SEJARAH FILSAFAT ISLAM
PENDAHULUAN
Pendidikan dalam Islam merupakan hal yang
penting untuk diperhatikan. Karena dengan ilmu pengetahuan, Islam dapat membawa
umatnya kepada sesuatu yang lebih baik. Dengan perhatian yang baik terhadap
bidang pendidikan maka Islam tidak akan mengalami pasang dan surut. Agar pendidikan dalam Islam mengalami kemajuan yang pesat, harus mengadakan
inovasi dan perubahan dan sanggup mempertahankannya. Sehingga seberapa kuatnya
pihak lain ingin merusaknya maka mereka tidak akan sanggup.
Namun, sekuat apapun kejayaan dan kemajuan itu
dipertahankan, suatu saat juga tidak akan terlepas dari kemunduran. Demikian juga dalam pendidikan Islam, ada mengalami kemajuan dan
kemunduran. Islam yang pernah menguasai ilmu pengetahuan dan memiliki banyak
para ahli ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, akhirnya terpuruk juga
dikarenakan berbagai hal yang terjadi di dalam tubuh Islam itu sendiri. Berikut
akan dibahas pendidikan Islam pada era kemunduran.
LATAR BELAKANG
KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM
Setelah mengalami masa kejayaan, umat Islam
mengalami masa kemunduran dalam berbagai bidang. Hal ini dimulai dengan
runtuhnya kekuasaan Islam di Bagdad dan di Cordova.
Baghdad yang merupakan pusat kedaulatan
Abbasiyah yang pertama kali dipimpin oleh Abu Abbas As Saffah, telah menguasai
berbagai daerah yang ada dan memimpin daerah tersebut. Di bawah kekuasaan
daulah Abbasiyah Islam mengalami kemajuan dalam berbagai bidang terutama dalam
bidang pendidikan. Para pemimpin daulah Abbasiyah lebih memikirkan bidang
pendidikan daripada daulah umayyah sebelumnya yang lebih focus pada bidang
kemiliteran.
Daulah Abbasiyah sangat menonjol dalam bidang
pendidikan pada masa kekhalifahan Al Makmun. Khalifah Al Makmun adalah seorang
yang sangat mencintai ilmu pengetahuan diatas segalanya dan dia juga selalu memikirkan
agama Islam dengan ilmu pengetahuan tersebut. Dia berusaha mengembangkan ilmu
pengetahuan dan menerjemahkan buku-buku dari Yunani serta mengembangkan
ilmu-ilmu dengan mendapatkan temuan baru. Filsafat Yunani yang bersifat
rasional menjadikan Khalifah Al Makmun terpengaruh dan mengambil teologi
Mu’tazilah menjadi teologi negara.[1] Dalam masa itu, Islam menjadi Negara yang tak
tertandingi dalam bidang pendidikan serta banyak memberikan sumbangan ilmu
pengertahuan terhadap dunia.
Namun setelah silih bergantinya Khalifah, Islam
mulai mengalami kemunduran terhadap bidang pendidikan. Hal ini juga berhubungan
dengan keruntuhan daulah Abbasiyah sebagai suatu kedaulatan yang besar.
Terjadinya jurang pemisah antara kekhalifahan dan komunitas keagamaan terutama
dalam hal “ kemakhlukan Al Qur’an “ yang membuat terjadinya perselisihan antara
beberapa kelompok. Kelompok yang satu mengatakan bahwa Al Qur’an itu adalah
amkhluk yang diciptakan oleh Allah dan kelompok yang satu lagi menyatakan bahwa
Al Qur’an merupakan Kalam Allah, bukan makhluk.
Hancurnya Islam pada masa daulah Abbasiyah
dapat dikelompokkan menjadi factor interen dan factor eksteren.
Dalam bidang interen yaitu :
- Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam daulah Abbasiyah terutama Arab, Prsia dan Turki
- Adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah
- Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Bagdad. Dikarenakan lemahnya penerus khalifah selanjutnya maka banyak kerajaan-kerajaan kecil yang memberontak terhadap daulah Abbasiyah dan ingin membentuk dinasti sendiri.
- Kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik. Pada awalnya daulah Abbasiyah adalah suatu kerajaan yang kaya akan harta, tetapi dikarenakan penerus khalifah berikutnya terbiasa bermewah-mewah sehingga keuangan menjadi terbuang sia-sia tanpa digunakan untuk hal yang berguna.
- luasnya wilayah kekuasaan. Untuk mengatur daerah kekuasaan yang luas ini, diperlukan rasa saling percaya antar penguasa dan bawahannya. Tapi pada masa-masa akhir daulah Abbasiyah, kepercayaan inilah yang hilang diantara mereka.
- dominasi militer. Pada masa khalifah al Mu’tasim, banyak direkrut jajaran militer dari budak-budak Turki. Dan ada sebagian dari mereka yang diangkat menjadi gubernur untuk memimpin suatu daerah. Namun, pada kelanjutannya mereka secara perlahan mengendalikan pemerintahan. Ini juga disebabkan pengauasa daulah yang lemahdan tidak mampu melawan mereka, sehingga memberi mereka kesempatan untuk mengatur pemerintahan.
Adapun dari bidang
eksterennya adalah :
- Perang salib yang terjadi dalam beberapa gelombang
- Hadirnya tentara mongaol dibawah pimpinan Hulagu Khan, yang menghancurkan daulah Abbasiyah dan membakar seluruh buku-buku ilmu pengetahuan yanga ada di Bagdad
Sebab yang terakhir inilah yang menjadi puncak runtuhnya daulah Abbasiyah
di Bagdad serta mundurnya bidang pendidikan lebih tampak nyata.
Sedangkan kemunduran di Cordova pada masa daulah Umayyah II. Daulah Umayyah
II yang dipimpin pertama kali oleh Abdurrahman Ad Dakhil yang merupakan
pelarian dari penguasa Abbasiyah. Puncak kekuasaan daulah Umayyah II terjadi
pada masa pemerintahan Abdurrahman III dan Al Hkam. Kemajuan pada masa itu
terlihat dalam berbagai bidang antara lain bidang pendidikan, ilmu pengetahuan
dan intelektual. Di Cordova yang merupakan pusat daulah Umayyah II telah
berdiri suatu universitas yang terpercaya dan mampu menandingi dua universitas
besar lainnya, yaitu universitas Al Azhar di Kairo dan Nizamiyah di Bagdad. Universitas
ini menarik banyak mahasiswa, baik mahasiswa kristen maupun mahasiswa dari
negara Eropa lainya.
Pertemuan antara peradaban Arab Islam dengan peradaban masyarakat setempat
menjadikan daerah itu pada masanya mempunyai kebudayaan Islam yang tinggi. Sehingga
Spanyol menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam di daerah barat.
Tetapi kemajuan tersebut ditentukan oleh penguasa yang memiliki sikap kuat dan
berwibawa yang mampu mempersatuka Islam.
Setelah mencapai kemajuan da kesuksesan dalam berbagai bidang dan selama
beberapa abad menjadi kiblat ilmu engetahuan, akhirnya mencapai kemunduaran
yang disebabkan oleh berbagai hal. Diantaranya yaitu :
- Tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan yang menyebabkan munculnya munculnya perebutan kekuasaan diantara ahli waris
- Lemahnya figur dan kharismatik yang dimiliki khalifah khususnya sesudah khalifah Al Hakam II. Khalifah hanyalah sebagai simbol saja, sedang pelaksanaan pemerintahannya dijalankan oleh Wazir
- Perselisihan diantara umat Islam itu sendiri yang disebabkan perbedaan kepentingan atau karena perbedaan suku dan kelompok yang merupakan peluang bagi pihak kristen untuk memecah belah Islam
- Konflik umat Islam dan kristen, kebijakan para penguasa Muslim yang tidak melakukan Islamisasi secara sempurna dan hanya diwajibkan membayar upeti pada penguasa Islam di Spanyol
- Munculnya Muluk At Tawaif ( kerajaan-kerajaan kecil ) yang masing-masing saling berebut kekuasaan.
Hal ini diperburuk dengan serangan pihak kristen yang sudah menyatu dan
letak Spanyol yang terpencil dari daerah Islam lainnya sehingga Spanyol harus
berjuang sendri tanpa adanya bantuan.
Dengan runtuhnya kekuaan Islam di Bagdad dan di Cordova maka mulailah
kemunduran pendidikan dan kebudayaan Islam. Dan kehancuran total yang dihadapi
kota-kota pendidikan dan kebudayaan Islam yang mengakibatkan runtuhnya
sendi-sendi pendidikan Islam dan melemahnya pemikiran yang disebabkan antara
lain :
- Telah berlebihnya filsafat Islam ( yang bersifat Sufistik )
Kehidupan sufi berkembang
dengan cepat. Keadaan umat yang frustasi menyebabkan kembali pada Tuhan dalam
arti bersatu dengan tuhan, sebagaimana duiajarkan oleh para sufi. Di setiap
Madrasah diajarkan tentang ajaran-ajaran sufisme, sehingga di dalam Madrasah
hanya ada ilmu-ilmu agama sedangkan ilmu-ilmu lainnya tidak termasuk dalam
pengajaran.
- Sedikitnya kurikulum Islam
Pada Madrasah-madrasah,
pengajaran umumnya terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan, seperti ilmu-ilmu yang
murni yaitu : Tafsir, Hadis, Fikih dan Ushul Fikih, Ilmu Kalam, dan Teologi
Islam sudah mulai tertinggal karena penyempitan kurikulum pada masa itu. Pada
beberapa Madrasah tertentu, Ilmu Klam dicurigai, yang lebih di fokuskan kepada
ilmu yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dan juga materi yang
ada banyak sedangkan waktu yang diberikan untuk mempelajarinya hanya sedikit
sehingga para pelajar tidak terlalu memahami suatu ilmu.
- Tertutupnya pintu ijtihad
Dengan dikuranginya
kebebsan berpendapat dan memikirkan sesuatu dengan akal, maka banyak para ahli
tersebut hanya mengutip ijtihad para ahli sebelumnya tanpa menemukan pemecahan
terbaru tentang hal-hal permasalahan yang sedang berkembang dari hasil
pemikiran mereka. Sehingga timbul pernyataan yang mengatakan bahwa pintu
ijtihad telah tertutup.
Melihat hal-hal tersebut, maka jelaslah Islam mengalami masa kemunduran
terutama dalam bidang pendidikan.
SISTEM
PENDIDIKAN ISLAM PERIODE KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM
Kemunduran pendidikan Islam terletak pada merosotnya mutu pendidikan dan
pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Materi pelajarannya seperti
dijelaskan Zuhairini yang dikutip oleh Syamsul Nizar, sangat sederhana. Materi
yang diajarkan hanyalah materi-materi dan ilmu-ilmu keagamaan. Lembaga-lembaga
pendidikan tidak lagi mengajarkan ilmu-ilmu filosofis, termasuk ilmu
pengetahuan. Rasionalismepun kehilangan
peranannya, dalam arti semakin dijauhi. Kedudukan akal semakin surut. Dengan
dicurigainya pemikiran rasional, daya penalaran umat Islam mengalami kebekuan
sehingga pemikiran kritis, penelitian dan ijtihad tidak lagi dikembangkan.
Akibatnya, tidak ada lagi ulama-ulama yang menghasilkan karya-karya
intelektualisme yang mengagumkan. Mereka lebih senang mengikuti
pemikiran-pemikiran ulama terdahulu daripada berusaha melakukan temuan-temuan
baru. Keterpesonaan terhadap buah fikiran masa lampau membuat umat Islam merasa
cukup dengan pa yang sudah ada. Mereka tidak mau berusaha lebih keras lagi
untuk memunculkan gagasan keagamaan yang cemerlang. Usaha yang mereka tempuh
hanyalah sebatas pemberian syarah atau ta’liqah pada
kritik-kritik ulama terdahulu yang bertujuan memudahkan pembaca untuk memahami
kitab-kitab rujukan dengan menjelaskan kalimat-kalimatnya secara semantik atau
menambah penjelasan dengan mengutip ucapan-ucapan para ulama lain.
Diantara sebab-sebab kemacetan pemikiran dan kemunduran umat Islam adalah
lenyapnya metode berfikir rasional, yang pernah dikembangkan oleh mu’tazilah.
Pemikiran rasional mu’tazilah yang telah menimbulkan peristiwa ” mihnah
”, telah mengundang antipati umat Islam bukan saja terhadap aliran
mu’tazilah tetapi juga terhadap metode berfikir rasional. Sejak saat itu,
masyarakat tidak mau mendalami ilmu-ilmu sains dan filosofis. Pemikiran logis
dan ilmiah tidak lagi menjadi budaya fikir masyarakat Muslim sampai akhirnya
pola berfikir mereka didominasi oleh supertisi, tahayul dan kejumudan.
Antipati terhadap mu’tazilah menyebabkan pengawasan yang ketat
terhadap kurikulum. Jatuhnya paham mu’tazilah mengangkat posisi kaum
konservatif menjadi kuat. Untuk mengembalikan paham Ahlussunnah
sekaligus memperkokohkannya, ulama-ulama melakukan kontrol terhadap kurikulum
di lembaga-lembaga pendikan. Karena ulama dianggap
sebagai kaum terpelajar dan memiliki otoritas keagamaan dan masalah hukum
Islam. Ulama-ulama ini menganut paham konservatif dan fundamental bahwa wahyu
merupakan inti segala macam pengetahuan. Oleh karena itu mereka hanya
mengedepankan ilmu-ilmu keagamaan di lembaga pendidikan Islam.
Ketauhidan yang diajarkan Muhammad SAW telah diselubungi khurafat dan paham
kesufian. Mesjid-mesjid ditinggalkan khurafat oleh golongan besar dan awam.
Mereka menghias diri dengan azimat penangkal penyakit dan tasbih. Mereka
belajar pada fakir dan darwis serta menziarahi kuburan
orang-orang keramat.mereka memuja orang-orang itu sebagai orang suci dan
perantara dengan Allah, karena menganggap Dia begitu jauh bagi manusia biasa
untuk pengabdian langsung.
Sebagaimana yang dikatakan oleh M. Natsir yang dikutip oleh Chadijah
Ismail, kemurnian tauhid terancam, guru-guru, pemimpin-pemimpin kerohanian
dikultus, dijadikan perantara menziarahi kuburan dan barang-barang peninggalan
orang tua-tua dikeramatkan. Dengan rusaknya kemurnian tauhid, hubungan antara
hamba dengan Tuhannya menjadi kabur, hubungan hamba dengan sesama manusia dan
alam sekitarnya jadi tidak karuan. Amal Ibadah yang tadinya murni, kemasukan
berbagai macam bid’ah dan khurafat. Esencial demokrasi dalam tata negara
digantikan oleh feodalisme dalam bermacam-macam bentuk dan intensitasnya. Ruh
ijtihad, kemerdekaan berfikir, semangat untuk menjajah, mencari kebenaran
merosot, yang tumbuh malah jiwa serba turut ( taqlid ). Daya cipta lumpuh,
yang timbul adalah daya imitasi dan kesenian berakomodasi dengan situasi
kondisi.
Umat Islam banyak terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok politik,
aliran-aliran ilmu kalam dan filsafat Islam, golongan dan mazhab hukum fikih,
jamaah-jamaah sufi dan tarikat. Ditambah dengan banyaknya hadits-hadits palsu
dibuat orang dan tidak diperiksa dengan teliti sanad dan rawinya. Israiliyat
dan nasraniyat dalam penafsiran sangat merusak citra Al Qur’an. Pintu
ijtihad tertutup rapat.
Universitas Al Azhar yang didirikan abad X M jauh ditinggalkan oleh
universitas Paris, Oxford dan Cambrige yang baru berdiri abad XIII M.
universitas Islam Deobamd di India dan universitas Zaitunah di Tunisia tadak
lagi dapat disebut universitas-universitas yang diharapkan oleh Al Qur’an.
Mata pelajaran seperti : Astronomi, física, nimia, kedokteran, biologi,
sosiologi, ekonomi, politik sudah ditinggalkan karena dianggap bukan pelajaran
agama, tapi itu ilmu umum. Padahal Al Qur’an tidak pernah membedakan bahwa
kelompok pertama adalah ilmu agama dan kelompok kedua adalah ilmu umum.
Disamping itu, di zaman kemunduran banyak berkembang ajaran-ajaran tarekat
yang tidak ada sandarannya Al Qur’an dan Hadits yang dapat dipegangi. Jabarti
yang dikutip oleh Chadijah Ismail mengatakan : “ Orang Islam yang dulu pernah
pertama kali mendirikan rumah sakit dan telah maju dalam bidang kedokteran,
yang telah memberikan inspirasi bagi pendirian rumah sakit di seluruh Eropa,
Semarang jatuh ke dalam keadaan yang menyangka percobaan nimia Francis semacam sihir.
Di dalam bidang fikih, yang terjadi adalah berkembangnya taqlid buta
dikalangan umat. Dengan sikap hidup fatalistas tersebut, kehidupan mereka
Sangay status, tidak ada problem-problem baru dalam bidang fikih. Apa yang
sudah ada dalam kitab-kitab fikih lama dianggap sesuatu yang sudah baku, mantap
dan benar, dan harus diikuti serta dilaksanakan sebagaimana adanya.
Kehidupan sufi berkembang dengan pesat. Madrasah-madrasah yang ada dan yang
berkembang diwarnai dengan kegiatan sufi. Madrasah-madrasah berkembang menjadi
zawiat-zawiat untuk mengadakan riyadah dibawah bimbingan an otoritas guru-guru
sufi, yang selanjutya dikembangkan untuk menuntun para murid, yang dikenal
berikutnya dengan istilah tarekat.
Keadaan yang demikian, sebagaimana yang dilukiskan oleh Fazlur Rahman yang
dikutip oleh Syamsul Nizar : ” Di madrasah-madrasah yang bergabung dalam halaqah-halaqah
dan zawiat-zawiat sufi, karya-karya sufi dimasukkan kedalam kurikulum
formal, kurikulum akademis yang terdiri dari hampir seluruh buku-buku tentang
sufi”.
Seseorang yang frustasi dan fatalis, tidak lagi percaya kepada kemampuannya
untuk maju atau mengatasi problem kagamaan dan kemasyarakatan. Mereka lari dari kenyataan dan hanya mendekatkna diri kepada Tuhan. Untuk
itu mereka masuk ke tarekat-tarekat sehingga tarekat sangat berpengaruh dalam
hidup umat Islam.
Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang sekali. Kurangnya perhatian penguasa
terhadap kehidupan intelektualisme, menambah umat Islam semakin tidak bergairah
untuk melahirkan karya-karya intelektual sehingga ilmu pengetahuan Islam
mengalami stagnasi.
Adakah Filsafat
dalam Islam?
Secara harfiah, istilah filsafat itu berasal
dari kata philosophia. Menurut Ibn Nadim (w. 380 H/985 M), mengutip keterangan
Plutarch (± 100 M), istilah ini mula-mula digunakan oleh Phytagoras (572-497
SM),[viii] yang kemudian diarabkan menjadi al-falsafah. Kemungkinan yang
mengarabkan pertama kali adalah Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M),
penerjemah buku Timeaus, karya Plato. Sebab, kata philosophy (Arab: falsafah) itu
ada di dalam buku tersebut.[ix] Hanya saja, bukti yang paling otentik
penggunaan istilah tersebut dapat ditemukan dalam Kitab al-Falsafah al-Ulâ fî
mâ dûna ath-Thabi’iyyah wa at-Tawhîd, karya al-Kindi.
Philosophia
itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia.
Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan
pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan,
pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi.[xi]
Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan).[xii] Ini seperti yang dinyatakan oleh Socrates dalam Mukhtashar Kitâb at-Tuffâhah (Ringkasan Kitab Apel).[xiii]
Secara
khusus, hikmah (wisdom) ini kemudian dibagi menjadi dua: qawliyyah
(intelektual) dan ‘amaliyyah (praktis).[xiv] Sebab, kebahagiaan (happiness)
yang dikehendaki oleh filosof adalah substansinya; virtuous activity is
identical with happiness (melakukan kebaikan adalah identik dengan
kebahagiaan).[xv] Kebahagiaan itu sendiri hanya bisa diraih melalui wisdom,
baik dengan mengetahui kebenaran (knowledge of the good) maupun melaksanakan
kebaikan (virtuous activity).[xvi]
Istilah filsafat ini kemudian digunakan oleh al-Kindi dengan konotasi: pengetahuan tentang hakikat sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia.[xvii] Al-Farabi menyebutnya sebagai pengetahuan tentang eksistensi itu sendiri.[xviii] Al-Khawarizmi menyebutnya pengetahuan tentang hakikat benda dan perbuatan yang berkaitan dengan mana yang lebih baik sehingga dapat diklasifikasikan: yang teoretis (nazhari) dan yang praktis (‘amali).[xix]
Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa filsafat itu bukan merupakan
pengetahuan an sich, tetapi juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal,
baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, filsafat
menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq)? Secara praktis, filsafat
menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr)? Dari dua spektrum inilah
kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus
memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn
Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham
(isme) di luar agama para nabi. Disamping itu, filsafat memang ajaran yang
murni dihasilkan oleh akal manusia.[xx]
Jika
demikian faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun
pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang
al-haq (kebenaran) dan al-khayr (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas
tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan
batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya. Tentang yang
terakhir ini, barangkali dapat merujuk buku at-Tafkîr karya Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani.
Dampak Filsafat
Terhadap Kemunduran Umat Islam
Harus
ditegaskan kembali, bahwa pemikiran filosof pada zaman Kekhilafahan Islam
memang bukan merupakan arus utama. Namun, pola berpikir mereka, khususnya
penggunaan logika (mantik), telah merambah hampir ke seluruh bidang; mulai dari
bidang akidah, usul fikih hingga tasawuf—meski fikih tetap harus dikecualikan
dari penggunaan logika tersebut.
Di
bidang akidah, penggunaan logika (mantik) ini telah melahirkan perdebatan
panjang di kalangan para ulama usuluddin sehingga melahirkan ilmu kalam.
Lahirnya ilmu kalam bukannya mengakhiri masalah, tetapi justru sebaliknya. Ilmu
kalam inilah yang menyebabkan akidah kaum Muslim diwarnai dengan perdebatan
demi perdebatan. Akibatnya, akidah mereka telah kehilangan substansinya sebagai
pondasi. Sebab, akidah tersebut telah oleng. Para ulama ushuluddin yang juga
ulama ushul fikih itu kemudian membawa pola berpikir tersebut dalam bidang
ushul fikih. Perdebatan tentang hasan, qabîh, khayr, syarr, sampai muqaddimah
(premis) pun terbawa. Karena itu, tidak pelak lagi, ushul fikih pun dipenuhi
dengan perdebatan ala mutakallimin. Akibatnya, ushul fikih tersebut telah
kehilangan substansinya sebagai kaidah (pondasi), yang digunakan untuk menggali
hukum.
Fenomena
pertama, diakui atau tidak, telah menyebabkan hilangnya gambaran kaum Muslim
tentang qadhâ’ dan qadar, takdir, surga, neraka, serta keimanan yang bulat
kepada Allah. Kondisi ini diperparah dengan pandangan sufisme—yang banyak
dipengaruhi filsafat Persia dan India—seputar kehidupan panteistik, asketik,
dan lain-lain. Semuanya ini pada gilirannya menyebabkan disorientasi kehidupan
kaum Muslim.
Kemudian,
fenomena kedua telah menyebabkan hilangnya ketajaman intelektual kaum Muslim
dalam menyelesaikan persoalan. Daya kreativitas mereka menjadi tumpul. Ushul
fikih berkembang, tetapi ijtihad mandeg; bukan semata-mata karena adanya seruan
ditutupnya pintu ijtihad, tetapi juga karena hilangnya vitalitas ushul fikih
sebagai kaidah istinbâth (penggalian hukum).
Setelah
semuanya itu, maka sempurnalah kejumudan kaum Muslim sehingga mereka tidak
mampu menyelesaikan berbagai persoalan baru yang silih berganti, yang mereka
hadapi. Bertambahnya wilayah baru pada zaman Khilafah Utsmaniyah, diakui atau
tidak, telah memunculkan persoalan baru. Akan tetapi, karena kemampuan ijtihad
itu telah hilang, masalah pun akhirnya menumpuk. Beban mereka pun semakin hari
semakin berat. Karena itu, ketika Barat bangkit dengan renaissance-nya, mereka
pun bingung: menerima kemajuan Barat, dengan segala produknya, atau menolaknya.
Pada saat itu, ada yang secara ekstrem menolak segala produk Barat, dan ada
yang sebaliknya. Hanya saja, tidak ada satupun di antara mereka yang bisa
membedakan: mana tsaqâfah, dan mana ‘ulûm; mana hadhârah dan mana
madaniyah.
Seiring
dengan kakalahan kelompok yang pertama, maka semua produk Barat mulai diambil
oleh kaum Muslim, mulai yang bersifat fisik sampai non-fisik. Dari sanalah,
perundang-undangan ala Barat mulai diperkenalkan kepada kaum Muslim. Lalu model
fikih taqnîn (yang berbentuk undang-undang dengan pasal perpasal) pun mulai
muncul; sebut saja kitab al-Ahkâm al-’Adliyyah. Setelah itu, perundang-undangan
Barat mulai masuk dan menggantikan perundang-undangan Islam. Kemudian
terjadilah pemisahan mahkamah menjadi: sipil dan syariah. Demikian seterusnya
hingga sedikit demi sedikit hukum Islam pun lenyap dari peredaran dan tidak
lagi diterapkan, selain dalam bidang ahwâl syakhshiyah.
Selanjutnya, tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, pemberlakukan hukum Islam pun diakhiri dengan dibubarkannya institusi Khilafah, dan dibekukannya Islam oleh Kamal Attaturk. Setelah itu, sampai saat ini, kehidupan kaum Muslim terus terpuruk. Wallâhu a’lam. []
Abu Hanifah mengatakan, “Allah Swt. adalah satu (yang diketahui) bukan melalui angka, tetapi dengan cara, bahwa Dia tidak mempunyai sekutu.” Lihat: Abu Hanifah, Matan al-Fiqh al-Akhbar, hlm. 323. Ini melanjutkan perdebatan Plato tentang angka, apakah angka merupakan substansi atau aksiden. Untuk keluar dari perdebatan tersebut, kelihatannya Abu Hanifah menggunakan jawaban taktis di atas.
[ii] Menurut Ibn Sina, mantiq (logika) meliputi sembilan bagian. Pertama, pembahasan tentang pembagian lafal dan makna, yang dijelaskan dalam kitab yang populer dengan judul, al-Madkhal, karya Pirtoes. Kedua, pembahasan mengenai makna angka tunggal, yang dijelaskan dalam kitab Categories, karya Aristoteles. Ketiga, pembahasan mengenai susunan makna tunggal secara positif dan negatif, yang dijelaskan dalam kitab On Interpretation, karya Aristoteles. Keempat, pembahasan mengenai susunan proposisi, atau analogi, yang dijelaskan dalam kitab Prior Analytics, karya Aristoteles. Kelima, pembahasan untuk mengetahui secara mendalam mengenai syarat-syarat analogi dalam menyusun proposisi yang menjadi premis-premisnya, yang dijelaskan dalam kitab Ponethyca, karya Aristoteles. Keenam, pembahasan mengenai analogi yang bermanfaat untuk menyerukan kepada orang yang kurang paham yang dijelaskan dalam kitab Tonica, karya Aristoteles. Ketujuh, pembahasan mengenai kesalahan berpikir yang terjadi dalam penyusunan argumentasi dan penggunaan dalil, yang terangkum dalam kitab On Sophistical Refutations, karya Aristoteles. Kedelapan, pembahasan yang berisi standar pidato yang bermanfaat, yang terangkum dalam kitab Rethoric karya Aristoteles. Kesembilan, pembahasan yang berisi ungkapan bersyair, yang terangkum dalam buku Rethoric karya Aristoteles. Ibn Sina, Risâlah fî Aqsâm al-’Ulûm al-’Aqliyyah, hlm. 271-272.
Selanjutnya, tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, pemberlakukan hukum Islam pun diakhiri dengan dibubarkannya institusi Khilafah, dan dibekukannya Islam oleh Kamal Attaturk. Setelah itu, sampai saat ini, kehidupan kaum Muslim terus terpuruk. Wallâhu a’lam. []
Abu Hanifah mengatakan, “Allah Swt. adalah satu (yang diketahui) bukan melalui angka, tetapi dengan cara, bahwa Dia tidak mempunyai sekutu.” Lihat: Abu Hanifah, Matan al-Fiqh al-Akhbar, hlm. 323. Ini melanjutkan perdebatan Plato tentang angka, apakah angka merupakan substansi atau aksiden. Untuk keluar dari perdebatan tersebut, kelihatannya Abu Hanifah menggunakan jawaban taktis di atas.
[ii] Menurut Ibn Sina, mantiq (logika) meliputi sembilan bagian. Pertama, pembahasan tentang pembagian lafal dan makna, yang dijelaskan dalam kitab yang populer dengan judul, al-Madkhal, karya Pirtoes. Kedua, pembahasan mengenai makna angka tunggal, yang dijelaskan dalam kitab Categories, karya Aristoteles. Ketiga, pembahasan mengenai susunan makna tunggal secara positif dan negatif, yang dijelaskan dalam kitab On Interpretation, karya Aristoteles. Keempat, pembahasan mengenai susunan proposisi, atau analogi, yang dijelaskan dalam kitab Prior Analytics, karya Aristoteles. Kelima, pembahasan untuk mengetahui secara mendalam mengenai syarat-syarat analogi dalam menyusun proposisi yang menjadi premis-premisnya, yang dijelaskan dalam kitab Ponethyca, karya Aristoteles. Keenam, pembahasan mengenai analogi yang bermanfaat untuk menyerukan kepada orang yang kurang paham yang dijelaskan dalam kitab Tonica, karya Aristoteles. Ketujuh, pembahasan mengenai kesalahan berpikir yang terjadi dalam penyusunan argumentasi dan penggunaan dalil, yang terangkum dalam kitab On Sophistical Refutations, karya Aristoteles. Kedelapan, pembahasan yang berisi standar pidato yang bermanfaat, yang terangkum dalam kitab Rethoric karya Aristoteles. Kesembilan, pembahasan yang berisi ungkapan bersyair, yang terangkum dalam buku Rethoric karya Aristoteles. Ibn Sina, Risâlah fî Aqsâm al-’Ulûm al-’Aqliyyah, hlm. 271-272.
Dari segi bahasa, Filsafat berasal dari bahasa
Yunani yaitu gabungan dari kata Philo yang artinya cinta, dan Sofia yang
artinya kebijaksanaan, atau pengetahuan yang mendalam. Jadi dilihat dari akar
katanya, filsafat berarti ingin tahu dengan mendalam atau cinta terhadap
kebijaksanaan.
Adapun makna filsafat menurut terminologi
adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal, untuk mengetahui
hakekat segala sersuatu yang ada, seperti hakekat alam, hakekat manusia,
hakekat masyarakat, hakekat ilmu, hakekat pendidikan dan seterusnya. Dengan
demikian maka muncullah apa yang disebut filsafat alam, filsafat manusia,
filsafat ilmu dan sebagainya.
dalam pada itu perlu juga dijelaskan tentang
ciri-ciri berfikir yang filosofis. Yaitu harus bersifat sistematis, maksudnya
fikiran tersebut harus lurus, tidak melompat-lompat sehingga kesimpulan yang
dihasilkan oleh pemikiran tersebut benar-benar dapat dimengerti. Kedua harus
bersifat radikal, maksudnya harus sampai ke akar-akarnya sehingga tidak ada
lagi yang tersisa untuk dipikirkan. Ketiga harus bersifat universal yaitu
menyelurug, melihat hakekat sesuatu dari hubungannya dengan yang lain dan tidak
dibatasi untuk kurun waktu tertentu.
Adapun pengertian Islam dari segi bahasa adalah
selamat sentausa, berserah diri, patuh, tunduk dan taat. seseorang yang
bersikap demikian disebut Muslim, yaitu orang yang telah menyatakan dirinya
taat, menyerahkan diri, patuh dan tunduk kepada Alloh Swt.
Islam menurut terminologi adalah Agama yang
ajaran-ajarannya diwahyukan oleh Alloh kepada manusia melalui nabi Muhammad
sebagai Rasul Allah.
dari pengertian-pengertian di atas dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa Filsafat Islam adalah berfikir secara
sistematis, radikal dan universal tentang hekekat segala sesuatu berdasarkan
ajaran Islam. Singkatnya filsafat Islam itu adalah Filsafat yang berorientasi
kepada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan
wahyu Allah.
Jadi ciri utama filsafat Islam adalah berfikir
tentang segala sesuatu, dapat berfikir teratur, tidak cepat puas dalam penemuan
sesuatu,selalu bertanya dan saling menghargai pendapt orang lain.
Filsafat adalah induknya segala ilmu, sebagai
induk segala ilmu, maka filsafat mempengaruhi ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu
fiqih, ilmu kalam, tafsir dan sebagainya. Berbicara mengenai hukum fiqih, maka
fiqih sendiri bengandung arti mengerti dan memahami. Untuk memahami diperlukan
pikiran dan penggunaan akal. Selain itu fiqih juga memakai ijtihad yang pada
intinya adalah pemakaian akal untuk dalil-dalil yang bersifat dzonniy dan
terhadap kasus-kasus hukum yang tidak jelas atau sama sekali tidak ada dasarnya
baik dalam Al Qur’an maupun Al Hadits.
Demikian juga untuk menafsirkan Al Qur’an,
menjelaskan hubungan manusia dengan Alloh dalam ilmu Tasawwuf, menjelaskan
kandungan hadits, banyak sekali digunakan pemikiran. Dengan demikian filsafat
sangat besar pengaruhnya terhadap ilmu pengetahuan.
0 Response to "SEJARAH FILSAFAT ISLAM"
Post a Comment