ISLAM MODERAT
Oleh:
Fahmy Zarkasyi
Tahun 2008 Japan Institute of International
Affair (JIIA) menggelar symposium di Tokyo. Temanya “Islam and Asia:
Revisiting the Socio-Political Dimension of Islam”, yakni tentang masa
depan politik Islam. Pesertanya mayoritas dari negara-negara Islam seperti
Mesir, Pakistan, Iran, Turkey, Tunis, Indonesia dan Malaysia, ditambah seorang
dari Amerika dan beberapa dari Jepang sendiri. Nampaknya simposium ini
bertujuan untuk mengukur masa depan kekuatan politik Islam pasca peristiwa 11
September, akan ditangan radikal atau moderat.
Maka dari itu diantara isu yang dilontarkan
disitu adalah tentang arti Muslim moderat. Istilah ini nampaknya berfungsi
sebagai penjinak terorisme. Mirip dengan fungsi sekularisme tahun 70an sebagai
penjinak fundamentalisme. Mulanya para peserta merespon dengan datar-datar
saja. “Moderate” artinya tidak berlebihan ghuluww (ekstrim) dalam
menjalankan agama. Bagi Professor Bedoui Abdelmajid, dari Tunis moderat dalam
Islam tercermin dalam keimanan, peribadatan, hubugan sosial, tradisi dan dalam
pemikiran maupun dalam kehidupan nyata.
Tapi masalahnya menjadi krusial ketika Angel
Rabasa, wakil dari Rand Coorporation Amerika Syerikat mendefinisikan.
Muslim moderat adalah yang mau menerima pluralisme, feminisme dan kesetaraan
gender, demokratisasi, humanisme dan civil society. Dr.Sohail Mahmud
dari Pakistan menganggap definisi Rabasa itu sarat dengan kepentingan Barat.
Azzam Tamimi, Direktur TV al-Hiwar London, menolak definisi itu dan
menegaskan bahwa mayoritas Muslim menurut kriteria Islam adalah moderat
meskipun tidak setuju dengan pluralisme, feminisme, humanisme dsb.
Saya pun ikut merespon. “Pengertian anda itu
sekarang di Indonesia disebut dengan “Islam Liberal”, mestinya anda tahu itu.
Dan “Islam Liberal” di Indonesia itu tidak moderat tapi ekstrim. Jika anda
katakan “Islam liberal” adalah moderat maka konsekuensinya mayoritas umat Islam
yang tidak liberal, termasuk NU dan Muhammadiyah, adalah fundamentalis,
ekstrimis dan tidak moderat.
Masataka Takeshita, Professor Studi Islam dari
Universitas Tokyo segera bertanya, apa yang anda maksud “Islam liberal”? saya
katakan “Islam Liberal” itu terlalu kontekstual, artinya cenderung menafsirkan
Islam hanya untuk menjustifikasi konsep-konsep dalam konteks masyarakat Barat.
Contohnya, di kalangan liberal ada yang menafikan hukum Tuhan (syariah),
mempersoalkan otentisitas al-Qur’an, menyoal otoritas ulama agar kemudian dapat
menghalalkan homoseks dan lesbi, nikah beda agama dsb. Rabasa tetap pada
pendiriannya, tapi diluar forum terus terang dia terkejut dan tidak percaya
jika ada orang liberal Indonesia yang setuju dengan homoseks dan lesbi. I
will check it, katanya.
Rabasa tak bergeming karena pasca 9/11, Rand
Coorporation giat menjual “Islam moderat”. Setelah American Journal of
Islamic Social Sciences mengangkat tema ini secara serial lima tahun lalu,
petanya semakin jelas. sedikitnya ada tiga kelompok: anti-Islam, Barat dan
Islam.
Definisi Islam moderat yang anti Islam dalam
dilihat pada situs “muslimsagainstshariah”. Disitu ditulis begini diantaranya:
tidak anti bangsa semit, menentang kekhalifahan, kritis terhadap Islam,
menganggap Nabi bukan contoh yang perlu ditiru, menentang jihad, pro Israel
atau netral, tidak berreaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik, menentang
pakaian Islam, syariah, dan terrorisme. Andrew McCarthy dalam National
Review Online, August 24, 2010 malah tegas-tegas menyatakan siapapun yang
membela syariah tidak dapat dikatakan moderat. (no one who advocates shariah
can be a moderate). Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak moderat.
Islam moderat dalam perspektif Barat hampir
seragam. Rabasa, Graham E Fuller dan Ariel Cohen sudah seperti ijma.
Muslim moderat, kata Fuller adalah yang menolak literalism dalam memahami kitab
suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan menekankan persamaan dengan agama
lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama lain. Inilah yang ditirukan orang
liberal di Indonesia. Fuller bahkan ngelantur moderat adalah yang
mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur dunia. Senada tapi
lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen mengartikan moderat sebagai menghormati hak
menafsirkan al-Qur’an, hak menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau tidak
menyembah atau bahkan tidak percaya. Lagi-lagi ini alam pikiran kelompok “Islam
Liberal” yang kental bau orientalismenya.
Definisi Rabasa, Graham maupun Cohen memang
benar-benar liberal. Dan mungkin bagi orang liberal itu biasa dan “nothing
wrong”. Tapi yang justru menemukan kesalahannya adalah John L Esposito.
Dengan bijak dan adil dia kritik begini: pertama jika definisi Barat itu
diterima maka Muslim konservatif dan tradisionalis menjadi tidak moderat.
Selain itu jika seorang wanita Muslim memimpin Sholat Jumat menjadi kriteria
moderat, maka banyak orang Kristen, Yahudi dan penganut agama lain termasuk
Paus John Paul II yang patrialistik itu justru tidak masuk kriteria moderat.
Louay Safi dan Ubid Ullah Jan tokoh Muslim di
Canada, memiliki kesan yang sama. Pengertian moderat yang pro-Barat ataupun
yang anti Islam sama saja. Seorang Muslim belum dianggap moderat jika belum
menolak al-Qur’an secara publik. Tapi masalahnya, menurut Esposito jika untuk
menjadi moderat orang harus mengingkari kitab sucinya, maka Yahudi moderat juga
harus mengingkari kitab sucinya yang menjadi penyebab klaim negara Israel dan
pendudukan tanah Palestina. Itu kesalahan yang kedua.
Kerancuan lain juga ditemukan Safi. Menurutnya
pengertian “Muslim moderat” di Barat adalah “a person who is not comfortable
with his/her Islamic roots and heritage, and openly hostile to Islam, and eager
to transcend all Islamic norms”. Contoh yang nyata, katanya ada pada figur
Irsyad Manji seorang feminis yang terkenal mengkritik Syariah (bukunya The
Trouble with Islam: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith), tapi pada saat
yang sama mengaku sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini oleh Barat
dianggap sebagai “the voice of moderation”.
Bagi Muqtedar Khan, cendekiwan Muslim asal
Canada moderat itu adalah yang berfikiran terbuka, kritis, menghormati semua
orang, bermoral, beramar ma’ruf nahi munkar (QS 5:48; 3:110), tidak ada
intimidasi dan kekerasan. Sahabatnya Ubid Ullah Jan, menambahi Muslim yang
menolak ketidak adilan atau Muslim yang hidupnya hanya untuk ibadah masih
dianggap moderat. Tentu semua itu tanpa kekerasan. Jadi, untuk mengalahkan
radikalisme tidak perlu liberalisme dan agar menang melawan hegemoni
kolonialisme Barat tidak perlu ekstremisme. Kebajikanlah yang akan mengalahkan
kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus. Wallahu a’lam
Surah ash –
shaff ayat 10-12
$pkš‰r'¯»tƒ
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
ö@yd
öä3—9ߊr&
4’n?tã
;ot»pgÏB
ä3ŠÉfZè?
ô`ÏiB
A>#x‹tã
8LìÏ9r&
ÇÊÉÈ tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î
¾Ï&Î!qß™u‘ur
tbr߉Îg»pgéBur
’Îû
È@‹Î6y™
«!$#
óOä3Ï9ºuqøBr'Î
öNä3Å¡àÿRr&ur
4 öä3Ï9ºsŒ
׎öyz
öä3©9
bÎ)
÷LäêZä.
tbqçHs>÷ès?
ÇÊÊÈ öÏÿøótƒ
öä3s9
öä3tqçRèŒ
óOä3ù=Åzô‰ãƒur
;MȬZy_
“ÌøgrB
`ÏB
$pkÉJøtrB
ã»pk÷XF{$#
z`Å3»|¡tBur
Zpt6ÍhŠsÛ
’Îû
ÏM»¨Zy_
5bô‰tã
4 y7Ï9ºsŒ
ã—öqxÿø9$#
ãLìÏàyèø9$#
ÇÊËÈ
10. Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu
aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
11.
(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
12. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu
dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan
(memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah
keberuntungan yang besar.
0 Response to "ISLAM MODERAT"
Post a Comment