B.Pembahasan
1.Riwayat
Hidup
Abu Yazid al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan
al-Bustami. Dia lahir sekitar tahun 200 H (813 M) di Bustam, bagian Timur Laut
Persia. Di Bustam ini pula ia meninggal dunia pada tahun 261 H (875 M); dan
makamnya masih ada hingga saat ini (Fariduddinal-Attar, 1979: 100). Makamnya
yang terletak di tengah kota menarik banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia
dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri. Nasiri Khusraw dan Yaqut. Pada
tahun 1313 M. didirikan di atanya sebuah kubah yang indah oleh seorang Sultan
Mongol, Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah
seoarang
keturunan dari Bustam itu (Aboebakar Atjeh, 1984: 259). Abu Yazid adalah
seorang tokoh sufi yang terkenal pada abad ketiga Hijriyah. Kakeknya Surusyan
adalah seorang penganut agama Zoroaster, yang kemudian masuk Islam. Sedikit
sekali orang mengetahui tentang sejarah hidupnya. Jika tidak ada pengarang
seperti at-Attar, orang tidak mengenalnya sama sekali. Siapa Abu Yazid itu,
beberapa catatan mengenai hidupnya hanya berupa anekdot-anekdot sufi belaka
(Fariduddinal-Attar, 1979: 101-105).
Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar agama Islam menurut mazhab
Hanafi. Kemudian ia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan hakikat,
begitu juga tentang ilmu tauhid dan hakikat, begitu juga tentang fana’ dari
Abu Ali Sindi. Dia tidak meninggalkan tulisan, tetapi pengikut-pengikutnyalah
mengumpulkan ucapan/ajaran-ajarannya (Aboebakar Atjeh, 1984: 135-136).
Abu Yazid adalah seorang zahid yang terkenal. Baginya zahid itu adalah seoarang
yang telah menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan dengan Allah. Hal ini
berjalan melalui tiga fase, yaitu zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat
dan zuhud terhadap selain Allah. Dalam fase terakhir ini ia berada dalam
kondisi mental yang menjadikan dirinya tidak mengingat apa-apa lagi selain
Allah.
Abu Yazid merupakan seorang tokoh sufi yang membawa ajaran yang berbeda dengan
ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak ditentang oleh
ulama Fiqh dan Kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara. Meskipun
demikian, ia memperoleh banyak pengikut yang percaya kepada ajaran yang
dibawanya. Pengikut-pengikutnya menamakannya Taifur. Kata yang diucapkannya
seringkali mempunyai arti yang begitu mendalam, sehingga jika ditangkap secara
lahir akan membawa kepada syirik, karena mempersekutukan antara Tuhan dengan
manusia.
Memang dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa
faham al-fana’ dan al-baqa’ serta sekaligus pencetus faham al-ittihād;
dan A. J. Arberry menyebutnya sebagai “first ofthe ‘intoxicated’ sufis”. (Orang
pertama dari kaum sufi yang mabuk kepayang) (A. J. Arberry, 1979: 54).
Apa
yang dimaksud dengan al-fana’, al-baqa’ dan al-ittihād yang
menjadi inti dari ajaran tasawuf Abu Yazid ini akan diuraikan pada bagian kedua
berikut ini, yang disertai dengan beberapa penilaian orang dan analisa
seperlunya. Terakhir, bagaian ketiga, akan dirumuskan beberapa kesimpulan.
2.
Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Irfan Abdul Hamid Fattah Mengatakan bahwa dalam sejarah perkembnagan tasawuf,
Abu Yazid al-Bustami dipandang sebagai pembawa arah timbulnya aliran “kesatuan
wujud” atau ittihad (Irfan Abdul Hamid Fattah,1973: 169). Perkembangan ajaran
tasawauf ke arah ini digambarkan oleh Prof. Dr. H. Aboebakar Atheh sebagai
berikut:
Lalu sampailah pada abad yang ke-III
orang membicarakan
latihan rohani, yang dapat membawa
manusia kepada Tuhannya.
Jika pada akhir abad ke-II ajaran
sufi merupakan kezuhudan
(asceticisme), dalam abad ke-III ini
orang sudah meningkat kepada
wusul dan ittihad dengan Tuhan
(mistikisme). Orang sudah ramai
membicarakan tentang lenyap tentang
kecintaan, fana fil mahbub,
bersatu dengan kecintaan, ittihād
fil mahbub, bertemu dengan
Tuhan, liqa’; dan menjadi satu
dengan Dia. ‘ainul jama’ sebagai
yang diucapkan oleh Abu Yazid
Bisthami (Aboebakar Atheh, 1984:169).
Sebelum seorang sufi memasuki tahap persatuan dengan Tuhan (al-ittihād),
ia harus terlebih dahulu dapat menghancurkan dirinya melalui fana’.
Penghancuran diri (fana’) dalam khazanah sufi senantiasa diiringi
dengan baqa’. Apa yang disebut dengan fana’ dan baqa’ itu
?
1. Al-Fana’ dan Baqa’
Secara logawi, fana’ berarti hancur, lebur, musnah, lenyap, hilang atau
tiada; dan baqa’ berarti tetap, kekal, abadi atau hidup terus (l;awan
dari fana’). Fana’ dan baqa’ merupakan kembar dua dalam
arti bahwa adanaya fana’ menunjukkan adanya baqa’. Dalam istilah
R. A. Nicholson dikatakan:
“The
complement and consummation of death to self (fana’) is everlasting life
in God (baqa’)” (R. A. Nicholson, 1973: 214). Yakni, “Kelengkapan dan
kesempurnaan dari leburnya pribadi (fana) ialah kehidupan abadi di dalam wujud
Tuhan (baqa)”. Hal ini memang dapat dilihat dari faham-faham sufi berikut :
- من فنى عن المخالفات بقى فى الموافقات
- من فنى عن الأوصاف المذمومة بقى بالاوصاف المحمودة
- من
فنى عن أوصافه بقى بأوصاف الحق
§ Jika seseorang dapat menghilangkan
maksiatnya, yang akan tinggal ialah taqwanya.
§ Siapa yang menghancurkan sifat-sifat
(akhlak) yang buruk, tinggal baginya sifat- sifat yang baik.
§ Siapa yang menghilangkan
sifat-sifatnya, tinggal baginya sifat-sifat Tuhan. (Harun Nasution,
1973: 80)
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’‘an
al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah hancurnya
perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam
sekitarnya. Al-Qusyairi tentang ini mengatakan :
فناؤه
عن نفسه و عن الخلق بزوال إحساسه بنفسه وﺑﻬم.......
فنفسه موجودة والخلق موجودون ولكنه لا علم له ﺑﻬم ولابه
Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya
kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk
lain
itu……. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk lain ada. Tetapi Ia tidak
sadar lagi pada mereka dan pada dirinya(Al-Qusyairi, t.th: 37).
Dr. Ibrahim Basyuni, setelah mengumpulkan beberapa definisi pengertian fana’
ini sebagai berikut :
الفناء
حالة نفسية تنمحى فيها علائق الانسان بالكون والنفس دون ان تنحى بشريته
Fana,
keadaan jiwa yang menghilangkan hubungan manusia dengan alam dan raganya, bukan
menghilangkan wujud kemanusiaannya (Ibrahim Basyuni, t.th: 239).
Dalam
hal pengertian fana’ ini, di dunia tasawuf, kata Dr. Ibrahim Madkur
berarti :
نظرية
تتلخص فى ذهاب الحس والوعى وانعدام الشعور بالنفس و بالعالم الخارجى، وانمحاء العبد فى جلال الرب , فيفنى العبد فى شخصه , و يبقى فى ربه , بعد مجاهدة و مجالدة و تصفية للنفس
Teori yang pada kesimpulannya
menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam
sekitar, terhapusnya seorang hamba di dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang
hamba terhadap wujud diri-nya dan kekal (tinggal) di dalam wujud Tuhannya
setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa (Ibrahim
Madkur, 1979: 141).
Dan dalam masalah ini pula, Nicholson mengatakan : To Pass away from self (fana’)
is to realize that self does not exist, and that nothing exista except God
(tauhid)” (R. A. Nicholson, 1973: 50).Sebenarnya dalam sepanjang sejarah
tasawuf, istilah fana’ kata Nicholson, memiliki beberapa tingkatan,
aspek dan makna. Semuanya dapat diringkaskan sebagai berikut :
a. Transformasi moral dari jiwa yang
dicapai melalaui pengendalian nafsu dan keinginan.
b. Abstarksi mental dan berlakunya
pikiran dari seluruh objek persepsi, pemikiran, tindakan dan perasaan; dan
dengan mana kemudian memusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan
memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifat-Nya.
c. Berhentinya pemikiran yang dilandasi
kesadaran. Tingkat fana yang tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentanag
fana itu sendiri juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal “kefanaan dari
fana” atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana’ al-fana’) (R.A.
Nicholson, 1975: 60-61).
Selanjutnya, kata Nicholson, tahap terakhir dari fana’ adalah lenyapnya diri
secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa,yang artinya
berkesinambungan di dalam Tuhan (Nicholson, 1975: 61). Dengan demikian jelaslah
bahwa dalam faham fana ini, materi manusianya tetap ada dan sama sekali tidak
hilang atau hancur, yang hilang hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia.
Ia tidak merasakan lagi akan eksistensi jasad kasarnya. Nicholson mengertikan
faham ini sebagai: fana the passing-away of the Sufi from his phenomenal
existence, in volves baqa’, the continuance of his real existence. He
who dies to self lives in
God,
and fana, the consummation of this death, marks the attainment or baqa’,
or union with the divine life” (Nicholson, 1973: 149). Yakni, “Fana, sirnanya
sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan wujudnya yang
sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup bersama Tuhan, dan fana,
kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini, menandakan tercapainya baqa, atau
persatuan dengan kehidupan Ilahi”. Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh
Ibrahim Basyuni, menggambarkan fana’ sebagai “sirnanya daya tangkap hati
terhadap yang
bersifat
indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala yang ada dihadapan
serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga tidak ada sesuatu yang dapat
diraba dan dirasakan” (Ibrahim Basyuni, t.th: 238).
Abu Yazid al-Bustami, yang dalam sejarah tasawuf dipandang sebagai sufi pertama
yang menimbulkan faham fana dan baqa ini mengartikan fana sebagai hilangnya
kesadaran akan eksistensi diri pribadi (al-fana’ ‘an al-nafs) sehingga
ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya
sebagai
manusia, kesadarannya menyatu ke dalam iradah Tuhan, bukan menyatu dengan
wujud-Nya (Team Penyusun Naskah, 1981-1982: 72). Lebih jelas lagi faham ini
tersimpul dalam kata-katanya :
-
Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu
pada-Nya melalui diri-Nya maka akupun hidup.
Dan
katanya pula :
-
Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati; kemudian Ia membuat aku gila
pada-Nya, dan akupun hidup, ………..aku berkata : Gila pada diriku adalah
kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup. (Harun Nasution,1973: 81)
Jadi kalau seoarang sufi telah mencapai al-fana’ ‘an al-nafs, yaitu
kalau wujud jasmaniah tidak ada lagi yaitu kalau wujud jasmaninya tidak
ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi) maka yang akan tinggal ialah wujud
rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan. Dan kelihatannya
persatuan denngan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fana’
‘an al-nafs.
0 Response to "FANA DAN BAQA MENURUT ABU YAZID AL BUSTAMI"
Post a Comment