A. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah model pengembangan kurikulum oleh
satuan pendidikan atau sekolah. Hasil dari pengembangan tersebut juga disebut
KTSP, sehingga dewasa ini KTSP lebih banyak diartikan sebagai suatu model
kurikulum, bukan model pengembangan. Sesungguhnya KTSP adalah model pengembangan
kurikulum yang lebih memberi otonomi kepada kepala sekolah, sejalan dengan
otonomi dalam manajemen sekolah, yaitu manajemen berbasis sekolah (MBS),
keduanya mengarah pada desentralisasi. Kurikulum-kurikulum sebelumnya yaitu
kurikulum 1975, 1984, dan 1993 bersifat sentralisasi atau kurikulum yang
disusun secara terpusat. Penerapan KTSP adalah bagian standarisasi pendidikan,
terutama berkenaan dengan standarisasi kompotensi lulusan, isi, proses dan
evaluasi. Standarisasi pendidikan diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan,
minimal mencapai standar mutu nasional.
Dewasa ini
sekolah-sekolah atau satuan pendidikan, telah memiliki kurikulum sendiri,
walaupun mungkin banyak di antara sekolah tersebut yang kurikulumnya masih
membutuhkan penyempurnaan. Beberapa temuan dari penelitian menunjukkan banyak
sekolah yanng kurikulumnya mencontoh atau mengambil alih dari sekolah lain
tanpa mengadakan penyesuaian dengan kondisi dan kebutuhan sekolah sendiri.
Kurikulum yang dicontoh atau dialihkannya banyak yang masih murni KBK, karena
model kurikulum ini telah diujicobakan pada banyak sekolah pada tahun 2004.
Dalam KTSP memang warna KBKnya masih sangat kental, karena tujuan-tujuan
kurikulumnya menggunakan konsep dan model KBK, yaitu kompetensi lulusan, standar
kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator atau performansi.
Dalam
implementasi kurikulum sebenarnya yang digunakan bukan hanya model KBK namun
juga model kurikulum subjek akademik, humanistik, dan rekronstruksi sosial. KBK
adalah suatu model kurikulum yang memfokuskan sasarannya kepada penguasaan
kompetensi. Pada awalnya model kurikulum ini diterapkan pada pendidikan dan
pelatihan vokasional atau pendidikan kejuruan. Kompetensi yang dikembangkan
mengarah pada kompetensi kerja, yaitu kecakapan, kemampuan, keterampilan
mengerjakan tugas-tugas atau peran-peran berkenaan dengan suatu pekerjaan.
Dewasa ini
kurikulum berbasis kompetensi digunakan juga bagi pendidikan yang bersifat
akademik, baik pada jenjang perguruan tinggi, maupun pendidikan dasar, dan
menengah. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah umum, seperti SMA,
Madrasah Aliyah, bahkan SMP/Mts dan SD/Ibtidaiyah sifatnya akademisnya masih
pada taraf pra akademis kompetensi yang dikembangkan pada satuan pendidikan
yang bersifat akademis berbeda dengan satuan pendidikan vokasional.
Kompetensinya termasuk kompetensi akademis, yaitu kemampuan, kecakapan, atau
keterampilan mengaplikasikan konsep, prinsip, kaidah, model, dan prosedur.
Dengan
menggunakan taha-tahap berpikir atau tahap kognitif dari bloom, dkk., kita tahu
bahwa mengetahui aatau menghapal adalah tahap berpikir tahap rendah, memahami
dan mengaplikasikan termasuk berpikir tahap tinggi. Anderson dan Kratkwohl
(tahun 2001) menambahkan berpikir tingkat tinggi ini, dengan satu kemampuan
yang lebih atinggi yaitu kreativitas. Sukmadinata (2003) ”memandang sebelum
tahap kreeativitas, ada tahapan berpikir yang cukup penting yang aharus
dikuasai para siswa yaitu pemecahan masalah (problem solving)’. Dengan
demikian dalam kurikulum dan pembelajaran kompetensi diharapkan mengembangkan
kompetensi para siswa sampai kompetensi pemecahan masalah dan kemampuan
kreatif.
Hal itu tidak
berarti kompetensi atau kemampuan-kemampuan berpikir tahap yang lebih rendah
diabaikan, karena kemampuan berpikir itu sesungguhnya adalah satu kesatuan.
Untuk melakukan berpikir tahap tinggi membutuhkan landasan dan bantuan dari
berpikir tahap di bawahnya. Yang menjadi masalah, seringkali guru-guru hanya
mengajar atau mengembangkan kemampuan berpikir tahap rendah.
Kompetensi yang
dikembangkan pada satuan pendidikan yang bersifat akademis, juga mencakup
kompetensi aspek afektif dan psikomotor. Kompetensi aspek afektif dengan
menggunakan taha-tahap kemampuan afektif dari Krathohl, tidak berhenti pasa
tahap efektif yang paling dasar, yaitu : (1) menerima, namun berlanjut pada
tahap-tahap afektif yang lebih tinggi, (2) merespon, (3) bersikap dan
berapresiasi, (4) memadukan nilai sampai pada, (5) menginternalisasi nilai.
Aspek-aspek nilai ini mencakup baik nilai agama, sosial, budaya, seni maupun
nilai ilmu. Demikian juga dengan aspek psikomotor tidak hanya berkenaan dengan
keteramilan dasar, namun sampai dengan keterampilan kerja.
Dalam penerapan
KTSP, rumusan tujuan pendidikan dalam bentuk kompetensi juga berlaku bagi model
kurikulum subjek akademik, humanistik maupun rekonstruksi sosial, walaupun
dalam konsep dasarnya tidak menuntut rumusan demikian. Karakteristik dari
model-model kurikulum tersebut lebih nampak dalam jenis dan rumusan bahan
ajaran, proses belajar mengajar dan evalusi hasil belajar.
Dalam
dokumen-dokumen KBK yang dikembangkan oleh pusat kurikulum, kompetensi ini
dirumuskan sebagai pengetahuan, keterampilan ,sikap dan nilai-nilai yang
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Sesuai dengan tahap
perkembangannya kebiasaan berpikir dan bertindak atau berbuat ini adalah pada
tahap tinggi.
B. Implementasi Kurikulum
Kurikulum
satuan pendidikan (kurikulum sekolah) dengan berbagai model kurikulum di
dalamnya, pada jenjang pendidikan dasar dan menengah umum diarahkan pada
peningkatan mutu pendidikan. Mutu pendidikan mencakup mutu hasil, yaitu
kompetensi siswa dan lulusan, dan mutu proses pendidikan, khususnya proses
pembelajaran. Mutu hasil pendidikan baik pada siswa yang masih belajar maupun
lulusan diarahkan pada penguasaan kemampuan atau kompetensi berpikir (kognitif)
tahap menengah dan tinggi, dan juga pengembangan segi-segi afektif dan
psikomotor tahap menengah dan tinggi.
Pengembangan
kemampuan-kemampuan demikian membutuhkan proses pembelajaran yang kaya,
dilaksanakan secara efisien dan efektif. Pelaksanaan kurikulum membutuhkan
pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran,
memberikan pengalaman yang merangsang dan menantang, dengan kegiatan yang
bervariasi, kesempatan berinteraksi dengan berbagai sumber, dan menggunakan
berbagai media belajar, serta mendapatkan evaluasi dan umpan balik yang
intensif.
Banyak
pendekatan, model dan metode pembelajaran yang dapat dipilih dan digunakan
untuk mencapai tujuan tersebut. Pembelajara-pembelajaran tersebut, diantaranya
pembelajaran kontekstual, pembelajaran bermakna, pembelajaran diskeveri,
pembelajaran berbasis pengelaman, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbuat
(seperti pembelajaran: kelompok, pengamatan, percobaan, penelitian,
pemecahan masalah), dan pembelajaran praktik di kelas, luar kelas dan luar
sekolah.
Pendekatan ,
model dan metode-metode pembelajaran tersebut umumnya sudah dikenal dan
dikuasai oleh guru-guru. Beberapa mungkin belum begitu akrab, namun banyak
literatur yang bisa ditemukan, salah satunya adalah buku sukmadinata, Nana Sy.
(2004), ”Kurikulum dan Pembelajaran kompetensi”.
Kesiapan Guru
Sebagus apapun
desain atau rancangan kurikulum yang dimiliki, namun keberhasilannya sangat
tergantung pada guru. Kurikulum yang sederhanapun apabila gurunya memiliki
kemampuan, semangat dan dedikaasi yang tinggi, hasilnya akan lebih baik
daripada desain kurikulum yang hebat namun kemampuan, semangat dan dedikasi
gurunya rendah. Guru adalah kunci utama keberhasilan pendidikan. Sumber daya
pendidikan yang lainpun seperti sarana dan prasarana, biaya, organisasi,
lingkungan, juga kunci keberhasilan pendidikan, namun kunci utamanya adalah
guru. Dengan sarana, prasarana dan biaya terbatas, guru yang kratif dan
berdedikasi tinggi, dapat mengembangakan program, kegiatan dan alat bantu
pembelajaran yang inovatif.
Kemampuan apa
yang harus dikuasai dalam implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan?
Pertama, konsep
yang tepat tentang kompetensi akademis, seperti yang telah dijelaskan dimuka.
Kedua, kemamapuan untuk menjabarkan kompetensi-kompetensi yang telah dirumuskan
oleh BSNP (Depdiknas), yaitu standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi
indikator (performansi). Ketiga, kemamapuan guru untuk menterjemahkan
kompetensi menjadi kegiatan pembelajaran. Komptensi menunjukkan kecakapan,
keterampilan, ”ke-bisa-an” (ableness), oleh karena itu model atau metode
pembelajaran yang digunakan, adalah model-model atau metode yang menekankan
siswa aktif. Aktif dalam mengaplikasikan konsep, menganalisis dan mengevaluasi suatu
keadaan atau kegiatan, memecahkan masalah yang dihadapi di dalam kehidupan,
mencari, menemukan dan mengembangkan hal baru.
Kemamapuan-kemampuan
tersebut mungkin sudah dikuasai oleh guru-guru, namun mungkin juga baru
sebagian yang dikuasai dan mengusainya. Untuk meningkatkan kamampuan guru dalam
penguasaan, kemampuan-kemampuan tersebut selain dapat dilakukan melalaui
pelatihan, penataran, penataran dan lokakarya, juga dengan mengefektifkan
kegiatan KKG dan MGMP. Untuk jenjang sekolah menengah selain MGMP
se-kota/kabupaten atau se-rayon, bisa juga MGMP satu sekolah. Guru-guru mata
pelajaran sejenis di satu sekolah mengadakan pertemuan berkala seminggu sekali
atau dua minggu sekali untuk menjabarkan kompetensi dan merumuskan kegiatan
pembelajaran. Bila diperlukan dapat mendatangkan guru inti ataupun pakar bidang
studi.
Peningkatan
kemampuan yang cukup ampuh tanpa biaya yang besar, adalah dengan menerapkan
pemberdayaan diri secara kolaboratif. Guru-guru mata pelajaran sejenis
berkelompok, minimal berpasangan untuk melakukan pembinaan atau pemberdayaan
diri. Peleksanaan pemberdayaannya dilakukan melalui kegiatan ”penelitian
tindakan kelas’. Pada waktu seorang guru melakukan kegiatan pembelajaran,
pasangan atau anggota kelompoknya mengadakan pengamatan, monitoring:mencatat
hal-hal yang sudah baik dan kekurangan atau kesalahan yang dilakukan. Selesai
pembelajaran guru yang diamati dan yang mengamati mengadakan pertemuan, untuk
menyampaikan catatan hasil pengamatan tadi, kemudian diadakan tukar pikiran.
Untuk hal-hal sudah baik, perlu terus dipelihara atau kalau perlua
mungkin ditingkatkan, untuk hal-hal yang belum baik dicari perbaikannya. Pada
hari atau jam yang lain bertukar peran guru yang diamati menjadi pengamat, dan
yang mengamati menjadi yang diamati.
Pengorganisasian Kurikulum
Salah satu
prinsip dasar dalam penngembangan kurikulum adalah fleksibilitas, yaitu
kelenturan kurikulum melayani perbedaan kemampuan, minat dan kebutuhan peserta
didik dan pengguna. Fleksibilitas ini diwujudkan dalam bentuk pengorganisasian
kurikulum. Suatu kurikulum yang fleksibel, adalah kurikulum yang memberikan
alternatif yang luas sehingga siswa bisa memilih program, mata pelajaran, model
pembelajaran dan latihan yang sesuai dengan kemampuan minat, kebutuhan dan
kondisi siswa.
Dalam
implementasi kurikulum di SMA, fleksibilitas kurikulum lebih luas
dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Hal itu dapat dilihat dari model
pilihan jurusan atau sekarang diberi nama Program Studi. Selain digunaka
model blok atau model pengkhususan seperti model lama, dengan tiga program
studi yaitu Program Studi Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan Bahasa, juga ada model
pilihan bebas yang disebutnya sebagai Struktur Kurikulum Non Pengkhususan
Program Studi. Dalam model blok, siswa dalam program studi yang sama mengikuti
kurikulum yang sama. Dalam model non pengkhususan, para siswa hanya mengikuti
kurikulum yang sama dalam 4 mata pelajaran atau 8 jam pelajaran saja. Sisanya
yaitu 7 mata pelajaran atau 28 jam pelajaran di kelas XI, dan 6 mata pelajaran atau
24 jam pelajaran di kelas 12 siswa bebas memilih mata pelajaran yang disukai
dan dibutuhkannya, dari 20 mata pelajaran atau 80 jam pelajaran yang
disediakan.
Model
pengorganisasian kurikulum seperti ini sangat bagus dan adalah hal baru.
Pengorganisasian seperti itu dapat melayani keragaman kemampuan, kebutuhan dan
minat siswa, namun pengelolaannya lebih rumit. Kalau tidak ada pembatasan akan
terbentuk jumlah rombongan belajar yang banyak, dengan jumlah siswa pada setiap
rombongan belajar sedikit. Hal itu akan meminta lebih banyak ruangan, fasilitas
belajar dan juga honorarium guru. Selain pengorganisasian kurikulum berkenaan
dengan penjurusan atau pilihan program studi, juga ada pengorganisasian yang
berkaitan dengan isi kurikulum atau bahan ajaran. Dalam implementasi kurikulum
juga dikembangkan model pengorganisasian yang berkaitan dengan isi kurikulum
yanng dikelompokkan berdasarkan mata pelajaran atau biasa disebut Separated
Subject Curriculum, dan model kurikulum kompetensi lintas kurikulum.
Para siswa memperlajari kompetensi yang substansi isi bahan ajarannya merangkum
beberapa mata pelajaran. Kompetensi yang dikembangkan lebih komprehensif,
berkenaan dengan kegiatan, program, pengembangan atau penyelesaian masalah
tertentu. Pengorganisasian ini kurikulumnya disebut model kurikulum terpadu
atau Integrated Curriculum.
Keterpaduan
kurikulum tersebut bervariasi, ada yang fokusnya dalam salah satu mata
pelajaran namun terkait dengan mata-mata pelajaran lain (Correlated Curruculum),
terpadu dalam satu rumpun bidang studi (Broad field curriculum), terpadu
dari banyak mata pelajaran namun unsur mata pelajarannya masih nampak (Fusion
curriculum), dan ada pula yang terpadu penuh, tidak nampak lain mata pelajaran
yang dipadukannya (integrated curriculum). Model rumpun bidang studi sudah
diterapkann dalam kurikulum kita sejak kurikulum 1975 dalam bentuk mata-mata
pelajaran IPS, IPS, Bahasa terutama untuk jenjang sekolah dasar. Kurikulum
terpadu lainnya juga dapat diterapkan dalam kurikulum saat ini, dan
kurikulum yang akan datang, namuni sifatnya tidak menyeluruh, hanya untuk
topik-topik atau bahan ajaran tertentu.
C. Diversifikasi Kurikulum
Dalam
implementasi kurikulum, walaupun kurikulum nasionalnya sudah disusun tuntas
oleh pusat dalam bentuk rumusan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Dalam
perumusan indikator keberhasilan, memilih materi, model dan media pembelajaran,
penilaian hasil belajar, serta buku sumber, daerah dan sekolah memiliki
wewenang dan tugas untuk penjabarannya dalam bentuk penyusunan silabus, dan
RPP. Dalam penjabaran tersebut memungkinkan terjadinya diversifikasi kurikulum
disesuaikan dengan kondisi, kemajuan dan kebutuhan daerahdan sekolah.
Sekolah yang sudah maju dengan dukungan sumber
daya pendidikan yang relatif tinggi dapat memilih dan memberikan materi
kurikulum yang lebih kaya dan menggunakan pendekatan pembelajaran yang lebih
bervariasi. Sekolah yang belum begitu maju, dukungan sumber daya pendidikannya
juga masih terbatas, dapat memilih materi minimal. Walaupun dalam
pemilihan materi minimal ini juga harus mengutamakan yang esensial atau utama
dan penting. Pendekatan pembelajrannya tetap harus ada variasi namun variasinya
mungkin harus terbatas.
Perlu
diingatkan di sini, bahwa yang dimaksud dengan sumber daya pendidikan itu
meliputi : 1) sumber daya orang seperti guru, kepala sekolah dan staf
tata usaha, 2) sumber daya sarana-prasarana pendidikan termasuk fasilitas
pembelajaran, 3) sumber daya dana baik dari pemerintah maupun dari masyarakat,
4) sumber daya lingkungan masyarakat, dengan intinya komite sekolah,
berupa kepedulian dan dukungannya terhadap program sekolah, 5) sumber daya
organisasi sekolah, meliputi kelengkapan organisasi, kejelasan tugas,
kekompakkan dan kinerja masing-masing unsur.
Mengenai
diversifikasi kurikulum ini bisa juga berhubungan dengan kondisi lingkungan.
Terutama bagi sekolah-sekolah yang sudah maju, pengayaan materi bisa
dihubungkan dengan kondisi lingkungan. Bagi sekolah yang berada di
lingkungan industri, materi pengayaan yang berhubungandengan industri
diperkaya, di daerah pertanian materi yang berhubungan dengan pertanian
diperkaya. Demikian juga dengan yang berada di daerah peternakan, perikanan,
pariwisata, dsb.
Sekolah yang
memiliki dasar keagamaan seperti Madrasah Aliyah, selain menambah dalama
pengayaan materi agama, juga pada mata-mata pelajaran umum diterapkan kurikulum
dan pembelajaran terpadu. Keterpaduannya bervariasi, disesuaikan dengan
kemampuan masing-masing guru, bisa hanya bersifat correlated atau menghubungkan
materi umum dengan materi agama, terpadu terbatas dengan beberapa aspek, atau
terpadu penuh dengan semua aspek pendidikan agama.
Diversifikasi
kurikulum, sudah tentu dilanjutkan dengan penerapannya dalam pembelajaran.
Pembelajaran bervariasi yang memadukan beberapa pendekatan pembelajaran dan
dukungan penggunaan media pembelajaran yang bervariasi pula akan lebih
mengoptimalkan penguasaan kompetensi.
D. Program Pembelajaran
Implementasi
kurikulum mencakup semua kegiatan melaksanakan desain atau dokumen kurikulum,
meliputi pembelajaran, pelatihan, pembimbingan, pengelolaan kelas,
pemberian tugas, evaluasi, kegiatan ko-dan ekstra kurikuler, pengembangan media
dan fasilitas belajar mengajar, dll. Secara sempit implementasi kurikulum
berkenaan dengan kegiatan pembelajaran, pembelajaran teori dan praktik, di
kelas, di luar kelas dan di luar sekolah, penugasan, bimbingan dan evaluasi
hasil belajar.
Program
pembelajaran adalah pengaturan kegiatan belajar siswa agar tercapai penguasaan
kompetensi secara optimal. Kemampuan dan kecepatan belajar siswa berbeda-beda.
Secara umum dapat dibedakan, ada kelompok siswa yang ungguk atau cepat belajar,
kelompok biasa atau sedang, dan kelompok siswa yang asor atau lambat belajar.
Bahan ajaran yang disiapkan guru biasanya disediakan bagi kelompok sedang. Bagi
kelompok unggul atau cepat perlu diberikan tambahan bahan atau kegiatan agar
penugasannya sesuai dengan keunggulannya. Untuk kelompok asor atau lambat perlu
diberi layanan khusus, bantuan dan bimbingan lebih intensif, di dalam jam
pelajaran atau di luar jam.
KBK menekankan
penguasaan kemampuan, kecakapan, keterampilan menerapkan konsep, prinsip,
model, dll.; diarahkan pada penguasaan kemampuan berpikir, segi-segi afektif
dan psikomotor sampai dengan tahap tinggi. KBK juga menempatkan siswwa sebagai
subyek belajar, berperan aktif mengembangkan semua potensi dan kemampuan yang
dimilikinya dalam berbagai rumpun mata pelajaran. Untuk menoptimalkan
pencapaian sasaran-sasaran tersebut, proses pembelajaran harus bersifat multi
metode dan media. Pembelajarannya menggunakan pendekatan, model dan
metode-metode pembelajaran yang bervariasi disesuaikan dengan kemampuan,
minat, dan kebutuhan siswa serta karakteristik mata pelajaran dan kondisi
sumber daya pendidikan yang ada. Proses pembelajaran juga hendaknya didukung
oleh media yang bervariasi, media sebagai program pembelajaran dan media
sebagai alat bantu. Media sebagai alat bantu meliputi media verbal, gamabar,
tiruan dan model, suara dan gerak, serta berbagai model animasi komputer.
Program
pembelajaran yang lebih baku dapat dilakukan melalui penggunaaan sistem modul,
baik model cetak maupun eletronik (audio, video dan komputer). Dalam sistem
modul, bahan ajaran dan proses pembelajaran telah disusun secara sistematis.
Statu modul selain berisi rumusan kompetensi dan teks bahan ajaran, juga memuat
tugas dan latihan yang harus dikerjakan serta tes untuk mengetahui tingkat
penguasaan modul tersebut. Bahan ajaran dan proses pembelajaran tersebut
disajikan dalam bentuk modul cetak dan elektronik yang bisa dipelajari sendiri
oleh siswa. Dengan sistem modul, memungkinkan dilaksanakan model pembelajaran
secara individual. Para siswa dapat belajar dan maju sesuai dengan
kecepatannya masing-masing, sehingga prinsip pembelajaran naik secara
otomatis (automatic promotion), maju berkelanjutan (continuous
progress) dan penguasaan secara tuntas (mastery learning) dapat
diterapkan.
Sesungguhnya konsep dasar dari sistem pembelajaran modul, modul dalam bentuk buku (media cetak), audio chalet, video chalet dan komputer (media elektronik) dengan modul yang Semarang digunakan yaitu satuan pelajaran (Lesson unit) adalah sama. Semua dikembangkan dari model konsep yang sama yaitu pembelajaran sistem atau Instructional System. Model satuan pelajaran labih banyak digunakan, karena model ini dari segi biaya lebih murah, sebab disusun oleh guru sendiri, sedang modul disusun oleh tim khusus dan penggandaannya memerlukan dana yang tidak sedikit. Modul satuan pelajaran juga memiliki nilai lain, karena rancangan pembelajarannya disusun oleh guru sendiri, guru tahu kemampuan, minat dan kebutuhan para siswanya, guru juga mengetahui lingkungan fisik, social, budaza dari masyarakat sekitar sekolah. Modul ini bila dikembangkan dengan baik, lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa dan masyarakat sekitar.
Sesungguhnya konsep dasar dari sistem pembelajaran modul, modul dalam bentuk buku (media cetak), audio chalet, video chalet dan komputer (media elektronik) dengan modul yang Semarang digunakan yaitu satuan pelajaran (Lesson unit) adalah sama. Semua dikembangkan dari model konsep yang sama yaitu pembelajaran sistem atau Instructional System. Model satuan pelajaran labih banyak digunakan, karena model ini dari segi biaya lebih murah, sebab disusun oleh guru sendiri, sedang modul disusun oleh tim khusus dan penggandaannya memerlukan dana yang tidak sedikit. Modul satuan pelajaran juga memiliki nilai lain, karena rancangan pembelajarannya disusun oleh guru sendiri, guru tahu kemampuan, minat dan kebutuhan para siswanya, guru juga mengetahui lingkungan fisik, social, budaza dari masyarakat sekitar sekolah. Modul ini bila dikembangkan dengan baik, lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa dan masyarakat sekitar.
Walaupun
rancangan pembelajaran menggunakan model satuan pelajaran, namun upaya
mengoptimalkan penguasaan kompetensi tetap terbuka. Hal itu tergantung pada
ketepatan peggunaan pendekatana dan model pembelajaran serta
intensif-tidaknya bimbingan yang diberikan guru. Dalam pelaksanaan pembelajaran
baik dengan sistem modul apalagi dengan sistem satuan pelajaran, arahan,
dorongan, bantuan, bimbingan umpa balik dari guru Sangay diperlukan.
Program
pembelajaran juga dilakukan berdasarkan pendekatan, model atau metode
pembelajaran yang digunakan. Pendekatan pembelajaran ada bermacam-macam, sesuai
dengan fokus atau penekanan dari pembelajaran tersebut. Walaupun fokus
pengejaran atau pembelajaran berbeda-beda, namun komponen-komponennya sama,
yaitu : siswa, guru, tujuan, bahan ajaran, proses relajar, sarana dan fasilitas
relajar, lingkungan, dan pengelolaan relajar. Denga fokus dan penekanan yang
berbeda-beda, componen-komponen tersebut tetap terkait, namun dalam kedudukan yang
berbeda-beda pula. Pada pendekatan pembelajaran yang berfokus pada aktivitas
siswa umpamanya, maka proses mengidentifikasi, menganalisis, mensintensis,
bahan mendapatkan tekanan utama, namun componen-komponen lanilla tetap terkait.
Demikian juga umpamanya, pada pendekatan yang berfokus pada masalah mendapat
tekanan utama namun componen-komponen lanilla tetap dikaji. Oleh karena itu
dapat difahami apabila dalam uraian atau penjelasan tentang
pendekatan-pendekatan pembelajaran tersebut banyak yang seperti tumpang tindih.
Pembelajaran
kompetensi bidang akademis menekankan penerapan dari pengetahuan, konsep dan
prinsip-prinsip ilmu tersebut di dalam kehidupan. Penerapan ilmu ini dilakukan
oleh siswa, maka peranan dan aktivitas siswa dalam pembelajaran kompetensi
menjadi fokus. Penerapan tersebut dilakukan di dalam kehidupan dan lingkungan,
kehidupan dan lingkungan siswa sendiri, masyarakat maupun lingkungan pekerjaan.
Oleh karena itu dalam pembelajaran ini aspek kehidupan dan lingkungan juga
mendapat perhatian besar. Tidak semua aspek dari kehidupan dan lingkungan
mendapat tekanan dan perhatian yang sama, yang diutamakan adalah aspek-aspek
kehidupan dan lingkungan yang berarti atau bermakna. Bermakna bagi siswa
sebagai pribadi dan warga masyarakat, bagi siswa untuk melanjutkan studi
ataupun bekerja kelak.
Berkenaan
dengan hal itu , ada beberapa pendekatan pembelajaran yang perlu mendapatkan
prioritas dalam implementasi kurikulum. Pendekatan pembelajaran yang lebih
komprehensif, mencakup sebagaian besar dari componen kurikulum dan fokus-fokus
kompetensi hádala pembelajaran kontektual. Beberapa pendekatan lain yang lebih
spesifik hádala pembelajaran mencari-bermakna, pembelajaran bebasis pengalaman,
pembelajaran terpadu, pembelajaran kooperatif dan pembelajaran berbuat.
DAFTAR PUSTAKA
Beanne, James A (Ed). 1995. Toward A
coherent Currículo. Alexandria, Virginia: ASCD
Bliss, J.R. and Firestone, W.A. and Richards,
C.E. (Ed). 1991. Rithinking Effective Schools: Research and Practice. New
Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.
Brady, Laurie. 1990. Curriculum development.
New York: Prentice Hall.
Nelson, Jack L et al. 1990. Critical Issue
in Education. New York: McGraw Hill Publising Company.
Oliva, P.F. 1992. Developing the Curriculum.
New York: Harper Collins Publishers.
Shaeffer, Sheldon. 1990. Educational Change
in Indonesia: A Case Study of Three innovations. Ottawwa, Canada :IDRC.
Slattery, Patrick. 1995. Curriculum
Development in the Postmodern Era. New York: Garland Publishing, Inc.
Sukmadinata, Nana Sy. (2004). Kurikulum dan
Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Kesuma Karya.
Sukmadinata, Nana Sy. (2003). Strategi
Meningkatkan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar. Bandung: Kesuma Karya.
Sukmadinata, Nana Sy. (2002). Pengendalian
Mutu Pendidikan Sekolah Menengah. Bandung: Kesuma Karya.
Sukmadinata, Nana Sy. (2001). Pengembangan
Kurikulum: teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
The Holmes Group. Tomorrow’s Schools:
Principles for the Design of Professional Development Schools. USA: The
Holmes Group Inc.
Wiles, Jon and Bondi, Joseph. 1993. Curriculum
Development: New York: Maxwell Macmillan Internasional
0 Response to "IMPLEMENTASI KURIKULUM"
Post a Comment