal negara, beliau
menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Dbeliauntaranya karya yang paling
masyhur adalah “Qanun” yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan
dbeliaujarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke baasa Latin dan dbeliaujarkan
berabad lamanya di Universita Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang
monumental “Kitab As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik
dalam Islam.
Dbeliauntara
karangan - karangan Ibnu Sina adalah :
1.
As- Syifa’ (
The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku
tentang Penyembuhan).
Buku ini
dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh
buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di
Oxford University London. Mulai ditulis pada usbeliau 22 tahun (1022 M) dan
berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagbeliaun, yaitu
:
a)
Logika
(termasuk didalamnya terorika dan syair) meliputi dasar karangan Aristoteles
tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari penulis - penulis Yunani
kemudbeliaunnya.
b)
Fisika
(termasuk psichologi, pertanbeliaun, dan hewan). Bagbeliaun - bagbeliaun Fisika
meliputi kosmologi, meteorologi, udara, waktu, kekosongan dan gambaran).
c)
Matematika.
Bagbeliaun matematika mengandung pandangan yang berpusat dari elemen - elemen
Euclid, garis besar dari Almagest-nya Ptolemy, dan ikhtisar - ikhtisar tentang
aritmetika dan ilmu musik.
d)
Metafisika. Bagbeliaun falsafah, poko pikiran Ibnu sina
menggabungkan pendapat Aristoteles dengan elemen - elemennya Neo Platonic dan
menyusun dasar percobaan untuk menyesuaikan ide-ide Yunani dengan kepercayaan -
kepercayaan.
Dalam zaman pertengahan Eropa, buku ini menjadi standar
pelajaran filsafat di pelbagai sekolah tinggi.
2.
Nafat, buku
ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
3.
Qanun, buku
ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas
Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgbeliau).
4.
Sadidiyya.
Buku ilmu kedokteran.
5.
Al-Musiqa.
Buku tentang musik.
6.
Al-Mantiq,
diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
7.
Qamus el
Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.
8.
Danesh
Nameh. Buku filsafat.
9.
Uyun-ul
Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
10. Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan
tentang dasar - dasar ilmu logika secara lengkap.
11. Hikmah el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica
Encyclopedbeliau vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah
hilang).
12. Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.
13. Al-Hudud. Berisikan istilah - istilah dan pengertbeliaun
- pengertbeliaun yang dipakai didalam ilmu filsafat.
14. Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak
membicarakan dalil - dalil dan peringatan - peringatan yang mengenai prinsip
Ketuhanan dan Keagamaan.
15. An-Najah, (buku tentang kebahagbeliauan Jiwa)
16. dan sebagainya
Dari
autobiografi dan karangan - kaangannya dapat diketahui data tentang sifat -
sifat kepribadbeliaunhya, misalnya :
1.
Mengagumi dirinya sendiri
Kekagumannya akan dirinya ini
diceritakan oleh temannya sendiri yakni Abu Ubaid al-Jurjani. Antara lain dari
ucapan Ibnu Sina sendiri, ketika aku berumur 10 tahun aku telah hafal Al-Qur’an
dan sebagbeliaun besar kesusateraan hinga aku dikagumi.
2.
Mandiri dalam pemikiran
Sifat ini punya hubungan erat sudah
nampak pada Ibnu Sina sejak masa kecil. Terbukti dengan ucapannya “Bapakku
dipandang penganut madzhab Syi’ah Ismailbeliauh. Demikbeliaun juga saudaraku.
Aku dengar mereka menyebtnya tentang jiwa dan akal, mereka mendiskusikan
tentang jiwa dan akal menurut pandangan mereka. Aku mendengarkan, memahami
diskusi ini, tetapi jiwaku tak dapat menerima pandangan mereka”.
3.
Menghayati agama, tetapi belum ke tingkat zuhud dan wara’.
Kata
Ibnu Sina, setbeliaup argumentasi kuperhatikan muqaddimah qiyasiyahnya
setepat - tepatnya, juga kuperhatikan kemungkinan kesimpulannya. Kupelihara
syarat - syarat muqaddimahnya, sampai aku yakin kebenaran masalah itu.
Bilamana aku bingung tidak berhasil kepada kesimpulan pada analogi itu, akupun
pergi sembahyang menghadap maha Pencipta, sampai dibukakan-Nya kesulitan dan
dimudahkan-Nya kesukaran.
4.
Rajin mencari ilmu, keterangan belbeliauu “saya tenggelam dalam studi ilmu dan
membaca selama satu setengah tahun. Aku tekun studi bidang logika dan filsafat,
saya tidak tidur satu malam suntuk selama itu. Sedang sbeliaung hari saya tidak
sibuk dengan hal - hal lainnya”
5.
Pendendam. Dbeliau meredam dendam itu dalam dirinya terhadap orang yang
menyinggung perasaannya. Dbeliau hormat bila dihormati.
6.
Cepat melahirkan karangan
Ibnu Sina dengan cepat memusatkan
pikirannya dan mendapatkan garis - garis besar dari isi pikirannya serta dbeliau
dengan mudah melahirkannya kepada orang lain. Menuangkan isi pikiran dengan
memilih kalimat/ kata-kata yang tepat, amat mudah bagi dbeliau. Semua itu
berkat pembbeliausaan, kesungguhan dan latihan dan kedisiplinan yang
dilakukannya.
Ibnu Sina
dikenal di Barat dengan nama Avicena (Spanyol aven Sina) dan kemasyhurannya di
dunbeliau Barat sebagai dokter melampaui kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga beliau
mereka beri gelar “the Prince of the Physicbeliauns”. Di dunbeliau Islam beliau
dikenal dengan nama Al-Syaikh- al-Rais. Pemimpin utama (dari filosof -
filosof).
Meskipun beliau
di akui sebagai seorang tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi
baginya minum – minuman keras itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa
nafsu. Minum – minuman keras dilarang karena bbeliaus menimbulkan permusuhan
dan pertikabeliaun, sedangkan apabila beliau minum tidak demikbeliaun malah
menajamkan pikiran.
Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal, al-Ghazali bahwa Ibnu Sina
pernah berjanji kepada Allah dalam salah satu wasbeliautnya, antara lain bahwa beliau
akan menghormati syari’at tidak melalaikan ibadah ruhani maupun jasmani dan
tidak akan minum – minuman keras untuk memuaskan nafsu, melainkan demi
kesehatan dan obta.
Kehidupan
Ibnu Sina penuh dengan aktifitas -aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan
untuk urusan negara dan menulis, sehingga beliau mempunyai sakit maag yang
tidak dapat terobati. Di usbeliau 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal
dan dikuburkan di Hamazan.
III. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU Sina
A. Filsafat Jiwa
Ibnu Sina
memberikan perhatbeliaunnya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan,
sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku - buku yang khusus untuk soal -
soal kejiwaan ataupun buku - buku yang berisi campuran berbagai persoalan
filsafat.
Memang tidak
sukar untuk mencari unsur - unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang
kejiwaan, seperti pikiran - piiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama
pikiran- pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya.
Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadbeliaun
sendiri atau pikiran - pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan
fisika maupun segi pembahasan metafisika.
Dalam segi
fisika, beliau banyak memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh
oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat kedalaman
dan pembaharuan yang menyebabkan dbeliau mendekati pendapat - pendapat filosof
modern.
Pengaruh
Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunbeliau pikir
Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada
Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.
Pemikiran
terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina beliaulah falsafatnya tentang jiwa.
Sebagaimana Al-Farabi, beliau juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar
akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama,
demikbeliaun seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal
ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan.
Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Pemikiran
ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi
kemurnbeliaun tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud.
Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung
arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikbeliaun merusak tauhid. Oleh
karena itu mereka berpendapat : Tbeliauda yang berwujud selain dari Allah swt.
Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud
bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya
mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan
– akan tidak ada. Pendapat inilah kemudbeliaun yang membawa kepada paham wahdat
al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud
yang punya bayangan. Karena itu beliau pada hakekatnya tidak ada; bayangan
tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan.
Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke
penbeliaudaan sifat – sifat Tuhan dan kaum sufi ke penbeliaudaan wujud selain
dari wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi
ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari
mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha menbeliaudakan adanya arti banyak
dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun
dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak.
Pemikiran yang banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi.
Menurut
al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud
Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur
(berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan
kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya
adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa beliaulah yang memberi
wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang dzatnya sebagaimana
kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya
(al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup
Tuhan mengetahuiNya
Ibnu Sina
berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya
sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari
hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and
possible in essence. Dengan demikbeliaun beliau mempunyai tiga obyek
pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin
wujudnya.
Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari
pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari
pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusbeliau
sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan,
memancar dari akal ke sepuluh.
Segi - segi
kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu
:
1.
Segi fisika
yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan
jiwa manusbeliau). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusbeliau, indera dan
lain - lain dan pembahasan lain yang bbeliausa termasuk dalam pengertbeliaun
ilmu jiwa yang sebenarnya.
2.
Segi metafisika,
yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalbeliaun jiwa dengan badan
dan keabadbeliaun jiwa.
Ibnu Sina
membagi jiwa dalam tiga bahagbeliaun :
1. Jiwa tumbuh - tumbuhan dengan daya - daya :
- Makan (nutrition)
- Tumbuh (growth)
- Berkembang
bbeliauk (reproduction)
2. Jiwa binatang dengan daya - daya :
- Gerak (locomotion)
- Menangkap (perception)
dengan dua bagbeliaun :
* Menagkap
dari luar dengan panca indera
* Menangkap
dari dalam dengan indera - indera dalam.
-
Indera
bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera
-
Representasi
yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama
-
Imaginasi
yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi
-
Estimasi
yang dapat menangkap hal - hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya
keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
-
Rekoleksi
yang menyimpan hal - hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
3.
Jiwa manusbeliau
dengan daya - daya :
- Praktis
yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal
abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
a.
Akal
materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih
walaupun sedikitpun.
b.
Intelectual
in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.
c.
Akal actuil,
yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
d.
Akal
mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan
tak perlu pada daya upaya.
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam
jiwa tumbuh - tumbuhan, binatang dan manusbeliau yang berpengaruh pada dirinya,
maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang
mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan
dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu
Sina jiwa manusbeliau merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud
terlepas dari badan. Jiwa manusbeliau timbul dan tercipta tbeliaup kali ada
badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunbeliau ini. Sungguh pun
jiwa manusbeliau tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikbeliaun
tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir,
jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang
menolong jiwa manusbeliau untuk dapat berfikir.
Sedangkan menurut al-Ghazali di dalam buku – buku
filsafatnya dbeliau menyatakan bahwa manusbeliau mempunyai identitas esensbeliaul
yang tetap tidak berubah – ubah yaitu al-Nafs atau jiwanya. Adapun yang
dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang
tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan – pengetahuan
intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr.
Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusbeliau bukan fisiknya dan bukan fungsi
fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi
fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya
tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan
bahwa manusbeliau terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang
berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan
merasa dan bergerak dengan kemauan. Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism)
dan substansi yang kedua disebut jiwa (al-nafs).
Jiwa (al-Nafs)
memiliki daya – daya sebagai derivatnya dan atas dasar tingkatan daya – daya
tersebut, pada diri manusbeliau terdapat tiga jiwa (al-nufus al-tsalatsah)
:
Pertama
jiwa tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah) merupakan tingkatan jiwa yang
paling rendah dan memiliki tiga daya 1) daya nutrisi (al-ghadiya), 2)
daya tumbuh (al-munmiyah) dan 3) daya reproduksi (al-muwallidah),
dengan daya ini manusbeliau dapat berpotensi makan, tumbuh dan berkembang bbeliauk
sebagaimana tumbuh – tumbuhan.
Kedua, jiwa
hewani/sensitive (al-nafs al-hayawaniyah) yang memiliki dua daya
1) daya penggerak (al-mukharikah) dan 2) daya persepsi (al-mudrikah).
Pada penggerakn (al-mukharikah) terdapat dua daya lagi yaitu 10 daya
pendorong (al-baitsah) dan 2) daya berbuat (al-fa’ilah). Hubungan
antara daya pertama dengan daya kedua sebagaimana hubungan daya potensi dan
aktus, tetapi keduanya bersifat potensbeliaul sebelum mencapai aktualisasinya.
Yang pertama merupakan kemauan dan yang kedua merupakan kemampuan. Karena itu
al-Ghazali menyebut yang pertama iradah dan yang kedua qudrah.
Ketiga, jiwa
rasional (al-nafs al-natiqah). Mempunyai dua daya !) daya praktis (al-‘amilah)
dan 20 daya teoritis (al-alimah). Yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh
melalui daya – daya jiwa sensitive / hewani. Sesuai dengan tuntutan pengetahuan
yang dicapai oleh akal teorities. Yang dimaksud akal teoritis adalah al-‘alimah,
sebab jiwa rasional disebut juga al ‘aql. Al-‘alimah disebut juga
akal praktis. Akal praktis merupakan saluran yang menyampaikan gagasan akal
teoritis kepada daya penggerak.
Al-Ghazali
didalam Tahafut al-Falasifah menyangkal 20 buah kesalahan para filosof
muslim beserta pendahulu – pendahulu mereka yang berpaham teistik di Yunani.
Para filosof yang disangkal oleh al-Ghazali ini terbagi kedalam tiga kelompok :
1.
Filosof – filosof materbeliaulistik (dahriyyun)
Mereka adalah ateis – ateis yang
menyangkal adanya Allah dan merumuskan kekekalan alam dan terciptanya alam
dengan sendirinya.
2.
Filosof – filosof naturalis atau desitik (thabi’iyyun).
Mereka melaksanakan berbagai riset
di dalam alam semesta dan segala sesuatu yang menakjubkan di dalam dunbeliau
binatang dan tumbuh – tumbuhan. Melalui riset-riset itu mereka cukup banyak
menyaksikan keajaiban – keajaiban di dalam ciptaan Allah dan mereka
menemukan kebijaksanaan-Nya sehingga akhirnya mereka mau tak mau mengakui
adanya satu pencipta yang Maha Bijaksana. Walaupun demikbeliaun mereka tetap
menyangkal adanya hari pengadilan, kebangkitan kembali dan kehidupan akhirat.
Mereka tidak mengenal pahala dan dosa, karenanya mereka memuaskan nafsu – nafsu
mereka seperti binatang.
3.
Filosof – filosof teis (ilahiyyun).
Mereka adalah filosoh – filosof
Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah mengkritik
filosof – fiosof teis sebelumnya, termasuk Socrates dan Plato. Walaupun begitu,
menurut al-Ghazali, Aristoteles masih mempertahankan sisa – sisa kekafiran dan
kebid’ahan mereka yang tak berhasil dilepaskannya.
Filsafat Aristoteles seperti yang
disebarluaskan oleh penerjemah – penerjemah dan komentator – komentator
karyanya (pengikutnya) khususnya al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi ke dalam 3
kelompok :
a.
Filsafat – filsafatnya yang harus dipandang kufur.
b.
Filsafat – filsafatnya yang menurut Islam adalah bid’ah.
c.
Filsafat – filsafatnya yang sama sekali tak perlu disangkal.
Tiga masalah yang menyebabkan kufur
tersebut adalah :
Pertama, bahwa
Allah hanya mengetahui hal – hal yang besar – besar dan tidak mengetahui hal –
hal yang kecil - kecil.
Kedua, bahwa alam
ini azali atau kekal, tanpa permulaan.
Ketiga, bahwa di
akhirat kelak yang dihimpun adalah ruh manusbeliau bukan jasadnya
Ada empat
dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu :
1.
Dalil alam - kejiwaan (natural psikologi).
2.
Dalil Aku dan kesatuan gejala - gejala kejiwaan.
3.
Dalil kelangsungan (kontinuitas).
4.
Dalil orang terbang atau orang tergantung di udara
Dalil – dalil tersebut apabila
diuraikan satu persatu adalah sebagai berikut :
1. Dalil
Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan
kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa – peristiwa tersebut
adalah gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan).
Gerak ada dua macam yaitu :
1) Gerak paksaan (harakah qahrbeliauh)
yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda
kemudbeliaun menggerakkannya.
2) Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua
yaitu :
a. Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti
jatuhnya batu dari atas ke bawah.
b. Gerak yang terjadi dengan
melawan hukum alam, seperti manusbeliau yang berjalan di bumi, sdang berat
badannya seharusnya menyebabkan beliau dbeliaum, atau seperti burung yang
terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas
bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut
menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang
bergerak. Penggerak tersebut beliaulah jiwa.
Pengenalan
(pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh
sebagbeliaunnya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan –
kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil
natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima
(Jiwa) dan Physics, kedua – duanya dari Aristoteles.
Namun dalil
Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan – kelemahan antara lain bahwa
natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru
mempunyai nilai kalau sekurangnya benda – benda tersebut hanya terdiri dari
unsur – unsur yang satu maca, sedang benda – benda tersebut sebenarnya berbeda
susunannya (unsur – unsurnya). Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya
untuk mengatakan bahwa benda – benda yang bergerakmelawan ketentuan alam
berjalan sesuai dengan tabbeliautnya yang khas dan berisi unsur – unsur yang
memungkinkan beliau bergerak. Sekarang ini banyak alat – alat (mesin ) yang
bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun
tidak mengira bahwa alat – alat (mesin – mesin) terseut berisi jiwa atau
kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ulama – ulama
biologi sendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis
dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan).
Nampaknya
Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam kitab
– kitab yang dikarang pada masa kematangan ilmunya, seperti al-syifa dan
al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan beliau lebih
mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas segi – sehi pikiran dan jiwa,
yang merupakan genitalbeliaunya Ibnu sina.
2. Dalil Aku dan Kesatuan
Gejala Kejiwaan.
Menurut Ibnu
Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara
kepada orang lain, maka yang dimaksudkan beliaulah jiwanya, bukan badannya.
Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya tidur, maka
bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan
seluruh pribadi kita.
3. Dalil Kelangsungan (kontinuitas).
Dalil ini
mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan.
Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang
kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada
hubngannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat.
Kalau kita ini bergerak dalam mengalami perubahan, maka gerakan – gerakan dan
perubahan tersebut bertalbeliaun satu sama lain dan berangkai – rangkai pula.
Pertalbeliaun dan perangkabeliaun ini bisa terjadi karena peristiwa – peristiwa
jiwa merupakan limphan dari sumber yang satu dan beredar sekitar titik tarik
yang tetap.
Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka
ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan
pembahasannya yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa abad,
karena pendapatnya tersebut dipegangi oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati
tokoh – tokoh pikir masa sekarang.
4. Dalil Orang Terbang atau
Tergantung di Udara.
Dalil ini
adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya.
Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak
mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan
sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh,
baik akal maupun jasmani, kemudbeliaun beliau menutup matanya sehingga tak
dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudbeliaun beliau
diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga beliau tidak merasakan
sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota – anggota
badannya dbeliautur sedemikbeliaun rupa sehingga tidak sampai saling
bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak
akan ragu – ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun beliau sukar dapat menetapkan
wujud salah satu bagbeliaun badannya. Bahkan beliau boleh jadi tidak mempunyai
pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah
wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga
dimensi). Kalau pada saat tersebut beliau mengkhayalkan
(memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikbeliaun maka penetapan
tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya,
melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.
Dalil Ibnu
Sina tersebut seperti halnya dengan dalil Descartes, didasarkan atas suatu
hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda – beda mengharuskan adanya perkara –
perkara yang berbeda – beda pula. Seseorang dapat melepaskan dirinya dari
segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar kepribadbeliaun dan
dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan
adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang kita ketahui
dengan langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang wujudnya,
meskipun sebentar saja, karena pekerjaan – pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan
adanya jiwa tersebut.
B.
Filsafat Wujud.
Bagi Ibnu
Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan dbeliautas
segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina
terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat
tbeliaup essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud,
essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi.
Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu
menimbulkan falsafat wujudbeliauh atau existentbeliaulisasi dari filosof - filosof
lain.
Kalau dikombinasikan, essensi dan
wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
1.
Essensi yang
tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’,yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (- impossible
being).
2.
Essensi yang
boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini
disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula
tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudbeliaun
ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.
Essensi yang
tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan
dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak
dimulai oleh tidak berwujud dan kemudbeliaun berwujud, sebagaimana halnya
dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai
wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut
mestiberwujud
(
) yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.
Dalam pembagbeliaun wujud kepada wajib dan mumkin,
tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagbeliaun wujud para mutakallimun
kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang
wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga
mengharuskan orang berkata, setbeliaup orang yang ada selain Allah adalah
baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirbeliaun
ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam
mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada
waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak
mesti wajib[38][38]. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikbeliaun itu, Ibnu
Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib
(Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada
aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.
Dari
pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan
pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih
sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut
kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran
Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestbeliaun”, sehingga perbuatan-Nya
telah ada sekaligus sejak qadim.
“Perbuatan
Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai
berikut :
Pertama, perbuatan
yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai
sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372)
Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari
segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) - dari
wuwud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada
bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang
baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikbeliaunlah perbuatan
Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam
pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah
sesudah diciptakan.
Kedua, perbuatan
Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari perbuatan
sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya
sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga,
manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud,
keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestbeliaun”, seperti pekerjaan mekanis,
bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina
menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula beliau
menggambarkan “kemestbeliaun” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya
menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sbeliau - sbeliau, akrena iradah
itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu
adalah kemestbeliaun dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan
kehendak selagi kemestbeliaun telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya,
lebih - lebih lagi pada dzat-Nya.
Keempat, perbuatan
itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini
Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh
(melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai
oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena
beliau berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai
“sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan
sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada
materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh
kesempurnaan.
Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan
pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama
yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka
kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan
tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk
merindui Tuhan dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi
Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.
C. Falsafat
Wahyu dan Nabi
Pentingnya gejala kenabbeliaun dan wahyu ilahi merupakan
sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat
tingkatan : intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas
keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak
dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusbeliau
terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil,
dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah
adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusbeliau akal
materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu
intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga
tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan
dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini
mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusbeliau
dan terdapat hanya pada nabi - nabi.
Jadi wahyu
dalam pengertbeliaun teknis inilah yang mendorong manusbeliau untuk beramal dan
menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham
belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikbeliaun,
wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga
tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak
memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol –
simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat
menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan – tujuan dan prinsip – prinsip
moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosbeliaul politik,
baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah.
Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan
tertinggi – memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.
III. PENUTUP
¨ Ibnu Sina
memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan
filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara
simultan mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang
agamis dalam berfilsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya sebagai Filsuf yang
terlalu banyak berfikir.
¨ Menurut
Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan).
Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala yang
ada.
¨ Tuhan
adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan
mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).
¨ Pemikiran
Ibnu Sina tentang kenabbeliaun menjelaskan bahwa nabilah manusbeliau yang
paling unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang
sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya
dengan usaha dan susah payah.
DAFTA PUSTAKA
Al-Ahwan,
Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1984
Al-Ghazali Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, al-Munqidz
min al-Dlalah wa al-Muwassil ila dzi al-Izzah wa al-Jalal, Lebanon, Beirut,
1967
____________,
Madarij al-Salikin, Kairo, tsaqofah Islamiyah, 1964
____________, Ma’rij al-Quds fi Madaarij Ma’rofah al-Nafs,
Kairo, Maktabah al-Jund, 1968
____________,
Tahafut al-Falasifah, Kairo, Mesir, Maktaba’ah al-Qahirah, 1903
Busyairi
Madjidi, Konsep Kependidikan Para filosof Muslim, Yogyakarta, Al-Amin
Press, 1997
Daudy Ahmad,
Dr. MA., Kulbeliauh Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
_____________,
Segi - Segi Falsafi dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984
Hanafi,
Ahmad, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
Imam
Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa,
Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1985
Nasution,
harun, Prof., Dr., Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta,
Penerbit Universitas Indonesbeliau, 1996
_____________,
Falsafat dan Msitisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1992
Oemar
Amin Husein, Dr., Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
Poerwantana,
dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung, PT remaja Rosdakarya, 1991
Syarif, MM.,
MA., Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1994
Thawil
Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang, Dina Utama
Semarang, 1993
Zaenal Abidin
Ahmad, Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof Dunbeliau, Jakarta,
Bulan Bintang, 1949
DASAR AJARAN FILSAFAT IBNU SINA DAN PARA FILOSUF YUNANI
Prinsip utama dalam ajaran filsafat
yang tidak ada perbe-daan pendapat di antara para filosuf dari aliran mana pun
di za-man kapan pun yaitu sumber kebenaran yang mutlak
adalah akal. Inilah perbedaan mendasar antara kaum filosuf dengan se
lainnya. Pemujaan terhadap akal ini dimulai pada zaman para fi-losuf Yunani
yang ditokohi oleh Socrates, Plato dan Aristoteles. Bahkan sempat terjadi
ketegangan antara para ilmuwan dengan para filosuf pada masa Socrates dan Plato, sampai-sampai para ilmuwan ketika
itu, seperti Archimedes, Hippocrates dan Eucli-des memilih untuk bergerak di
luar filsafat. Bahkan Plato meng ambil sikap lebih ekstrem lagi, yaitu dengan
memusuhi agama.
Memang ketika masa Aristoteles
terjadi upaya pengakuran antara filsafat, ilmu sains dan agama. Namun
penggunaan akal sebagai sumber kebenaran yang mutlak bagi para filosuf tetap di
pertahankan, bahkan hingga hari ini. Aristoteles sendiri adalah seorang pemuja
berhala, di mana ketika ajal menjemput beliau sem-pat berpesan agar sebagbeliaun
harta peninggalannya digunakan un-tuk membangun patung Dewa Zeus dan Athena di
kota kelahir-annya, Stagiro.
Buku-buku filsafat Yunani terutama
karya Aristoteles dan guru-gurunya, yaitu Socrates dan Plato dimasukkan dan
diterje-mahkan ke dalam bahasa arab pada masa Kholifah Al-Manshur di zaman
kekuasaan Daulat Bani ‘Abbasiyah. Ketika itu mulailah bermunculan para filosuf
dari kalangan kaum muslimin, seperti Al-Kindi, Al-Farobi, Ibnu Sina ( Avecina
), Ibnu Rusyd, dan lain-lainnya. Semua masih sepakat dengan prinsip filsafat
Yunani yai tu mendewakan akal. Hanya saja di antara mereka ada yang ma-sih
dalam batasan keliru atau sesat, namun ada pula yang telah sampai ke derajat
kafir, bahkan ada yang lebih kafir daripada ke kafiran yang ada pada Yahudi dan
Nashrani.
Di antara filosuf dari kalangan kaum
muslimin yang telah sepakat para ‘ulama akan kekafirannya adalah Ibnu Sina.
Seba-gaimana para filosuf Yunani, Ibnu Sina pun meyakini bahwa Tu-han itu
adalah akal. Ibnu Sina berupaya mencari pembenaran prinsip penuhanan akal
dengan membuat sebuah teori pencipta- an alam yang dikenal dengan nama teori emanasi
( nazhoriyah al-faidh ) yang mirip dengan teori yang dikemukakan
oleh Al-Fa-robi sebelumnya yang menyatakan bahwa terjadinya alam ini adalah
dengan cara pelimpahan, seperti melimpahnya panas dari api. Faham emanasisme
ini merupakan perpaduan antara unsur filsafat Aristoteles yang menyatakan bahwa
alam dunbeliau ini azali dan
abadi , unsur filsafat Elbeliau dan Neo Platoisme yang menya- takan bahwa tbeliaup-tbeliaup
yang satu hanya dapat menyeluarkan satu juga, dan dengan unsur ilmu kalam
Mu’tazilah yang membagi ke beradaan segala sesuatu menjadi wajibul-wujud dan mumkinul-wujud .
Dalam teori emanasinya, Ibnu Sina
menyatakan bahwa Tu han itu adalah akal, yang bilamana Akal itu berta’aqqul,
yaitu berfikir tentang diri-Nya, lalu memikirkan sesuatu di luar
diri-Nya, maka akan menjadi sebab munculnya akal berikutnya yang disertai jismu
al-falaq al-aqsho dan nafs
al-falaq al-aqsho. Se cara ringkas teori emanasi Ibnu Sina adalah sebagai
berikut :
Wujud I ( § Alloh ) berta’aqqul maka muncul
Wujud II / Akal I.
Wujud II / § Akal I berta’aqqul maka muncul
Wujud III / Akal II dan Langit I beserta jiwanya.
Wujud III / § Akal II berta’aqqul maka muncul
Wujud IV / Akal III dan bintang-bintang tetap beserta jiwanya.
Wujud IV / § Akal III berta’aqqul maka muncul
Wujud V / Akal IV dan Planet Saturnus beserta jiwanya.
Wujud V / § Akal IV berta’aqqul maka muncul
Wujud VI / Akal V dan Planet Yupiter berserta jiwanya.
Wujud VI / § Akal V berta’aqqul maka muncul
Wujud VII / A-kal VI dan Planet Mars beserta jiwanya.
Wujud VII / § Akal VI berta’aqqul maka muncul
Wujud VIII / A kal VII dan matahari beserta jiwanya.
Wujud VIII / § Akal VII berta’aqqul maka muncul
Wujud IX / A kal VIII dan Planet Venus beserta jiwanya.
Wujud IX / § Akal VIII berta’aqqul maka muncul
Wujud X / A-kal IX dan Planet Mercurius beserta jiwanya.
Wujud X / § Akal IX berta’aqqul maka muncul
Wujud XI / Akal X dan bulan berserta jiwanya.
Dan dari Akal § X muncul bumi dan jiwanya, serta
api, tanah, air dan udara.
Berkenaan dengan teori emanasi ini, Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiy yah berkata [11] : “Orang-orang ini
menganggap bahwa yang mun- cul pertama kali adalah Akal I, dari akal I ini
muncul semua apa yang selainnya. Akal I ini menurut mereka adalah tuhan segala
sesuatu selain Alloh. Begitu pula setbeliaup akal adalah tuhan dari setbeliaup
apa yang ada di bawahnya. Dan akal X adalah tuhan bagi setbeliaup apa yang ada
di bawah Bulan.”
Akal I yang ada dalam teori emanasi ini –menurut Ibnu
Sina- ada-lah akal yang disebutkan dalam hadits :
أنّ أوّل ما خلق الله العقل , فقال له
: أقبل ! فأقبل , فقال له : أدبر ! فأدبر , فقال : و عزّتي ما خلقت خلقًا أكرم
عليّ منك فبك آخذ و بك أعطى و لك الثواب و عليك العقاب
“ Makhluq pertama yang Alloh ciptakan adalah akal. Lalu
Alloh berfirman kepada akal : “ Menghadaplah ! ”, maka akal mengha-dap, kemudbeliaun
Alloh berfirman : “ Membaliklah ! “, maka akal membalik ke belakang, lalu Alloh
berfirman : “ Demi kemulbeliauan-Ku, tidaklah Aku menciptakan makhluq yang
lebih mulbeliau daripa-damu, denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi,
un-tukmulah pahala dan atasmulah siksa.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunya dalam Al-‘Aql
wa Fadhluhu, Ath-Thobroni dalam Al-Ausath, Ibnu ‘Adi dalam Al-Ka-mil,
Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudhu’at (kumpulan hadits palsu). Dan para
ahli hadits sepakat bahwa hadits ini adalah palsu.
Berkata Ibnu Hibban : “Tidak ada satu hadits shohih pun dari
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang berkenaan dengan akal.”
Berkata Al-‘Uqoili : “Tidak kokoh sedikit pun yang berkenaan
de-ngan matan hadits ini – yakni : tentang akal -.”
[ ‘Abdulloh A. Darwanto ]
0 Response to "BIOGRAFI IBNU SINA"
Post a Comment